Anda di halaman 1dari 7

KEPEMIMPINAN

MODERN IN LEADERSHIP

Kelompok :

BAYU DWI PRASETYO


F3515013

MUHAMMAD YOGGA PRASTYA BATULIEU


NIM F3515043

PROGRAM STUDI DIPLOMA III MANAJEMEN BISNIS


FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017
1. ARTIKEL

MENCARI TAHU SUMBER KHARISMA BUNG KARNO

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar Wijaya/ Wartawan Republika

Ahad , 30 June 2013, 22:01 WIB

Sulit rasanya dipungkiri bahwa sampai sekarang belum ada pemimpin Indonesia yang
kharisma kepemimpinannya menyamai Bung Karno. Kharisma Bung Karno masih
disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin kaliber dunia macam Fidel Castro, Nelson
Mandela, JF. Kennedy, Mao Tse Tung, Gamal Abdul Naseer, dan Jawaharlal Nehru.

Pertanyaannya adalah Dari mana kharisma kepemimpinan Bung Karno berasal?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu bagi kita memahami definisi kharisma dalam
konteks ilmu sosial. Max Weber, sosiolog terkemuka Jerman mendefinisikan kharisma
sebagai kekuatan yang mampu membuat seseorang unggul sekaligus berbeda dari orang biasa
pada umumnya.

Acap kali, kata Weber, kekuatan ini diidentikan dengan hal-hal yang bersifat
supernatural dan ketuhanan. Kharisma dianggap bersumber dari Tuhan dan atas dasar itu
individu bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin, tulis Max dalam The Theory of
Sosial and Economic Organization.

Kharisma kepemimpinan, ujar Weber, dapat bersumber dari beberapa faktor:


keturunan, hubungan darah (genealogis), dan institusi. Dari sisi keturunan, kharisma
kepemimpinan Bung Karno berasal dari kedua orang tuanya. Dalam Sukarno Penyambung
Lidah Rakyat, Bung Karno mengatakan kedua orang tuanya mewarisi darah bangsawan.
Ayahnya adalah keturunan terakhir Raja Kediri. Sedangkan ibunya masih kerabat dekat Raja
Buleleng terakhir.

Dari sisi genealogis, kharisma kepemimpinan Bung Karno tercermin lewat tampilan
fisik yang dimilikinya. Jules Archer dalam Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para
Penguasa Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran mengakui keunggulan fisik Bung Karno.
Menurutnya fisik Bung Karno melebihi rata-rata orang Indonesia pada masanya.
Bung Karno, kata Archer, memiliki postur tubuh tinggi tegap, wajah tampan, senyum
simpatik, dan sorot mata yang tajam. Tampilan ini, kata Archer, memberi kesan segan dan
berwibawa pada orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengan Bung Karno.
Sedangkan bagi rakyat, keunggulan ini juga memberikan rasa bangga; bahwa orang bumi
putera, secara fisik, tidak selamanya kalah dari orang-orang Eropa, tulis Archer.

Dalam konsep Weber, kharisma yang bersadar pada garis keturunan dan genealogis
biasanya tidak bertahan lama. Kharisma keturunan dan genealogis akan segera hilang ketika
individu yang bersangkutan gagal mengartikulasikan keyakinan masyarakat terhadap dirinya
lewat tindakan-tindakan kongkrit.

Kharisma keturunan harus dibarengi dengan kemampuan pemimpin menjawab persoalan


masyarakatnya, kata Weber.

Seolah menyadari konsep Weber, Bung Karno tidak hanya mengandalkan garis
keturunan dalam memimpin. Dia berupaya menunjang kharisma dasar yang dimilikinya lewat
berbagai cara. Salah satunya dengan mempelajari banyak buku. Dari berbagai buku yang
dibaca, Bung Karno bisa dengan mudah tanpa terbata-bata memadupandakan gagasannya
dengan pemikiran tokoh dunia dalam pidatonya.

Tak cuma lewat pemikiran, Bung Karno juga berupaya meningkatkan kharisma
keturunan dan genealogisnya lewat praktik hidup sehari-hari. Ini tercermin lewat sikap-sikap
egaliter yang dimiliki Bung Karno. Dia misalnya tidak segan-segan terjun langsung menemui
rakyatnya demi untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai nasib mereka di bawah
pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Egalitarianisme Bung Karno juga tecermin dari sikap penolakannya terhadap berbagai
bentuk elitisme dan feodalisme Budaya Jawa. Dalam pertemuan tahunan Jong Java Februari
1921, Bung Karno secara tegas menolak segala bentuk pemisahan kelas yang tercermin
dalam Bahasa ngoko dan kromo.

Sementara itu, faktor institusi sebagai determinan munculnya kharisma Bung Karno,
muncul saat dia menjadi ketua PNI, ketua PPPKI, dan Presiden Indonesia. Dalam jabatannya
sebagai ketua PNI dan PPPKI, kharisma Bung Karno hadir lewat seruan-seruannya
menyatukan tiga golongan besar yang ada di Indonesia (Islam, Nasionalis, Marxis). Seruan-
seruan agar ketiga aliran itu tidak membesar-besarkan perbedaan membuat kepemimpinan
Bung Karno relatif diterima golongan.
Saat menjabat sebagai presiden kharisma kepemimpinan Bung Karno ditunjang
melalui hal-hal yang bersifat simbolik. Bung Karno misalnya dikenal gemar menggunakan
gelar-gelar kepangkatan yang diberikan kepadanya: mulai dari pemimpin besar revolusi,
paduka yang mulia, mandataris MPRS, hingga Pemimpin Tertinggi ABRI.

Gelar-gelar itu diperkuat Bung Karno lewat cara berpakaian. Di akhir masa
kepresidenannya Bung Karno kerap terlihat menggunakan seragam militer lengkap dengan
berbagai gelar kepangkatan. Cara ini konon dia lakukan untuk menjaga loyalitas ABRI
terhadap dirinya.

Kembali ke Weber. Menurut Weber otoritas kharismatik dapat lenyap, jika bukti
pemimpin gagal menyelaraskan kualifikasi kharismatiknya dengan persoalan zaman dalam
jangka waktu yang panjang. Dalam konteks ini kharisma kepemimpinan Bung Karno tampak
memudar pasca pemberontakan G-30-S 1965. Ada dua faktor penting yang menjadi penyebab
memudarnya kharisma kepemimpinan Bung Karno.

Pertama, Bung Karno gagal menyelesaikan persoalan utama masyarakatnya. Dia


terlalu asik dengan slogan-slogan revolusionernya sampai-sampai melupakan lonjakan harga
bahan-bahan pokok di pasaran.

Kedua, citra positif yang dibangun Bung Karno rusak oleh pemberitaan negatif pers.
Masyarakat dalam waktu yang singkat dan massif hanya disuguhkan informasi sepihak:
kegagalan Bung Karno.

Dari Bung Karno hendaknya kita belajar bahwa kharisma kepemimpinan tidak bisa
dibentuk lewat legitimasi-legitimasi verbal. Kharisma tidak lahir lewat pidato-pidato retoris
atau sekadar pekik merdeka. Kharisma hanya akan lahir dan bertahan lewat kemampuan
seorang pemimpin menyelaraskan keunggulan dirinya dengan problema masyarakat. Tanpa
itu, kharisma tak lebih dari sekadar citra belaka.

2. ANALISIS KEPEMIMPINAN KHARISMATIK

Pemimpin karismatik pada umumnya menampilkan ciri-ciri diantaranya seorang yang


mempunyai visi yang begitu kuat atau kesadaran tujuan yang jelas, ia mampu
mengkomunikasikan visi itu secara efektif serta mendemonstrasikan konsistensi dan fokus.
Pemimpin yang bersifat karismatik pun mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan
memanfaatkannya.

Gaya kepemimpinan yang karismatik secara sekilas nampak seperti gaya


kepemimpinan transformasional yang mampu memberikan suatu semangat dan antusiasme
kepada seluruh anggota timnya untuk dapat bergerak dan mencapai tujuan yang diinginkan
oleh pemimpin. Akan tetapi pemimpin yang bersifat karismatik cenderung lebih percaya
pada dirinya sendiri daripada anggota tim.

