Tugas Uas Kepemimpinan
Tugas Uas Kepemimpinan
MODERN IN LEADERSHIP
Kelompok :
Sulit rasanya dipungkiri bahwa sampai sekarang belum ada pemimpin Indonesia yang
kharisma kepemimpinannya menyamai Bung Karno. Kharisma Bung Karno masih
disejajarkan dengan pemimpin-pemimpin kaliber dunia macam Fidel Castro, Nelson
Mandela, JF. Kennedy, Mao Tse Tung, Gamal Abdul Naseer, dan Jawaharlal Nehru.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu bagi kita memahami definisi kharisma dalam
konteks ilmu sosial. Max Weber, sosiolog terkemuka Jerman mendefinisikan kharisma
sebagai kekuatan yang mampu membuat seseorang unggul sekaligus berbeda dari orang biasa
pada umumnya.
Acap kali, kata Weber, kekuatan ini diidentikan dengan hal-hal yang bersifat
supernatural dan ketuhanan. Kharisma dianggap bersumber dari Tuhan dan atas dasar itu
individu bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin, tulis Max dalam The Theory of
Sosial and Economic Organization.
Dari sisi genealogis, kharisma kepemimpinan Bung Karno tercermin lewat tampilan
fisik yang dimilikinya. Jules Archer dalam Kisah Para Diktator: Biografi Politik Para
Penguasa Fasis, Komunis, Despotis dan Tiran mengakui keunggulan fisik Bung Karno.
Menurutnya fisik Bung Karno melebihi rata-rata orang Indonesia pada masanya.
Bung Karno, kata Archer, memiliki postur tubuh tinggi tegap, wajah tampan, senyum
simpatik, dan sorot mata yang tajam. Tampilan ini, kata Archer, memberi kesan segan dan
berwibawa pada orang-orang yang baru pertama kali bertemu dengan Bung Karno.
Sedangkan bagi rakyat, keunggulan ini juga memberikan rasa bangga; bahwa orang bumi
putera, secara fisik, tidak selamanya kalah dari orang-orang Eropa, tulis Archer.
Dalam konsep Weber, kharisma yang bersadar pada garis keturunan dan genealogis
biasanya tidak bertahan lama. Kharisma keturunan dan genealogis akan segera hilang ketika
individu yang bersangkutan gagal mengartikulasikan keyakinan masyarakat terhadap dirinya
lewat tindakan-tindakan kongkrit.
Seolah menyadari konsep Weber, Bung Karno tidak hanya mengandalkan garis
keturunan dalam memimpin. Dia berupaya menunjang kharisma dasar yang dimilikinya lewat
berbagai cara. Salah satunya dengan mempelajari banyak buku. Dari berbagai buku yang
dibaca, Bung Karno bisa dengan mudah tanpa terbata-bata memadupandakan gagasannya
dengan pemikiran tokoh dunia dalam pidatonya.
Tak cuma lewat pemikiran, Bung Karno juga berupaya meningkatkan kharisma
keturunan dan genealogisnya lewat praktik hidup sehari-hari. Ini tercermin lewat sikap-sikap
egaliter yang dimiliki Bung Karno. Dia misalnya tidak segan-segan terjun langsung menemui
rakyatnya demi untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai nasib mereka di bawah
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Egalitarianisme Bung Karno juga tecermin dari sikap penolakannya terhadap berbagai
bentuk elitisme dan feodalisme Budaya Jawa. Dalam pertemuan tahunan Jong Java Februari
1921, Bung Karno secara tegas menolak segala bentuk pemisahan kelas yang tercermin
dalam Bahasa ngoko dan kromo.
Sementara itu, faktor institusi sebagai determinan munculnya kharisma Bung Karno,
muncul saat dia menjadi ketua PNI, ketua PPPKI, dan Presiden Indonesia. Dalam jabatannya
sebagai ketua PNI dan PPPKI, kharisma Bung Karno hadir lewat seruan-seruannya
menyatukan tiga golongan besar yang ada di Indonesia (Islam, Nasionalis, Marxis). Seruan-
seruan agar ketiga aliran itu tidak membesar-besarkan perbedaan membuat kepemimpinan
Bung Karno relatif diterima golongan.
