Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di

negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam

tifoid. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Salmonella typhi. Demam tifoid (thypoid fever atau tifus abdominalis) banyak

ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di

pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan yang

kurang, hygiene pribadi serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung

untuk hidup (Saraswati, 2012).

Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau

minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan feses,

muntahan maupun cairan badan. Salmonella typhi dapat menyebar melalui

tangan penderita, lalat dan serangga lain. Infeksi dapat terjadi secara langsung

maupun tidak secara langsung dengan kuman Salmonella thypi. Kontak

langsung berarti ada kontak antara orang sehat dan bahan muntahan penderita

demam tifoid. Kontak tidak langsung dapat melalui air misalnya air minum

yang tidak dimasak, air es yang dibuat dari air yang terkontaminasi, atau

dilayani oleh orang yang membawa kuman, baik penderita aktif maupun

carrier (Musnelina, 2004).

Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang

terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Data World Health


Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta

kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian

tiap tahun. Kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis di

Negara berkembang, yaitu 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga

insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat

inap di rumah sakit. Kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi di

Indonesia dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun

dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000

dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia

dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. Insidens tertinggi demam tifoid

terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada

kelompok umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis yang

ringan (Riyatno, 2011).

Komplikasi yang sering dari demam tifoid adalah perforasi usus,

miokarditis dan manifestasi sistem saraf pusat. Perdarahan usus dan perforasi

usus terjadi masing-masing pada 1-10% dan 0,5-3% penderita. Komplikasi ini

dan kebanyakan komplikasi lain biasanya terjadi sesudah 1 minggu penyakit.

Perdarahan biasanya mendahului perforasi, ditampakkan oleh penurunan suhu

dan tekanan darah serta kenaikan frekuensi nadi. Perforasi biasanya sebesar

ujung jarum tetapi dapat sebesar beberapa sentimeter, khas yang terjadi pada

ileum distal dan disertai dengan penambahan nyeri perut yang mencolok,

sakit, muntah dan tanda-tanda peritonitis (Berhman dkk, 2000).


Perforasi intestinal merupakan komplikasi serius dari demam tifoid dengan

25% kematian. Di seluruh dunia, angka kejadian perforasi sekitar 0,6%

sampai 4,9% dari kasus demam tifoid. Resiko perforasi akan semakin

meningkat jika progresi penyakit tidak dihentikan dengan dosis antimikroba

yang efektif. Penurunan angka kematian akan berhasil jika meningkatkam

pengetahuan mengenai patogenesis dan perkembangan penyakit mengenai

terapi suportif dan operasi (Ukwenya, 2011).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian

mengenai hubungan demam tifoid dengan perforasi usus di RS Undata Palu

tahun 2013.

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahuinya hubungan demam tifoid dengan perforasi usus di RS

Undata Palu tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan demam tifoid dengan perforasi usus di RS

Undata Palu tahun 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita demam tifoid

berdasarkan umur dan jenis kelamin

2. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata penderita demam tifoid


3. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita demam tifoid

berdasarkan keadaan sewaktu pulang

4. Untuk mengetahui perbedaan proporsi umur berdasarkan

komplikasi

5. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi

6. Untuk mengetahui perbedaan proporsi komplikasi berdasarkan

keadaan sewaktu pulang

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Sebagai bahan informasi bagi Rumah Sakit Undata Palu dalam rangka

meningkatkan fasilitas serta upaya pelayanan terhadap penderita

demam tifoid.

1.4.2 Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan

penelitian lebih lanjut mengenai demam tifoid.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan teori

2.1.1 Defenisi Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid dijumpai secara luas di

berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan

subtropis (Riyatno, 2011)

Gejalanya adalah demam lebih dari satu minggu, gangguan pada

saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini termasuk penyakit

menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan masih merupakan

masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang

berkembang (Musnelina, 2004).

2.1.2 Etiologi

Demam tifoid merupakan penyakit sistemik berat khas yang

disebabkan oleh Salmonella typhi, ditemukan terutama di negara

berkembang, tetapi Salmonella ini dapat ditemukan dimana-mana karena

perjalanan internasional (Berhman dkk, 2000).

