Disusun oleh:
Syifa Sabilla Jatmiputri
22010116220336
Dosen Pembimbing:
dr. Pujo Hendriyanto, Sp.PD
1
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. TJ
Umur : 25 tahun
Agama : Islam
Bangsal : Nakula 2
No. CM : 177119
2
pasien meminum obat penurun panas, namun setelah itu demam kembali
dirasakan. Tidak ada faktor yang memperberat demam.
Demam juga disertai menggigil (+), nyeri kepala (+), badan lemas
(+), nyeri seluruh tubuh (+), mual (+), muntah (+), nafsu makan menurun
(+), batuk (-), sesak (+), nyeri ulu hati (+), sakit perut (-), mimisan (-), lidah
kotor (-), gusi berdarah (-), nyeri pada betis (-), bercak merah pada kulit (-),
BAK seperti teh (-), darah (-), nyeri berkemih (-), anyang-anyangan (-),
BAB dalam batas normal. Pasien sempat berobat ke RS. Roemani, namun
karena keluhan tak kunjung membaik, pasien memutuskan untuk berobat ke
IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro pada tanggal 29 Mei 2017.
3
B. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Nakula tanggal 29 Mei 2017 pukul
14.00 WIB.
Keadaan umum : tampak sakit ringan (skala nyeri : 3)
Kesadaran : composmentis, GCS: E4M6V5= 15
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/menit
Frekuensi nafas : 22x/menit
Suhu : 39oC (aksiler)
Kulit : turgor kulit cukup, ikterik (-), petechiae (-)
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
Hidung : discharge (-/-), epistaksis (-), nafas cuping hidung
(-)
Mulut : sianosis (-), bibir pucat (-), mukosa kering (-), lidah
kotor (-), perdarahan gusi (-), pembengkakan gusi
(-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-), ulkus (-)
Leher : trakea ditengah, pembesaran limfonodi (-)
Thoraks :
Dada : simetris, bentuk normal, retraksi dinding dada (-),
sela iga melebar (-)
Paru Depan :
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
4
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Paru Belakang :
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea mid
clavicularis sinistra, kuat angkat (-), pulsasi
epigastrial (-), pulsasi parasternal (-), sternal lift (-)
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II murni, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar (-), venektasi (-), luka (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area
Traube pekak
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Petekie -/- -/-
Nyeri tekan m. gastroknemius -/- -/-
Cappilary refill time <2 detik <2 detik
5
DAFTAR ABNORMALITAS
ANALISIS SINTESIS
1,2,3,4,5,6,7,8 Febris akut 5 hari
DAFTAR MASALAH
1. Febris akut 5 hari
6
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa akan dilakukan
pemeriksaan darah guna mencari penyebab penyakit.
- Menjelaskan pada pasien dan keluarga bahwa asupan makanan
sangat penting untuk perbaikan kondisi tubuh sehingga
diedukasikan agar mengonsumsi makanan yang diberikan oleh
RS
CATATAN KEMAJUAN
Tanggal 30 Mei 2017
Problem 1. Febris akut 5 hari
S : Pasien mengeluh demam (+), nyeri kepala (+), badan lemas, nafsu
makan (-), mual (+), muntah (+)
O : KU : tampak sakit ringan, compos mentis
TD : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit T : 38,9oC
A : Demam tifoid
P : - Infus RL 20 tpm
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Pemeriksaan darah rutin
7
Tanggal 31 Mei 2017
Problem 1. Demam Tifoid
S : Pasien mengeluh demam (-), nyeri kepala (+), badan lemas (-), nafsu
makan (+), mual (+), muntah (+)
O : KU : tampak sakit ringan, compos mentis
TD : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit T : 36,8oC
A : Demam tifoid
P : - Infus RL 20 tpm
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Ondansentron 4 mg/12jam iv
- Pemeriksaan darah rutin
8
Tanggal 1 Juni 2017
Problem 1. Demam Tifoid
S : Pasien mengeluh demam (-), nyeri kepala (+), badan lemas (+),
nafsu makan (+), mual (+), muntah (-)
O : KU : tampak sakit ringan, compos mentis
TD : 110/70 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit T : 36,5oC
A : Demam tifoid
P : - Infus RL 20 tpm
- Cefotaxim 1 gram/12 jam iv
- Ranitidin 1 gram/12 jam iv
- Paracetamol 1 gram/8 jam po
- Ulsafat 1cth/8 jam po
- Ondansentron 4 mg/12jam iv
- Pemeriksaan darah rutin
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Epidemiologi
Demam tifoid atau yang sering dikenal dengan penyakit tifus, saat ini
masih menjadi penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular
dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit
menular lainnya, demam tifoid banyak ditemukan di negara berkembang
dengan hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi lingkungan
setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di Amerika Serikat
adalah 300-500 kasus pertahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika
Latin sekitar 150/100.000 penduduk pertahunnya, sedangkan di Asia sekitar
900/100.000 penduduk per tahun.2
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi
yang berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga yakni adanya anggota keluarga dengan riwayat
terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,
menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah.1
Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI
tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke 3 dari 10 pola
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
(41.081 kasus).1
2.1.2 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi
(S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanna yang
10
terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian
lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propia.1,3
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel fagosit
terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Fase ini
disebut sebagai fase inkubasi yang berlangsung 7 sampai 14 hari. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1,3
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif, maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, gangguan vaskuler,
mental, dan koagulasi.1,3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan ( S. thypi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
11
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.1,3
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.1,3
12
Gejala penyerta lain, seperti nyeri otot dan pegal-pegal, batuk,
anoreksia, insomnia.1,3,4
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,
bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut 8
kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental
dan kesadaran.1,3,4
13
Dapat mendeteksi IgM dan IgG yang terdapat pada protein
membrane luar Salmonella thypi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi.1,3,4,5
Tes Widal
Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman S.
thypi yang dilakukan setelah demam berlangsung 7 hari. Interpretasi
hasil positif bila titer aglutini O minimal 1/320 atau didapatkan
peningkatan titer hingga 4 kali pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5-7 hari. Hasil pemeriksaan Widal sering terjadi positif palsu
oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang
bervariasi dan standardisasi yang kurang baik. Oleh karena itu,
pemeriksaan Widal tidak direkomendasikan jika hanya dari 1 kali
pemeriksaan serum akut karena terjadinya positif palsu tinggi yang
dapat mengakibatkan over diagnosis dan over treatment. Faktor lain
yang dapat mempengaruhi hasil tes Widal adalah pengobatan dini
dengan antibiotik, gangguan pembentukan antibodi, pemberian
kortikosteroid, dan waktu pengambilan darah.1,3,4,5
Kultur Salmonella thypi (gold standard)
Dapat dilakukan pada spesimen :
Darah : pada minggu pertama sampai akhir minggu ke 2 sakit, saat
demam tinggi
Feses : pada minggu kedua sakit
Urin : pada minggu kedua atau ketiga sakit
Cairan empedu : pada stadium lanjut penyakit, untuk mendeteksi
carrier typhoid 3,4,5
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negative tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal seperti berikut :
14
Telah mendapatkan terapi antibiotik sebelum dilakukan
pengambilan sampel kultur.
Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc). darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
Riwayat vaksinasi, dimana vaksinasi menimbulkan antibodi /
agglutinin dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat
negatif.
Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
agglutinin semakin meningkat.1,3,4,5
Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi klinis, seperti SGOT/SGPT,
kadar lipase dan amilase1,3,4,5
15
Merupakan seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
S.thypi setelah 1 tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala
klinis.1,3,5
Diagnosis banding dari demam tifoid antara lain : demam berdarah
dengue, malaria, leptospirosis, infeksi saluran kemih, hepatitis A, sepsis,
tuberculosis milier, endokarditis infektif, demam rematik akut, abses dalam,
demam yang berhubungan dengan infeksi HIV.3,4
2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi suportif
Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
Menjaga kecukupan asupan cairan yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral
Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein,
rendah serat
Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas
Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
kesadaran) kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien.4,6
Terapi simptomatik untuk menurunkan demam dan mengurangi keluhan
gastrointestinal4,6
Terapi definitif
Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol,
ampisilin / amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazole. Sedangkan
antibiotik lini kedua yang dianjurkan adalah seftriakson, sefiksim dan
kuinolon.4,6
16
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di berbagai negara.
Tedapat 2 jenis vaksinasi yakni Ty21a (oral) dengan pengulangan setiap 6
tahun dan vaksin ViCPS (parenteral) dengan pengulangan setiap 2 tahun.
Indikasi dilakukan vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah
17
endemik demam tifoid, orang yang terpapar dengan penderita demam tifoid
karier, petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.1,4,6,7
Vaksin hidup oral Ty21a dikontraindikasikan pada seseorang yang alergi
atau ada riwayat efek samping berat, penurunan imunitas, kehamilan. Bila
diberikan bersama dengan obat antimalaria (klorokuin, meflokuin)
dianjurkan minimal 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi.
Dianjurkan untuk tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamide atau antimikroba lainnya.1,4,6,7
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dibawah ini biasa terjadi pada minggu kedua
dan ketiga demam. Komplikasi antara lain perdarahan, perforasi usus,
sepsis, ensefalopati, dan infeksi organ lain.
Tifoid toksik (tifoid ensefalopati)
Penderita dengan sindrom demam tifoid, panas tinggi yang disertai
dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari
delirium sampai koma.
Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala
toksemia yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan
hemodinamik seperti tekanan darah turun, nadi halus dan cepat,
keringat dingin, dan akral dingin.
Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga
diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi
ini ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto
polos abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas
bebas dalam rongga perut.
Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.
18
Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase
dan amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT-Scan.
Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan X
Foto Thorax.1,3,4
19
2.2 Demam Berdarah Dengue
Tenggara, Amerika tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah
Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3
dan Den -4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi,
khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes Albopictus yang terdapat hampir di
for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011
dengan modifikasi.
20
2.2.2 Patogenesis
Nyamuk Aedes sp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh
menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,
dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan
bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi
yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non neutralizing serotype yang
mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan
dalam patogenesis DBD dan DSS. Terdapat dua teori atau hipotesis
bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue,
21
akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut
untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi
sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang
berat. Ini terjadi karena antibodi heterologus yang terbentuk pada infeksi primer,
akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang
dan memproduksi IL-1, IL- 6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet
kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum
hipolemik) dan perdarahan. Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang
terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak
tersebut terjadi non neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten.
Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan
terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis
22
virus tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus
virus dengue di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh
pada perbedaan serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4
yang kesemuanya dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara
berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem
komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada
48-72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus
dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya
lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang
IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggung
kapiler.
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam
beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan
23
kematian karena infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh
gangguan metabolik.12
menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD)
sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari
demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated
tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi
24
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue
Sumber: Center for Disease Control and Prevention. Clinicians case management. Dengue
Anamnesis: demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot &
flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan
25
depresi umum.
Pemeriksaan fisik
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian
Manifestasi perdarahan
Fase demam
Anamnesis
Terdapat demam tinggi dalam waktu 2 hingga 7 hari dengan suhu dapat
mencapai 40C, serta mungkin terjadi kejang demam. Dapat pula dijumpai facial
26
flush, nyeri retro-orbita, mual, muntah, eritema kulit, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga
Pemeriksaan fisik
Manifestasi perdarahan
demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
27
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
Fase kritis
Tidak semua penderita demam dengue melewati fase kritis. Fase kritis dialami
pada saat perembesan plasma berawal pada masa transisi dari saat demam ke
bebas demam (disebut fase time of fever defervescence). Warning sign biasanya
mengawali fase kritis. Keadaan pasien cenderung memburuk pada time of fever
defervescence dengan penurunan suhu tiba-tiba pada hari ke tiga hingga lima
sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,
28
tekanan nadi 20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral
dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<
Fase penyembuhan dimulai 24-48 hari setelah fase kritis berakhir. Fase
penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali. Ini
seperti pada DD. Pada fase ini leukosit dan hematokrit mungkin sudah kembali
lama.13
Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal,
2.2.6 Diagnosis
(WHO, 2011)15
29
Kriteria klinis
dan/melena
Pembesaran hati
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
20% dari nilai dasar / menurut standar umur dan jenis kelamin
Hipoalbuminemia
30
Perhatian:
Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok
sepsis.
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat,
dan trauma.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
31
kolesistitis.
32
2.2.9 Pemeriksaan Penunjang 16
Laboratorium
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah
demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6.
Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-
sakit.
infeksi sekunder.
33
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi,
mencapai 20%-40%
34
dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.
2.2.10 Penatalaksanaan17,18
Tidak ada spesifikasi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah
paling penting dalam penangannan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
untuk dirawat.
35
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif dan tanpa syok
maka diruang rawat diberikan cairan infuse kristaloid dengan jumlah seperti
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian
cairan tetap.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
36
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
cairan sebanyak 5%. Terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Kemudian dipantau setelah 3-4
jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hemaokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan ematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun < 20 mmHg, produksi urin mneurun, maka kita harus menaikkan
37
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa.
Perdarahan spontan dan massif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian pemberian cairan tetap
38
seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
pembekuan. PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Tranfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan massif dengan
Bila kita berhadapan dengan sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama
yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan
klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur
sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15- 30 menit. Bila renjatan telah
frekuensi nadi <100x/menit dengan volume cukup, kulit tidak pucat) jumlah
bila dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil jumlah cairan menjadi 3
ml/kg/jam.
39
Bila dalam 24-48 jam setelah renjatan teratasi, vital sign dan hematokrit
15-18 cm H2O
Bila tek.vena sentral sdh sesuai dengan target terapi renjatan tapi belum
40
41
BAB III
PEMBAHASAN
42
abdomen dalam batas normal. Berdasarkan hal diatas, maka kasus ini memenuhi
syarat sebagai possible case tifoid dimana dalam hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik ditemukan klinis tifoid seperti demam yang khas, gejala
gangguan gastro intestinal, dan gangguan pola buang besar.6
Di RSUD, dilakukan assessment pada pasien ini yaitu mencari
penyebab/ etiologi dari demam untuk mempertimbangkan kemungkinan
diagnosis yang dapat terjadi seperti demam tifoid, demam berdarah. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan
differential diagnosis adalah Tes Widal S typhi O dan S typhi H serta
pemeriksaan darah rutin.3,4
Pada assessment yang sudah dilakukan untuk tes widal didapatkan hasil S
typhi O (+) 1/320 dan S typhi H (+) 1/320 dan pada pemeriksaan darah rutin
didapatkan adanya trombositopenia 123.000/uL serta leukopenia 1.9/uL.
Berdasarkan pemeriksaan tersebut mengindikasikan kuat bahwa pasien terkena
infeksi tifoid.3,4,5
Berdasarkan hasil assessment yang telah dilakukan, pasien ini termasuk
kasus definite case karena pemeriksaan gold standard untuk tifoid yakni kultur
biakan atau PCR atau Widal telah dilakukan. Sebenarnya untuk tes Widal saat
ini bukan menjadi pemeriksaan yang direkomendasikan karena hasil
pemeriksaan Widal sering terjadi positif palsu oleh karena reaksi silang dengan
non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae, daerah endemis infeksi dengue
dan malaria, riwayat imunisasi tifoid dan preparat antigen komersial yang
bervariasi dan standardisasi yang kurang baik. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi hasil tes Widal adalah pengobatan dini dengan antibiotik,
gangguan pembentukan antibodi, pemberian kortikosteroid, dan waktu
pengambilan darah.1,3,4,5
Selama perawatan di RSUD pasien diberikan infus RL 20 tpm,
Cefotaxim 1 gram/12 jam iv, Ranitidin 1 gram/12 jam iv, Paracetamol 1 gram/8
jam po, Ulsafat 1cth/8 jam po, Ondansentron 4 mg/12jam iv. Hal ini sesuai
dengan guideline terapi demam tifoid yakni dalam tatalaksana demam tifoid
diberikan 3 macam terapi yakni terapi suportif, terapi simptomatik, dan terapi
definitif. Untuk terapi suportif dalam terapi pasien ini adalah pemberian infus RL
43
30 tpm guna menjaga kecukupan asupan cairan. Terapi simptomatik yang
diberikan yakni parasetamol sebagai antipiretik dan analgesik, sedangkan untuk
ulsafat dan ondansentron untuk meredakan gangguan gastrointestinal. Terapi
definitif yang diberikan berupa antibiotik yakni cefotaxim.4,6
Berdasarkan guideline terapi untuk demam tifoid, antibiotik lini pertama
yang dianjurkan adalah kloramfenikol, ampisilin / amoksisilin, dan
kotrimoksasol.4,6 Namun saat ini telah banyak dilaporkan kasus resistensi bakteri
Salmonella thypi terhadap antibiotik lini pertama tadi.6,8 Kloramfenikol sudah
sejak lama digunkaan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun
kekurangan dari kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5 7%),
angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Cefotaxim
memiliki angka kekambuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan
demam 5 7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan
serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.8
Disamping itu berdasarkan WHO, 2011 disebutkan bahwa terapi tifoid
non komplikata yang dianjurkan saat ini adalah adalah golongan Quinolon.
Antibiotik golongan Quinolon yang salah satu contohnya adalah ciprofloxacin
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid karena persentase angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Quinolone memiliki penetrasi ke
jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. thypi intraseluler di dalam
monosit / makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu
dibandingkan dengan antibiotik lain.8
Pada tanggal 1 Juni 2017 (perawatan hari ke-4) pasien menunjukkan
perbaikan klinis, dimana pasien sudah tidak merasakan demam, nyeri kepala,
maupun mual muntah, nafsu makan pun sudah membaik. Pada hasil pemeriksaan
didapatkan trombositopenia 62.000, IgM () dan IgG (+). Ig M () dan Ig G (+)
menunjukkan dugaan bahwa pasien pernah mengalami demam berdarah (dugaan
infeksi sekunder), pada infeksi sekunder Ig G mulai terdeteksi pada hari ke 2.
Sehingga pasien mendapatkan terapi lanjutan dengan demam tiphoid.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo, Djoko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. hal 549-558.
45
12. Candra A. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi , Patogenesis , dan
Faktor Risiko Penularan Dengue Hemorrhagic Fever: Epidemiology,
Pathogenesis , and Its Transmission Risk Factors. Demam Berdarah Dengue
Epidemiol Patog dan Fakt Risiko Penularan. 2010;2(2):110-119.
13. (Who) WHO. Handbook for Clinical Management of Dengue. Geneva; 2012.
14. Karyanti MR. Diagnosis dan tata laksana terkini dengue. 2011;(DD):1-14.
15. World Health Organization. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. Spec Program Res Train Trop Dis. 2009
16. World Health Organization (WHO) Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever.; 2011.
17. Farhanah N. Pengelolaan Demam Berdarah Dengue: Rawat Jalan versus
Rawat Inap; in Current Infectious Disease Problems and Challenges in The
BPJS Era. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2016. Hal
77-85
18. Khie. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam Berdarah
Dengue.Medicinus.2009;22(1):3-7
46