Anda di halaman 1dari 63

PERSENTASE ORGAN DALAM BROILER YANG DIBERI

RANSUM CRUMBLE BERPEREKAT ONGGOK, BENTONIT


DAN TAPIOKA

SKRIPSI

MIA NUR WIDIANINGSIH

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN

MIA NUR WIDIANINGSIH. D24101035. 2008. Persentase Organ Dalam Broiler


yang Diberi Ransum Crumble Berperekat Onggok, Bentonit dan Tapioka. Skripsi.
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Lidy Herawati, MS.


Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Margi Suci, MS.

Crumble merupakan bentuk ransum yang umum digunakan sebagai ransum


ayam broiler. Kelemahan ransum bentuk crumble yaitu mudah mengalami kerusakan
pada saat pengangkutan dan penyimpanan karena strukturnya yang kurang kuat dan
kompak sehingga mudah hancur. Penggunaan bahan perekat pada saat pengolahan pakan
diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik ransum ayam broiler sehingga dapat
meningkatkan konsumsi ransum dan memperbaiki performa ayam broiler serta tidak
memberikan pengaruh yang buruk terhadap organ dalam ayam broiler.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan perekat
(onggok, bentonit, tapioka) dengan taraf yang sama dalam pembuatan ransum bentuk
crumble terhadap persentase organ dalam ayam broiler.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 ekor DOC (Day Old
Chick) broiler strain Cobb yang dipelihara selama lima minggu. Ransum yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain ransum basal dengan penambahan bahan
perekat (onggok, bentonit dan tapioka) sebanyak 2% dengan kandungan protein kasar
ransum sebesar 23% dan energi metabolis 3100 kkal/kg, sebagai pembanding digunakan
ransum komersial.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang terdiri dari tiga perlakuan dan lima ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan
sidik ragam (ANOVA) dan dibandingkan secara deskriptif dengan ransum komersial
sebagai pembanding, jika sidik ragam berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak
Duncan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah bobot badan akhir setelah
dipuasakan, persentase bobot hati, jantung, limpa, rempela, usus halus (duodenum,
jejenum dan ileum) dan panjang relatif usus halus serta seka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase bobot ileum pada ransum
dengan perekat tapioka nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang
ditambahkan perekat onggok dan bentonit. Panjang relatif jejenum sangat nyata (P<0,01)
lebih tinggi pada ransum berperekat onggok dibandingkan dengan ransum perlakuan
berperekat bentonit dan tapioka. Penambahan perekat pada ransum broiler tidak
memberikan pengaruh terhadap bobot badan akhir, persentase bobot hati, jantung, limpa
dan rempela. Persentase bobot dan panjang relatif usus halus serta seka broiler yang
diberi ransum perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial, sedangkan
bobot badan akhir pada ketiga ransum perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan
ransum komersial. Rataan bobot badan akhir setelah dipuasakan, persentase bobot hati,
jantung, limpa dan rempela adalah 1111-1532 gram/ekor, 2,34-2,52%, 0,57-0,63%, 0,11-
0,13% dan 1,52-2,11%. Rataan persentase bobot doudenum, jejenum dan ileum adalah
0,25-0,36%, 0,23-0,35% dan 0,20-0,31%. Rataan panjang relatif doudenum, jejenum,
ileum dan seka adalah 1,94-2,91%, 4,02-7,23%, 4,21-7,30% dan 1,02-1,51%.

Kata-kata Kunci : broiler, bahan perekat, crumble, organ dalam


ABSTRACT

Percentage of Broilers Viscera Fed with Crumbles Ration that Contained


Onggok, Bentonite and Tapioca as Binder

M. N. Widianingsih, L. Herawati, D. M. Suci

The experiment was conducted to study the effect of the addition of


difference pellet binder in ration on the viscera of broiler to the description
compared with commercial ration. Two hundred day old chicks (DOC) of broiler was
used in this experiment. The broilers were kept in pen with litter for five weeks. At
the end of the experiment, 40 broilers were slaughtered to measure the variables
observed. Completely Randomized Design was used in this experiment. The
treatments were: the basal ration added 2% onggok as binder agent, the basal ration
added 2% bentonite as binder agent and the basal ration added 2% tapioca as binder
agent. The ration content 23% crude protein and 3100 kcal/kg metabolizable energy.
Commercial ration used as comparison. The data were analyzed use Analysis of
Variance (ANOVA) and significant differences tested with Duncan Multiple Range
Test. The result showed that the ileum on the basal ration added 2% tapioca
significant (P<0.05) higher than the basal ration added 2% onggok and bentonite.
The length of jejenum on the basal ration added 2% onggok was significant
differences (P<0.01) higher than the basal ration added 2% bentonite and tapioca.
The average of final body weight, percentage of heart, liver, limph and gizzard in this
experiment were 1111-1532 gram/hen, 2.34-2.52%, 0.57-0.63%, 0.11-0.13% and
1.52-2.11%. The average of percentage weight doudenum, jejenum and ileum were
0.25-0.36%, 0.23-0.35% and 0.20-0.31%. The average of length doudenum, jejenum,
ileum and caeca were 1.94-2.91%, 4.02-7.23%, 4.21-7.30% and 1.02-1.51%.

Keywords : binder, broilers, crumble, viscera


PERSENTASE ORGAN DALAM BROILER YANG DIBERI
RANSUM CRUMBLE BERPEREKAT ONGGOK, BENTONIT
DAN TAPIOKA

MIA NUR WIDIANINGSIH


D24101035

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERSENTASE ORGAN DALAM BROILER YANG DIBERI
RANSUM CRUMBLE BERPEREKAT ONGGOK, BENTONIT
DAN TAPIOKA

Oleh
MIA NUR WIDIANINGSIH
D24101035

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan


Komisi Ujian Lisan pada tanggal 21 Mei 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Lidy Herawati, MS. Ir. Dwi Margi Suci, MS.


NIP. 131 671 600 NIP. 131 671 592

Dekan Fakultas Peternakan


Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr.


NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1982 di Garut Jawa Barat. Penulis
adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Maman dan Ibu Nani
Suminarsih.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN Cibatu V, pendidikan
lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1998 di SLTPN I Cibatu dan
pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMUN I Cibatu.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2001.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi robbil aalamiin, puji syukur ke hadirat Alloh SWT yang


telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya, penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Persentase Organ Dalam Broiler yang
Diberi Ransum Crumble Berperekat Onggok, Bentonit dan Tapioka. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Ketersediaan ransum yang baik dari segi kuantitas dan kualitas memegang
peranan yang sangat penting dalam menentukan produktivitas ternak. Bentuk fisik
dan palatabilitas ransum yang baik dapat meningkatkan konsumsi ransum sehingga
dapat memperbaiki performa ayam broiler. Ransum ayam broiler pada umumnya
diberikan dalam bentuk crumble. Kelemahan ransum bentuk crumble yaitu mudah
mengalami kerusakan pada saat pengangkutan dan penyimpanan karena strukturnya
yang kurang kuat dan kompak sehingga mudah hancur. Penggunaan bahan perekat
pada saat pengolahan pakan dapat meningkatkan sifat fisik ransum ayam broiler
sehingga dapat meningkatkan konsumsi ransum dan memperbaiki performa ayam
broiler serta tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap organ dalam ayam
broiler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan
perekat (onggok, bentonit, tapioka) dengan taraf yang sama dalam ransum bentuk
crumble terhadap persentase organ dalam ayam broiler.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................ ii
ABSTRACT............................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
DAFTAR ISI.............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. x
PENDAHULUAN...................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................. 1
Perumusan Masalah........................................................................... 2
Tujuan ............................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
Ayam Broiler..................................................................................... 3
Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler ......................... 4
Hati ......................................................................................... 4
Jantung.................................................................................... 5
Limpa...................................................................................... 5
Rempela (Ventrikulus/Gizzard)................................................ 6
Usus Halus .............................................................................. 7
Seka (Usus Buntu)................................................................... 9
Ransum Ayam Broiler ....................................................................... 9
Feed Additive .................................................................................... 12
Bahan Perekat.................................................................................... 13
Onggok ................................................................................... 14
Tapioka ................................................................................... 15
Bentonit................................................................................... 15
METODE................................................................................................... 18
Lokasi dan Waktu.............................................................................. 18
Materi................................................................................................ 18
Ternak ..................................................................................... 18
Ransum ................................................................................... 18
Kandang dan Peralatan ............................................................ 20
Vaksin dan Obat-obatan .......................................................... 21
Rancangan......................................................................................... 21
Perlakuan ................................................................................ 21
Model...................................................................................... 21
Peubah yang Diamati............................................................... 22
Prosedur ............................................................................................ 22
Pembuatan Ransum ................................................................. 22
Persiapan Kandang .................................................................. 23
Pemeliharaan Ayam Broiler..................................................... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 25
Ransum Penelitian ............................................................................. 25
Rataan Bobot Badan Akhir Setelah Dipuasakan................................. 29
Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35 Hari . 31
Hati ......................................................................................... 32
Jantung.................................................................................... 32
Limpa...................................................................................... 33
Rataan Persentase Bobot Organ Pencernaan Ayam Broiler Umur 35
Hari ................................................................................................... 34
Rempela .................................................................................. 34
Usus Halus ............................................................................. 35
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 39
Kesimpulan ....................................................................................... 39
Saran ................................................................................................. 39
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 41
LAMPIRAN............................................................................................... 47
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman

1. Persentase Bobot Hati Ayam Broiler .................................................. 5


2. Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler ............................................. 5
3. Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler ............................................... 6
4. Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler ........................................... 7
5. Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler .......................................... 8
6. Panjang Relatif Seka Ayam Broiler .................................................... 9
7. Persyaratan Mutu Standar Ransum Ayam Broiler Starter ................... 11
8. Komposisi Ransum Penelitian ............................................................ 19
9. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian ............................................... 20
10. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian Berdasarkan Analisis
Proksimat (as fed).............................................................................. 25
11. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari Setelah
Dipuasakan........................................................................................ 29
12. Rataan Persentase Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35 Hari............ 33
13. Rataan Persentase Organ Pencernaan Ayam Broiler Umur 35 Hari .... 34
14. Rataan Panjang Relatif Usus Halus dan Seka Ayam Broiler Umur 35
Hari ................................................................................................... 37
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman

1. Usus Halus Ayam Broiler .................................................................. 8


2. Perekat Onggok ................................................................................. 14
3. Perekat Tapioka ................................................................................. 15
4. Perekat Bentonit ................................................................................ 16
5. Kandang Ayam Broiler ...................................................................... 20
6. Ransum Penelitian ............................................................................. 26
7. Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler ......................... 32
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Label Ransum Komersil .......................................................................... 49


2. Rataan Konversi Ransum, Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi
Ransum Ayam Broiler selama 5 Minggu Pemeliharaan............................ 50
3. Uji Sifat Fisik Ransum Penelitian ............................................................ 50
4. Sidik Ragam Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari ................ 50
5. Sidik Ragam Persentase Bobot Hati Ayam Broiler Umur 35 Hari ............ 50
6. Sidik Ragam Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler Umur 35 Hari....... 50
7. Sidik Ragam Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler Umur 35 Hari......... 51
8. Sidik Ragam Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler Umur 35 Hari ..... 51
9. Sidik Ragam Persentase Bobot Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari.. 51
10. Sidik Ragam Persentase Bobot Jejenum Ayam Broiler Umur 35 Hari ...... 51
11. Sidik Ragam Persentase Bobot Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari.......... 51
12. Sidik Ragam Panjang Relatif Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari..... 52
13. Sidik Ragam Panjang Relatif Jejenum Ayam Broiler Umur 35 Hari......... 52
14. Sidik Ragam Panjang Relatif Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari............. 52
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ketersediaan ransum yang baik dari segi kuantitas dan kualitas memegang
peranan penting dalam menentukan produktivitas ternak dan merupakan faktor yang
dapat menentukan efisiensi pemeliharaan ayam broiler. Keberhasilan budidaya
peternakan secara intensif salah satunya ditentukan oleh penyediaan ransum yang
berkualitas tinggi ditinjau dari segi nutrisi maupun bentuk fisik. Bentuk fisik dapat
mempengaruhi palatabilitas ransum sehingga dapat meningkatkan konsumsi ransum
dan memperbaiki performa ayam broiler.
Crumble merupakan salah satu bentuk ransum yang umum digunakan sebagai
ransum ayam broiler. Kelemahan ransum bentuk ini yaitu mudah mengalami
kerusakan pada saat pengangkutan dan penyimpanan karena strukturnya yang kurang
kuat dan kompak sehingga mudah hancur. Struktur pellet yang kuat, kompak, dan
kokoh akan menghasilkan bentuk crumble yang lebih baik. Untuk membentuk pellet
yang kuat, diperlukan bahan perekat pada saat pengolahan pakan sehingga crumble
yang dihasilkan akan lebih baik (tidak mudah hancur).
Perekat merupakan suatu bahan yang berfungsi untuk mengikat komponen-
komponen pakan bentuk pellet sehingga strukturnya tetap dan kompak serta crumble
yang dihasilkan akan lebih baik. Bahan perekat yang dapat digunakan dalam proses
pengolahan pakan antara lain adalah bahan perekat bentonit dan bahan perekat
berbahan baku singkong (onggok,tapioka dan gaplek) yang merupakan bahan perekat
alami serta bahan perekat sintesis seperti lignosulfonat dan CMC (carboxy methil
cellulosa).
Bahan perekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah onggok, tapioka
dan bentonit. Bahan perekat onggok dan tapioka mengandung pati sehingga
meningkatkan daya rekat, sedangkan bentonit merupakan sejenis lempung yang
mengandung montmorillonite dengan daya serap yang tinggi.
Penambahan bahan perekat pada proses pengolahan ransum bentuk crumble
dapat membantu meningkatkan sifat fisik ransum dengan harapan tidak memberikan
pengaruh yang buruk terhadap kualitas nutrisi ransum. Sifat fisik ransum yang baik
diharapkan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan ransum sehingga dapat
menghasilkan nilai konversi yang rendah dan meningkatkan produktivitas ternak
tanpa menimbulkan kelainan pada organ dalam ayam broiler. Gambaran nilai
efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat dari bobot badan akhir yang diperoleh.
Ransum yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi kerja organ dalam
dan saluran pencernaan ayam. Sistem organ pencernaan berkembang sesuai dengan
ransum yang diberikan. Kelainan pada organ dalam biasanya ditandai dengan adanya
perubahan organ dalam secara fisik seperti perubahan warna dan ukuran. Setiap
organ dalam pada ternak mempunyai fungsi yang saling berhubungan, berdasarkan
hal tersebut perlu dilakukan pengamatan terhadap persentase bobot organ dalam
ayam broiler yang diberi ransum crumble berperekat onggok, bentonit dan tapioka.