Salmonella adalah genus yang termasuk famili Enterobakteriasiae dan

berisi tiga spesies : S.typhi, S.choleraesuis dan S.enteriditis. Dua spesies

pertama masing-masing mempunyai satu serotipe, tetapi S.enteriditis berisi

lebih dari 1800 serotipe yang berbeda. Salmonella merupakan organisme


yang motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang gram-negatif.

Kebanyakan strain meragi glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan

asam dan gas, tetapi mereka tidak meragi laktosa atau sukrosa. S.typhi tidak

menghasilkan gas. Organisme salmonella tumbuh secara aerobik dan mampu

tumbuh secara anaerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap banyak agen

fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 1300F (54,40C) selama 1

jam atau 1400F (600C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat hidup pada suhu

sekeliling atau suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan

hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen

farmakeutika dan bahan tinja (Berhman dkk, 2000).

Seperti anggota lain Enterobakteriaseae, Salmonella memiliki antigen

somatik O dan antigen flegella H. Antigen O adalah komponen

lipopolosakarida dinding sel stabil panas; antigen H adalah protein labil panas

yang dapat muncul pada fase 1 atau 2. Skema Kauffman-White biasa

digunakan untuk mengklasifikasi serotip salmonellae yang didasarkan pada

antigen O dan H. Penglongan serotipe penting secara klinis karena serotipe

tertentu cenderung untuk disertai dengan sindrom klinis spesifik dan karena

deteksi serotipe ysng tidak biasa kadang-kadang secara epidemiologi berguna.

Antgen lain adalah polisakarida kapsul virulen (Vi) ada pada S.thyphi dan

jarang ditemukan pada strain S. Parathyphi C (S.hirschfeldii) (Berhman dkk,

2000).
2.1.3 Patogenesis

Invasi aliran darah oleh S.typhi atau kadang-kadang oleh serotip lain

diperlukan untuk menghasilkan sindrom demam enterik. Ukuran inokulum

yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit pada relawan adalah 105-109

organisme S.typhi. Perkiraan ini mungkin lebih tinggi dari pada infeksi yang

didapat secara alamiah karena relawan menelan organisme dalam susu:

asiditas lambung merupakan penentu penting kerentanan terhadap salmonella.

Sesudah perlekatan terhadap mikrovilli tepi bersekat ileum, bakteri masuk

epitel usus, tampaknya melalui lempeng Peyer. Organisme diangkut ke

folikel limfa usus, dimana multiplikasi terjadi dalam sel mononuklear.

Monosit tidak mampu menghancurkan basili pada awal proses penyakit,

membawa organisme ini dalam limfonodi mesenterika. Organisme kemudian

mencapai aluran darah melalui duktus torasikus, menyebabkan bakterimi

sementara. Organisme yang sedang bersirkulasi mencapai sel

retikuloendotelial (RES) dalam hati, limfa dan sum-sum tulang serta dapat

menumbuhi organ-organ lain. Sesudah proliferasi dalam sistem

retikuloendotelial, bakterimi kumat. Vesika felea terutama rentan terinfeksi

dari aliran darah atau melalui sistem biliaris. Multiplikasi lokal dalam dinding

kandung empedu menghasilkan sejumlah besar salmonella, yang selanjutnya

mencapai usus melalui empedu (Berhman dkk, 2000).

Sebagian dari kuman dikeluarkan melalui tinja dan dapat

menularkan ke lingkungannya, melalui makanan dan minuman. Kasus yang

selalu muncul mengekskresi Salmonella Typhi mungkin disebabkan karena


kuman bercokol di kandung empedu, sehingga tak dapat dibasmi perlu

dilakukan cystectomi kandung empedu (Kosasih, 2008).

2.1.4 Masa inkubasi

Masa inkubasi demam tifoid 10-14 hari. Bila kuman menyerbu organ-

organ lain dapat terjadi komplikasi (Kosasih, 2008).

2.1.5 Manifestasi klinik

Demam tifoid memiliki gejala klinis yang tidak khas dan bervariasi

dari ringan sampai dengan berat. Keluhan dan gejala pasien pada minggu

pertama menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam,

nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare dan konstipasi. Suhu tubuh

meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada

sore dan malam. Pada pasien demam tifoid dapat ditemukan bibir kering, dan

pecah-pecah (rhagaden), permukaan lidah kotor, berwarna putih dan

kekuningan dengan pinggir yang hiperemis disertai gangguan pada saluran

pencernaan berupa diare dan konstipasi (Saraswati,2012).

Perkembangan penyakit menjadi lebih berat (10-15% pasien)

tergantung dari faktor penderita (imunosupresi, terapi antasida, paparan dan

vaksinasi), strain virulensi, inokulum dan terapi antibiotik. Perdarahan

intestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%) paling banyak muncul

pada minggu ke 3 dan ke 4 dan disebabkan oleh hiperplasia, ulserasi, dan


nekrosis ileocecal lempeng Peyer yang dimulai dari infiltrasi Salmonella

(Kasper, 2010).

2.1.6 Epidemiologi demam tifoid

Epidemiologi penyakit demam tifoid berdasarkan penelitian WHO

tahun 2003 diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (WHO,

2004). Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2007 departemen kesehatan

Republik Indonesia, memperlihatkan bahwa 10 penyakit terbanyak pada

pasien rawat inap di Rumah Sakit tahun 2006 bahwa demam tifoid menurut

kode Daftar Tabulasi Dasar (DTD)2 dan kode International Classification of

Diseases (ICD)A1 adalah 72.804 dengan persentase 3,26% (Saraswati,2012).

2.1.7 Sumber penularan

Sumber infeksi nyata adalah makanan dan minuman yang

terkontaminasi oleh salmonella. Berikut adalah sumber-sumber infeksi yang

penting :

1. Air : Kontaminasi dengan feses sering menimbulkan epidemik yang luas.

2. Susu dan produk susu lainnya (es krim, keju, puding) : Kontaminasi

dengan feses dan pasteurisasi yang tidak adekuat atau penanganan yang

salah. Beberapa wabah dapat ditelusuri sampai kumannya.

3. Kerang : Dari air yang terkontaminasi.


4. Telur beku atau dikeringkan : Dari unggas yang terinfeksi atau

terkontaminasi saat pemrosesan

5. Daging dan produk daging : Dari hewan yang terinfeksi (Hewan

ternak) atau kontaminasi oleh feses melalui hewan pengerat atau

manusia.

6. Obat rekreasi : Mariyuana dan obat lainnya.

7. Pewarnaan hewan : Pewarnaan (misal, carmine) digunakan untuk obat,

makanan dan kosmetik.

8. Hewan peliharaan : Kura-kura, anjing, kucing dll

(Brooks, 2007).

Karena manusia merupakan satu-satunya resorvoir alamiah S.typhi,

kontak langsung atau tidak langsung dengan orang yang terinfeksi (pengidap

sakit atau kronis) diperlukan untuk infeksi. Penelanan makanan atau air yang

terkontaminasi dengan tinja manusia merupakan cara penularan yang paling

sering. Infeksi yang disebarkan air karena sanitasi jelek dan penyebaran

fekal-oral karena ditemukan higiene personal jelek, terutama di negara yang

sedang berkembang. Kerang dan binatang kerang-kerangan lain yang hidup di

air yang terkontaminasi oleh sampah merupakan sumber infeksi yang

tersebar. Penyebaran demam enterik kongenital dapat terjadi melalui infeksi

transplasenta dari ibu bakterimia pada janinnya. Penyebaran intrapartum juga

mungkin, yang terjadi dengan jalan fekal-oral dari ibu pengidap (Berhman

dkk, 2000).
2.1.8 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

2.1.8.1 Komplikasi Intestinal

a. Perdarahan Usus

Pada plak Peyer usus yang terinfeksi (terutama ileum

terminalis) dapat terbentuk tukak/ luka berbentuk lonjong dan

memanjang terhadap sumbu usus. Bila tukak menembus lumen

usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan

minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat

dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis

perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan

sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam batas

normal (Sudoyo dkk, 2009).

b. Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.

Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada

minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi

mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan

bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi

lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai

syok. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi

adalah umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam,


modalitas pengobatan, beratnya penyakit dan mobilitas penderita

(Sudoyo dkk, 2009).

2.1.8.2 Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi hematologi : trombositopenia, hipofibrino -

genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial

thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products

sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat

ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.

b. Komplikasi hepar dan pankreas : hepatitis tifosa dan pankreatitis

tifosa

c. Komplikasi kardiovaskular : miokarditis, terjadi pada 1-5%

penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi

dapat terjadi pada 10-15% penderita

d. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, sindrom otak akut,

mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik,

mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis dll (Sudoyo

dkk, 2009).

2.1.9 Pencegahan

Kebersihan makanan dan minuman sangat penting untuk mencegah

demam tifoid. Merebus air minum sampai mendidih dan memasak makanan

sampai matang juga sangat membantu. Selain itu juga perlu dilakukan

sanitasi lingkungan termasuk membuang sampah di tempatnya dengan baik

dan pelaksananan program imunisasi (Widoyono, 2005).


Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi

tifoid, yaitu 1. Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi baik pada kasus

demam tifoid maupun kasus karier tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung

dari pasien terinfeksi S. Typhi akut maupun karier, 3. Proteksi pada orang

yang berisiko terinfeksi.

1. Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi pada pasien tifoid,

asimtomatik, karier, dan akut. Tindakan identifikasi atau penyaringan

pengidap kuman S. Typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya cukup

besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional. Cara

pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun

pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau

swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti

pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga,

restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya (Sudoyo dkk, 2009).

2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. Typhi akut

maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di

rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap

kuman S. Typhi (Sudoyo dkk, 2009).

3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid

di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung

daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat hubungan perorangan dan


jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan

imunokompromais maupun golongan rentan (Sudoyo dkk, 2009).

2.2 Kerangka Teori HIGIENE PRIBADI

INFEKSI SANITASI
SALMONELLA LINGKUNGAN
TYPHI

DEMAM TIFOID

MODALITAS PENGOBATAN,
KONTAMINASI BERATNYA PENYAKIT, LAMA
MAKANAN DEMAM, MOBILITAS
PENDERITA

PERFORASI USUS FAKTOR PEMBERAT


PENYAKIT
2.3 Kerangka Konsep

DEMAM TIFOID PERFORASI USUS

keterangan :

variabel bebas

variabel terikat
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian observasional analitik.

Penelitian analitik adalah penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan

mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Rancangan penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian cross sectional.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di RS Undata Palu. Pemilihan lokasi ini atas

dasar pertimbangan bahwa di RS Undata Palu tersedia data penderita demam

tifoid yang mengalami komplikasi perforasi usus.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan mulai November 2014 sampai Februari 2015

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Demam

Tifoid pada bulan Januari-Desember tahun 2013 yang tercatat dalam rekam

medis RS Undata Palu yaitu 381 orang.


3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan

objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel di

dapatkan berdasarkan rumus Slovin yaitu:

N
n=
1+ N e2

Keterangan
n : Besar sampel
N : Besar populasi
e : Tingkat kesalahan (peneliti menggunakan e = 0,1 atau 10%)
Besar populasi penderita demam tifoid adalah 381 orang, jadi sampel

minimal yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.

N
n=
1+ N e2

381
=
1+ 381. 0.12

381
=
1+ 381. 0,01

381
=
1+ 3,81
381
=
4,81
= 79,21
= 79
Berdasarkan rumus diatas didapatkan sampel minimal 79 orang.

a. Kriteria Inklusi

i. Penderita perforasi usus yang tercatat dalam rekam medis

ii. Usia terbagi 2 yaitu > 20 tahun dan 20 tahun, karena peneliti ingin

menilai proporsi kejadian demam tifoid berdasarkan umur.

iii. Bertempat tinggal tetap di wilayah kerja Rumah Sakit Undata Palu

saat penelitian.

b. Kriteria Ekslusi

i. Pindah tempat saat dilaksanakan penelitian

ii. Tidak bersedia untuk mengikuti penelitian

iii. Alamat tidak jelas atau dua kali didatangi tidak ditempat

3.4 Variabel penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian

tertentu

3.4.1 Variabel Bebas


Variabel bebas pada penelitian ini adalah demam tifoid

3.4.2 Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian perforasi usus

pada penderita demam tifoid di wilayah kerja Rumah Sakit Undata Palu.

