Anda di halaman 1dari 6

Budaya Lampung

Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat
nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi.

Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak
membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung
yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami
Lampung secara kultural.
Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis,
dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampung miskin telaah, riset, dan
studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau
setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung.

Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung.
Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung
kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu,
dan Banten.
Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung.
Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat
orang Lampung terpecah-pecah.

Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat
Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi,
Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh
wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai,
Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan).
Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan
Wiralaga.
Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku
Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan
wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu,
Gedungtataan, dan Pugung.
Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu
lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah
adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu,
Baradatu, Bahuga, dan Kasui.

Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan,
Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering- Kayuagung, yang sekarang
termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat:
Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung,
Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka
berada di pinggir pantai barat dan selatan.
Peta Bahasa-Budaya

Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera
Selatan yang sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi Banten ada wilayah
Cikoneng yang beretnis Lampung dan bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya
perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut
diri Lampung Bengkulu.
Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan memadai untuk membicarakan, termasuk
memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya Lampung. Untuk bisa melihat Lampung
secara utuh dalam pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan adalah peta bahasa-
budaya Lampung. Sebenarnya, tidak perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta dimaksud
sudah ada.

Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan,
keberaksaraan, adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu merasa rendah diri
mengatakan tidak ada kebudayaan Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak lagi kebudayaan Lampung itu yang mana.
Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan atau setidaknya membonsai bahasa-
budaya Lampung. Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal dan sering luput dari
perbincangan di tingkat nasional; katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak,
Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain tidak lain tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan
yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja
ilmiah.

Kesenian Melinting

Kesenian Melinting merupakan salah satu bentuk seni yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
Melinting, Lampung Timur. Awalnya kesenian ini secara khusus diperuntukkan bagi keluarga Ratu
Melinting dengan hanya
dipertunjukkan di lingkungan keratuan, dimana para pelakunya pun terbatas pada keturunan raja saja.
Namun berbagai perubahan dialami sehingga kemudian menjadi milik masyarakat secara luas.
Tulisan ini secara khusus mengangkat bentuk penyajian kesenian Melinting serta keberadaan kesenian
ini di dalam masyarakatnya. Keratuan Melinting masih berdiri hingga saat ini dengan wilayah
kekuasaan meliputi tujuh desa, yaitu Meringai, Tanjung Aji, Tebing, Wana, Nibung, Pempen, dan
Negeri Agung. Masyarakat dari desa-desa inilah yang kemudian dikenal dengan masyarakat
Melinting. Mereka hidup dalam sebuah sistem budaya atau adat istiadat, dan memiliki konsep-konsep
hidup yang khas. Sebut saja Piil, Sakai Sambayan, Nemui Nyimah, Nengah Nyepur, dan Bejuluk
Beadek/Beinai, lima prinsip hidup yang hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat dan
tergambar dalam kesenian Melinting.Kesenian Melinting terdiri dari dua elemen utama, yaitu musik
dan tari, serta didukung oleh sejumlah elemen lain sehingga menghasilkan sebuah bentuk seni
pertunjukan. Ansambel musik dalam kesenian Melinting adalah gamelan Talo Bala dengan
instrumennya yang terdiri dari kelittang, talo, gindang/gelittang, bende, dan canang/petuk. Gamelan
Talo Bala dalam kesenian Melinting hanya memainkan tabuh Kedanggung. Untuk elemen tari, ragam
gerak dalam kesenian Melinting dibedakan antara penari putra dan penari putri.Keberadaan kesenian
Melinting terkait erat dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyaraka .
Kekuasaan pemerintah yang menggeser kekuasaan mutlak Keratuan Melinting turut berperan dalam
pergeseran kesenian Melinting dari kesenian khusus keratuan menjadi kesenian milik masyarakat.
Dinamika lain terjadi dalam kehidupan sektor pariwisata, perkembangan dunia pendidikan, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta migrasi penduduk. Dari hal tersebut tampak bahwa
kesenianMelinting beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat . Faktor
lain yang mendukung keberadaan kesenian Melinting adalah sifatnya yang komunal, fleksibel, dan
edukatif. Kesenian Melinting juga memberikan berbagai kontribusi kepada masyarakat berupa fungsi,
yaitu sebaga hiburan, identitas masyarakat, media komunika , penopang integrasi sosial, penjaga
kesinambungan budaya, dan penyelenggaraan kesesuaian dengan norma-norma sosial. Kesenian
Melinting juga merupakan sebuah perwujudan konsep masyarakat ideal yang menanamkan sikap
sopan santun, ramah-tamah, saling menghormati, gotong royong, dan kebersamaan.Kata kunci:
Masyarakat Melinting, prinsip hidup, dinamika, adaptasi.

Tarian Jangget(Lampung)