Perumusan Masalah
Sifat fisik ransum dapat menentukan kualitas suatu ransum. Kualitas ransum
yang baik dapat meningkatkan performa ayam broiler. Ransum bentuk crumble lebih
efisien digunakan sebagai ransum ayam broiler. Bahan baku penyusun ransum dan
penggunaan bahan perekat dalam proses pengolahan ransum dapat mempengaruhi
bentuk crumble yang dihasilkan. Penggunaan bahan perekat onggok, tapioka dan
bentonit dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan sifat fisik
crumble karena bahan perekat tersebut memiliki daya rekat yang cukup tinggi
sehingga crumble yang dihasilkan tidak mudah hancur. Sifat fisik crumble yang baik
diharapkan dapat meningkatkan palatabilitas ransum sehingga dapat memperbaiki
performa ayam broiler serta tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap organ
dalam ayam broiler.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan
perekat onggok, bentonit dan tapioka sebanyak 2% dalam ransum bentuk crumble
terhadap persentase organ dalam ayam broiler dan dibandingkan dengan pemberian
ransum komersial.
TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Broiler
Broiler merupakan hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik
ekonomi dan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum
rendah, siap dipotong pada usia relatif muda dan menghasilkan kualitas daging
berserat lunak (North dan Bell, 1990). Budidaya ayam broiler telah dikembangkan
sejak lama sehingga kemajuan penampilan ayam broiler pada saat ini semakin baik
(Amrullah, 2003). Menurut Didinkaem (2006), ayam broiler mampu membentuk 1
kg daging atau lebih hanya dalam waktu 30 hari dan bisa mencapai 1,5 kg dalam
waktu 40 hari. Biasanya ayam broiler dipanen setelah umurnya mencapai 45 hari
dengan bobot badan berkisar 1,5-2,5 kg.
Pertumbuhan broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik,
nutrisi ransum, kontrol penyakit, kandang dan manajemen produksi (Pond et al.,
1995). Menurut Ditjenak (2007) ayam broiler dapat tumbuh cepat dan bisa dipotong
dalam waktu 35 hari atau lebih karena broiler merupakan hasil seleksi bibit unggul.
Menurut standar pemeliharaan PT. Sierad Produce (2007), pertambahan bobot badan
ayam broiler strain Cobb selama 35 hari yaitu sekitar 2000 gram/ekor sedangkan
berdasarkan hasil penelitian Salari et al. (2006), pertambahan bobot badan ayam
broiler strain Cobb yang diberi ransum bentuk pellet selama 35 hari adalah 1612,87
gram/ekor, sedangkan yang diberi ransum bentuk mash pertambahan bobot badannya
mencapai 1344,25 gram/ekor.
Poultry Indonesia (2003) menyebutkan bahwa saat ini ada beberapa strain
ayam pedaging yang banyak terdapat di pasar Indonesia diantaranya Cobb, Hubbard,
New Lohmann, Ross dan Hybro. Strain Cobb merupakan bibit broiler yang paling
populer saat ini di dunia, strain ini adalah produk hasil riset dalam jangka waktu
yang cukup lama dengan menggunakan teknologi modern yang telah dikembangkan
lebih dari 15 tahun.
Mulyantono (2003) mengungkapkan keunggulan dan kelemahan yang
dimiliki oleh strain Cobb. Keunggulan yang dimiliki oleh strain Cobb adalah daya
hidup mencapai 98%, bobot badan (38 hari) mencapai 1,7 kg, konversi pakan
mencapai 1,8, manajemen pemeliharaan relatif mudah, kualitas sepanjang tahun
relatif stabil dan manajemen transfortasi DOC bagus.
Kelemahan strain Cobb adalah jumlah produksi masih terbatas, pertambahan
bobot badan sampai umur empat minggu cenderung lambat, sedangkan keunggulan
strain Cobb menurut Cobb-Vantress (2007) antara lain tingkat pertumbuhan yang
cukup tinggi, kualitas daging yang baik, nilai konversi pakan yang rendah dan dapat
meminimalkan biaya produksi, sehingga meningkatkan pendapatan peternak.
Keunggulan ini tidak hanya berlaku di wilayah beriklim sedang tetapi juga di
wilayah iklim tropis.

Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam Broiler


Alat pencernaan ayam broiler terdiri dari mulut, kerongkongan (esophagus),
tembolok (crop), proventrikulus, rempela (ventrikulus), usus kecil (small intestine),
usus buntu (seca), usus besar (large intestine), kloaka dan anus (vent). Performa
saluran pencernaan dipengaruhi oleh kesehatan usus, lingkungan, sekresi endogenous
dan aditif (Gauthier, 2002).

Hati
Hati memiliki peranan penting dan fungsi yang komplek dalam proses
metabolisme tubuh. Menurut Ressang (1984), hati berperan dalam metabolisme
karbohidrat, lemak, protein, zat besi, sekresi empedu, fungsi detoksifikasi,
pembentukan sel darah merah serta metabolisme dan penyimpanan vitamin. Hati
merupakan jaringan berwarna merah kecoklatan yang terdiri dari dua lobus besar,
terletak pada lengkungan duodenum dan rempela (Jull, 1979). Persentase hati
bekisar antara 1,7-2,8% dari bobot badan (Putnam, 1991). Nickle et al. (1977)
menyatakan bahwa ukuran, konsistensi dan warna hati tergantung pada bangsa, umur
dan status individu ternak. Hati yang normal berwarna coklat kemerahan atau coklat
terang dan apabila keracunan warna hati akan berubah menjadi kuning (McLelland,
1990), selain itu menurut (Ressang, 1984), kelainan pada hati ditandai dengan
adanya perubahan warna hati, pembesaran dan pengecilan pada salah satu lobi serta
tidak ditemukannya kantong empedu. Gejala-gejala klinis pada jaringan hati tidak
selalu teramati karena kemampuan regenerasi jaringan hati yang sangat tinggi.
Persentase bobot hati ayam broiler beberapa strain umur 35 hari hasil penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase Bobot Hati Ayam Broiler
Strain Umur (hari) Hati (%) Sumber
- - 2,64-3,3 Putnam (1991)
- 35 2,22-2,32 Dewi (2007)
Ross 35 2,26-2,57 Deyusma (2004)
Cobb 35 2,54-2,87 Suprayitno (2006)
Cobb 35 1,75-2,21 Puspitasari (2006)

Jantung
Ressang (1984) menyatakan bahwa jantung berfungsi sebagai pemompa
darah dalam sistem transportasi atau sirkulasi tubuh. Ukuran jantung dipengaruhi
oleh jenis, umur, besar dan aktivitas hewan. Menurut Putnam (1991) persentase
jantung ayam broiler sekitar 0,42-0,70% dari bobot hidup dan persentase jantung
berdasarkan beberapa hasil penelitian dengan strain dan umur yang sama dapat
dilihat pada Tabel 2.

Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung sangat rentan terhadap racun dan
zat antinutrisi, pembesaran jantung dapat terjadi karena adanya akumulasi racun pada
otot jantung. Ressang (1984), menyebutkan bahwa pembesaran ukuran jantung
biasanya disebabkan oleh adanya penambahan jaringan otot jantung. Dinding jantung
mengalami penebalan sedangkan ventrikel relatif menyempit apabila otot
menyesuaikan diri pada kontraksi yang berlebihan.

Tabel 2. Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler


Strain Umur (hari) Jantung (%) Sumber
- - 0,42-0,70 Putnam (1991)
- 35 0,50-0,57 Dewi (2007)
Cobb 35 0,34-0,46 Puspitasari (2006)
Cobb 35 0,58-0,66 Suprayitno (2006)

Limpa

Persentase bobot limpa ayam broiler hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel
3. Limpa merupakan organ yang berwarna merah gelap terletak di sebelah kanan
abdomen yang merupakan penghubung antara proventrikulus dan rempela
(Mclelland, 1990).

Tabel 3. Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler


Strain Umur (hari) Limpa (%) Sumber
- - 0,18-0,23 Putnam (1991)
- 35 0,11-0,14 Kuraesin (2005)
Cobb 35 0,13-0,17 Suprayitno (2006)

Menurut Dellman dan Brown (1989), limpa berfungsi sebagai penyaring


darah dan menyimpan zat besi untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis
hemoglobin, sedangkan menurut Ressang (1984), selain menyimpan darah, limpa
bersama hati dan sumsum tulang berperan dalam penghancuran eritrosit-eritrosit tua
dan ikut serta dalam metabolisme sel limfosit yang berhubungan dengan
pembentukan antibodi. Putnam (1991) menyatakan bahwa persentase limpa broiler
berkisar antara 0,18-0,23% dari bobot hidup.

Rempela (Ventrikulus/Gizzard)
Nort dan Bell (1990) menyatakan bahwa rempela disebut juga perut otot yang
terletak antara proventrikulus dan usus halus bagian atas yang mempunyai peranan
penting dalam sistem pencernaan unggas. Rempela mempunyai dua pasang otot yang
kuat dan mengandung lendir yang tebal. Bagian dalam rempela terdapat lapisan
berwarna kuning yang sangat keras dan kuat serta dapat dilepaskan. Otot rempela
akan berkontraksi bila ada makanan yang masuk ke dalamnya. Data hasil penelitian
persentase bobot rempela ayam broiler dengan starin dan umur yang berbeda dapat
dilihat pada Tabel 4.
Rempela berfungsi untuk menggiling dan menghancurkan makanan menjadi
partikel-partikel yang lebih kecil dan biasanya dibantu oleh grit (Neisheim et
al.,1979). Grit yang ada dalam rempela berfungsi untuk mengoptimalkan pencernaan
karena dapat meningkatkan motilitas makanan, aktivitas menggiling makanan dan
meningkatkan kecernaan pakan (Sturkie, 1976).
Putnam (1991) menyatakan bahwa bobot rempela berkisar antara 1,6-2,3%
dari bobot hidup.
Tabel 4. Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler
Strain Umur (hari) Rempela (%) Sumber
- - 1,6-2,3 Putnam (1991)
Cobb 35 1,99-2,71 Puspitasari (2006)
Cobb 35 2,52-2,97 Suprayitno (2006)
Hubbard 42 1,99-2,52 Syukron (2006)

Ukuran rempela mudah berubah tergantung pada jenis makanan yang biasa
dimakan oleh unggas tersebut (Amrullah, 2003). Prilyana (1984) menyatakan bahwa
berat rempela dipengaruhi oleh kadar serat kasar ransum, semakin tinggi kadar serat
kasar ransum, maka aktifitas rempela juga semakin tinggi, sehingga beratnya juga
semakin besar.

Usus Halus
Data hasil penelitian panjang relatif usus halus ayam broiler dengan strain
dan umur yang berbeda disajikan pada Tabel 5. Usus halus pada ternak merupakan
organ penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrisi bahan
pakan (Gillespie, 2004). Usus halus terdiri dari tiga bagian yang tidak terpisah secara
jelas yaitu duodenum, jejenum dan ileum (Amrullah, 2003). Duodenum merupakan
bagian pertama dari usus halus yang letaknya sangat dekat dengan dinding tubuh dan
terikat pada mesentri yang pendek yaitu mesoduodenum. Jejenum dengan mudah
dapat dipisahkan dengan duodenum yang letaknya kira-kira bermula pada posisi
ketika mesentri mulai terlihat memanjang (pada duodenum mesentrinya pendek).
Jejenum dan ileum letaknya bersambungan dan tidak ada batas yang jelas
diantaranya. Bagian terakhir dari usus halus adalah ileum yang bersambungan
dengan usus besar (Frandson, 1992). Bagian-bagian dari usus halus tersebut dapat
dilihat pada gambar 1. Sturkie (1976) menyatakan bahwa bobot duodenum 4,03
gram, jejunum 6,3 gram dan ileum 4,5 gram.
Di dalam usus penyerapan (ileum) terdapat banyak lipatan atau lekukan yang
disebut jonjot-jonjot usus (vili). Vili berfungsi memperluas permukaan penyerapan,
sehingga makanan dapat terserap sempurna (Wikipedia 2007). Struktur vili usus
halus dipengaruhi oleh jenis ransum yang berbeda (Gillespie, 2004).
Sumber : Poultry Indonesia (2003)
Gambar 1. Usus Halus Ayam Broiler

Menurut Ressang (1984), fungsi usus halus dipengaruhi oleh fungsi lambung,
gangguan fungsi hati dan pankreas, sakit, stres dan kesalahan susunan bahan
makanan. Panjang usus halus sekitar 1,5 meter pada ayam dewasa, terdiri dari tiga
bagian yaitu duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus halus bervariasi sesuai
dengan ukuran tubuh, tipe makanan dan faktor lainnya.
Tabel 5. Panjang Relatif Usus Halus Ayam Broiler
Strain Umur (hari) Panjang Usus (cm/100 g) Sumber
Cobb 35 17,13-19,80 Puspitasari (2006)
Cobb 35 20,47-25,27 Suprayitno (2006)
Hubbard 42 14,07-20,10 Syukron (2006)

Amrullah (2003) menyatakan bahwa ukuran panjang, tebal dan bobot saluran
pencernaan unggas bukan besaran yang statis. Perubahan dapat terjadi selama proses
perkembangan karena dipengaruhi oleh jenis ransum yang diberikan. Ransum yang
banyak mengandung serat akan menimbulkan perubahan ukuran saluran pencernaan
sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang dan lebih tebal. Unggas yang diberi
ransum berserat kasar tinggi cenderung memiliki saluran pencernaan yang lebih
besar dan panjang (Sturkie, 1976). Syamsuhaidi (1997), menyatakan bahwa
peningkatan kadar serat kasar dalam ransum cenderung akan memperpanjang usus.
Semakin tinggi serat kasar dalam ransum, maka laju pencernaan dan penyerapan zat
makanan akan semakin lambat. Untuk memaksimalkan penyerapan zat makanan
tersebut, maka daerah penyerapan akan diperluas atau diperpanjang. Anggorodi
(1994), menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan serat kasar dalam suatu bahan
makanan maka semakin rendah daya cerna bahan makanan tersebut.

Seka (Usus Buntu)


Usus besar terdiri atas sekum yang merupakan suatu kantung buntu dan kolon
yang terdiri dari bagian yang naik, mendatar dan turun (Gillespie, 2004). Seka
merupakan saluran pencernaan yang terletak pada persimpangan antara usus halus
dan usus besar yang terdiri dari dua kantung buntu dan berfungsi untuk membantu
penyerapan air serta mencerna karbohidrat dan protein dengan bantuan bakteri yang
ada dalam seka (North dan Bell, 1990; McNab, 1973). Panjang dan bobot sekum
akan meningkat dengan meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum.
Menurut Rose (1997) dalam seka terdapat bakteri yang membantu proses
pendegradasian bahan makanan melalui proses fermentasi yang selanjutnya produk
yang dihasilkan digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan zat makanan.
Schaible (1979), menyatakan bahwa asimilasi dan penyerapan banyak terjadi pada
usus halus tapi beberapa terjadi pada usus besar dan seka. Nickle et al. (1977)
menyatakan bahwa panjang seka unggas normal berkisar antara 12 sampai 25 cm.
Panjang relatif seka ayam broiler hasil penelitian dengan strain dan umur yang
berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Panjang Relatif Seka Ayam Broiler
Strain Umur (hari) Panjang Seka (cm/100 g) Sumber
Cobb 35 1,84-2,34 Suprayitno (2006)
Hubbard 42 2,54-3,20 Syukron (2006)

Ransum Ayam Broiler


Secara umum ransum didefinisikan sebagai campuran dari berbagai bahan
makanan yang diberikan kepada ternak untuk mencukupi kebutuhannya dalam waktu
tertentu (Pond et al., 1995). Ransum yang diberikan kepada ternak ayam broiler
harus mengandung nutrisi yang cukup dan disesuaikan dengan kebutuhannya.
Menurut Wahju (1997) ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup
untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan
mempertahankan suhu tubuh, selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang,
phospor, kalsium dan trace mineral serta vitamin yang sangat penting selama tahap
permulaan hidupnya.
Ransum starter merupakan ransum yang diberikan pada saat ayam broiler
berumur 1-4 minggu (Direktorat Bina Produksi,1997). Persyaratan mutu standar
untuk ayam ras pedaging (broiler starter) menurut SNI No. 01-3930-1995 dapat
dilihat pada Tabel 7.
Pemberian ransum pada ayam broiler hendaknya benar-benar dapat
dikonsumsi atau dimanfaatkan oleh tubuh ternak sehingga penggunaan ransum lebih
efisien. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa bentuk ransum ayam ada tiga
macam yaitu mash, crumble dan pellet. Pemberian ransum dalam bentuk mash
biasanya kurang efisien karena banyak yang tercecer, oleh karena itu pada umumnya
ransum ayam broiler diberikan dalam bentuk crumble atau pellet agar
penggunaannya lebih efisien.
Cara yang umum untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak
adalah mengurangi ukuran partikel bahan tersebut dengan memotong, menggiling
dan memadatkan atau disebut juga pellet (Ensminger et al., 1990). Menurut North
dan Bell (1990), ransum bentuk crumble dibuat dari pellet yang digiling kembali dan
merupakan tipe bentuk pertengahan antara ransum mash dan pellet yang
pemberiannya dimulai dari ayam umur sehari sampai dipasarkan. Ransum dalam
bentuk pellet dan crumble dapat mengurangi ransum yang terbuang/tercecer dan
ayam dapat mengkonsumsi lebih baik dibandingkan ransum bentuk mash (Gillespie,
2004). Butcher dan Nilipour (2007) menambahkan bahwa ransum bentuk crumble
juga dapat meningkatkan konsumsi dan mengurangi jumlah ransum yang terbuang.
Crumble adalah ransum bentuk pellet yang dipecah menjadi bentuk butiran
dengan tujuan untuk memperkecil ukuran agar dapat dikonsumsi oleh ternak. Salah
satu sifat fisik crumble yang digunakan sebagai standar kualitas pada beberapa
pabrik pakan adalah nilai durabilitynya. Durability merupakan salah satu uji yang
digunakan untuk menentukan daya tahan pellet terhadap kikisan. Secara umum
standar nilai durability crumble pada pabrik pakan berkisar minimal 80-90% dan
menurut Doizer (2001), nilai durability ransum broiler berbentuk pellet yang baik
minimal sebesar 80%.
Tabel 7. Persyaratan Mutu Standar Ransum Ayam Broiler Starter
Kandungan Nutrisi Jumlah
Kadar air (maksimum) (%) 14,0
Protein kasar (%) 18,0-23,0
Lemak kasar (%) 2,5-7,0
Serat kasar (maksimum) (%) 5,0
Abu (%) 5,0-8,0
Calsium (%) 0,9-1,2
Fosfor total (%) 0,7-1,0
Aflatoxin (maksimum) (ppb) 50
Lisin (minimum) (%) 1,1
Methionin (minimum) (%) 0,5
Sumber : Direktorat Bina Produksi (1997)

Menurut Behnke dan Beyer (2007) klasifikasi ukuran partikel pakan bentuk
crumble terdiri dari crumble kasar (>4,0 mm), crumble sedang (>1,5 sampai 4,0
mm) dan crumble halus (1,5 mm), pemberian crumble kasar dan sedang tidak
memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan, akan tetapi pemberian
crumble kasar dan sedang berbeda nyata terhadap pertambahan bobot badan bila
dibandingkan dengan crumble halus.
Mesin pembuat pellet yang biasa digunakan pabrik pakan ternak adalah
berupa Pellet Mill dengan pemberian uap/steaming sedangkan mesin pellet yang
sering digunakan pada pabrik skala kecil atau di peternakan yang membuat pakan
sendiri adalah mesin Farm Feed Pelleter tanpa pemberian uap (Fairfield, 1994).
Penelitian Wikantiasi (2001) menggambarkan mesin Farm Feed Pelleter (tanpa
pemberian uap) yang digunakan pada penelitian ini suhunya berkisar 60-70 oC.
Menurut Widyaningrum (2007), PT. Japfa Comfeed memiliki mesin pellet
berupa Pellet Mill dengan merk PALADIN. Proses kerja dalam Pellet Mill yaitu
cleaning/separating, mixing, conditioning, steaming, higroscopis, gelatinization,
rolling dan cutting. Pellet Mill mampu meningkatkan proses gelatinisasi pati dan
menurunkan bakteri patogen akibat adanya proses pemberian uap/steaming
(Fairfield, 1994), selain itu gelatinisasi pati juga dapat memecah ikatan pati menjadi
karbohidrat yang lebih sederhana dan terjadi pemasakan bahan-bahan pada proses
pengolahan sehingga mampu meningkatkan kecernaan dan memperbaiki konversi
ransum (Hauck et al., 1994). Uap panas pada proses conditioning berfungsi sebagai
pelicin untuk menghindari gesekan selama processing serta memanaskan bahan baku
pada proses pelleting sehingga dapat membunuh bakteri dan kuman yang ada. Suhu
pemanasan dalam steaming sebesar 80-85oC (Widyaningrum, 2007), sedangkan
menurut Raharjo (1997) suhu pemanasan pada steam berkisar antara 85-90oC.
Fairfield (1994), menyatakan bahwa kualitas pellet dipengaruhi oleh karakteristik
bahan baku penyusun ransum, semakin tinggi kandungan serat maka kualitas pellet
semakin buruk.

Feed Additive
Feed additive adalah pakan tambahan yang berfungsi untuk mengoptimalkan
produksi unggas. Pakan tambahan sering digunakan dalam ransum sebagai
perangsang pertumbuhan dan performa seperti produksi telur, memperbaiki efisiensi
ransum dan berguna untuk kontrol kesehatan atau metabolisme ternak. Feed additive
yang sering digunakan sebagai perangsang pertumbuhan (growth promotor) adalah
antibiotik (Ensminger, 1990). Pemakaian antibiotik dalam ransum bertujuan untuk
membantu sistem pencernaan dengan cara membunuh mikroorganisme patogen
dalam saluran pencernaan ataupun di tempat sel mukosa usus (Widodo, 2002).
Engberg et al. (2000) dan Gunal et al. (2006) dalam penelitiannya telah
membuktikan bahwa populasi bakteri patogen (gram negatif) lebih rendah pada
saluran pencernaan ayam yang mendapat ransum dengan penambahan antibiotik
dibandingkan ransum kontrol.
Antibiotik dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri patogen sehingga
populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan semakin bertambah.
Soeripto (2002) menyatakan bahwa penggunaan anti bakteri yang berlebihan atau
dalam dosis rendah tetapi diberikan secara terus-menerus dapat menimbulkan residu
pada target sasaran dan yang lebih mengkhawatirkan dapat menimbulkan resistensi
bakteri terhadap antimikroba.
Penggunaan feed additive harus memperhatikan waktu penghentian
penggunaan untuk mengurangi dampak negatif dari feed additive karena timbunan
dalam jumlah besar dapat menimbulkan residu pada organ tubuh tertentu yang dapat
membahayakan kesehatan konsumen. Bahan perekat dapat dinyatakan sebagai feed
additive karena bahan perekat dapat berfungsi untuk meningkatkan seleksi dan
konsumsi pakan, sebagai contoh adalah lignosulfonat, selulosa ester, natrium benzoat
dan kondensasi urea formaldehida (Widodo, 2002).

Bahan Perekat
Kualitas fisik ransum bentuk pellet dapat ditingkatkan dengan cara
menambahkan bahan-bahan perekat (binder). Penambahan bahan perekat dalam
proses pembuatan pellet akan menghasilkan pellet yang lebih kokoh, kompak dan
tidak mudah hancur. Struktur pellet yang baik akan menghasilkan crumble yang baik
pula. Perekat merupakan suatu bahan yang mempunyai fungsi mengikat komponen-
komponen pakan dalam bentuk pellet sehingga strukturnya tetap dan kompak
(Raharjo, 1997). Bahan perekat telah digunakan secara luas dalam pembuatan pellet
pakan ternak, tetapi masih sedikit hasil-hasil penelitian yang melaporkan efektifitas
penggunaan berbagai bahan perekat (Tabil et al., 1997). Bahan-bahan yang termasuk
bahan perekat antara lain bahan-bahan yang mengandung pati. Pati tersusun dari dua
macam karbohidrat yaitu amilosa dan amilopektin dalam kondisi yang berbeda-beda.
Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat
lengket (Wikipedia, 2007).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan perekat adalah
ketersediaan bahan, harga, daya rekat tinggi, mudah dicerna, dapat bersatu dengan
bahan-bahan ransum lainnya dan tidak mengandung racun (Soeprobo, 1986). Bahan
perekat dapat digunakan dengan cara dicampurkan secara langsung dengan bahan
baku pakan lain pada saat masih kering atau dapat dibuat adonan tersendiri dan
dicampurkan terakhir sebelum pencetakan pellet (Wibowo, 1986).
Bahan perekat dapat dikatakan sebagai feed additive karena bahan perekat
dapat berfungsi untuk meningkatkan seleksi dan konsumsi pakan (Widodo, 2002).
Penggunaan bahan perekat akan lebih menguntungkan dalam memperbaiki sifat fisik
apabila dilakukan penguapan (steaming) pada saat pengolahan, karena dapat
menyempurnakan proses gelatinisasi. Gelatinisasi dalam proses pembuatan ransum
berguna untuk merekatkan partikel-partikel bahan penyusun ransum. Perekatan
terjadi pada saat pencetakan dengan mesin pellet dan proses gelatinisasi ini dapat
mengubah bentuk pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan mudah larut
sehingga ransum mudah dicerna (Raharjo, 1997). Masing-masing bahan perekat yang
digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2, 3 dan 4.

Onggok
Onggok merupakan hasil sampingan industri tapioka yang berbentuk padat.
Dalam produksi tapioka, dari setiap ton ubi kayu dihasilkan 250 kg (25%) tapioka
dan 114 kg (11,4%) onggok. Ketersediaan onggok pun terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya produksi tapioka dan semakin luasnya areal penanaman dan
produksi ubi kayu (Supriyati et al., 2005). Komponen penting yang terdapat dalam
onggok adalah pati dan serat kasar. Kandungan tersebut berbeda untuk setiap daerah
asal, jenis dan mutu ubi kayu, teknologi yang digunakan serta penanganan ampas itu
sendiri.
Pada pengolahan ubi kayu untuk mendapatkan onggok digunakan banyak air
untuk membersihkan patinya, selanjutnya ampas yang diperoleh dijemur sampai
kering. Menurut Winarno (1986) bahwa hasil analisis komposisi kimia onggok antara
lain yaitu bahan kering 80,80%, protein kasar 1,57%, BETN 68,0%, serat kasar
10,0%, lemak kasar 0,26% dan abu 0,17%.

Gambar 2. Perekat Onggok

Penelitian Rahmayeni (2002) menunjukkan bahwa penambahan onggok


sebagai perekat dalam ransum dengan taraf 2% sudah dapat digunakan untuk
menghasilkan pellet yang kompak dan tidak mudah hancur, hal ini didukung oleh
Farada (2002) yang melaporkan bahwa penambahan onggok sebagai perekat pada
ransum dengan taraf 2% melalui proses pengolahan pemanasan dengan steam 45
menit dapat digunakan sebagai perekat untuk ransum broiler bentuk crumble.
Tapioka

Tapioka merupakan hasil pengolahan dari ubi kayu yang banyak digunakan
dalam berbagai industri sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat
(Radiyati dan Agusto, 1990). Tapioka adalah pati yang berasal dari hasil ekstraksi
singkong yang telah mengalami pencucian dan pengeringan. Pati tapioka mempunyai
sifat yang menguntungkan dalam pengolahan pangan, kemurnian larutannya tinggi,
kekuatan gel yang baik dan daya rekat tinggi sehingga banyak digunakan sebagai
bahan pengikat ransum (Raharjo, 1997). Menurut Suliantari dan Rahayu (1990),
komposisi pati yang tinggi memungkinkan pati digunakan sebagai sumber
karbohidrat, kadar amilosa tepung tapioka sekitar 23% menjadikan alasan yang kuat
sebagai bahan pengisi dan pengikat karena amilosa berperan besar dalam gelatinisasi.

Prinsip pengolahan tepung tapioka melalui beberapa tahap antara lain: (1)
pemecahan sel dan pengambilan granula pati dari bagian lain yang tidak larut, (2)
pengambilan pati dengan penambahan air, (3) penghilangan air, (4) penepungan agar
mendapatkan tepung yang dikehendaki.

Gambar 3. Perekat Tapioka

Komposisi kimia pati tapioka (per 100 gram bahan) menurut Makfoeld
(1982) adalah energi 307 kalori, kadar air 9,1%, karbohidrat 88,2%, protein 1,1%,
lemak 0,5%, fosfor 125 mg, kalsium 84 mg dan besi 1 mg. Hasil penelitian Dewi
(2001) memperlihatkan bahwa penambahan 4% tepung tapioka dan penyemprotan
5% air panas menghasilkan komposisi pellet yang optimum.

Bentonit
Bentonit adalah mineral alam yang termasuk dalam jenis batuan
montmorilonit. Kelebihan yang dimiliki bentonit adalah daya serap tinggi karena
memiliki struktur bangun yang bertumpuk membentuk lapisan-lapisan yang dapat
mengembang dengan optimal apabila dilakukan aktivasi untuk mengeluarkan air
yang terkandung di dalamnya (Anwar, 1990). Pada keadaan awal bentonit
mempunyai kemampuan adsorpsi yang rendah, tetapi dengan teknik pengolahan
pemanasan akan meningkatkan kemampuan daya adsorpsinya. Aktivasi dengan
pemanasan bertujuan menghilangkan molekul air yang ada pada saluran-saluran
struktur bentonit (Setiadi, 1994).

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (2005),


membagi bentonit menjadi dua berdasarkan tipenya yaitu tipe wyoming (Na-bentonit)
dan tipe Mg (Ca-bentonit). Na-bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan
kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu dalam air.
Na-bentonit dalam keadaan kering berwarna putih atau krem, pada keadaan basah
dan terkena sinar akan berwarna mengkilap.
Perbandingan soda dan kapur tinggi, suspensi kolodial mempunyai pH 8,5-
9,8 dan tidak dapat diaktifkan serta posisi pertukaran diduduki oleh ion-ion sodium
(Na+). Na-bentonit sering dimanfaatkan sebagai bahan perekat karena mampu
membentuk suspensi kental setelah bercampur dengan air. Ca-bentonit mempunyai
sifat kurang mengembang apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi
dalam air, tetapi secara alami atau setelah diaktifkan mempunyai sifat menghisap
yang baik. Perbandingan Na dan Ca rendah, suspensi koloidal mempunyai pH 4-7.
Ca-bentonit dalam keadaan kering berwarna abu-abu, biru, kuning, merah dan
cokelat. Ca-bentonit banyak dipakai sebagai bahan penyerap.
Menurut Pasha et al. (2007), Na-bentonit memiliki kemampuan untuk
mengikat aflatoksin dalam ransum sehingga dapat memperbaiki performa ayam
broiler dan dapat menurunkan mortalitas. Na-bentonit mengandung beberapa
komponen yaitu kadar air 8,0%, kalsium 10,25%, potasium 1,87%, sodium 31,3%,
magnesium 2,209% dan silika 46,4%.

Gambar 4. Perekat Bentonit


Menurut Cheeke (1999), bentonit pada umumnya dapat digunakan sebagai
bahan perekat 2-3% pada ransum dan akan lebih efektif jika digunakan dengan
adanya steam. Wahju (1997) menyatakan bahwa penggunaan bentonit dalam jumlah
2,5% dari ransum berbentuk pellet tidak merugikan, bahkan dapat memperbaiki
pertumbuhan dan efisiensi penggunaan ransum pada anak ayam meskipun bentonit
itu sendiri tidak mempunyai nutrisi.
METODE

Lokasi dan Waktu


Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu proses
pembuatan ransum dilaksanakan di Laboratorium Industri Makanan Ternak,
pemeliharaan ayam broiler dilakukan di salah satu Peternakan Rakyat yang
bertempat di Desa Megamendung Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor dan
pengamatan organ dalam dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Unggas, Fakultas
Peternakan, IPB. Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan Juni sampai bulan
Agustus 2006.
Materi
Ternak
Penelitian ini menggunakan 200 ekor DOC (Day Old Chick) ayam broiler
strain Cobb yang dipelihara selama 35 hari dengan sistem pemeliharaan litter dan
pada akhir penelitian diambil sampel sebanyak 40 ekor untuk pengamatan organ
dalam.

Ransum
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang diberi
bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebanyak 2% dan sebagai pembanding
digunakan ransum komersial. Ransum yang digunakan adalah ransum starter bentuk
crumble. Bahan baku penyusun ransum komersial antara lain jagung, wheat bran
pellet, soya bean meal, katul super, tepung tulang, tepung batu, meat bone meal,
poultry by product meal, chicken feather meal, crude palm oil, alimet, garam, zeolit
dan dicalsium phosphat (DCP) (Sub Dept Gudang Bahan Baku PT. Comfeed
dalam Akbar, 2006), coccidiostat (salinomycin atau monensin) dan growth promotor
virginiamycin atau zinc bacitracin (tercantum pada label). Bahan baku yang
digunakan untuk membuat ransum basal terdiri dari jagung halus, corn glutten meal,
pollard, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan, meat bone meal, crude palm oil,
premiks, CaCO3 dan L-Lysin. Kandungan nutrisi ransum basal yang digunakan
dalam penelitian ini dibuat berdasarkan ketentuan SNI No. 01-3930-1995 dengan
kandungan protein kasar ransum 23% (Direktorat Bina Produksi, 1997). Komposisi
ransum penelitian beserta kandungan nutrisi berdasarkan perhitungan tercantum pada
Tabel 8 dan 9.
Tabel 8. Komposisi Ransum Penelitian
Komposisi Jumlah (%)
Jagung giling 36,00
Corn glutten meal 14,50
Pollard 11,80
Dedak padi 15,00
Bungkil kedelai 9,50
Tepung ikan lokal 4,00
Meat and bone meal 4,00
Crude palm oil 3,50
CaCO3 1,00
Premiks* 0,50
L-Lysin 0,15
Coccidiostat 0,05
Jumlah 100,00
Perekat 2,00
Pewarna egg yellow 0,2
Total 102,20
Keterangan: * Komposisi premiks (10 kg): Vitamin A 12.000.000 IU, vitamin D3 2.000.000 IU,
vitamin E 8.000 IU, vitamin K 2.000 mg, vitamin B1 2.000 mg, vitamin B2 5.000 mg,
vitamin B6 500 mg, vitamin B12 12.000mcg, Ca-d-panthothenate 6.000 mg, niacin
40.000 mg, vitamin C 25.000 mg, choline chloride 10.000 mg, methionin 30.000 mg,
lysin 30.000 mg, manganese 120.000 mg, iron 20.000 mg, iodine 200 mg, zinc
100.000 mg, cobalt 200 mg, copper 4.000 mg, santoquin (antioksidan) 10.000 mg,
zinc bacitracin 21.000 mg.
Tabel 9. Kandungan Nutrisi Ransum Penelitian
Ransum Penelitian + Perekat
Kandungan Nutrisi Komersial**
Onggok* Bentonit* Tapioka*
Bahan kering (%) 84,90 84,95 84,93 88
Protein kasar (%) 23,87 23,82 23,85 21,5
Serat kasar (%) 4,42 4,29 4,29 4
Lemak kasar (%) 4,79 4,78 4,79 4
Kalsium (%) 1,03 1,23 1,03 0,9-1,1
Fosfor total (%) 0,86 0,86 0,86 0,7-0,9
Fosfor tersedia (%) 0,26 0,26 0,26 0,21-0,27
Lisin 1,08 1,08 1,08 -
Methionin 0,49 0,49 0,49 -
Energi metabolis (kkal/kg) 3116,08 3072,46 3132,53 3100
Keterangan : * Nilai perhitungan berdasarkan kandungan zat nutrisi bahan baku pada NRC (1994)
** Tercantum pada label

Kandang dan Peralatan


Kandang yang digunakan adalah kandang sistem litter (beralaskan sekam
padi), yang terdiri dari 20 petak berukuran 1,5 x 1 m dan pada setiap petak diisi 10
ekor ayam (Gambar 5).

Gambar 5. Kandang Ayam Broiler

Setiap petak kandang dilengkapi dengan satu tempat pakan, tempat air minum
dan lampu pijar 75 watt sebagai pemanas (brooder). Brooder digunakan sampai
ayam berumur 14 hari. Peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan ransum
yaitu mesin pencampur (Mixer Horizontal), mesin pellet farm feed pelleter Philco
dan mesin pembentuk crumble Attrition Mill JY 2A RRC PK. Peralatan lain yang
digunakan adalah timbangan kasar dengan kapasitas 5 kg untuk menimbang ayam
dan pakan, selain itu digunakan peralatan prosessing seperti pisau (cutter), pinset,
gunting bedah, timbangan digital/timbangan analitik (empat digit) dan meteran untuk
pengamatan organ dalam ayam broiler.

Vaksin dan Obat-obatan


Vaksinasi untuk mencegah penyakit tetelo atau New Castle Disease (ND)
digunakan vaksin jenis strain La Sota, dilakukan dua kali yaitu pada saat ayam
berumur 3 hari melalui tetes mata dan umur 13 hari melalui air minum. Vitachick
diberikan selama minggu pertama dan vitamin antistress (Vitastress) diberikan dua
hari sebelum dan dua hari sesudah vaksinasi dan penimbangan bobot badan.

Rancangan
Perlakuan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari tiga perlakuan dan lima ulangan, dengan
perlakuan sebagai berikut:

Ransum basal + bahan perekat onggok 2%


Ransum basal + bahan perekat bentonit 2%
Ransum basal + bahan perekat tapioka 2%
Ransum komersial sebagai pembanding (di luar rancangan)

Model
Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut :
= + i +
Keterangan :
= Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai rataan umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i
= Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data organ dalam yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam
(Analysis of Varience/ANOVA) yang sebelumnya ditransformasikan ke dalam arcsin
dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie,
1993). Data dibandingkan secara deskriptif dengan ransum komersial.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bobot Badan Akhir
Bobot badan akhir diperoleh dari penimbangan bobot badan ayam umur 35
hari sebelum dipotong dan setelah dipuasakan selama 12 jam.
2. Persentase Hati
Persentase hati diperoleh dari pembagian antara bobot hati dengan bobot
badan akhir ayam dikalikan 100%.
3. Persentase Rempela
Persentase rempela diperoleh dari pembagian antara bobot rempela dengan
bobot badan akhir ayam dikalikan 100%.
4. Persentase Jantung
Persentase jantung diperoleh dari pembagian antara bobot jantung dengan
bobot badan akhir ayam dikalikan 100%.
5. Persentase Limpa
Persentase limpa diperoleh dari pembagian antara bobot limpa dengan bobot
badan akhir ayam dikalikan 100%.
6. Bobot Duodenum pada panjang 10cm
Bobot duodenum diperoleh dari hasil penimbangan 10 cm duodenum.
7. Bobot Jejenum pada panjang 10cm
Bobot jejenum diperoleh dari hasil penimbangan 10 cm jejenum.
8. Bobot Ileum pada panjang 10cm
Bobot ileum diperoleh dari hasil penimbangan 10 cm ileum.
9. Panjang Relatif Usus Halus dan Seka
Panjang relatif usus halus dinyatakan dalam panjang per gram bobot badan
(cm/gram bobot badan).
Prosedur
Pembuatan Ransum
Onggok kasar digiling terlebih dahulu dengan menggunakan mesin giling
(FFC 37) sehingga teksturnya lebih halus. Semua bahan baku penyusun ransum
ditimbang sesuai persentase penggunaan bahan dalam komposisi ransum.
Pencampuran bahan baku dilakukan mulai dari bahan baku dengan persentase paling
besar. Pewarna yang digunakan adalah pewarna makanan egg yellow dan
dicampurkan bersamaam dengan CPO (crude palm oil) agar tidak tercecer.
Pencampuran dilakukan dengan menggunakan Mixer Horizontal. Campuran yang
sudah homogen dimasukkan ke dalam mesin farm feed pelleter untuk dibentuk
menjadi pellet dengan ukuran diameter 3,5 mm, setelah itu pellet didinginkan
kemudian dibentuk menjadi crumble dengan menggunakan Attrition Mill. Ransum
yang sudah berbentuk Crumble dikemas dalam karung dengan kapasitas 50 kg.

Persiapan Kandang
Satu minggu sebelum kandang digunakan, kandang dibersihkan, dikapur, dan
disemprot secara merata dengan desinfektan, setelah itu setiap petak kandang diberi
alas sekam padi. Sekeliling kandang dilapisi dengan terpal sebagai pelindung untuk
mengurangi pengaruh udara luar.
Peralatan tempat pakan dan air minum yang akan digunakan harus
dibersihkan terlebih dahulu (sterilisasi), kemudian disiapkan dalam kandang. Lampu
pijar 75 watt dipasang di tengah pada setiap petak kandang.

Pemeliharaan Ayam
Sebelum dilakukan penimbangan dan pengacakan, DOC yang baru datang
diberi air minum yang mengandung larutan gula dengan tujuan untuk menyediakan
energi yang dapat diserap secara langsung oleh saluran alat pencernaan ayam untuk
menggantikan energi yang hilang akibat stress selama pengangkutan, setelah satu
sampai dua jam ransum disiapkan pada feeder tray yang terbuat dari kardus bekas
tempat DOC yang ditempatkan dekat dengan pemanas.
Lampu pijar 75 watt sebagai pemanas dinyalakan selama 24 jam sampai
ayam berumur 14 hari atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan, untuk
selanjutnya lampu hanya berfungsi sebagai penerang yang dinyalakan pada saat
menjelang malam atau pada saat cuaca mendung dan dingin. Tirai yang berfungsi
sebagai pelindung, dipasang setelah kandang disterilkan sehingga seluruh bagian
kandang tertutupi sampai ayam berumur 15 hari dan hari berikutnya hanya dipasang
setengah bagian dinding kandang dan dipasang hanya pada malam hari untuk
melindungi ayam dari udara dingin.
Ransum dan air minum diberikan ad libitum, pencucian tempat air minum
dilakukan setiap hari sebelum penggantian air minum.
Vaksinasi tetelo (ND) dilakukan pada saat ayam berumur 3 hari melalui tetes
mata dan pada umur 13 hari melalui air minum. Pencegahan stress dilakukan dengan
pemberian Vitastress pada air minum selama satu minggu pertama dan dua hari
sebelum dan sesudah vaksinasi dan penimbangan bobot badan ayam. Penimbangan
bobot badan ayam dilakukan sekali dalam seminggu demikian juga penimbangan
pakan dan sisanya.
Pada hari ke-35 dilakukan pemanenan. Empat puluh ekor ayam (dua ekor dari
masing-masing petak) diambil dan dipuasakan selama 12 jam, setelah itu dilakukan
penimbangan bobot badan akhir dan kemudian dilakukan pemotongan. Ayam yang
sudah dipotong dicelupkan ke dalam air panas selama 2 menit kemudian bulunya
dicabuti, setelah itu ayam dibedah untuk diambil organ dalamnya. Organ dalam yang
terdiri dari hati, jantung, limpa, rempela, usus halus dan seka yang sudah dipisahkan
dibersihkan dengan tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa pencernaan dan ditimbang
dengan menggunakan timbangan digital. Pada usus halus dan seka dilakukan
pengukuran panjang dan pengukuran ketebalan usus dengan cara memotong bagian
usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) sepanjang 10 cm kemudian dilakukan
penimbangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Ransum Penelitian
Ransum yang diberikan pada ternak harus memiliki kandungan nutrisi yang
cukup dan sesuai dengan kebutuhan. Komposisi nutrisi ransum tergantung pada
bahan baku yang digunakan dalam penyusunan ransum. Komposisi nutrisi ransum
penelitian berdasarkan hasil analisis laboratorium tercantum pada Tabel 10.
Berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan bahwa komposisi nutrisi ransum dapat
mencukupi kebutuhan ayam broiler starter menurut SNI No. 01-3930-1995
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7 (Direktorat Bina Produksi, 1997).
Tabel 10. Kandungan Zat Nutrisi Ransum Penelitian berdasarkan Analisis
Proksimat (as fed)
Ransum Penelitian + Perekat
Kandungan Nutrisi R. Komersial
Onggok Bentonit Tapioka
Bahan Kering (%) 86,94 88,92 88,34 86,58
Protein Kasar (%) 24,52 23,77 23,37 23,22
Serat Kasar (%) 3,63 3,06 3,17 2,54
Lemak Kasar (%) 5,39 4,69 5,04 5,09
Beta-N (%) 46,85 49,98 50,91 51,04
Abu (%) 6,55 7,42 5,85 4,69
Kalsium (%) 0,94 1,16 1,09 1,06
Fosfor Total (%) 0,65 0,74 0,69 0,70-0,90
Fosfor Tersedia (%) 0,19 0,22 0,21 0,21-0,27
NaCl (%) 0,09 0,10 0,11 0,09
Energi Bruto (kkal/kg) 4052 4024 4048 4080
Energi Metabolis (kkal/kg) 3116,08* 3072,46* 3132,53* 3100**
Imbangan E/P 127,08 129,26 134,04 133,51
Harga (Rp)/kg 2750 2800 2800 3000
Sumber : Hasil analisis proksimat Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, FAPET, IPB (2006)
Keterangan :*Energi metabolis berdasarkan perhitungan komposisi EM bahan baku pada NRC (1994)
** Energi metabolis yang tertera pada label

Secara visual ransum basal dengan penambahan perekat (onggok, bentonit


dan tapioka) memperlihatkan warna yang hampir sama dengan ransum komersial,
karena pada ransum penelitian ditambahkan pewarna makanan yang berwarna
kuning telur (egg yellow) 0,02% agar mendekati warna ransum komersial.
Ransum yang digunakan dalam penelitian diperlihatkan pada Gambar 6.
Kadar protein kasar ransum penelitian berdasarkan analisis laboratorium berkisar
antara 23,22-24,52%. Kisaran tersebut mendekati kadar protein kasar berdasarkan
hasil perhitungan manual yaitu 21,82-23,87% (Tabel 9), hal ini menunjukkan bahwa
kandungan protein ransum penelitian telah memenuhi kebutuhan ayam broiler starter
sesuai rekomendasi SNI No. 01-3930-1995 yaitu 18-23% seperti yang tercantum
pada Tabel 7 (Direktorat Bina Produksi, 1997).

Gambar 6. Ransum Penelitian

Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan serat kasar pada


ransum penelitian berkisar antara 2,54-3,63%, hal ini menunjukkan bahwa
kandungan serat kasar ransum penelitian masih di bawah batas yang
direkomendasikan oleh SNI No. 01-3930-1995 (Direktorat Bina Produksi, 1997)
yaitu maksimum 5% untuk broiler starter (Tabel 7). Serat dibutuhkan oleh ternak
untuk membantu pencernaan namun dalam jumlah yang terbatas. Serat kasar
maksimal yang masih dapat ditolelir oleh tubuh ayam sebesar 5%. Ransum perlakuan
dengan perekat onggok memiliki kandungan serat kasar paling tinggi dibandingkan
dengan ransum yang ditambahkan perekat bentonit, tapioka dan ransum komersial
(Tabel 10), karena onggok mengandung serat kasar yang cukup tinggi yaitu 10%
(Winarno, 1986).
Lemak dalam tubuh dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentuk energi
yang sangat penting untuk pertumbuhan. Kandungan lemak kasar ransum penelitian
berdasarkan analisis laboratorium berkisar antara 4,69-5,39%, sedangkan kandungan
lemak kasar untuk ransum ayam broiler starter menurut SNI No. 01-3930-1995
(Tabel 7) yaitu berkisar antara 2,5-7,0% (Direktorat Bina Produksi, 1997), hal ini
menunjukkan bahwa ransum penelitian memiliki kandungan lemak yang masih
berada dalam kisaran tersebut.
Kandungan energi bruto ransum penelitian berdasarkan hasil analisis
laboratorium berkisar antara 4024-4080 kkal/kg. Pada umumnya energi ransum
unggas dinyatakan dalam energi metabolis dengan satuan kkal/kg, berdasarkan hasil
perhitungan formulasi ransum perlakuan diperoleh energi metabolis sekitar 3072,46-
3132,53 kkal/kg (Tabel 9), sedangkan energi metabolis ransum komersial sebesar
3100 kkal/kg (tercantum pada label).
Kandungan mineral dalam ransum ayam broiler sangat dibutuhkan untuk
menyokong pertumbuhan. Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama yang sangat
dibutuhkan oleh ayam broiler. Berdasarkan SNI No. 01-3930-1995 (Direktorat Bina
Produksi, 1997), kebutuhan kalsium untuk ayam broiler starter yaitu sebesar 0,9-
1,2% dan fosfor total 0,7-1,0% (Tabel 7). Ransum dengan penambahan bentonit
mengandung kalsium dan fosfor total paling tinggi dibandingkan ransum dengan
penambahan perekat onggok dan perekat tapioka juga ransum komersial, hal tersebut
disebabkan oleh adanya kandungan kalsium pada bentonit sebesar 10,25%, pottasium
1,87%, sodium 31,3%, magnesium 2,209% dan silika 46,4% (Pasha et al., 2007).
Penambahan perekat dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang besar
terhadap kandungan nutrisi ransum tetapi berpengaruh terhadap sifat fisik ransum.
Sifat fisik ransum yang baik diharapkan dapat memperbaiki efisiensi penggunaan
ransum sehingga dapat menghasilkan nilai konversi yang rendah dan meningkatkan
produktivitas ternak. Amrullah (2003) menyatakan bahwa angka konversi ransum
minimal dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kualitas ransum, teknik pemberian pakan
dan angka mortalitas. Berdasarkan hasil penelitian Salamah (2007), penambahan
perekat bentonit dalam ransum broiler bentuk crumble dapat memperbaiki konversi
ransum dibandingkan ransum berperekat tapioka dan onggok.
Bahan baku penyusun ransum dan proses pengolahan ransum dapat
mempengaruhi sifat fisik ransum. Hasil uji sifat fisik ransum penelitian menunjukkan
bahwa nilai kadar air ransum penelitian masih dibawah standar maksimal kadar air
untuk ransum unggas yang ditetapkan oleh SNI No. 01-3930-1995 (Tabel 7), yaitu
14% (Direktorat Bina Produksi, 1997). Kadar air ransum penelitian berkisar 9,42-
11,45% (Lampiran 3). Sifat fisik ransum penelitian dapat ditinjau dari persentase
durability, ukuran partikel dan ketahanan benturan. Secara umum standar nilai
durability crumble pada pabrik pakan berkisar minimal 80-90% dan menurut Doizer
(2001), nilai durability ransum broiler berbentuk pellet minimal 80%. Persentase
durability (%) ransum penelitian dengan perekat onggok, bentonit dan tapioka serta
ransum komersial, berturut-turut adalah 89,98; 95,00; dan 94,35, serta 93,07; ukuran
partikel (mm): 3,15; 3,30; dan 3,52 serta 4,38; ketahanan benturan (%) : 98,4; 98,92;
dan 98,00; serta 98,4; (Khusniati, 2007).
Berdasarkan Behnke dan Bayer (2007), ukuran partikel crumble dengan
perekat onggok, bentonit dan tapioka tergolong pada crumble sedang (>1,5 mm
sampai 4,0 mm), sedangkan ransum komersial tergolong crumble kasar (>4,0 mm).
Ransum komersial yang digunakan dalam penelitian ini diproduksi oleh salah
satu industri pakan berskala besar yang diolah dengan menggunakan mesin pellet
berupa Pellet Mill yang mampu meningkatkan proses gelatinisasi pati dan
menurunkan bakteri patogen akibat adanya proses pemberian uap/steaming
(Fairfield, 1994). Gelatinisasi pati dapat memecah ikatan pati menjadi karbohidrat
yang lebih sederhana dan pada saat terjadinya gelatinisasi terjadi proses pemasakan
bahan-bahan sehingga mampu meningkatkan daya cerna ransum dan memperbaiki
konversi ransum (Hauck et al., 1994), selain itu ransum yang dihasilkan memiliki
sifat fisik yang lebih baik. Suhu pemanasan dalam steaming sebesar 80-85oC
(Widyaningrum, 2007), sedangkan menurut Raharjo (1997), suhu pemanasan pada
steam berkisar antara 85-90oC.
Ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka
merupakan ransum yang dibuat sendiri dengan menggunakan mesin farm feed
pelleter (tanpa pemberian uap) yang sering digunakan di pabrik-pabrik berskala kecil
(Fairfield, 1994). Suhu pemanasan dalam mesin farm feed pelleter sekitar 60-70oC
(Wikantiasi, 2001). Bahan baku yang digunakan dalam penyusunan ransum juga
memberikan pengaruh terhadap kualitas pellet, bahan dengan kandungan serat kasar
tinggi mengakibatkan pellet yang terbentuk kurang kokoh dan kompak terutama pada
pembuatan pellet tanpa proses steaming sehingga crumble yang terbentuk kurang
palatabel. Fairfield (1994), menyatakan bahwa kualitas pellet dipengaruhi oleh
karakteristik bahan baku penyusun ransum. Semakin tinggi kandungan serat maka
kualitas pellet semakin buruk.

Rataan Bobot Badan Akhir Setelah Dipuasakan


Bobot badan akhir yang diperoleh pada saat pemanenan akan menentukan
harga jual ayam broiler dan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi besar
kecilnya pendapatan yang diterima oleh peternak sehingga sangat menentukan
keberhasilan usaha peternakan ayam broiler.
Bobot badan akhir setelah dipuasakan (sebelum dipotong) merupakan salah
satu peubah yang digunakan untuk mengukur persentase organ dalam. Rataan bobot
badan akhir setelah dipuasakan dapat dilihat pada Tabel 11. Pertambahan bobot
badan dapat dijadikan sebagai tolok ukur pertumbuhan ayam. Kecepatan
pertumbuhan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menilai mutu/kualitas
ransum yang dimanfaatkan oleh ternak sehingga dapat menentukan efisiensi
penggunaan ransum. Gambaran nilai efisiensi penggunaan ransum dapat dilihat dari
bobot badan akhir yang diperoleh.
Menurut standar pemeliharaan PT. Sierad Produce (2007), pertambahan
bobot badan ayam broiler strain Cobb selama 35 hari yaitu sekitar 2000 gram/ekor
sedangkan berdasarkan hasil penelitian Salari et al. (2006), pertambahan bobot badan
ayam broiler strain Cobb yang diberi ransum bentuk pellet selama 5 minggu adalah
1612,87 gram/ekor, dan pada ransum bentuk mash pertambahan bobot badannya
mencapai 1344,25 gram/ekor, sedangkan pertambahan bobot badan ayam pada
penelitian ini tercantum pada lampiran 2.
Tabel 11. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari Setelah
Dipuasakan
Perekat Bobot badan akhir ayam setelah dipuasakan (g)
Onggok 113674,69
Bentonit 115079,14
Tapioka 111187,78
Komersial 153283,11
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan perekat (onggok,
bentonit dan tapioka) dalam ransum tidak memberikan pengaruh terhadap bobot
badan akhir ayam broiler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum perlakuan
dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka menghasilkan bobot
badan akhir yang lebih rendah dibandingkan dengan bobot badan akhir yang diberi
ransum komersial (Tabel 11).
Rendahnya bobot badan akhir pada ransum perlakuan dengan perekat
onggok, bentonit dan tapioka disebabkan oleh adanya perbedaan konsumsi ransum
pada masing-masing perlakuan. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang
dikonsumsi oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rataan konsumsi
ransum perlakuan dengan penambahan perekat (onggok, bentonit, tapioka) dan
ransum komersial selama 35 hari yaitu 2048,28; 1982,80; 1906,96 dan 2351,91
(Salamah, 2007).
Konsumsi ransum komersial menunjukkan konsumsi tertinggi dibandingkan
konsumsi ransum perlakuan dengan penambahan perekat (onggok, bentonit dan
tapioka). Kandungan serat kasar pada ransum perlakuan dengan penambahan perekat
onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial
sehingga penyerapan ransum komersial lebih baik dibandingkan dengan ransum
perlakuan. Anggorodi (1994), menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan serat
kasar dalam suatu bahan makanan maka semakin rendah daya cerna bahan makanan
tersebut, selain itu adanya pakan tambahan (feed aditive) yang berupa growth
promotor (pemacu pertumbuhan) zinc bacitracin dan virginiamycin (tercantum pada
label) yang terdapat pada ransum komersial dapat mempengaruhi penyerapan nutrisi
dalam tubuh sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan. Pemakaian antibiotik dalam
ransum dapat membantu membunuh mikroorganisme patogen dalam saluran
pencernaan dan meningkatkan penyerapan zat makanan melalui penipisan dinding
usus saluran pencernaan (Widodo, 2002), sehingga dapat meningkatkan daya tahan
tubuh ayam broiler dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi konsumsi
ransum.
Penggunaan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka dalam ransum tidak
mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler namun dapat memperbaiki sifat fisik
ransum. Proses pengolahan yang berbeda antara ransum komersial dengan ransum
basal dengan penambahan perekat, dapat mengakibatkan adanya perbedaan sifat fisik
ransum. Ransum komersial diolah dengan menggunakan mesin pembuat pellet yang
biasa digunakan pabrik pakan ternak yaitu berupa Pellet Mill dengan pemberian
uap/steaming. Pellet Mill mampu meningkatkan proses gelatinisasi pati dan
menurunkan bakteri patogen akibat adanya proses pemberian uap/steaming
(Fairfield, 1994).
Gelatinisasi pada proses pembuatan ransum berguna untuk meningkatkan
daya rekat partikel-partikel bahan penyusun ransum. Perekatan terjadi pada saat
pencetakan pada mesin pellet dan dengan adanya proses gelatinisasi dapat mengubah
pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan mudah larut sehingga ransum
mudah dicerna (Raharjo, 1997), selain itu pada saat proses gelatinisasi terjadi
pemasakan bahan-bahan sehingga mampu meningkatkan kecernaan dan
memperbaiki konversi ransum (Hauck et al., 1994).
Ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka
merupakan ransum yang dibuat dengan menggunakan mesin Farm Feed Pelleter
tanpa pemberian uap (steaming). Proses pengolahan ransum yang berbeda antara
ransum komersial dengan ransum perlakuan mengakibatkan adanya perbedaan
kualitas ransum, sehingga menyebabkan adanya perbedaan konsumsi antara ransum
komersial dengan ransum yang ditambahkan perekat onggok, bentonit dan tapioka,
dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penambahan perekat onggok, bentonit dan
tapioka dalam ransum broiler bentuk crumble kurang optimal tanpa dilakukan
steaming pada proses pengolahannya.

Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Broiler


Umur 35 Hari
Ransum yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi kerja organ dalam
dan saluran pencernaan ayam. Kelainan pada organ dalam dapat disebabkan oleh
adanya penyakit maupun racun yang terdapat pada ransum. Kelainan tersebut salah
satunya ditandai dengan adanya perubahan organ dalam secara fisik seperti
perubahan warna atau ukuran. Setiap organ dalam pada ternak mempunyai fungsi
yang saling berhubungan. Hasil pengamatan organ dalam dan saluran pencernaan
dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan rataan persentase organ dalam ayam broiler
umur 35 hari yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 12.
Hati
Rataan persentase bobot hati yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar
antara 2,34-2,52% dari bobot badan akhir (Tabel 12). Nilai tersebut sesuai dengan
kisaran yang dilaporkan Putnam (1991) yaitu 1,7-2,8% dari bobot badan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2007) tentang evaluasi
pemberian beberapa ransum komersial yang dibandingkan dengan ransum basal
dengan penambahan perekat tapioka 2% dan diperoleh persentase bobot hati ayam
broiler umur 35 hari sebesar 2,22-2,32%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebesar 2% dalam ransum tidak
berpengaruh terhadap rataan persentase bobot hati, hal tersebut menunjukkan bahwa
ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka tidak
mengandung zat yang bersifat racun yang dapat menyebabkan kerja hati menjadi
berlebih dan persentase hati masih dalam kisaran normal. Salah satu fungsi hati
adalah detoksifikasi racun dan apabila terjadi kelainan pada hati ditunjukkan dengan
adanya pembesaran atau pengecilan hati (Ressang, 1984).

R. KOMERSIL R. BASAL + BENTONIT

R. BASAL + TAPIOKA R. BASAL + ONGGOK

Gambar 7. Organ Dalam dan Saluran Pencernaan Ayam


Broiler Hasil Penelitian

Jantung
Putnam (1991), menyatakan bahwa persentase bobot jantung ayam broiler
sekitar 0,42-0,7% dari bobot hidup. Rataan bobot jantung yang diperoleh dari hasil
penelitian ini berkisar antara 0,57-0,63% (Tabel 12), dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka dalam ransum
tidak mempengaruhi kerja jantung dalam mengedarkan darah secara efisien ke dalam
paru-paru untuk menggantikan O2 dan CO2 untuk menyokong proses metabolisme
tubuh (North and Bell, 1990), selain itu penambahan perekat onggok, bentonit dan
tapioka dalam ransum tidak menimbulkan pembesaran ukuran jantung akibat adanya
akumulasi racun pada jantung.
Tabel 12. Rataan Persentase Bobot Organ Dalam Ayam Broiler Umur 35
Hari
Ransum Penelitian + Perekat
Peubah Komersial
Onggok Bentonit Tapioka
Bobot Hati (g) 27,301,68 28,092,43 25,983,64 38,393,41
Persentase Bobot Hati (%) 2,410,15 2,440,17 2,340,24 2,520,19

Bobot Jantung (g) 7,080,21 6,920,55 6,900,60 8,670,92


Persentase Bobot Jantung (%) 0,630,04 0,600,05 0,620,06 0,570,05

Bobot Limpa (g) 1,360,31 1,220,20 1,410,39 1,620,20


Persentase Bobot Limpa (%) 0,120,02 0,110,02 0,130,03 0,110,02

Frandson (1992) menyatakan bahwa jantung sangat rentan terhadap racun dan
zat antinutrisi, pembesaran jantung dapat terjadi karena adanya akumulasi racun pada
otot jantung, dengan demikian dapat dikatakan bahwa ransum perlakuan dengan
penambahan perekat tidak mengandung zat yang bersifat racun.
Ayam yang diberi ransum basal dengan penambahan perekat onggok,
bentonit dan tapioka menghasilkan persentase bobot jantung yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ransum komersial. Perbedaan yang terjadi diduga karena
adanya perbedaan aktivitas ayam pada masing-masing perlakuan, sesuai dengan
pernyataan Ressang (1984), bahhwa ukuran jantung sangat dipengaruhi oleh jenis,
umur, besar dan aktivitas hewan.

Limpa
Berdasarkan data hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa semua perlakuan
tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot limpa ayam broiler umur 35
hari (Tabel 12), hal ini menunjukkan bahwa penambahan perekat dalam ransum tidak
mempengaruhi persentase bobot limpa, tidak menyebabkan kelainan pada limpa dan
tidak mengganggu fungsi limpa sehingga ukurannya relatif seragam.
Rataan persentase bobot limpa pada penelitian ini berkisar antara 0,11-0,13%.
Kisaran ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2007) yang menghasilkan
persentase bobot limpa 0,11-0,12% (umur 35 hari) dari bobot hidup. Kisaran tersebut
tidak berbeda jauh dengan kisaran menurut Putnam (1991), yaitu 0,18-0,23%.

Rataan Persentase Bobot Organ Pencernaan Ayam Broiler


Umur 35 Hari
Rataan persentase bobot rempela, bobot usus halus (duodenum, jejenum,
ileum) yang diperoleh pada penelitian ini tercantum pada Tabel 13 dan rataan
panjang relatif usus halus serta seka dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan dengan penambahan perekat
(onngok, bentonit dan tapioka) tidak memberikan pengaruh terhadap persentase
bobot rempela, duodenum dan jejenum, akan tetapi nyata (P<0,05) mempengaruhi
persentase bobot ileum (Tabel 13) dan sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi panjang
relatif jejenum (Tabel 14).
Tabel 13. Rataan Persentase Bobot Rempela dan Usus Halus Ayam Broiler
Umur 35 Hari
Ransum Penelitian + Perekat
Peubah Komersial
Onggok Bentonit Tapioka
Bobot Rempela (g) 23,762,67 24,292,77 22,467,10 23,213,07
Persentase Bobot Rempela (%) 2,090,18 2,110,14 2,050,71 1,520,12
Bobot Duodenum (g)/10 cm 3,780,52 4,040,76 3,940,36 3,790,39
Persentase Bobot Duodenum (%) 0,330,03 0,350,06 0,360,05 0,250,02
Bobot Jejenum (g)/10 cm 3,710,31 3,650,47 3,870,44 3,550,25
Persentase Bobot Jejenum (%) 0,330,03 0,320,05 0,350,04 0,230,07
Bobot Ileum (g) /10 cm 2,690,23 3,200,58 3,410,41 3,040,41
Persentase Bobot Ileum (%) 0,24b0,02 0,28ab0,05 0,31a0,04 0,200,02
Keterangan : Superskrip yang berbeda dengan huruf kecil pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang nyata (P<0,05).

Rempela
Rataan persentase bobot rempela ayam broiler umur 35 hari pada penelitian
ini adalah sekitar 1,52-2,11% (Tabel 13), sedangkan menurut Putnam (1991)
persentase bobot rempela berkisar antara 1,6-2,3% dari bobot hidup. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dinyatakan bahwa rempela masih dapat bekerja secara normal karena
berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan perekat dalam
ransum tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot rempela.
Prilyana (1984) menyatakan bahwa bobot rempela dipengaruhi oleh kadar
serat kasar ransum. Semakin tinggi kadar serat kasar ransum, maka aktifitas rempela
juga semakin tinggi, sehingga bobotnya juga semakin besar. Kandungan serat kasar
pada ransum perlakuan berdasarkan analisis laboratorium berkisar antara 2,54-
3,63%, hal ini menunjukkan bahwa kandungan serat kasar pada ransum perlakuan
masih di bawah batas yang ditetapkan oleh SNI No. 01-3930-1995 (Tabel 7) yaitu
maksimum 5% (Direktorat Bina Produksi, 1997) untuk broiler starter, sehingga
pemberian ransum perlakuan tidak menimbulkan kelainan pada kerja rempela.

Usus Halus
Organ usus halus pada ternak merupakan organ penting dalam pencernaan
yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrisi bahan pakan. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa persentase bobot ileum pada ransum perlakuan dengan
penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka berbeda nyata (P<0,05) antar
perlakuan dan lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial (Tabel 13), hal
tersebut diduga bukan merupakan pengaruh dari penambahan bahan perekat onggok,
bentonit dan tapioka, tetapi disebabkan oleh karena di dalam ileum terdapat banyak
lipatan atau lekukan yang disebut jonjot-jonjot usus (vili). Vili berfungsi memperluas
permukaan penyerapan, sehingga makanan dapat diserap secara sempurna
(Wikipedia, 2007). Struktur vili usus halus dipengaruhi oleh jenis ransum yang
berbeda (Gillespie, 2004).
Bobot usus halus terendah diperoleh pada ransum komersial. Sturkie (1976)
menyatakan bahwa bobot duodenum 4,03 gram, jejenum 6,3 gram dan ileum 4,5
gram, sedangkan rataan persentase bobot usus halus (duodenum, jejenum dan ileum)
yang diperoleh pada penelitian ini berturut-turut berkisar antara 3,78-4,04 gram;
3,55-3,87 gram; dan 2,69-3,41 gram (Tabel 13).
Pengukuran bobot usus halus pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
ketebalan usus halus. Rendahnya bobot usus halus menunjukkan bahwa usus
memiliki dinding usus yang lebih tipis begitu pula sebaliknya. Perbedaan bobot usus
halus tersebut diduga karena adanya penipisan dinding usus halus akibat penggunaan
antibiotik (zinc bacitracin dan virginiamycin) pada ransum komersial (tercantum
pada label). Pemakaian antibiotik di dalam ransum bertujuan untuk membantu sistem
pencernaan dengan cara membunuh mikroorganisme patogen dalam saluran
pencernaan ataupun di tempat sel mukosa usus (Widodo, 2002), sehingga bobot usus
halus pada ransum komersial lebih rendah dibandingkan dengan bobot usus halus
pada ransum perlakuan yang ditambahkan perekat onggok, bentonit dan tapioka.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2007) yang menyatakan
bahwa bobot usus halus yang diberi ransum komersial yang mengandung antibiotik
(zinc bacitracin dan virginiamycin) sangat nyata lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan lainnya.
Kandungan serat kasar ransum basal yang ditambahkan perekat (onggok,
bentonit, tapioka) lebih tinggi dibandingkan dengan ransum komersial, hal tersebut
dapat mempengaruhi penyerapan ransum sehingga bobot usus halus yang diberi
ransum dengan penambahan bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi
dibandingkan ransum komersial. Syamsuhaidi (1997), menyatakan bahwa semakin
tinggi serat kasar dalam ransum, maka laju pencernaan dan penyerapan zat makanan
akan semakin lambat. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa laju
pencernaan dan penyerapan zat makanan ransum komersial lebih baik dibanding
dengan ransum yang ditambahkan perekat.
Unggas yang diberi ransum dengan serat kasar tinggi cenderung memiliki
saluran pencernaan yang lebih besar dan panjang (Sturkie,1976), hal ini didukung
pula oleh Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa ransum yang banyak
mengandung serat akan menimbulkan perubahan ukuran saluran pencernaan
sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang dan lebih tebal.
Adanya proses steaming pada saat pengolahan ransum komersial dapat
mengoptimalkan proses gelatinisasi pati yang dapat meningkatkan daya cerna
ransum dan palatabilitas ransum. Gelatinisasi dalam proses pembuatan ransum
berguna untuk merekatkan partikel-partikel bahan penyusun ransum. Perekatan
tersebut terjadi pada saat pencetakan dengan mesin pellet dan proses gelatinisasi ini
dapat mengubah bentuk pati menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan mudah
larut sehingga ransum mudah dicerna (Raharjo, 1997), dengan demikian dapat
dikatakan bahwa laju pencernaan dan penyerapan zat makanan ransum komersial
lebih baik dibandingkan dengan ransum perlakuan yang ditambahkan perekat yang
ditandai dengan rendahnya bobot usus halus, hal ini berarti dinding usus halus ayam
broiler yang diberi ransum komersial lebih tipis.
Tabel 14. Rataan Panjang Relatif Usus Halus dan Seka Ayam Broiler Umur
35 Hari
Ransum Penelitian + Perekat
Peubah Komersial
Onggok Bentonit Tapioka
Panjang Duodenum 33,153,97 30,502,56 30,541,43 29,452,02
(cm/100 g BB) 2,91 0,22 2,67 0,33 2,79 0,14 1,940,17
Panjang Jejenum 82,056,13 70,231,64 73,835,36 61,150,07
(cm/100g BB) 7,23C0,41 6,12B0,29 6,73A0,65 4,020,18
Panjang Ileum 82,855,28 80,103,71 78,007,88 63,953,37
(cm/100 g BB) 7,300,31 7,010,79 7,080,54 4,210,27
Panjang Seka 17,081,53 15,700,57 15,581,41 15,450,65
(cm/100 g BB) 1,510,23 1,370,08 1,410,06 1,020,08
Keterangan : Superskrip yang berbeda dengan huruf besar pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan bahan perekat dalam


ransum tidak memberikan pengaruh terhadap panjang doudenum, ileum dan seka,
akan tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap panjang relatif jejenum.
Panjang relatif jejenum sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi pada ransum perlakuan
yang ditambahkan perekat onggok dibandingkan dengan ransum yang berperekat
bentonit dan tapioka (Tabel 14), hal ini disebabkan oleh kandungan serat kasar pada
ransum perlakuan yang ditambahkan perekat onggok lebih tinggi yaitu sebesar
3,63% dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya (Tabel 10), sehingga
menyebabkan dinding saluran pencernaan menjadi lebih tebal dan lebih panjang, hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa ransum
yang banyak mengandung serat akan menimbulkan perubahan ukuran saluran
pencernaan sehingga menjadi lebih berat, lebih panjang dan lebih tebal.
Panjang relatif usus halus dan seka ayam broiler yang diberi ransum
perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi
dibandingkan dengan panjang relatif usus halus dan seka yang diberi ransum
komersial, hal ini diduga karena adanya penggunaan jenis bahan baku ransum yang
berbeda antara ransum komersial dengan ransum perlakuan dengan penambahan
bahan perekat onggok, bentonit dan tapioka yang dapat menimbulkan adanya
perbedaan kandungan nutrisi ransum terutama kandungan serat pada masing-masing
ransum.
Tingginya kandungan serat kasar dalam ransum perlakuan yang ditambahkan
perekat onggok, bentonit dan tapioka menyebabkan kerja usus dalam mencerna dan
menyerap zat makanan meningkat yang ditunjukkan dengan pertambahan panjang
usus halus. Syamsuhaidi (1997), menyatakan bahwa peningkatan kadar serat kasar
dalam ransum cenderung akan memperpanjang usus. Semakin tinggi serat kasar
dalam ransum, maka laju pencernaan dan penyerapan zat makanan akan semakin
lambat. Untuk memaksimalkan penyerapan zat makanan tersebut, maka daerah
penyerapan akan diperluas atau diperpanjang.
Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa panjang seka unggas normal berkisar
antara 12 sampai 25 cm. Panjang seka yang diperoleh dari hasil penelitian ini
berkisar antara 15,45-17,08 cm, hal ini menunjukkan bahwa panjang seka masih
berada dalam kisaran normal. Panjang dan bobot seka akan meningkat dengan
meningkatnya kandungan serat kasar dalam ransum. Panjang relatif seka pada
ransum perlakuan dengan penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih
tinggi dibandingkan dengan panjang relatif seka pada ransum komersial, hal ini
disebabkan oleh kandungan serat kasar pada ransum perlakuan dengan penambahan
perekat onggok, bentonit dan tapioka lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan
serat pada ransum komersial.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Penambahan perekat onggok, bentonit dan tapioka sebanyak 2% dalam ransum
bentuk crumble tidak memberikan pengaruh terhadap persentase bobot hati,
jantung, limpa, rempela, duodenum dan jejenum serta panjang relatif duodenum,
ileum dan seka.
2. Persentase bobot ileum nyata (P<0,05) lebih tinggi pada ransum perlakuan
berperekat tapioka dibandingkan dengan ransum berperekat onggok dan bentonit.
3. Panjang relatif jejenum sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi pada ransum
berperekat onggok.
4. Persentase bobot hati pada ransum perlakuan berperekat lebih rendah
dibandingkan dengan ransum komersial.
5. Persentase bobot jantung, limpa, rempela dan usus halus (duodenum, jejenum,
ileum) serta panjang relatif usus halus dan seka lebih tinggi pada ransum
perlakuan berperekat dibandingkan dengan ransum komersial.

Saran
Penggunaan bahan perekat dalam ransum akan lebih efektif jika dalam proses
pengolahannya dilakukan penambahan uap (steaming) pada saat proses pembentukan
pellet menggunakan mesin pellet jenis farm feed pelleter agar menghasilkan ransum
yang berkualitas dan memiliki sifat fisik yang lebih baik sehingga diharapkan dapat
meningkatkan performa ransum dan performa ayam broiler.
UCAPAN TERIMA KASIH

Rasa syukur yang tak terhingga senantiasa tertuju hanya kepada Alloh SWT
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Lidy Herawati, MS. dan
Ir. Dwi Margi Suci, MS. sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini, Dr.Ir. Sumiati, M.Sc. sebagai
pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan memberikan motivasi
kepada penulis selama masa studi di IPB, Dr. Ir Heri Ahmad Sukria, MSc. sebagai
penguji seminar dan ujian akhir (sidang) serta kepada Ir. Rukmiasih, MSi sebagai
penguji sidang atas saran dan masukan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada suami, orang tua, anak dan
keluarga besar tercinta atas doa, motivasi dan pengorbanan baik moril maupun
materil yang tiada henti diberikan, kepada Bapak Wawan dan Bapak Baedowi atas
kerja sama dan kesempatan yang diberikan pada penulis serta rekan-rekan
melakukan penelitian di peternakan miliknya di Cisarua Bogor. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mamat, Bapak Yayat, Bandi dan Anggi
yang telah membantu selama penelitian. Kepada segenap staf Laboratorium Industri
Makanan Ternak, Ibu Anis, Bapak Atip dan Mas Iman serta staf Laboratorium
Nutrisi Unggas, Ibu Lanjar dan Bapak Karya yang telah membantu penulis dalam
melaksanakan penelitian. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Usni,
Ema, Herlina, Nurman dan Alif atas kerjasama, semangat, pengertian dan
motivasinya selama penelitian serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu atas segala bantuannya.. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2008

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, N. N. 2006. Proses produksi pakan PT. Jafpa Comfeed Indonesia Tbk unit
Tangerang-Banten. Laporan Magang. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.

Anggorodi. 1994. Nutrisi Aneka Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anwar, K. P. 1990. Hasil penelitian pemakaian bentonit dalam pengolahan air


limbah. Pusat Pengembangan Teknologi Mineral. Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi Bandung.

Behnke, K. C. and R. Scott Beyer. 2007. Effect of feed processing on broiler


performance.http://www.veterinaria.uchile.cl/publication/VIIIpatologis/SE
MINARIOS/semi2.pdf [2 Agustus 2007]

Butcher, G. D. and A. H. Nilipour. 2007. Broiler Production Goals-Important


Numbers. http;//edis.ifas.ufl.edu/index.html. [22 Februari 2007]

Cheeke, P. R. 1999. Applied Animal Nutrition Feeds and Feeding 2nd Edition.
Departemen of Animal Sciences, Oregon State University.

Cobb Vantress. 2007. What is the cobb 500 and cobb 700?.
http://www.cobbvantress.com/. [5 Februari 2007]

Didinkaem. 2006. Ayam broiler. http://www.halalguide.info/content/view/574/38/.


[31 Maret 2007]

Dellman, H. D. dan F. N. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Edisi


Ketiga. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Dewi, H. R. K. 2007. Evaluasi beberapa ransum komersial terhadap persentase bobot


karkas, lemak abdomen dan organ dalam ayam broiler. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dewi, P. 2001. Uji sifat fisik ransum ikan bentuk pellet dengan penyemprotan air
panas dan penambahan perekat tepung tapioka. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Deyusma. 2004. Efektivitas pemberian feed additive alami pada ransum yang
digunakan dengan penggunaan antibiotik terhadap organ dalam dan status
kesehatan ayam pedaging. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Direktorat Bina Produksi. 1997. Kumpulan SNI Ransum: Ransum Ayam Ras
Pedaging (Broiler Starter). SNI 01-3930-1995. Direktorat Jenderal
Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Ditjenak. 2007. Salah kaprah soal daging ayam.


http://www.ditjenak.go.id/today/artikelview.html?topic=news&sizenum=82
162206&page=salah kaprah soal daging ayam.html. [31 Maret 2007]

Doizer, W. A. 2001. Pellet quality for most economical poultry meat. J. Feed
International. 52 (2): 40-42.

Einberg, R. M. 2000. Effect of zinc bacitracin and salinomycin on intestinal


microflora and performance of broiler. J. Poult. Sci. 79:1311-1319

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Heinnmann.1990. Feed and Nutrition.


2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California.

Fairfield, D. 1994. Pelleting cost center. In: R. R. McElhiney. Feed Manufacturing


Technology. 4th Edition. American Feed Industry Association Inc,
Arlington.

Farada, L. E. 2002. Evaluasi penggunaan perekat berbahan baku singkong dengan


taraf berbeda terhadap sifat fisik ransum ayam broiler bentuk crumble.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Terjemahan.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gauthier, R. 2002. Intestinal health, the key to productivity (The case of organic
acid). XXVII Convencion ANECA-WPDC. Puerto Vallrta. Jal. Mexico.

Gillespie, R. J. 2004. Modern Livestock and Poultry Production. 7th Edition. Inc.
Thomson Learning. United States.

Gunal, M., G. Yalyi, O. Kaya, N. Karahan and O. Sulak. 2006. The effect of
antibiotic growth promotor, prebiotic or organic acid supplementation on
performance, intestinal microflora and tissue of broilers. Int. J. Poult. Sci.
5(2):149-155.

Hauck, B., G. Rokey, O. Smith, J. Herbster and R. Sunderland. 1994. Extrusion


cooling system. In: R. R. McElhiney. Feed Manufacturing Technology. 4th
Edition. American Feed Industry Association Inc, Arlington.

Jull, M. A. 1979. Poultry Husbandry. 3rd Edition. Tatu McGraw hill Publishing. Co.
Ltd, New York.
Khusniati, S. 2007. Uji sifat fisik ransum broiler starter bentuk crumble berperekat
tepung tapioka, bentonit dan onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Kuraesin, D. 2005. Pengaruh penambahan kunyit (Curcuma domestica, Val) atau


temulawak (Curcuma xanthorriza, Roxb) dalam ransum terhadap organ
dalam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Makfoeld, D. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Penerbit Agritech,


Yogyakarta.

McLelland, J. 1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. Wolfe Publishing Ltd.,


London.

McNab, J. M. 1973. The avian caeca: A review. World Poult. Sci. 29 (3) : 251-263.

Mulyantono, 2003. Sulitnya mencari bibit favorit. Majalah Poultry Indonesia.


Agustus . 25-27.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Edition.


National Academy Press, Washington, D. C.

Neisheim, M. C., R. E. Austic and L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th Edition.
Lea and Febingen, Philadelphia.

Nickle, R. A., Schummer, E., Seifrle, W. G., Siller and P. H. L. Wight.


1977.Anatomy of Domestic Bird. Verlag Paul Parey, Berlin.

North, M. O. dan D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th


Edition. Van Nostrad Rein Hold, New York.

Pasha, T. N., M. U. Farooq, F. M. Khattak, M. A. Jabbar and A. D. Khan. 2007.


Effectiveness of sodium bentonite and two commercial products as
aflatoxin absorbents in diets for broiler chicken. Animal Feed Science and
Technology. 132: 103-110. http://www.aseanfood.info/scripts/count-
article.asp?. [27 Maret 2007].

Pond, W. G., D. C. Church and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and
Feeding. 4th Edition. John Wiley and Sons, New York.

Poultry Indonesia. 2003. Menelusuri Jejak starin-strain ayam ras terpilih


http://poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=print&sid=23
5 [9April 2007]

Prilyana, J. D. 1984. Pengaruh pembatasan pemberian ransum terhadap persentase


karkas, lemak abdominal, lemak daging paha, dan bagian giblet ayam
pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. 2005.
Bentonit. Data Pertambangan Mineral dan Batubara.
http://www.tekmira.esdm.go.id. [12 Februari 2007].

Puspitasari, D. I. 2006. Kajian pemberian tepung daun salam (syzygium polyanthum


(wight) Walp.) dalam ransum sebagai bahan anti bakteri Escherchia coli
terhadap organ dalam ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Putnam, P. A. 1991. Handbook of Animal Science. Academic Press. San Diego.

Radiyati, T. dan W. M. Agusto. 1990. Tepung tapioka. BPTTG Puslitbang Fisika-


LIPI, Subang. http://www.ristek.go.id.[26 Maret 2007].

Raharjo, A. 1997. Bahan perekat pakan udang. Majalah Trobos 328 Th. XXVIII,
Maret 1997, Jakarta.

Rahmayeni. 2002. Uji sifat fisik ransum ayam broiler starter bentuk pellet dengan
penambahan perekat onggok. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi Kedua. NV Percetakan Bali.


Denpasar.

Rose, S. P. 1997. Principles of Poultry Science. CAB International, London.

Salamah. 2007. Pengaruh penambahan bahan perekat dalam ransum bentuk crumble
terhadap performan ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Salari, S., H. Kermanshasi and H. N. Moghaddam. 2006. Effect of sodium bentonite


and comparison of pellet vs mash on performance of broiler chicken.
International Journal of Foultry Science. 5 (1): 31-34.
http://www.pjbs.org/ijps/fin506.pdf. [26 Maret2007]

Schaible, J. 1979. Poultry: Feed and Nutrition. 3rd Edition. The Avi Publishing
Company, Inc., Westport. East Lansing. Michigan.

Setiadi, W. 1994. Pengaruh pemberian bahan perekat dalam ransum terhadap


performan ayam dan kadar air feses ayam broiler. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sierad Produce. 2007. Pembibitan PT. Sierad Produce: Broiler chicks AS 101. PT.
Sierad Produce. http://www.sierad produce.com. [13 Februari 2007]
Soeprobo, W. 1986. Pengaruh penggunaan dua macam bahan perekat karboksilmetil
sellulosa (Carboxy Methyl Cellulose-CMC) dan tepung tapioka dalam
makanan terhadap pertumbuhan udang wind (Panaeas monodon). Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua.
Terjemahan: B. Sumantri. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sturkie, P. D. 1976. Avian Physiology. 3rd Edition. Spinger-Verlag. New York.

Suliantari dan W. P. Rahayu. 1990. Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Biji-


bijian. Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan dan PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Suprayitno, 2006. Persentase karkas, lemak abdominal dan organ dalam ayam
pedaging yang diberi ransum mengandung limbah restoran hotel sahid
sebagai substitusi dedak padi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Supriyati, D. Zaenudin, I. P Kompiang, Soekamto dan D. Abdurachman. 2005.


Onggok untuk bahan baku pakan. Majalah Poultry Indonesia. November
2002. 271: 60-61.

Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan duckweed (famili lemnaceae) sebagai pakan serat


sumber protein dalam ransum ayam pedaging. Disertasi. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Syukron, M. 2006. Kandungan lemak dan kolesterol daging serta persentase organ
dalam ayam broiler yang diberi ransum finisher dengan penambahan kepala
udang. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tabil, L. G., Jr. S. Sokhansanj and R. T. Tyler. 1997. Perfomance of different binders
during alfalfa pelleting. Canadian Agric. Enginering. 39: 017-023

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Wibowo, S. S. 1986. Pemeliharaan Udang Galah di Kolam Air Tawar. PT. Waca
Utama Pramesti bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Jakarta, Jakarta.

Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Konstektual. Fakultas Peternakan-


Perikanan. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Widyaningrum, F. 2007. Proses produksi pakan PT. Jafpa Comfeed Indonesia Tbk
unit Tangerang-Banten. Laporan Magang. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Wikantiasi, A. 2001. Uji sifat fisik pakan ikan jenis pellet tenggelam dengan proses
pengukusan dan tingkat penambahan tepung tapioka sebagai perekat.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wikipedia. 2007. Pati (polisakarida). http://id.wikipedia.org/wiki/pati_(polisakarida).


[24 Februari 2007].

Winarno, F. G. 1986. Monografi Limbah Pertanian. Kementrian Muda Urusan


Pertanian, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Label Ransum Komersial
Lampiran 2. Rataan Konversi Ransum, Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi
Ransum Ayam Broiler selama 5 Minggu Pemeliharaan
Peubah Onggok Bentonit Tapioka Komersial

Konversi ransum 2,01 1,94 1,97 1,63


Pertambahan bobot badan
1085,1 1101,13 1022,60 1528,08
(gram/ekor)
Konsumsi ransum
2048,28 1982,80 1906,96 2351,91
(gram/ekor)
Sumber : Salamah (2007)
Lampiran 3. Uji Sifat Fisik Ransum Penelitian
Peubah Onggok Bentonit Tapioka Komersial

Kadar air (%) 11,35 9,70 9,42 11,45

Durability (%) 89,98 95,00 94,35 93,07

Ukuran partikel (mm) 3,15 3,30 3,52 4,38

Ketahanan benturtan (%) 98,4 98,92 98,00 98,4


Sumber : Khusniati (2007)

Lampiran 4. Sidik Ragam Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01
Perlakuan 2 6093.33 3047 0.4792 3.74 6.51
Error 12 76300 6358
Total 14 82393.33

Lampiran 5. Sidik Ragam Persentase Bobot Hati Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.000022 0.000011 0.3169 3.74 6.51
Error 12 0.000423 0.000035
Total 14 0.000446

Lampiran 6. Sidik Ragam Persentase Bobot Jantung Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.000008 0.000004 0.3933 3.74 6.51
Error 12 0.000118 0.00001
Total 14 0.000125
Lampiran 7. Sidik Ragam Persentase Bobot Limpa Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.000022 0.000011 0.9186 3.74 6.51
Error 12 0.000144 0.000012
Total 14 0.000167

Lampiran 8. Sidik Ragam Persentase Bobot Rempela Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.000044 0.000022 0.0836 3.74 6.51
Error 12 0.00313 0.000261
Total 14 0.003174

Lampiran 9. Sidik Ragam Persentase Bobot Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT F F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.000014 0.000007 0.3773 3.2389 5.2922
Error 12 0.000221 0.000018
Total 14 0.000234

Lampiran 10. Sidik Ragam Persentase Bobot Jejunum Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT F F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.00002 0.000011 0.9425 3.2389 5.2922
Error 12 0.00014 0.000012
Total 14 0.00017

Lampiran 11. Sidik Ragam Persentase Bobot Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT F F0.05 F0.01
Perlakuan 2 0.00012 0.0000615 4.1490* 3.2389 5.2922
Error 12 0.00018 0.0000148
Total 14 0.0003
Keterangan : * berbeda nyata (P<0,05)

Uji Jarak Duncan Persentase Bobot Ileum


Perlakuan Rataan Huruf
Onggok 0.049 b
Bentonit 0.052 ab
Tapioka 0.056 a
Lampiran 12. Sidik Ragam Panjang Relatif Duodenum Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT F F0,05 F0,01
Perlakuan 2 0.15319 0.076595 1.279736 3.238872 5.292214
Error 12 0.718226 0.0598522
Total 14

Lampiran 13. Sidik Ragam Panjang Relatif Jejunum Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT F F0,05 F0,01
Perlakuan 2 3.070761 1.5353804 6.787951** 3.238872 5.292214
Error 12 2.714304 0.226192
Total 14
Keterangan : ** berbeda sangat nyata (P<0,01)

Uji Duncan Panjang Relatif Jejunum


Perlakuan Rataan Huruf
Onggok 7.2297 C
Bentonit 6.1229 B
Tapioka 6.7252 A

Lampiran 14. Sidik Ragam Panjang Relatif Ileum Ayam Broiler Umur 35 Hari
SK db JK KT F F0,05 F0,01
Perlakuan 2 0.229266 0.1146332 0.340939 3.238872 5.292214
Error 12 4.034737 0.3362281
Total 14

Anda mungkin juga menyukai