Dari artikel diatas dapat diambil kesimpulan bahawa di Indonesia, Soekarno


merupakan salah satu contoh pemimpin karismatik yang sulit ditemui lagi di masa sekarang.
Hal ini ditunjukan dengan sifat egaliter yang dimiliki oleh Soekarno misalnya tidak segan-
segan terjun langsung menemui rakyatnya demi untuk mendapat gambaran yang lebih jelas
mengenai nasib mereka di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Egalitarianisme Bung
Karno juga tecermin dari sikap penolakannya terhadap berbagai bentuk elitisme dan
feodalisme Budaya Jawa. Dalam pertemuan tahunan Jong Java Februari 1921, Bung Karno
secara tegas menolak segala bentuk pemisahan kelas yang tercermin dalam Bahasa ngoko dan
kromo.

Sementara itu, faktor institusi sebagai determinan munculnya kharisma Bung Karno,
muncul saat dia menjadi ketua PNI, ketua PPPKI, dan Presiden Indonesia. Dalam jabatannya
sebagai ketua PNI dan PPPKI, kharisma Bung Karno hadir lewat seruan-seruannya
menyatukan tiga golongan besar yang ada di Indonesia (Islam, Nasionalis, Marxis).

Kemampuan Soekarno menggerakkan, mempengaruhi dan berdiplomasi telah


menyatukan berbagai suku, agama, golongan menjadi satu kesatuan yang bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Didalam praktiknya, kepemimpinan kharismatik memiliki
kelebihan dan kekurangan

Kelebihan Tipe Kepemimpinan Karismatik

Berbagai kelebihan dari gaya kepemimpinan karismatik diantaranya mereka dapat


mengkomunikasikan visi dan misi secara jelas, mampu membangkitkan semangat
bawahan untuk bekerja lebih giat serta mampu mendapatkan pengikut dengan masa yang
besar karena sifatnya yang berkarisma sehingga bisa dipercaya, Para pemimpin yang
bersifat karismatik menyadari kelebihannya dengan baik sehingga bisa memanfaatkannya
semaksimal mungkin serta mampu menarik orang, mereka terpesona dengan cara
berbicaranya yang membangkitkan semangat. Biasanya, para pemimpin yang karismatik
sangat disegani dan mempunyai wibawa yang tinggi, selalu mempunyai ide-ide atau
pemikiran-pemikiran yang baik dan tidak jarang bermusyawarah dengan bawahannya

Kelemahan Tipe Kepemimpinan Karismatik

Memang benar peribahasa yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak.
Disamping berbagai kelebihan yang luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin yang bersifat
karismatik, ternyata disertai juga berbagai kelemahan-kelemahan dari tipe kepemimpinan
ini. Diantaranya, para pemimpin karismatik mudah mengambil keputusan yang berisiko
serta memiliki khayalan bahwa apa yang dilakukan pasti benar karena pengikutnya sudah
terlanjur percaya. Oleh karena adanya ketergantungan yang tinggi terhadap pemimpin
tersebut sehingga regenerasi untuk pemimpin yang berkompeten cenderung sulit.

Walaupun tipe pemimpin ini mampu menarik orang untuk datang kepada mereka,
namun setelah beberapa lama, orang-orang yang datang ini akan kecewa karena ketidak
konsistenan yang pemimpin itu lakukan dan apa yang diucapkan ternyata tidak dilakukan.
Ketika diminta pertanggungjawabannya, si pemimpin akan memberikan alasan,
permintaan maaf dan janji. Para pengikut cenderung bersifat fanatisme. Struktur
organisasinya tidak jelas atau kabur dan dalam pengambilan keputusan, bawahan selalu
didesak agar menerima keputusan tersebut sebagai keputusan bersama

Kelemahan kepemimpinan karismatik tersebut dapat dilihat dari artikel tersebut yaitu
karisma yang dimiliki oleh bung Karno tampak memudar setelah pemberontakan G 30-S
1965, hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

Pertama, Bung Karno gagal menyelesaikan persoalan utama masyarakatnya. Dia


terlalu asik dengan slogan-slogan revolusionernya sampai-sampai melupakan lonjakan
harga bahan-bahan pokok di pasaran.

Kedua, citra positif yang dibangun Bung Karno rusak oleh pemberitaan negatif
pers. Masyarakat dalam waktu yang singkat dan massif hanya disuguhkan informasi
sepihak: kegagalan Bung Karno.

3. PENERAPAN KEPEMIMPINAN KHARISMATIK

Anda mungkin juga menyukai