3.5 Defenisi operasional

a. Penderita demam tifoid adalah pasien yang dinyatakan menderita demam

tifoid berdasarkan diagnosa dokter RS Undata Palu yang tercatat dalam

buku status

b. Umur adalah usia penderita demam tifoid sesuai dengan yang tertulis

pada kartu status. Untuk analisis statistik, kategori umur yang digunakan

adalah :

1. > 20 tahun

2. 20 tahun

c. Jenis kelamin adalah ciri khas tertentu yang dimiliki penderita demam

tifoid sesuai dengan yang tercatat dalam kartu status, dikategorikan atas :

1. Laki-laki

2. Perempuan

d. Status komplikasi ada tidaknya penyulit yang timbul pada penderita

demam tifoid sesuai dengan yang tertulis di kartu status yang

dikategorikan menjadi :

1. Ada komplikasi

2. Tidak ada komplikasi


e. Jenis komplikasi adalah adanya penyakit lain yang bersifat memperberat

penyakit demam tifoid, sesuai dengan yang tercatat pada kartu status.

Dalam penelitian ini komplikasi di khususkan pada perforasi usus.

f. Lama rawatan rata-rata adalah rata-rata lamanya penderita menjalani

perawatan di rumah sakit,di hitung sejak tanggal mulai dirawat sampai

dengan tanggal keluar seperti tercatat di kartu status.

g. Keadaan sewaktu pulang adalah keadaan penderita demam tifoid sesuai

dengan yang tercatat di kartu status yang dikategorikan menjadi :

3. Sembuh klinis

4. Pulang berobat jalan (PBJ)

5. Pulang atas permintaan sendiri (PAPS)

6. Meninggal dunia (MD)

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah perangkat atau alat yang digunakan untuk

pengumpulan data. Adapun instrumen yang digunakan adalah meliputi:

3.6.1 Rekam Medik dariRumah Sakit

Rekam medik di Rumah Sakit Undata Palu berupa buku pasien

untuk mengumpulkan data tentang identitas, alamat dan diagnosis

pasien demam tifoid dengan komplikasi perforasi usus.


3.7 Metode Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan memakai data sekunder yang diperoleh

dari rekam medik penderita demam tifoid komplikasi perforasi usus yang di

rawat inap di RS Undata Palu tahun 2013 yang kemudian dilakukan penatatan

sesuai dengan variabel yang diperlukan.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menganalisis secara

univariat dan bivariat.

3.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat yang dilakukan terhadap variabel hasil penelitian

pada umumnya dalam analisis hanya menggunakan distribusi dan presentase

dari tiap variabel.

3.8.2 Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square (x2)

dengan menggunakan = 0,05 dan Confidence Interval (CI) sebesar 95%

estimasi besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel

untuk proporsi tunggal. Dalam penelitian ini, uji statistik yang digunakan

adalah Chi-Square karena untuk mengetahui hubungan variabel kategorik

dengan kategorik.

Aturan pengambilan keputusan:

1. Jika p value (0,05) maka Ho diterima

2. Jika p value< (0,05) maka Ho ditolak


Syarat Uji Chi Square adalah tidak ada sel yang nilai observed nol dan sel

yang expected (E) kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel. Jika tidak

memenuhi syarat maka uji alternatifnya adalah Uji Fisher


DAFTAR PUSTAKA

Berhman dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 2. EGC : Jakarta.

Brooks dkk. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit EGC : Jakarta.

Kokasih dkk. 2008. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik. KARISMA

Publishing Group : Tangerang.

Musnelina, Lili. 2004. Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid

Anak Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta tahun 2001 2002. Diambil dari

Jurnal MAKARA, KESEHATAN, VOL. 8, NO. 1, JUNI 2004: 27-31, diakses

tanggal 22 Desember 2014.

Riyatno, Ine. 2011. Cost-effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak

Menggunakan Sefotaksim dan Kloramfenikol di RSUD. Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto. Diambil dari Jurnal Mandala of Health. Volume 5,

Nomor 2, Mei 2011, diakses tanggal 22 Desember 2014.

Saraswati, Nia. 2012. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat Inap

di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010. Diambil dari

Jurnal SyifaMEDIKA, Vol. 3 (No.1), September 2012, diakses tanggal 22

Desember 2014.
Sudoyo, Aru.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. EGC : Jakarta.

Ukweya, A. 2011. Progress in Management of Typhoid Perforation. From Annals

of African Medicine Vol. 10, No. 4; 2011, access 22 Desember 2014.

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan,Pencegahan dan

Pemberantasan. Penerbit EMS, Erlangga : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai