Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

SEORANG PEREMPUAN 25 TAHUN DENGAN FEBRIS 5 HARI

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior


Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Syifa Sabilla Jatmiputri
22010116220336

Dosen Pembimbing:
dr. Pujo Hendriyanto, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017

1
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. TJ

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 25 tahun

Alamat : Tembalang, Semarang

Agama : Islam

Pekerjaan : Pekerja pabrik obat

Bangsal : Nakula 2

Masuk RS : 29 Mei 2017

No. CM : 177119

Status : BPJS Non PBI

II. DATA DASAR


A. SUBYEKTIF
Anamnesis secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 29 Mei 2017
pukul 14.00 di bangsal Nakula 2 kamar 3.8

Keluhan Utama : Demam 5 hari


Riwayat Penyakit Sekarang :
5 hari SMRS pasien mengeluh demam naik turun. Demam
awalnya dirasakan nglemeng, namun semakin lama semakin tinggi
terutama saat tengah malam subuh. Demam membuat pasien tidak dapat
beraktvitas dan hanya berbaring di tempat tidur. Demam berkurang ketika

2
pasien meminum obat penurun panas, namun setelah itu demam kembali
dirasakan. Tidak ada faktor yang memperberat demam.

Demam juga disertai menggigil (+), nyeri kepala (+), badan lemas
(+), nyeri seluruh tubuh (+), mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun
(+), batuk (-), sesak (+), nyeri ulu hati (+), sakit perut (-), mimisan (-), lidah
kotor (-), gusi berdarah (-), nyeri pada betis (-), bercak merah pada kulit (-),
BAK seperti teh (-), darah (-), nyeri berkemih (-), anyang-anyangan (-),
BAB dalam batas normal. Pasien sempat berobat ke RS. Roemani, namun
karena keluhan tak kunjung membaik, pasien memutuskan untuk berobat ke
IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro pada tanggal 29 Mei 2017.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (-)


Riwayat penyakit demam berdarah (-)
Riwayat demam tifoid (-)
Riwayat tinggal di daerah endemis demam berdarah (+) di Semarang

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat anggota keluarga menderita demam berdarah (-)


Riwayat orang di lingkungan sekitar pasien menderita demam berdarah
(-)
Riwayat keluarga menderita typhoid (-)
Riwayat orang di lingkungan sekitar pasien menderita typhoid (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien adalah pekerja pabrik obat, belum menikah dan masih
tinggal bersama kedua orang tuanya dan 1 orang kakak . Pembiayaan
dengan BPJS Non PBI.
Kesan Sosial Ekonomi : cukup

3
B. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Nakula tanggal 29 Mei 2017 pukul
14.00 WIB.
Keadaan umum : tampak sakit ringan (skala nyeri : 3)
Kesadaran : composmentis, GCS: E4M6V5= 15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/menit
Frekuensi nafas : 22x/menit
Suhu : 39oC (aksiler)
Kulit : turgor kulit cukup, ikterik (-), petechiae (-)
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-), nafas cuping hidung
(-)
Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), mukosa kering (-), lidah
kotor (-), perdarahan gusi (-), pembengkakan gusi
(-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Leher : trakea ditengah, pembesaran limfonodi (-)

Thoraks :
Dada : simetris, bentuk normal, retraksi dinding dada (-),
sela iga melebar (-)

Paru Depan :
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru

4
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Paru Belakang :
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea mid
clavicularis sinistra, kuat angkat (-), pulsasi
epigastrial (-), pulsasi parasternal (-), sternal lift (-)
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II murni, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar (-), venektasi (-), luka (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area
Traube pekak
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Petekie -/- -/-
Nyeri tekan m. gastroknemius -/- -/-
Cappilary refill time <2 detik <2 detik

5
DAFTAR ABNORMALITAS

1. Febris akut 5 hari


2. Menggigil
3. Cephalgia
4. Malaise
5. Myalgia
6. Nausea
7. Vomitus
8. Nafsu makan menurun

ANALISIS SINTESIS
1,2,3,4,5,6,7,8 Febris akut 5 hari

DAFTAR MASALAH
1. Febris akut 5 hari

RENCANA PEMECAHAN MASALAH


Problem 1. Febris akut 5 hari
Assessment : Etiologi : - Demam tifoid
- Demam dengue
Initial Plan :
- Ip Dx : Tes Widal, IgM IgG dengue, pemeriksaan darah rutin
- Ip Rx : - Infus RL 20 tpm
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Ip Mx : Keadaan umum, tekanan darah, nadi, laju pernafasan, suhu per 24
jam
- Ip Ex :

6
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan darah guna mencari penyebab penyakit.
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa asupan makanan
sangat penting untuk perbaikan kondisi tubuh sehingga
diedukasikan agar mengonsumsi makanan yang diberikan oleh
RS

CATATAN KEMAJUAN
Tanggal 30 Mei 2017
Problem 1. Febris akut 5 hari
S : Pasien mengeluh demam (+), nyeri kepala (+), badan lemas, nafsu
makan (-), mual (+), muntah (+)
O : KU : tampak sakit ringan, compos mentis
TD : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit T : 38,9oC

Hematologi Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 13.2 11.7 15.5 g/Dl
Hematokrit 39.10 35 47 %
Leukosit 1.9 (L) 3.6 11 ribu/uL
Trombosit 123 (L) 150 400 ribu/uL
Serologi (Widal Test) Hasil Nilai Normal
Salmonella typhii O (+) 1/320 Negatif
Salmonella typhii H (+) 1/320 Negatif

A : Demam tifoid
P : - Infus RL 20 tpm
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Pemeriksaan darah rutin

7
Tanggal 31 Mei 2017
Problem 1. Demam Tifoid
S : Pasien mengeluh demam (-), nyeri kepala (+), badan lemas (-), nafsu
makan (+), mual (+), muntah (+)
O : KU : tampak sakit ringan, compos mentis
TD : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit T : 36,8oC

Hematologi Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 13.5 11.7 15.5 g/Dl
Hematokrit 39.7 35 47 %
Leukosit 2.6 (L) 3.6 11 ribu/uL
Trombosit 73 (L) 150 400 ribu/uL

A : Demam tifoid
P : - Infus RL 20 tpm
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Ondansentron 4 mg/12jam iv
- Pemeriksaan darah rutin

8
Tanggal 1 Juni 2017
Problem 1. Demam Tifoid
S : Pasien mengeluh demam (-), nyeri kepala (+), badan lemas (+),
nafsu makan (+), mual (+), muntah (-)
O : KU : tampak sakit ringan, compos mentis
TD : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit T : 36,5oC

Hematologi Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 12.8 11.7 15.5 g/Dl
Hematokrit 37.10 35 47 %
Leukosit 3.8 3.6 11 ribu/uL
Trombosit 62 (L) 150 400 ribu/uL
Dengue Blot Hasil Nilai Normal
IgM - Negatif
IgG + Negatif

A : Demam tifoid
P : - Infus RL 20 tpm
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Ondansentron 4 mg/12jam iv
- Pemeriksaan darah rutin

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Tifoid

2.1.1 Epidemiologi
Demam tifoid atau yang sering dikenal dengan penyakit tifus, saat ini
masih menjadi penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular
dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit
menular lainnya, demam tifoid banyak ditemukan di negara berkembang
dengan hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan
setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di Amerika Serikat
adalah 300-500 kasus pertahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika
Latin sekitar 150/100.000 penduduk pertahunnya, sedangkan di Asia sekitar
900/100.000 penduduk per tahun.2
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi
yang berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga yakni adanya anggota keluarga dengan riwayat
terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah.1
Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI
tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke 3 dari 10 pola
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
(41.081 kasus).1

2.1.2 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi
(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanna yang

10
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propia.1,3
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel fagosit
terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Fase ini
disebut sebagai fase inkubasi yang berlangsung 7 sampai 14 hari. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,3
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskuler,
mental, dan koagulasi.1,3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan ( S. thypi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat

11
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.1,3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.1,3

2.1.3 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya demam tifoid :
Higiene personal yang kurang baik, terutama jarang mencuci tangan.
Higiene makanan dan minuman yang kurang baik, misalnya
makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar debu atau
sampah atau dihinggapi lalat.
Sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Adanya outbreak demam tifoid di sekitar tempat tinggal sehari-hari.
Adanya carrier tifoid di sekitar pasien.
Kondisi imunodefisiensi.4

2.1.4 Gambaran Klinis


Pengetahuan gambaran klinis demam tifoid sangat penting guna deteksi
penyakit secara dini. Pada minggu pertama gejala klinis yang dapat
ditemukan antara lain :
Demam turun naik terutama sore dan malam hari dengan pola
intermitten dan kenaikan suhu step ladder. Demam tinggi dapat
terjadi terus menerus (demam kontinu) hingga minggu kedua.
Sakit kepala yang sering dirasakan di area frontal.
Gangguan gastrointestinal berupa konstipasi dan meteorismus atau
diare, mual, muntah, nyeri abdomen dan BAB berdarah.

12
Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk,
anoreksia, insomnia.1,3,4
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut 8
kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental
dan kesadaran.1,3,4

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid antara lain :
Darah perifer lengkap beserta hitung jenis leukosit
Dapat menunjukkan : leukopenia / leukositosis (dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder) / jumlah leukosit normal, limfositosis
relative, monositosis, trombositopenia ringan, anemia.1,3,4
Serologi
IgM antigen O9 Salmonella thypi (TUBEX-TF)
Hanya dapat mendeteksi antibodi IgM Salmonella thypi. Dapat
dilakukan pada 4-5 hari pertama demam.3,4,5
SKOR INTERPRETASI KETERANGAN
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid
aktif
3 Borderline Tidak dapat disimpulkan
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Enzyme Immunoassay test (Typhidot)

13
Dapat mendeteksi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar Salmonella thypi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi.1,3,4,5
Tes Widal
Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman S.
thypi yang dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari. Interpretasi
hasil positif bila titer aglutini O minimal 1/320 atau didapatkan
peningkatan titer hingga 4 kali pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5-7 hari. Hasil pemeriksaan Widal sering terjadi positif palsu
oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang
bervariasi dan standardisasi yang kurang baik. Oleh karena itu,
pemeriksaan Widal tidak direkomendasikan jika hanya dari 1 kali
pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang
dapat mengakibatkan over diagnosis dan over treatment. Faktor lain
yang dapat mempengaruhi hasil tes Widal adalah pengobatan dini
dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, pemberian
kortikosteroid, dan waktu pengambilan darah.1,3,4,5
Kultur Salmonella thypi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen :
Darah : pada minggu pertama sampai akhir minggu ke 2 sakit, saat
demam tinggi
Feses : pada minggu kedua sakit
Urin : pada minggu kedua atau ketiga sakit
Cairan empedu : pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi
carrier typhoid 3,4,5
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal seperti berikut :

14
Telah mendapatkan terapi antibiotik sebelum dilakukan
pengambilan sampel kultur.
Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc). darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
Riwayat vaksinasi, dimana vaksinasi menimbulkan antibodi /
agglutinin dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif.
Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
agglutinin semakin meningkat.1,3,4,5
Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, seperti SGOT/SGPT,
kadar lipase dan amilase1,3,4,5

2.1.6 Penegakkan Diagnosis


Possible case
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,
gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar, dan
hepato/splenomegali. Diagnosis possible case hanya dibuat pada
pelayanan kesehatan primer.6
Probable case
Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta
didukung gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid.6
Definite case
Diagnosis pasti, ditemukan S.thypi pada pemeriksaan biakan atau
positif S. thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer
Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal
O 1/320, H 1/640 yang menetap pada pemeriksaan ulang.6
Tifoid karier

15
Merupakan seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
S.thypi setelah 1 tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala
klinis.1,3,5
Diagnosis banding dari demam tifoid antara lain : demam berdarah
dengue, malaria, leptospirosis, infeksi saluran kemih, hepatitis A, sepsis,
tuberculosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses dalam,
demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.3,4

2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi suportif
Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
Menjaga kecukupan asupan cairan yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral
Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein,
rendah serat
Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
kesadaran) kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien.4,6
Terapi simptomatik untuk menurunkan demam dan mengurangi keluhan
gastrointestinal4,6
Terapi definitif
Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol,
ampisilin / amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazole. Sedangkan
antibiotik lini kedua yang dianjurkan adalah seftriakson, sefiksim dan
kuinolon.4,6

16
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di berbagai negara.
Tedapat 2 jenis vaksinasi yakni Ty21a (oral) dengan pengulangan setiap 6
tahun dan vaksin ViCPS (parenteral) dengan pengulangan setiap 2 tahun.
Indikasi dilakukan vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah

17
endemik demam tifoid, orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid
karier, petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.1,4,6,7
Vaksin hidup oral Ty21a dikontraindikasikan pada seseorang yang alergi
atau ada riwayat efek samping berat, penurunan imunitas, kehamilan. Bila
diberikan bersama dengan obat antimalaria (klorokuin, meflokuin)
dianjurkan minimal 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi.
Dianjurkan untuk tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamide atau antimikroba lainnya.1,4,6,7

2.1.8 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibawah ini biasa terjadi pada minggu kedua
dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus,
sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.
Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid, panas tinggi yang disertai
dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari
delirium sampai koma.
Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala
toksemia yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan
hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi halus dan cepat,
keringat dingin, dan akral dingin.
Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga
diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi
ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas
bebas dalam rongga perut.
Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.

18
Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase
dan amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT-Scan.
Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan X
Foto Thorax.1,3,4

2.1.9 Rencana Tindak Lanjut


Bila pasien dirawat dirumah, dokter atau perawat dapat melakukan
kunjungan follow up setiap hari setelah dimulainya tatalaksana. Respon
klinis terhadap antibiotik hendaknya dinilai setelah penggunaannya selama 2
minggu.
Indikasi perawatan dirumah, antara lain :
- Gejala klinis ringan, tidak ada tanda-tanda komplikasi yang
membahayakan
- Kesadaran baik
- Dapat makan dan minum dengan baik
- Keluarga cukup mengerti cara merawat dan tanda bahaya yang akan
timbul dari tifoid
- Rumah tangga pasien memiliki dan melaksanakan system pembuangan
eksreta yang memenuhi syarat kesehatan
- Keluarga pasien mampu menjalani rencana tatalaksana dengan baik
Pasien harus dirujuk apabila :
- Demam tifoid dengan keadaan umum yang berat
- Tifoid dengan komplikasi
- Tifoid dengan komorbid yang berat
- Telah mendapat terapi selama 5 hari namun tak ada perbaikan.4

19
2.2 Demam Berdarah Dengue

2.2.1 Pengertian Demam Dengue

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak

ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia

Tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah

manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili

Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3

dan Den -4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi,

khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus yang terdapat hampir di

seluruh pelosok Indonesia.11,12

Spektrum klinis infeksi dengue

Gambar 1. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011

Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines

for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011

dengan modifikasi.

20
2.2.2 Patogenesis

Nyamuk Aedes sp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus

dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh

darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian

menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,

dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan

bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur

virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi

ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut

tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.

Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi

biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-

mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri dari

antibodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik

yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non neutralizing serotype yang

mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan

dalam patogenesis DBD dan DSS. Terdapat dua teori atau hipotesis

immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial yaitu infeksi

sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent

enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan,

bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue,

21
akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut

untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi

sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang

berat. Ini terjadi karena antibodi heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,

akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang

berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks

yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi

dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet

activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement)

infeksi virus dengue. TNF alpha akan menyebabkan kebocoran dinding

pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan

kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum

diketahui dengan jelas.

Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan

merangsang komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat

vasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok

hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang

terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak

tersebut terjadi non neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten.

Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan

langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag mudah

terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.

Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis

22
virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus

tersebut, tetapi sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus,

justru akan menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik

virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh

IgM, IgG1 dan IgG3.

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang

pathogenesis DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan

pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4

yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara

daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang

berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem

komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada

48-72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus

dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya

dan akan mempengaruhi mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang

lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang

terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon,

IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggung

jawab pada terjadinya syok septik, demam dan peningkatan permeabilitas

kapiler.

Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam

beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan

jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan

23
kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh

gangguan metabolik.12

2.2.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue

dapat terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi

menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD)

sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari

demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated

organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan

tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang

tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated

organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak;

sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak.13

2.2.4 Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue

Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi

dengue, yaitu :17

Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi

Fase kritis/ perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan

plasma dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites

Fase recovery/ penyembuhan/ convalescence: perembesan plasma

mendadak berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.

24
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue

Sumber: Center for Disease Control and Prevention. Clinicians case management. Dengue

Clinical Guidance. Updated 2010.

2.2.5 Gambaran klinis

a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)

Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan

dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular,

timbul saat demam reda.

Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering dijumpai.

b. Demam dengue (DD)

Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &

sendi/tulang, nyeri retroorbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial

flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan

25
depresi umum.

Pemeriksaan fisik

Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari

Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),

leher, dan dada

Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform.

Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian

dorsal, lengan atas, dan tangan

Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada

kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal.

Manifestasi perdarahan

Uji bendung positif dan/atau petekie

Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna

(jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)

c. Demam berdarah dengue

Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam,

kritis, dan masa penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase demam

Anamnesis

Terdapat demam tinggi dalam waktu 2 hingga 7 hari dengan suhu dapat

mencapai 40C, serta mungkin terjadi kejang demam. Dapat pula dijumpai facial

26
flush, nyeri retro-orbita, mual, muntah, eritema kulit, nyeri kepala, nyeri otot dan

sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga

kanan, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik

Manifestasi perdarahan

Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan

manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase

demam awal.

Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.

Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

Epistaksis, perdarahan gusi

Perdarahan saluran cerna

Hematuria (jarang)

Menorrhagia

Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan

kelainan fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada

DBD.

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,

perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),

hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.

27
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga

pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.13,14

Fase kritis

Tidak semua penderita demam dengue melewati fase kritis. Fase kritis dialami

oleh penderita dengue yang mengalami peningkatan permeabilitas kapiler

sehingga terjadi perembesan plasma(plasma leakage). Fase kritis yang terjadi

pada saat perembesan plasma berawal pada masa transisi dari saat demam ke

bebas demam (disebut fase time of fever defervescence). Warning sign biasanya

mengawali fase kritis. Keadaan pasien cenderung memburuk pada time of fever

defervescence dengan penurunan suhu tiba-tiba pada hari ke tiga hingga lima

sakit. Leukopenia progresif diikuti dengan penurunan drastis trombosit

biasanya menandakan terjadinya perembesan plasma.13,14 Selain itu fase ini

mungkin ditandai dengan :

Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema

pada dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right

lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi

perembesan plasma tersebut.

Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g%

yang merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma

Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,

sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,

28
tekanan nadi 20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral

dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<

1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.

Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia,

ketidakseimbangan elektrolit, kegagalan multipel organ, dan

perdarahan hebat apabila syok tidak dapat segera diatasi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)

Fase penyembuhan dimulai 24-48 hari setelah fase kritis berakhir. Fase

penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali. Ini

merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat

ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash

seperti pada DD. Pada fase ini leukosit dan hematokrit mungkin sudah kembali

normal di awal fase namun perbaikan trombosit membutuhkan waktu lebih

lama.13

d. Expanded dengue syndrome

Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal,

otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta,

komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium

(WHO, 2011)15

29
Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung

terus-menerus selama 2-7 hari

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,

purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis,

dan/melena

Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan

nadi (20 mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit

lembab, dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratorium

Trombositopenia (100.000/mikroliter)

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit

20% dari nilai dasar / menurut standar umur dan jenis kelamin

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia

dan hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit20%.

Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

Dijumpai tanda perembesan plasma

Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)

Hipoalbuminemia

30
Perhatian:

Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia

yang jelas, mendukung diagnosis DSS.

Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok

sepsis.

2.2.7 Komplikasi Demam Dengue

Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat,

dan trauma.

Demam Berdarah Dengue

Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

Kelainan hepar dan pankreas dapat terjadi pada pasien dengan

dengue berat seperti pankreatitis,hepatitis dan acalculous

31
kolesistitis.

Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan

gagal ginjal akut.

Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat

overloading pemberian cairan pada masa perembesan plasma

Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik &

perdarahan hebat (DIC, kegagalan organ multipel)

Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat

syok berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai

2.2.8 Diagnosis Banding

Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari

demam dengue dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah

tropis. Maka untuk membedakan dengan campak, rubela, demam

chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid, perlu

ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam.

Pemeriksaan laboratorium diperlukan sesuai indikasi.

Penyakit darah seperti trombositopenia purpura idiopatik (ITP),

leukemia, atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari

pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai

pemeriksaan pungsi sumsum tulang apabila diperlukan.

Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu

difikirkan apabila anak mengalami demam disertai syok.

32
2.2.9 Pemeriksaan Penunjang 16

Laboratorium

1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,

hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah

demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6.

Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan

adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.

2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue

Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-

5 sakit, mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan

akan menurun/ menghilang pada akhir minggu keempat

sakit.

Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi

pada hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4

tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan

terdeteksi pada hari sakit ke-2.

Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer

dari infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan

infeksi primer namun apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan

infeksi sekunder.

33
Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas

indikasi,

Distres pernafasan/ sesak

Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat

kelainan radiologis terjadi apabila pada perembesan plasma telah

mencapai 20%-40%

Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk

menilai edema paru

Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru

terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak

dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada

kanan, dan efusi pleura.

Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan

34
dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.

2.2.10 Penatalaksanaan17,18

Tidak ada spesifikasi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah

terapi suportif. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang

paling penting dalam penangannan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap

dijaga terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu

dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk

mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok.

Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), dan trombosit bila :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-

150.000, pasien dapat diipulangkan dengan anjuran control.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan

untuk dirawat.

35
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif dan tanpa syok

maka diruang rawat diberikan cairan infuse kristaloid dengan jumlah seperti

rumus berikut ini :

1500 + {20 x (BB dalam kg 20)}

Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian

cairan tetap.

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian

cairan sesuai sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan

peningkatan Ht > 20%

36
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%

Meningkatnya Hematorit > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit

cairan sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan

infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Kemudian dipantau setelah 3-4

jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda

hemaokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin

meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi tetap tidak

membaik, yang ditandai dengan ematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi

menurun < 20 mmHg, produksi urin mneurun, maka kita harus menaikkan

jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.

37
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa.

Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia),

perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan

tersembunyi dengan jumlah pendarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada

keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian pemberian cairan tetap

38
seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan

tanda- tanda koagulasi intravascular diseminata (KID). Tranfusi komponen darah

diberikan sesuai indikasi. FPP diberikan bila didapatkan defisiensi factor-faktor

pembekuan. PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Tranfusi trombosit

hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan

jumlah trombosit < 100.000/ mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa

Bila kita berhadapan dengan sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama

yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu

penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan.

Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.

Pemeriksaan- pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah

perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan

klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur

sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15- 30 menit. Bila renjatan telah

teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam.

Bila syok teratasi (tekanan sistolik 100mmHg, tekanan nadi >20mmHg,

frekuensi nadi <100x/menit dengan volume cukup, kulit tidak pucat) jumlah

cairan dikurangi menjadi 7 ml/kg/jam

bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil jumlah cairan menjadi 3

ml/kg/jam.

39
Bila dalam 24-48 jam setelah renjatan teratasi, vital sign dan hematokrit

stabil, diuresis cukup cairan per-infus dihentikan.

Pengawasan renjatan berulang dalam 48 jam setelah renjatan I

Bila setelah fase awal pemberian cairan renjatan belum teratasi,

tingkatkan cairan kristaloid menjadi 20-30 ml/kgBB, evaluasi setelah

20-30 menit. Bila belum teratasi, perhatikan nilai Hematokrit

(peningkatan hematokrit artinya perembesan plasma masih berlangsung

cairan koloid; penurunan hematokrit artinya terjadi internal bleeding

transfusi darah segar 10 ml/kgBB)

Pemberian koloid mula-mula dengan tetesan cepat 10-20ml/kgBB

evaluasi setelah 10-30menit:

Bila belum teratasi katater vena sentral, peningkatan cairan koloid

hingga 30ml/kgBB (maks 1-1,5 L/hari) dengan sasaran tek.vena sentral

15-18 cm H2O

Bila tek.vena sentral sdh sesuai dengan target terapi renjatan tapi belum

teratasi, diberi obat inotropik/vasopressor

40
41
BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis yang dilakukan tanggal 29 Mei 2017,


didapatkan data bahwa pasien datang dengan keluhan demam naik turun 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Demam awalnya dirasakan nglemeng, namun
semakin lama semakin tinggi terutama saat tengah malam sampai subuh. Demam
membuat pasien tidak dapat beraktivitas dan hanya berbaring di tempat tidur.
Demam sempat berkurang ketika diberi obat penurun panas, namun setelah itu
demam kembali dirasakan. Tidak ada faktor yang memperberat demam. Demam
juga disertai menggigil, nyeri kepala, badan lemas, nyeri seluruh tubuh, nyeri ulu
hati, mual, muntah setiap kali makan atau minum, dan nafsu makan menurun.
Tidak ditemukan tanda-tanda perdarahan pada pasien seperti mimisan, gusi
berdarah, maupun bercak merah pada kulit. Tidak didapatkan pula nyeri pada
betis. Buang air kecil dan buang air besar dalam batas normal. Pasien sempat
berobat ke RS. Roemani, namun karena keluhan tak kunjung membaik, pasien
memutuskan untuk berobat ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro pada
tanggal 29 Mei 2017.
Saat ini (hari ke-1 perawatan di RSDK), pasien mengeluhkan nyeri
kepala (+), mual (+), muntah (+), nafsu makan sudah mulai membaik, nyeri
diseluruh tubuh (-), demam (-), badan lemas (-), bintik merah di kulit (-),
mimisan (-), gusi berdarah (-), batuk (-), nyeri ulu hati (-), nyeri betis (-), BAK
lancar, nyeri berkemih (-), diare (-).
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit demam berdarah maupun demam
tifoid. Pasien memiliki riwayat (2 hari sebelum keluhan muncul) makan
makanan sembarangan + mie instan serta pedas. Lingkungan rumah pasien tidak
terdapat banyak tikus dan tidak ada kontak dengan air kencing tikus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak lemah
dan kesadaran composmentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88x/menit,
laju pernapasan 22x/menit, dengan suhu 39oC. pemeriksaan paru, jantung, dan

42
abdomen dalam batas normal. Berdasarkan hal diatas, maka kasus ini memenuhi
syarat sebagai possible case tifoid dimana dalam hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik ditemukan klinis tifoid seperti demam yang khas, gejala
gangguan gastro intestinal, dan gangguan pola buang besar.6
Di RSUD, dilakukan assessment pada pasien ini yaitu mencari
penyebab/ etiologi dari demam untuk mempertimbangkan kemungkinan
diagnosis yang dapat terjadi seperti demam tifoid, demam berdarah. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan
differential diagnosis adalah Tes Widal S typhi O dan S typhi H serta
pemeriksaan darah rutin.3,4
Pada assessment yang sudah dilakukan untuk tes widal didapatkan hasil S
typhi O (+) 1/320 dan S typhi H (+) 1/320 dan pada pemeriksaan darah rutin
didapatkan adanya trombositopenia 123.000/uL serta leukopenia 1.9/uL.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut mengindikasikan kuat bahwa pasien terkena
infeksi tifoid.3,4,5
Berdasarkan hasil assessment yang telah dilakukan, pasien ini termasuk
kasus definite case karena pemeriksaan gold standard untuk tifoid yakni kultur
biakan atau PCR atau Widal telah dilakukan. Sebenarnya untuk tes Widal saat
ini bukan menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan karena hasil
pemeriksaan Widal sering terjadi positif palsu oleh karena reaksi silang dengan
non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue
dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang
bervariasi dan standardisasi yang kurang baik. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi hasil tes Widal adalah pengobatan dini dengan antibiotik,
gangguan pembentukan antibodi, pemberian kortikosteroid, dan waktu
pengambilan darah.1,3,4,5
Selama perawatan di RSUD pasien diberikan infus RL 20 tpm,
Cefotaxim 1 gram/12 jam iv, Ranitidin 1 gram/12 jam iv, Paracetamol 1 gram/8
jam po, Ulsafat 1cth/8 jam po, Ondansentron 4 mg/12jam iv. Hal ini sesuai
dengan guideline terapi demam tifoid yakni dalam tatalaksana demam tifoid
diberikan 3 macam terapi yakni terapi suportif, terapi simptomatik, dan terapi
definitif. Untuk terapi suportif dalam terapi pasien ini adalah pemberian infus RL

43
30 tpm guna menjaga kecukupan asupan cairan. Terapi simptomatik yang
diberikan yakni parasetamol sebagai antipiretik dan analgesik, sedangkan untuk
ulsafat dan ondansentron untuk meredakan gangguan gastrointestinal. Terapi
definitif yang diberikan berupa antibiotik yakni cefotaxim.4,6
Berdasarkan guideline terapi untuk demam tifoid, antibiotik lini pertama
yang dianjurkan adalah kloramfenikol, ampisilin / amoksisilin, dan
kotrimoksasol.4,6 Namun saat ini telah banyak dilaporkan kasus resistensi bakteri
Salmonella thypi terhadap antibiotik lini pertama tadi.6,8 Kloramfenikol sudah
sejak lama digunkaan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun
kekurangan dari kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5 7%),
angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Cefotaxim
memiliki angka kekambuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan
demam 5 7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan
serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.8
Disamping itu berdasarkan WHO, 2011 disebutkan bahwa terapi tifoid
non komplikata yang dianjurkan saat ini adalah adalah golongan Quinolon.
Antibiotik golongan Quinolon yang salah satu contohnya adalah ciprofloxacin
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid karena persentase angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Quinolone memiliki penetrasi ke
jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. thypi intraseluler di dalam
monosit / makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu
dibandingkan dengan antibiotik lain.8
Pada tanggal 1 Juni 2017 (perawatan hari ke-4) pasien menunjukkan
perbaikan klinis, dimana pasien sudah tidak merasakan demam, nyeri kepala,
maupun mual muntah, nafsu makan pun sudah membaik. Pada hasil pemeriksaan
didapatkan trombositopenia 62.000, IgM () dan IgG (+). Ig M () dan Ig G (+)
menunjukkan dugaan bahwa pasien pernah mengalami demam berdarah (dugaan
infeksi sekunder), pada infeksi sekunder Ig G mulai terdeteksi pada hari ke 2.
Sehingga pasien mendapatkan terapi lanjutan dengan demam tiphoid.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo, Djoko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. hal 549-558.

2. Widoyono. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga. 2005. hal 34-36.

3. Wibisono, Elita, Susilo Aditya, Nanggolan Leonard. Kapita Selekta


Kedokteran Jilid II Edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius. 2014. Hal 721-723.

4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi


Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. 2014. hal 104-112.

5. World Health Organization (WHO). Background document : The diagnosis,


treatment and prevention of typhoid fever; 2003.
6. KONAS PETRI. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid diperuntukkan
bagi Dokter Umum dan Dokter Spesialis. Bali. 2010
7. World Health Organization (WHO). Guideline for the Management of
Typhoid Fever : WHO; 2011.
8. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and
safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast
Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1):126-30
9. Perhimpunan Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia. SPEED-2016:
Current Infectious Disease Problems and Challenges in The BPJS Era.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2016
10. Perhimpunan Konsultan Penyakit Tropik dan Infeksi Indonesia. SPEED-4:
Infectious Disease Update. Semarang : PAPDI. 2017
11. Kementerian Kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue. Bul Jendela
Epidemiol. 2010;2:48.

45
12. Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi , Patogenesis , dan
Faktor Risiko Penularan Dengue Hemorrhagic Fever: Epidemiology,
Pathogenesis , and Its Transmission Risk Factors. Demam Berdarah Dengue
Epidemiol Patog dan Fakt Risiko Penularan. 2010;2(2):110-119.
13. (Who) WHO. Handbook for Clinical Management of Dengue. Geneva; 2012.
14. Karyanti MR. Diagnosis dan tata laksana terkini dengue. 2011;(DD):1-14.
15. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. Spec Program Res Train Trop Dis. 2009
16. World Health Organization (WHO) Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever.; 2011.
17. Farhanah N. Pengelolaan Demam Berdarah Dengue: Rawat Jalan versus
Rawat Inap; in Current Infectious Disease Problems and Challenges in The
BPJS Era. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2016. Hal
77-85
18. Khie. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue.Medicinus.2009;22(1):3-7

46

Anda mungkin juga menyukai