Saat menjabat sebagai presiden kharisma kepemimpinan Bung Karno ditunjang
melalui hal-hal yang bersifat simbolik. Bung Karno misalnya dikenal gemar menggunakan
gelar-gelar kepangkatan yang diberikan kepadanya: mulai dari pemimpin besar revolusi,
paduka yang mulia, mandataris MPRS, hingga Pemimpin Tertinggi ABRI.
Gelar-gelar itu diperkuat Bung Karno lewat cara berpakaian. Di akhir masa
kepresidenannya Bung Karno kerap terlihat menggunakan seragam militer lengkap dengan
berbagai gelar kepangkatan. Cara ini konon dia lakukan untuk menjaga loyalitas ABRI
terhadap dirinya.
Kembali ke Weber. Menurut Weber otoritas kharismatik dapat lenyap, jika bukti
pemimpin gagal menyelaraskan kualifikasi kharismatiknya dengan persoalan zaman dalam
jangka waktu yang panjang. Dalam konteks ini kharisma kepemimpinan Bung Karno tampak
memudar pasca pemberontakan G-30-S 1965. Ada dua faktor penting yang menjadi penyebab
memudarnya kharisma kepemimpinan Bung Karno.
Kedua, citra positif yang dibangun Bung Karno rusak oleh pemberitaan negatif pers.
Masyarakat dalam waktu yang singkat dan massif hanya disuguhkan informasi sepihak:
kegagalan Bung Karno.
Dari Bung Karno hendaknya kita belajar bahwa kharisma kepemimpinan tidak bisa
dibentuk lewat legitimasi-legitimasi verbal. Kharisma tidak lahir lewat pidato-pidato retoris
atau sekadar pekik merdeka. Kharisma hanya akan lahir dan bertahan lewat kemampuan
seorang pemimpin menyelaraskan keunggulan dirinya dengan problema masyarakat. Tanpa
itu, kharisma tak lebih dari sekadar citra belaka.
Sementara itu, faktor institusi sebagai determinan munculnya kharisma Bung Karno,
muncul saat dia menjadi ketua PNI, ketua PPPKI, dan Presiden Indonesia. Dalam jabatannya
sebagai ketua PNI dan PPPKI, kharisma Bung Karno hadir lewat seruan-seruannya
menyatukan tiga golongan besar yang ada di Indonesia (Islam, Nasionalis, Marxis).
Memang benar peribahasa yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak.
Disamping berbagai kelebihan yang luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin yang bersifat
karismatik, ternyata disertai juga berbagai kelemahan-kelemahan dari tipe kepemimpinan
ini. Diantaranya, para pemimpin karismatik mudah mengambil keputusan yang berisiko
serta memiliki khayalan bahwa apa yang dilakukan pasti benar karena pengikutnya sudah
terlanjur percaya. Oleh karena adanya ketergantungan yang tinggi terhadap pemimpin
tersebut sehingga regenerasi untuk pemimpin yang berkompeten cenderung sulit.
Walaupun tipe pemimpin ini mampu menarik orang untuk datang kepada mereka,
namun setelah beberapa lama, orang-orang yang datang ini akan kecewa karena ketidak
konsistenan yang pemimpin itu lakukan dan apa yang diucapkan ternyata tidak dilakukan.
Ketika diminta pertanggungjawabannya, si pemimpin akan memberikan alasan,
permintaan maaf dan janji. Para pengikut cenderung bersifat fanatisme. Struktur
organisasinya tidak jelas atau kabur dan dalam pengambilan keputusan, bawahan selalu
didesak agar menerima keputusan tersebut sebagai keputusan bersama
Kelemahan kepemimpinan karismatik tersebut dapat dilihat dari artikel tersebut yaitu
karisma yang dimiliki oleh bung Karno tampak memudar setelah pemberontakan G 30-S
1965, hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Kedua, citra positif yang dibangun Bung Karno rusak oleh pemberitaan negatif
pers. Masyarakat dalam waktu yang singkat dan massif hanya disuguhkan informasi
sepihak: kegagalan Bung Karno.