Cangget sebagai tarian khas orang Lampung Pepadun, jika dicermati, tidak hanya mengandung nilai
estetika (keindahan), sebagaimana yang tercermin dalam gerakan-gerakan tubuh para penarinya. Akan
tetapi, juga nilai kerukunan dan kesyukuran.Nilai kerukunan tercermin dalam fungsi tari tersebut yang
diantaranya adalah sebagai ajang berkumpul dan berkenalan baik bagi orang tua, kaum muda, laki-
laki maupun perempuan. Dengan berkumpul dan saling berkenalan antar warga dalam suatu kampung
atau desa untuk merayakan suatu upacara adat, maka akan terjalin silaturahim antar sesama dan
akhirnya akan menciptakan suatu kerukunan di dalam kampung atau desa tersebut.
Lampung adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, Indonesia, Ibukotanya
terletak di Bandar Lampung. Provinsi ini memilki 2 Kota dan 13 Kabupaten. Kota yang dimaksud
adalah Kota Bandar Lampung dan Kota Metro. Disebelah utara berbatasan
dengan Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Provinsi Lampung memiliki Pelabuhan utama bernama Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan
Bakauheni serta pelabuhan nelayan seperti Pasar Ikan (Telukbetung), Tarahan, dan Kalianda di
Teluk Lampung. Bandar Udara utama adalah "Radin Inten II", yaitu nama baru dari "Branti", 28
Km dari Ibukota melalui jalan negara menuju Kotabumi, dan tiga Bandar Udara perintis
yaitu : Bandar Udara Pekon Serai di Krui, Pesisir Barat, Bandar Udara Gatot Soebroto
diKabupaten Way Kanan dan Lapangan terbang AURI terdapat di Menggala yang bernama
Astra Ksetra.
Secara Geografis Provinsi Lampung terletak pada kedudukan : Timur - Barat berada antara :
103 40' - 105 50' Bujur Timur Utara - Selatan berada antara : 6 45' - 3 45' Lintang
SelatanSedangkan di Teluk Semaka adalah Kota Agung (Kabupaten Tanggamus), dan di Laut
Jawa terdapat pula pelabuhan nelayan seperti Labuhan Maringgai dan Ketapang. Di samping itu,
Kota Menggala juga dapat dikunjungi kapal-kapal nelayan dengan menyusuri sungai Way Tulang
Bawang, adapun di Samudra Indonesia terdapat Pelabuhan Krui.
Suku Lampung

Etnis Lampung yang biasa disebut (Ulun Lampung, Orang Lampung) secara
tradisional geografis adalah suku yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian
provinsi Sumatera Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura,
Muaradua di Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Komering Ilir, Merpas di sebelah
selatan Bengkulu serta Cikoneng di pantai barat Banten.

Asal Usul
Asal-usul ulun Lampung (orang Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri. Pada
abad ke VII orang di negeri Cina sudah membicarakan suatu wilayah didaerah Selatan
(Namphang) dimana terdapat kerajaan yang disebut Tolang Pohwang, To berarti orang dan
Lang Pohwang adalah Lampung. nama Tolang, Pohwang berarti orang Lampung atau utusan
dari Lampung yang datang dari negeri Cina sampai abad ke 7.Terdapat bukti kuat bahwa
Lampung merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Jambi dan menguasai
sebagian wilayah Asia Tenggara termasuk Lampung dan berjaya hingga abad ke-11.
Dalam kronik Tai-ping-huan-yu-chi dari abad kelima Masehi, disebutkan nama-nama negeri di
kawasan Nan-hai (Laut Selatan), antara lain dua buah negeri yang disebutkan berurutan: To-
lang dan Po-hwang. Negeri To-lang hanya disebut satu kali, tetapi negeri Po-hwang cukup
banyak disebut, sebab negeri ini mengirimkan utusan ke negeri Cina tahun 442, 449, 451, 459,
464 dan 466. Prof. Gabriel Ferrand, pada tulisannya dalam majalah ilmiah Journal Asiatique,
Paris, 1918, hal. 477, berpendapat bahwa kedua nama itu mungkin hanya satu nama: To-lang-
po-hwang, lalu negeri itu dilokasikan Ferrand di daerah Tulangbawang, Lampung.
Prof. Purbatjaraka, dalam bukunya Riwajat Indonesia I,Jajasan Pembangunan, Djakarta, 1952,
hal. 25, menyetujui kemungkinan adanya kerajaan Tulangbawang, meskipun diingatkannya
bahwa anggapan itu semata-mata karena menyatukan dua toponimi dalam kronik Cina.

Adat istiadat
Masyarakat adat Lampung Saibatin
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung,
Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way
Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir
Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Provinsi Sumatera
Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat
Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di
sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:

Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)


Bandar Enom Semaka (Tanggamus)
Bandar Lima Way Lima (Pesawaran)
Melinting Tiyuh Pitu (Lampung Timur)
Marga Lima Way Handak (Lampung Selatan)
Pitu Kepuhyangan Komering (Provinsi Sumatera Selatan)
Telu Marga Ranau (Provinsi Sumatera Selatan)
Enom Belas Marga Krui (Pesisir Barat)
Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten)
Masyarakat adat Lampung Pepadun
Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:
Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai,
Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur,
Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan).
Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala,Mesuji, Panaragan,
dan Wiralaga.
Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau
Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami
delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang
Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
WayKanan Buway Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima
keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Way Kanan mendiami wilayah adat: Negeri
Besar, Pakuan Ratu, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
Sungkay Bunga Mayang (Semenguk, Harrayap, Liwa, Selembasi, Indor Gajah, Perja,
Debintang)Masyarakat Sungkay Bunga Mayang menempati wilayah adat: Sungkay, Bunga
Mayang, Ketapang dan Negara Ratu.

Bahasa Lampung

Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Provinsi
Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten.
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan dengan ini
masih dekat berkerabat dengan bahasa Melayu , dan sebagainya.
Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, dialek A (api) yang
dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung,
Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang beradat Lampung
Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun). Kedua,
subdialek O (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung
Pepadun).
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek, yaitu Dialek Belalau
atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.
Aksara Lampung
Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki
hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku
kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda
fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda
dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda
mempunyai nama tersendiri.
Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had
Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan
Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus
konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah
KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.
Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan.
Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan
sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung yang diajarkan di sekolah sekarang
adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai