Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering

ditemukan pada bayi baru lahir.1 Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali

dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini.2 Bayi

dengan hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang

berwarna kuning pada sklera dan kulit.1,2

Pada janin, tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh plasenta,

dan bukan oleh hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati,

yang memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama selang

waktu tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari darah.

Walaupun demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam

tubuh. Oleh karena bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang

berlebihan dapat memberi warna pada kulit, sklera, dan jaringan-jaringan tubuh

lainnya.1,2

Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus

yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Selain itu,

perlu dimonitor apakah keadaan tersebut mempunyai kecenderungan untuk

1
Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice: Bilirubin physiology and
clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.
2
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A, penyunting.
Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147-53.

1
berkem-bang menjadi hiperbilirubinemia berat yang memerlukan penanganan

optimal.2,3

Sari pustaka ini membahas tentang hiperbilirubinemia pada neonatus.

Tujuannya adalah menambah pengetahuan dan pemahaman tentang

hiperbilirubinemia pada neonatus serta faktor risiko yang mempengauhinya

terutama ikterik fisiologis.

3
Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA, Martin RJ,
editors. Neonatal-perinatal Medicine. Disease of the Fetus and Infant (Seventh Edition). St Louis:
Mosby Inc, 2002; p.1309-50.

2
BAB II

HIPERBILIRUBINEMIA DAN IKTERUS

2.1 Epidemiologi

Istilah Demam Berdarah di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada

tahun 1953. Pada tahun 1965 meletus epidemik penyakit ini di Bangkok. Setelah

tahun 1958, penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemik di beberapa

negara lain di Asia Tenggara. Di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya

pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Pada

saat ini infeksi Dengue telah menyebar luas ke seluruh provinsi di Indonesia.4

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropis dan

subtropis bahkan cenderung terus meningkat dan menimbulkan kematian pada

anak.3 Penelitian Karyanti dkk menjelaskan kejadian DBD di Indonesia meningkat

dari 0.05/100.000 pada tahun 1968 menjadi 34-40/100.000 pada tahun 2013.

Kejadian epidemik tertinggi terjadi pada tahun 2010, ditemukan 86/100.000 kasus.

Kejadian outbreak DBD terjadi pada tahun 1973, 1988, 1998, 2007 dan 2010. Akan

tetapi terdapat penurunan case fatality ratio dari 41% tahun 1968 menjadi 0,73%

tahun 2013.5

Morbiditas dan mortalitas DBD dilaporkan berbagai negara bervariasi

disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan

4
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Infeksi Virus Dengue dalam Buku Ajar Infeksi
& Pediatri Tropis. 2008. IDAI;2:155-81
5
Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers MM,Heesterbeek H, et all.
The changing incidence of dengue haemorrgahic fever in Indonesia: a 45-year registry-base
analysis. BMC Infectious disease. 2014;14:1-7

3
vector, tingkat penyebaran Dengue, prevalensi serotipe virus Dengue, dan kondisi

cuaca.12 Pada penelitian Karyanti dkk ditemukan angka kejadian DBD lebih sering

pada anak usia 5 hingga 14 tahun.13 Kepadatan vektor dihubungkan dengan

transmisi virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus

sebagai vektor primer dan Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris serta Aedes niveus

sebagai vektor sekunder. Risiko penularan dan penyebaran terpengaruh oleh iklim,

frekuensi gigitan nyamuk perhari, lamanya siklus gonotropik, umur nyamuk,

lamanya inkubasi ekstrinsik virus dengue, serta kepadatan manusia.3 Prevalensi

serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan di Jakarta dan Palembang tahun

2004 dan banyak berhubungan dengan kasus berat.12 Penelitian yang dilakukan

Fahri dkk di Semarang tahun 2012, penemuan serotipe predominan pada 31 serum

pasien, yaitu serotipe DEN-1 dengan 35,5%, diikuti dengan DEN-2 dan DEN-3

12,9% dan DEN-4 9,7%.6 Penelitian Sasmono dkk di Makasar dari tahun 2007-

2010 pada 455 pasien ditemukan serotipe DEN-1 predominan diikuti dengan DEN-

2, DEN-3 dan DEN-4.7 Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak jelas,

namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September sampai

Februari dengan puncaknya bulan Januari.12

2.2. Etiologi

6
Fahri S, Yohan B, Trimarsanto H, Sayono S, Hadisaputro S, Dharmana E, et all. Molecular
surveillance of dengue in SemarangIndonesia revealed the circulation of an old genotype of
dengue virus serotype-1. PLOS. 2013;7(8):1-12
7
Sasmono RT, Wahid I, Trimarsanto H, Yohan B, Wahyunu S, Hertanto M, et all. Genomic analysis
and growth characteristic of dengue viruses from Makassar, Indonesia. Infection, Genetics and
Evolution-Elsevier. 2015;32:165-77

4
Virus dengue termasuk genus flavivirus famili flaviridae. Virus ini terdiri atas 4

serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 serta ditransmisikan oleh

nyamuk terutama Aedes aegypti dan Aedes albopictus.1 Virus dengue berbentuk

ikosahedral simetris yang ditutupi oleh envelope berkapsul berdiameter 4850 nm

dengan inti kepadatan elektron sekitar 30 nm dilapisi oleh envelope lemak.8,9

Genom virus dengue terdiri atas 11 kb rantai RNA positif yang mengkode 3 protein

struktural, yaitu protein C (lipid), protein E, dan protein M/prM (glikoprotein), serta

7 protein nonstruktural (NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5).17

Terdapat dua tipe virion, yaitu: virion ekstraselular matur yang mengandung protein

M, dan virion imatur intraselular yang mengandung protein membran (prM) yang

membelah selama maturasi membentuk protein M.10 Envelope terdiri atas protein

E dan M. Protein E merupakan glikoprotein yang bertanggung jawab untuk

penempelan reseptor sel dan membran sel serta merupakan epitop utama yang

dikenali oleh antibodi netralisasi.11

8
Leyssen P, Clercq ED. Perspectives for the treatment of infections with
flaviviridae. Clin Microbiol Rev. 2000;13:67__82.
9
Gubler DJ, John AS. Dengue Viruses. Elsevier. 2014:1-14
10
Guzman MG, Vazquez S. The complexity of antibody dependent enhanchement of dengue virus
infection. Viruses. 2010;2:2649-62.
11
Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on immunopathogenesis. Microbiol
Infect Dis. 2006;30:329-40.

5
Gambar 2.1 Struktur Virus Dengue.17

2.3 Patogenesis Infeksi Dengue

Patogenesis infeksi virus dengue merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor

agen atau penyebab, faktor lingkungan dan faktor host. Faktor agen meliputi

serotipe, jumlah, dan virulensi virus, faktor lingkungan dipengaruhi oleh

kelembapan, musim, suhu udara, curah hujan, kepadatan penduduk, mobilitas

penduduk, dan perilaku masyarakat, sedangkan faktor host terdiri dari status gizi,

umur, jenis kelamin, kerentanan genetik atau etnis, status imun, penyakit

penyerta/komorbiditas dan interaksi antara virus dengan penjamu.12, 13

12
Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Patogenesis Infeksi Dengue dalam Pedoman
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada Anak Edisi 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2014;(1):7-12
13
Soegijanto S. Patogenesa infeksi virus dengue recent update. Management of
Dengue Viral Infection in Children. 2010;10:11-45.

6
Gambar 2.2 Patogenesis Multifaktorial pada Infeksi Dengue.21

Infeksi dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, saat

nyamuk menggigit orang dengan infeksi dengue, maka virus dengue masuk ke

dalam tubuh nyamuk bersama darah yang diisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus

berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian

besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya ketika nyamuk menggigit orang lain, air

liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap

tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di

dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial,

dengan target utama virus dengue adalah APC (Antigen Presenting Cells) berupa

monosit atau makrofag jaringan, seperti sel kupffer hepar, endotel pembuluh darah,

nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru.Viremia timbul hingga 5-7 hari.

Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktivasi sel T helper dan

menarik makrofag lain untuk memfagosit virus lebih banyak. Sel T helper akan

mengaktivasi sel T sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit

7
virus, disamping itu juga akan mengaktifkan sel B sehingga terjadi pelepasan

antibodi.20,21

Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam

sel terinfeksi. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempel virus genom ke

dalam sel dengan bantuan organel sel, genom virus membentuk komponen yang

sesuai, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah

komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses

perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.21

Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi biologis:

netralisasi virus, sitolisis komplemen, Antibody Dependent Cell-mediated

Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement (ADE).14 Antibodi

terhadap virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda, yaitu

antibodi netralisasi (neutralizing antibodies) memiliki serotipe spesifik yang dapat

mencegah infeksi virus. Dan antibodi non-neutralizing dari serotipe yang berbeda

memiliki peran reaksi silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam

patogenesis DBD dan DSS.21

Imunopatogenesis infeksi dengue masih merupakan masalah yang

kontroversial. Banyak teori yang menjelaskan tentang patogenesis DBD antara lain;

teori antigen antibodi, teori imunopatologi, teori antibody dependent enhancement,

teori mediator, teori apoptosis, dan secondary heterologous infection. Namun dua

teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah

teori infeksi sekunder dan ADE.20,21 Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa

14
Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada anak. Dalam: Sri Rezeki HH, Hindra IS.
Demam berdarah dengue. Naskah lengkap. Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter
spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1999:1-12

8
apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi

proses kekebalan terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama

(homologous antibody). Pada infeksi selanjutnya, heterologous antibody yang telah

terbentuk dari infeksi primer, membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue

baru dari serotipe berbeda. Namun tidak dapat dinetralisasi bahkan membentuk

kompleks yang infeksius.21

Gambar 2.3 Neutralizing antibody and Non-neutralizing antibody.21

Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan

serotipe lain) karena adanya non-neutralizing antibody maka partikel virus DEN

dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara

kompleks imun dengan reseptor Fc- pada sel melalui bagian Fc dari IgG.

Kompleks imun selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan

komplemen terutama C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini

terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya

cairan dalam rongga serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat

berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Syok yang

tidak ditanggulangi secara adekuat akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang

9
dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, tatalaksana syok sangat penting guna

mencegah kematian.21,15

Sedangkan teori immune enhancement menyatakan secara tidak langsung

bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko

berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang ada

akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang

berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai

tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.21

Gambar 2.4 Secondary heterologous dengue infection.21

15
Jessie K, Fong MY, Devi S, et al. Localization of Dengue virus in naturally
infected human tissues, by immunohistochemistry and in situ hybridization. J
Infect Dis. 2004;189:1411-8.

10
Gambar 2.5 Teori Enhancing antibody.21

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat

terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi menjadi

undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD) sebagai

infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam berdarah

dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated organopathy.

Kebocoran plasma merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan

organ lain serta manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded

dengue syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai

dengan perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak.16

16
World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.

11
Gambar 2.6 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue.24

Gambaran klinis infeksi virus dengue pada undifferentiated fever (sindrom

infeksi virus) ditemukan demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan

penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa maculopapular, timbul saat

demam reda. Gejala pada saluran pernafasan dan saluran cerna juga sering

ditemukan.24 Undifferentiated fever akan sembuh sendiri (self limited), namun

apabila terjadi infeksi sekunder, manifestasi klinis anak akan lebih berat berupa DD,

DBD, atau expanded dengue syndrome.20

DD muncul setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang

3-14 hari), timbul gejala berupa demam, myalgia, sakit punggung, dan gejala

konstitusional lainnya yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise), anoreksia,

dan gangguan pengecapan. Demam pada umumnya timbul mendadak, tinggi (39-

400C), terus menerus (pola demam continue), bifasik, biasanya berlansung antara

2-7 hari. Demam diserta dengan myalgia, nyeri punggung, nyeri persendian,

muntah, dan kadang diikuti nyeri retroorbital saat mata digerakkan. Gejala lain

12
dapat ditemukan berupa gangguan saluran pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri

perut, dan nyeri menelan.20,24 Pada hari ketiga atau keempat ditemukan ruam

maculopapular atau rubeliformis, ruam ini cepat menghilang sehingga tidak

disadari oleh orang tua. Pada masa penyembuhan akan muncul ruam konvalesens

di kaki dan tangan berupa ruam maculopapular dan petekie diselingi oleh bercak

putih (white islands in the sea of red), dapat disertai rasa gatal. Manifestasi

perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet positif ( 10 petekie

dalam area 2,8 x2,8 cm) atau petekie spontan.20

Pada DBD terdapat tiga fase dalam perjalanan infeksi virus dengue, yaitu

fase demam, kritis dan penyembuhan.24 Setiap fase memerlukan pemantauan yang

cermat, karena setiap fase mempunyai risiko yang dapat memperberat penyakit.

Pada fase demam ditemukan demam yang serupa dengan DD, namun pada akhir

fase demam terjadi penurunan demam secara lisis ditandai dengan suhu tubuh

menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam disertai dengan

berkeringat dan perubahan laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan

gangguan sirkulasi ringan akibat kebocoran plasma. Pada kasus infeksi dengue

sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga

menimbulkan hypovolemia dan bisa berakhir dengan mortalitas.20

Pada fase kritis (fase syok) diawali dengan time fever of defervescence dan

terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi.

Pada fase ini dikenal istilah warning signs pada hari ke-3 hingga ke-7. Muntah terus

menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan

bertambah berat saat pasien masuk dalam keadaan syok. Pasien tampak semakin

lesu tetapi pada umumnya tetap sadar. Petekie spontan, perdarahan spontan

13
(epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuria, menorrhagia)

atau perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan

penting. Hepatomegali sering ditemukan pada pasien DBD. Penurunan jumlah

trombosit progresif <100.000/mm3 serta kenaikan hematokrit 10-20% di atas data

dasar merupakan tanda awal perembesan plasma. Perembesan plasma

mengakibatkan ekstravasasi cairan ke ekstravaskular, seperti efusi pleura, asites dan

penebalan dinding vesica felea. Peningkatan hematokrit (hemokonsentrasi)

merupakan salah satu tanda paling awal untuk mendeteksi kebocoran plasma yang

biasanya berlansung 24-48 jam. Hemokonsentrasi mendahului perubahan tekanan

darah serta volume nadi. Oleh karena itu, pemeriksaan hematokrit berkala sangatlah

penting.20

Fase penyembuhan terjadi setelah 24-48 jam fase syok, ditandai dengan

reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular kembali ke intravaskular yang

berlansung bertahap. Fase ini ditandai dengan dengan keadaan umum, nafsu makan,

diuresis yang membaik, gejala gastrointestinal yang mereda, dan status

hemodinamik yang stabil. Pada fase ini akan ditemukan ruam konvalesens dan

hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang

direabsorbsi.20,24

14
Gambar 2.7 Perjalanan klinis infeksi dengue.17

DSS merupakan syok hipovolemi yang terjadi pada DBD diakibatkan oleh

peningkatan permeabilitas kapiler diserta perembesan plasma. Syok dengue terjadi

pada fase kritis, yatu pada hari ke-4 dan 5 dan sering didahului oleh warning signs,

ditandai dengan gejala klinis demam turun dan keadaan anak memburuk, nyeri

perut dan nyeri tekan abdomen, muntah menetap, letargi dan atau gelisah,

perdarahan mukosa, pembesaran hati, kelebihan cairan, oliguria. Pada pemeriksaan

laboratorium ditemukan peningkatan kadar hematokrit dengan hematokrit awal

yang tinggi bersamaan dengan penurunan cepat jumlah trombosit.20

Syok dengue merupakan suatu rangkaian fisiologis tubuh untuk melakukan

kompensasi melalui jalur neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ

vital. Tahap selanjutnya apabila perembesan plasma terus berlansung atau

pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan

17
Yip WCL. Dengue haemorraghic fever: current approach to management. Medical Progress.
1980;7(13):201-9

15
sirkulasi ke arah organ vital dengan mengurangi sirkulasi ke daerah perifer

(vasokontriksi perifer). Secara klinis ditemukan ekstremitas dingin dan lembab,

sianosis, kulit tubuh bercak-bercak (mottled skin), pengisian waktu kapiler >2 detik.

Akibat vasokontriksi perifer terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan

diastolik meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap. Perbedaan tekanan antara

sistolik dan diastolik menyempit menjadi <20 mmHg. Pada keadaan syok

dekompensasi, upaya fisiologis tubuh mempertahankan organ vital gagal, tekanan

sistolik dan diastolik menurun, disebut dengan syok hipotensif. Apabila keadaan ini

terlambat terdiagnosis dan mendapat terapi cairan adekuat, akan terjadi profound

shock ditandai dengan nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, sianosis yang

semakin jelas.20

2.5 Tes Diagnostik

Terdapat beberapa tes diagnostik yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya

infeksi virus Dengue (DENV) termasuk deteksi virus hidup, RNA virus, antigen

virus di perifer, dan antibodi host.18

1. Isolasi virus

Penelitian Yamada dkk menyebutkan isolasi virus dapat digunakan untuk

menganalisa virus, mendapatkan informasi epidemiologic molecular dari analisa

virus.19 Teknik isolasi virus memiliki efektivitas yang lebih tinggi jika

18
Wright WF, Pritt BS. Update: the diagnosis and managementof dengue virus infection in North
American.Diagnostic Microbiology and Infectious Disease. 2012;73:215-20
19
Yamada KI, Takasaki T, Nawa M, Kurane I. Virus isolation as one of the diagnostic methods for
dengue virus infection. 2002;24:203-9

16
dibandingkan dengan PCR, hanya saja teknik ini akan berhasil jika dilakukan

sebelum timbulnya onset demam.20

Meskipun tingkat spesifitas isolasi virus mencapai 100% namun uji sensitivitas

untuk isolasi virus masih lemah, yakni sekitar 63%. Isolasi virus memerlukan

peralatan laboratorium yang mahal dan zat kimia tertentu serta memakan waktu

berminggu-minggu. Kesuksesan teknik isolasi juga dipengaruhi oleh banyak hal,

diantaranya jumlah virus yang viable, kesiapan sampel yang tidak baik serta

konstruksi dari komplek virus-antibodi. Pada teknik isolasi virus hanya virus

yang aktif yang dapat diproduksi dalam sel kultur dengan rentang 20-80% dan

hal ini tergantung dari pengumpulan spesimen.28

2. Polymerase chain reaction (PCR)

Polymerase chain reaction adalah proses amplifikasi dari DNA untuk

memproduksi cDNA dari RNA target dengan menggunakan teknik reaksi

reverse transcription. PCR telah digunakan secara luas untuk mendeteksi DENV

atau virus lain. PCR telah banyak digunakan dalam penegakan diagnosis dan

mengidentifikasi infeksi DENV. 28

Sampel untuk pemeriksaan RT-PCR diambil dari darah, serum, plasma,

jaringan, nyamuk, sel yang terinfeksi, sistem saraf pusat, darah yang diteteskan

pada kertas filter, saliva dan urin. Faktor yang paling penting dalam protocol

PCR adalah menggunakan regio koding yang paling bermakna. Kesulitan teknik

ini adalah menentukan regio koding bermakna dikarenakan sifat dari genom

DENV yang tidak stabil. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan tekinik

20
Darwish NT, Alias YB, Khor SM. An introduction to dengue-disease diagnostic. Trends in
Analytical Chemistry. 2015;67:45-55

17
ini adalah banyaknya jumlah RNA yang digunakan pada tahap RT, parameter

PCR seta kondisi enzim yang digunakan. Secara umum RT-PCR memiliki 2

kelemahan; adanya false-negatif akibat variasi dari serotipe DENV dan tidak

adanya protokol standar dalam melakukan RT-PCR. Pemeriksaan infeksi DENV

dengan PCR hanya bisa dideteksi pada saat fase infeksi dan tidak lagi efisien

jika dilakukan setelah hari ke 5-7, selain itu pemeriksaan RT-PCR tidak tepat

jika dilakukan di daerah endemis karena memerlukan biaya yang besar, serta

tenaga analis yang terlatih. 28

3. Deteksi Antigen

Antigen NS1 (nonstructural glycoprotein 1)

NS1 merupakan glikoprotein dengan berat 43-48 kDa diekspresikan oleh sel

yang terinfeksi sebagai monomer terlarut di dalam retikuloendotelial sistem.21

Protein NS1 disekresi oleh sel terinfeksi ke dalam aliran darah dalam 9 hari

demam. Puncaknya ketika fase viremia kadar NS1 mencapai 15g/ml.22 Protein

NS1 dapat terdeteksi ketika virus RNA belum terdeteksi oleh RT-PCR dan

antibodi IgM spesifik.23

Dussart dkk meneliti 299 pasien demam dengue di Perancis didapatkan

sensitivitas NS1 pada hari 0-4 demam 87,6%, dan 43,5% pada hari 5-10

demam.24 Datta dkk, melakukan penelitian di India tahun 2010 membandingkan

21
Amorim JH, Alves RDS, Boscardin SB, Ferreira LSDS. The dengue virus non-structural 1 protein:
risks and benefits. Virus Research. 2014;181:53-60
22
Young PR, Hilditch PA, Bletchly C, Halloran W. An antigen capture enzyme-linked
immunosorbent assay reveals high levels of the dengue virusprotein NS1 in the sera of infected
patients. J. Clin. Microbiol. 2000;38:1053-7.
23
Vazquez S, Ruiz D, Barrero R, Ramirez R, Calzada N, Pena DRB, Reyes S,Guzman MG. Kinetics of
dengue virus NS1 protein in dengue 4-confirmedadult patients. Diagn. Microbiol. Infect. Dis.
2010;68:469.
24
Dussart P, Labeau B, Lagathu G. Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of dengue
virus NS1 antigen in human serum. Plos. 2006;13:11859.

18
NS1 pada fase akut dan konvalesen, didapatkan NS1 positif 71,42% pada fase

akut, sedangkan pada fase konvalesen NS1 positif hanya 6,38%. 25 Sensitivitas

NS1 yang tinggi pada fase awal demam karena protein NS1 bersirkulasi dalam

konsentrasi tinggi dalam darah pasien selama awal fase akut, baik pada infeksi

primer maupun sekunder. Kadar NS1 yang tinggi sampai hari ke-5 demam

berhubungan dengan waktu terjadinya viremia karena merupakan periode

replikasi virus dan belum terdapatnya antibodi terhadap virus. Kadar viremia dan

kadar NS1 juga tergantung pada karakteristik intrinsik dari strain virus yang

menginfeksi dan status imunitas dari penderita sendiri.6

Libraty dkk meneliti 18 orang anak dengan DBD, didapatkan NS1 sudah

terdeteksi pada hari ke-2 demam dan kadar tertinggi didapatkan pada hari ke-3

demam, sedangkan kadar terendah didapatkan pada hari ke-8 demam.26

Penelitian lain dilakukan oleh Kumarasamy dkk, diperoleh hasil bahwa

sensitivitas reagen komersial antigen dengue NS1 untuk infeksi virus dengue

akut 93,4% dan spesifisitas 100%, nilai ramal positif dan negatif masing-masing

100% dan 97,3%.27 Megariani dkk di Padang mendapatkan rapid test NS1

memiliki sensitivitas 92,3%, spesifisistas 95,8%.6

4. IgM dan IgG antidengue.

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam

sel retikuloendotel yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-

25
Datta S, Wattal C. Dengue NS1 antigen detection: A useful tool in early diagnosis of dengue
virus infection.Indian J Med Microbiol 2010;28:107-10.
26
Libraty DH, Young PR, Pickering D. High circulating levels of the dengue virus nonstructural
protein NS1 early in dengue illness correlate with the development of dengue hemorrhagic fever.
JID 2002;186:1165-8
27
Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, Wahab AH, Chem YK, Mohamad M, dkk. Evaluating the
sensitivity of a commercial dengue NS1 antigen-capture Elisa for early diagnosis of acute dengue
infection. Singapore Med J 2007;48:669-73.

19
7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun

selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi

yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer

antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah

ada meningkat (booster effect).28

Gambar 2.8 Respon imunologi pada infeksi dengue.27

Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah. IgM terdeteksi

pada hari ke 5 pada 80% pasien, dan 90% pasien pada hari ke 10. Titer tertinggi

di observasi pada hari ke 15 dan menurun hingga tak terdeteksi dalam 2 hingga

3 bulan sesudah infeksi. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar

antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi

primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam

hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari

kedua. Oleh karena itu diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan

dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi

28
Garcia CJA, Guzman GFJ, Alejandro QVM, Ruiz MCG, Sachez HM, Lemarroy CRC. Dengue
hemorrhagic fever in infant after primoinfection.Bol Med Hosp Infant Mex. 2010;67:355-8.

20
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG

dan IgM yang cepat.24

2.6 Kriteria Diagnosis Infeksi Dengue

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan

kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam penapisan

kasus, tatalaksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, survelaince. Kriteria

diagnostik laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan konfirmasi laboratorium

yang penting dalam pelaporan, surveilance dan langkah-langkah tindakan

preventif dan promotif.20

Tabel 2.1 Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 201124


DBD Derajat Tanda dan gejala Laboratorium
DD Demam disertai minimal dengan 2 gejala Leukopenia (jumlah
Nyeri kepala leukosit 4000
Nyeri retro-orbital sel/mm3)
Nyeri otot Trombositopenia
Nyeri sendi/ tulang (jumlah trombosit
Ruam kulit makulopapular <100.000 sel/mm3)
Manifestasi perdarahan Peningkatan
Tidak ada tanda perembesan plasma hematokrit (5%-10%)
Tidak ada bukti
perembesan plasma
DBD I Demam dan manifestasi perdarahan (uji Trombositopenia
bendung positif) dan tanda perembesan <100.000 sel/mm3;
plasma peningkatan hematokrit
20%
DBD II Seperti derajat I ditambah perdarahan Trombositopenia
spontan <100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
20%
DBD* III Seperti derajat I atau II ditambah Trombositopenia
kegagalan sirkulasi (nadi lemah, tekanan <100.000 sel/mm3;
nadi 20 mmHg, hipotensi, gelisah, peningkatan hematokrit
diuresis menurun 20%
DBD* IV Syok hebat dengan tekanan darah dan Trombositopenia
nadi yang tidak terdeteksi <100.000 sel/mm3;
peningkatan hematokrit
20%
Diagnosis infeksi dengue: Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi
dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti dengue positif (IgM anti
dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)

21
BAB III

SKORING INFEKSI DENGUE

3.1 Indikator Parameter

Parameter klinis dan laboratorium yang berpotensi sebagai faktor prognostik infeksi

dengue:29

1. Demografi: jenis kelamin dan usia.

Studi Anders dkk mendapatkan perempuan lebih rentan terkena DSS dibanding

laki-laki.30 Respon imun perempuan lebih sensitif terhadap sekresi sitokin

sehingga lebih rentan untuk terjadi kebocoran plasma.31 Sebaliknya penelitian

Pongpan dkk pada 777 pasien tidak menemukan perbedaan jenis kelamin

sebagai faktor risiko infeksi dengue.32 Ahmed dkk juga tidak menemukan jenis

kelamin perempuan lebih rentan terkena infeksi virus dengue.33

Pasien usia > 6 tahun berisiko menderita DBD dan DSS pada studi Junia dkk,

Gupta dkk dan Pham dkk. Pada dua dekade terakhir terjadi perubahan tren

kelompok umur pada usia yang lebih muda. Studi Junia dkk, usia 5-9 tahun

berisiko 1,6 kali lebih tinggi menjadi DSS Hal ini berhubungan dengan

peningkatan permeabilitas vaskular disebabkan oleh bantalan vaskular yang

29
Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J, Namwongprom S. Clinical study
development of dengue infection severity score. Hindawi Publishing Corporation ISRN Pediatrics.
2013;6:1-6
30
Anders KL, Nguyet NM,Chau NVV, Hung NT, Thuy TT, Lien LB, et all. Epidemiological factors
associated with dengue shock syndrome and mortality in hospitalized dengue patients in Ho Chi
Minh city, Vietnam. 2011;123-34
31
Halstead SB. Epidemiology of dengue and dengue hemorrhagic fever. Gubler DJ, Kuno G , eds.
Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Oxon, UK. 1997; .
32
Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J. Prognostic indicators for dengue
infection severity. Int K Clin Pediatr. 2013;2(1):12-8
33
Ahmed FU, Mahmood CB, Sharma JD, Hoque SM, Zaman R, Hasan MS.Dengue and dengue
haemorrhagic fever in children during the 2000 outbreak in Chittagong, Bangladesh. 2001;25:34-
9

22
lebih luas.34 Usia rata-rata anak dengan DSS dan DHF adalah 12,2 tahun dan

11,4 tahun pada penelitian Gupta dkk.35 Studi Pham dkk medapatkan usia 7-12

tahun lebih sering menderita infeksi sekunder dengue dan DSS.36

2. Tampilan klinis: hepatomegali, nyeri perut, efusi pleura, dan perdarahan.

Hepatomegali merupakan temuan umum pada pasien DBD selama fase akut,

diikuti dengan gejala konstitusional lainnya. Pongpan dkk mendapatkan

hepatomegali sebagai faktor risiko yang cukup berpengaruh sebagai faktor

prognostik infeksi dengue.40 Studi Falconar dkk, 40 pasien DSS pada fase

demam akut <72 jam didapatkan hepatomegali.37 Walaupun pembesaran hati

moderate adalah respon normal infeksi dengue, akantetapi hepatomegali lebih

sering dihubungkan dengan DBD dan DSS dibandingkan dengan DD.38

Penelitian Junia dkk menemukan nyeri perut sebagai salah satu indikator

prognostik infeksi dengue. Nyeri perut pada pasien DBD dapat disebabkan oleh

perdarahan gastrointestinal atau peregangan akibat pembesaran hepar. Pasien

dengan nyeri perut 2 kali lebih tinggi berpotensi untuk menjadi DSS

dibandingkan dengan dengan tanpa nyeri perut.42 Sebaliknya Pongpan dkk

tidak menemukan nyeri perut sebagai indikator prognostik infeksi dengue.

34
Junia J, Garna H, Setiabudi D. Clinical risk factors for dengue shock syndrome in children.
Paediatr Indones. 2007;47(1):7-11.
35
Gupta V, Yadav TP, Pandey RM, Singh A, Gupta M, Kanaujiya P, et al. Risk factors of dengue
shock syndrome. Journal of Tropical Pediatrics. 2011;57:451-6
36
Pham Tb, Nguyen TH, Vu TQ, Nguyen TL, Malvy D. Predictive factors of dengue shock syndrome
at the children hospital No. 1, Ho-Chi-Minh City, Vietnam. 2007;100(1):43-7
37
Falconar AKI, Romero-vivas CME. Simple prognostic criteria can definitely identify patients who
develop severe versus non-severe dengue disease, or have other febrile illnesses. J Clin Med Res.
2011;4(1):33-44
38
Kittigul L, Pitakarnjanakul P, Sujirarat D, Siripanichgon K. The differences of clinical
manifestations and laboratory findings in children and adults with dengue virus infection. J Clin
Virol. 2007;39(2):76-81.

23
Temuan Pongpan dkk pada 777 pasien didapatkan nyeri perut lebih banyak

terjadi pada pasien DD dibandingkan DBD dan DSS.40

Tanda klinis kebocoran plasma yang paling sering terjadi adalah efusi pleura

(62% kasus DBD terjadi satu hari setelah time fever of defervescence),

sedangkan penebalan dinding kantong empedu dan ascites frekuensinya lebih

sedikit (43% dan 52% kasus DBD) dan lebih cepat menghilang dibandingkan

dengan efusi pleura.39 Untuk menegakkan diagnosis efusi pleura diperlukan

modalitas tambahan pemeriksaan radiologis (chest x-ray dan USG),

pemeriksaan ini tidak praktis digunakan pada daerah dengan fasilitas terbatas.40

Studi Srikiatkhacorn dkk menggunakan USG untuk mendeteksi efusi pleura 12

dari 17 pasien DBD dan tidak sesuai dengan derajat infeksi dengue.47

Perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan mukosa adalah manifestasi

yang sering muncul pada pasien DHF, sedangkan perdarahan berat terdiri dari

melena, hematemesis, hematuria, dan atau menorrhagia.1 Studi Gupta dkk

mendapatkan melena sebagai manifestasi perdarahan internal yang paling

sering dan berhubungan DBD/DSS. Perdarahan berat yang berlansung spontan

secara signifikan sangat berhubungan dengan DSS (p = 0.009).43 Studi

Espinosa dkk menemukan perdarahan berat DSS akibat disseminated

intravascular coagulation (DIC), trombositopenia, dan vaskulopati.41

Sedangkan ruam kemerahan yang muncul pada fase akut demam bersamaan

39
Srikiatkachorn A, Krautrachue A, Ratanaprakarn W, Wongtapradit L, Nithipaya N, Kalayanarooj
S, et al. Natural history of plasma leakage in dengue hemorrhagic fever: a serial ultrasonographic
study. Pediatric Infectious Disease Journal. 2007;26(4):283-90
40
Ejaz K, Khursheed M, Raza A. Pleural effusion in dengue. 2011;32(1):46-9
41
Espinosa JN, Dantes HG, Quintal JGC, Martinez JLV. Clinical profile of dengue hemorrhagic fever
cases in Mexico. Salud Publica de Mexico 2005; 47:193-200.

24
dengan gejala lain tidak berhubungan dengan faktor prognostik infeksi

dengue.43

3. Profil hemodinamik: tekanan nadi, tekanan sistolik dan tekanan diastolik.

Pasien dianggap syok jika tekanan nadi (selisih tekanan sistolik dan diastolik)

20 mmHg atau perfusi kapiler buruk (ekstremitas dingin, pengisian kapiler

lambat, atau takikardi).1 Tekanan sistolik akan tetap normal atau meningkat

pada tahap syok terkompensasi. Saat tahap dekompensasi diawali dengan

hipotensi, tekanan sistolik mengalami penurunan, syok menjadi irreversible

dan mortalitas tidak bisa dihindari bahkan dengan resusitasi cairan agresif.42

90 kasus DSS diteliti Pongpan dkk didapatkan penurunan tekanan sistolik 90

mmHg dan signifikan berpengaruh terhadap tingkat nilai prognostik infeksi

dengue.40

4. Profil hematologi: hematokrit, leukosit, dan trombosit.

Hematokrit > 40% merupakan salah satu faktor prognostik infeksi dengue.

Vaskulopati pada infeksi dengue menyebabkan peningkatan permeabilitas

vaskular, hemokonsentrasi dan syok.40 Kriteria laboratorium kebocoran plasma

oleh WHO adalah hemokonsentrasi, ditandai peningkatan hematokrit 20%.1

Perubahan paling awal pada profil hematologi infeksi dengue adalah

penurunan progresif leukosit.1 Pada saat permulaan sakit DBD terjadi

leukopenia (leukosit < 5.000/mm3) diserta dengan limfositosis relatif (> 15%

limfosit atipik). Penelitian Mayetti mendapatkan kejadian syok lebih banyak

ditemui pada pasien dengan jumlah leukosit > 5.000/mm3.43 Hal ini

42
Simmons CP, Farrar JJ, Chau NVV, Wills B. Current concepts dengue. N Engl J Med.
2012;366:1423-32
43
Mayetti. Hubungan klinis dan laboratoriumsebagai faktor risiko syok pada DBD. Sari Pediatri.
2010;11(5):367-72

25
bertentangan dengan penelitian Kalayanarooj dkk, rata-rata jumlah leukosit

pasien infeksi dengue < 5.000/mm3. Leukosit < 5.000/mm3 memiliki

sensitivitas diagnosis infeksi dengue 91.19%, spesifitas 59.82%.44 Akan tetapi

leukopenia penanda awal infeksi dengue bukan sebagai prognostik, leukosit >

5.000/mm3 lebih sering ditemukan pada pasien syok. Pada pasien syok dapat

terjadi leukositosis sebagai suatu respon awal terhadap stress metabolik.43

Jumlah trombosit mengalami penurunan secara progresif selama fase akut

infeksi dengue, mencapai jumlah terendah saat pasien DBD sebelum memasuki

time fever of defervescence bersamaan dengan kebocoran plasma. Penelitian

yang dilakukan Narayanan dkk45, Wichman dkk46, dan dewi dkk47 bahwa syok

lebih sering terjadi apabila jumlah trombosit 50.000/mm3. Penelitian yang

dilakukan oleh Mayetti, kadar hematokrit saat masuk > 42% jumlah leukosit >

5000/mm3 dan jumlah trombosit 50.000/mm3 kemungkinan akan berisiko

mengalami syok dua kali lebih besar.51

5. Profil biokimia: SGOT, SGPT, PT dan PTT

Infeksi dengue dengan peningkatan faal hepar menunjukkan terganggunya

fungsi hepatoseluler dan hal ini telah diamati oleh Mohan dkk. Peningkatan

SGOT/SGPT terjadi pada hari ketiga demam dan mencapai puncaknya hari

44
Kalayanarooj S, Nimmannitya S, Suntayakorn S, Vaughn DW, Nisalak A, Green S, et al. Can
doctors make an accurate diagnosis of dengue infections at an early stage? Dengue Bulletin.
2000;23:19.
45
Narayanan M, Aravind MA, Ambikapathy P. Dengue fever-clinical and laboratory parameters
associated with complications. Dengue Bulletin 2003; 27:108-15.
46
Wichmann O, Hongsiriwon S, Bowonwatanuwong C, Chotivanich K, Sukhtana Y,
Pukrittayakamee. Risk factors and clinical features associated with severe dengue infection in
adults and children during the 2001 epidemic in Chonburi, Thailand. Trop Med and Int Health
2004;9:1022-9.
47
Dewi R, Tumbelaka AR, Sjarif DR. Clinical features of dengue hemorrhagic fever and risk factors
of shock event. Pediatr Indones. 2006;46:144-8

26
ketujuh/delapan demam dan menurun bertahap kembali normal dalam 3-8

minggu.56 Kadar SGOT lebih tinggi dibandingkan SGPT terutama pada infeksi

berat.40 Penelitian Mohan dkk, peningkatan SGOT 84% dan 96% dari kasus

DBD dan DSS selama minggu pertama, puncaknya minggu kedua dan

menurun hingga normal pada minggu ketiga.48

Pemanjangan PT dan APTT termasuk salah satu faktor prognostik DBD dan

DSS menurut Shah dkk.49 Akan tetapi Pongpan dkk tidak menemukan

peningkatan enzim hepar dan pemanjangan PT/APTT sebagai faktor risiko

syok dengue. Disebabkan oleh peningkatan faal hepar dan pemanjangan

PT/APTT sebagai bagian respon setelah syok. Di samping itu, pemeriksaan

SGOT, SGPT, PT dan APTT tidak rutin diperiksa dan tidak semua fasilitas

tersedia pemeriksaan ini.40

3.2 Skoring Infeksi Dengue

Definisi derajat infeksi dengue sesuai dengan kriteria WHO 2011. Untuk skrining

awal prediktor derajat infeksi dengue, dikembangkan suatu skoring berdasarkan

indikator parameter klinis dan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk berbagai

setting tempat.

48
Mohan B, Patwari AK, Anand VK. Hepatic dysfunction in childhood dengue infection. J Trop
Pediatr. 2000;46(1):40-43.
49
Shah I, Deshpande GC, Tardeja PN. Outbreak of dengue in Mumbai and predictive markers for
dengue shock syndrome. J Trop Pediatr. 2004;50(5):301-305.

27
Tabel 3.1 Prediktor signifikan penentu derajat keparahan infeksi dengue.37

Menurut Pongpan dkk berdasarkan analisis multivariable, karakteristik

klinik dengan signifikan prediktor adalah usia > 6 tahun (OR = 1.46, 95% CI =

1.12-1.91, P value = 0.005), hepatomegali (OR = 12.31, 95% CI = 8.84-17.15, P

value < 0.001), hematokrit 40% (OR = 1.34, 95% CI = 1.10-1.64, P value =

0.003), tekanan sistolik < 90 mmHg (OR = 1.70, 95% CI = 1.32-2.17, P value <

0.001), leukosit >5.000/mm3 (OR = 1.40, 95% CI = 1.13-1.75, P value = 0.002),

dan jumlah trombosit 50.000/mm3 (OR = 3.95, 95% CI = 3.14-4.96, P value <

0.001). Indikator parameter dengan prediktor terkuat adalah hepatomegali (OR =

12.31) dan jumlah trombosit 50.000/mm3 (OR = 3.95).37

Indikator parameter di atas ditransformasi dalam bentuk sistem skoring.

Nilai skor dikonversi dengan koefesien, model koefesien terkecil (0.30) dan

dibulatkan menjadi 0.5. Rentang nilai skor 0 8.5 dan total skor 0 18.37

28
Tabel 3.2 Level skor keparahan infeksi dengue dan risk estimation validity

Sistem skoring di atas membagi derajat infeksi dengue menjadi 3

klasifikasi; DD, DBD dan DSS. Cut-off points klasifikasi pasien berdasarkan

derajat keparahan infeksi dengue: skor <2.5 (DD), 2.5-11.5 (DBD) dan >11.5

(DSS).37

Tabel 3.4 Skoring infeksi dengue

BAB IV

29
PERAN IL-10 PADA INFEKSI DENGUE

4.1 Ekspresi dan Aktivasi IL-10

IL-10 adalah sitokin immunoregulator pleiotropic yang disekresi oleh makrofag, sel

T-helper1 (Th1) dan Th2, sel dendritic, sel sitotoksik T, monosit, neutrofil, eosinofil

dan sel mast. Gen IL-10 berlokasi di kromosom 1 1q31-32, panjangnya sekitar 4.7

kb dan mengandung 4 introns dan 5 exons. Yang paling banyak dipelajari dari IL-

10 adalah dua microsatellites (IL-10G dan IL-10R) dan tiga single nucleotide

polymorphisms (SNPs) -1082(G/A), -819(C/T) dan -592(C/A).50

Gambar 4.1 Struktur molekul IL-10.51

50
Trifunovic J, Miller L, Debeljak Z, Horvat V. Pathologic patterns of interleukin 10 expression A
review. Biochemica Medica. 2015;25(1).36-48
51
Asadullah K, Sterry W, Volk HD. Interleukin-10 therapy review of new approach. Pharmacol
Rev. 2003;55:241-69

30
Gambar 4.2 Lokasi IL-10 pada kromosom 1.59

IL-10, juga dikenal sebagai cytokine synthesis inhibitory factor, berperan

sebagai anti-inflamasi, termasuk penghambatan sekresi mediator imun, presentasi

antigen dan fagositosis. Saat ini telah teridentifikasi 6 sitokin terkait IL-10,

termasuk IL-10, IL-19, IL-20, IL-22, IL-24 dan IL-26. Semua sitokin terkait IL-10

menggunakan kompleks reseptor yang sama. Reseptor IL-10 (IL-10R) terbentuk

dari 2 glikoprotein transmembran, IL-10R1 dan IL-10R2.59

31
Gambar 4.3 Ekspresi dan aktivasi IL-10 pada sistem imun.52

Aktivasi IL-10 diinduksi oleh patogen yang mengaktivasi makrofag dan sel

dendritic dengan pengenalan patogen melalui pattern recognition receptors

(PRRs). Antigen presenting cells (APCs) ikut mengekspresikan IL-10 melalui jalur

Toll-like receptor 2 (TLR2). Aktivasi makrofag melalui jalur TLR menghasilkan

kadar IL-10 yang paling tinggi, sebaliknya aktivasi sel dendritic myeloid

menghasilkan jumlah moderate dan sel dendritic plasmacytoid tidak menghasilkan

IL-10. Pada sel TH, ekspresi IL-10 dibantu oleh berbagai sitokin dan jalur lainnya,

seperti IL-4, IL-6, IL-12, IL-21, IL-27, transforming growth factor- (TGF), the

extracellular signal-regulated kinase (ERK), signal transducer and activator of

transcription (STAT). Diferensiasi sel TH dari CD4+ membutuhkan reseptor sel T,

52
Saraiva M, OGarra A. The regulation of IL-10 production by immune cells. Macmillan
publishers limited. 2010;10(3):170-81.

32
aktivasi jalur STAT, dan ERK untuk ekspresi IL-10. Viral load yang tinggi

dipresentasikan oleh sel dendritic ke CD4+ atau dengan bantuan IL-12 untuk

diferensiasi sel TH1, kemudian TH1 akan menghasilkan interferon- (IFN). Sel

TH1 memerlukan viral load jumlah besar, IL-12 dan STAT4 untuk menekspresikan

kadar maksimal IL-10. Sel TH2, IL-4 dan jalur STAT6 diperlukan juga untuk

ekspresi IL-10. Induksi IL-10 oleh TH17 belum sepenuhnya dimengerti, akan tetapi

TGF, IL-6, IL-21, IL-27 dan STAT3 ikut terlibat dalam ekspresi IL-10. TGF

dapat juga menginduksi IL-10 melalui sel TReg forkhead box P3 (FOXP3+) atau

sel CD4+ FOXP3-.60

4.2 Regulasi dan implikasi IL-10 pada Infeksi Dengue

Pada infeksi virus dengue, sel host mengeluarkan berbagai mediator imuologi untuk

memperantarai respon anti-virus dan aktivasi inflamasi. Infeksi dengue berat

merupakan hasil interaksi antara virus dengue dengan respon imunologi host. IL-

10 baik secara fisiologi dan patologi berperan sebagai imunosupresif. IL-10 tidak

hanya berperan sebagai menekan inflamasi selama resolusi imun tapi juga

berpengaruh pada clearance patogen dan membantu mengurangi imuopatologi.53

Alagarasu dkk meneliti kadar IL-10, apabila kadar IL-10 rendah berperan menekan

inflamasi yang berlebihan, sedangkan kadar IL-10 yang tinggi dalam plasma ikut

menginhibisi IFN (antiviral) sehingga berkurang clearance patogen.54 Malavige

53
Tsai TT, Chuang YJ,Lin YS, Chang CP, Wan SW, Lin SH, et al. Antibody-dependent enhancement
infection facilitates dengue virus-regulated signaling of il-10 production in monocytes. PLoS
neglected tropical diseases. 2014;8(11):1-15
54
Alagarasu K, Bachal RV, Tillu H, Mulay AP, Kakade MB, Shah PS, et al. Association of
combinations of interleukin-10 and pro-inflammatory cytokine gene polymorphisms with dengue
hemorrhagic fever. Elsevier. 2015;3:1-7

33
dkk menemukan IL-10 berkontribusi terhadap patogenesis dengan mengganggu

respon sel T terhadap virus dengue.55 Penelitian Tsai dkk menyimpulkan temuan

epidemiologi dari satu dekade terakhir melaporkan terdapat korelasi positif antara

kadar IL-10 dengan derajat keparahan infeksi dengue. Diperoleh hasil kadar IL-10

lebih tinggi terdeteksi pada pasien DBD/DSS dibandingkan dengan DD.

Peningkatan kadar IL-10 terjadi dari onset viremia fase demam dan time of fever

defervescense. Hubungan antara IL-10 dan replikasi virus masih diperdebatkan, dan

kemungkinan efek virus dengue mengakibatkan IL-10 menginhibisi respon kerja

antiviral IFN.56 Penelitian Libraty dkk, puncak tertinggi IL-10 adalah setelah

viremia awal time of fever defervescense.57 Kadar IL-10 serum yang diukur pada

saat infeksi akut berkorelasi dengan derajat kebocoraan plasma dan

trombositopenia. Penelitian Tsai dkk, kadar IL-10 jauh lebih tinggi pada infeksi

sekunder dibandingkan dengan infeksi primer. Induksi IL-10 erat kaitannya dengan

infeksi dengue berat dan biomarker potensial untuk infeksi dengue.64

Teori ADE menjelaskan pengaruh infeksi virus dengue terhadap regulasi

IL-10. Telah diketahui bahwa IL-10 dihasilkan oleh makrofag, sel TH2, CD4+, sel

TReg FOXP3+. IL-10 dihasilkan melalui 2 jalur, yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik.

Jalur instrinsik melalui reseptor Fc yang mengaktivasi splenic thyrosin kinases

(Syk), mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan ERK. Jalur ekstrinsik melalui

55
Malavige GN, Jeewandara C, Alles KML, Salimi M, Gomes L, Kamaladasa A, et al. Suppression
of virus specific immune responses by il-10 in acute dengue infection. PLoS Neglected Tropical
Diseases. 2013;7(9):1-10
56
Tsai TT, Chuang YJ. Wan SW, Chen CL, Lin CF. An emerging role for the anti-inflammatory
cytokine interleukin-10 in dengue virus infection. 2013;20:1-9
57
Librarty DH, Endy TP, Houng HSH, Green S, Kalayanarooj S, Suntayakorn S, et al. Differing
influences of virus burden and immune activation on disease severity in secondary dengue-3
virus infections. J Infect Dis. 2002;181(9):1213-21

34
reseptor Fc mengaktivasi C-type lectin domain family 5 (CLEC5A) sebagian dan

Syk. Kedua jalur ini nantinya akan mengaktivasi protein kinase A

(PKA)/phosphoinositide 3-kinase (PI3K)/protein kinase B (PKB), diikuti dengan

teraktivasinya cAMP response element-binding protein (CREB) dan IL-10.61

Gambar 4.4 Regulasi dan implikasi IL-10 pada infeksi dengue.61

IL-10 yang terbentuk selama infeksi virus dengue akan mengaktivasi dan

diferensiasi sel B untuk membentuk antibodi terhadap protein virus. Antibodi yang

terbentuk antara lain anti-envelope (anti-E), anti-premembran (anti-prM), dan anti-

nonstruktural-1 (anti-NS1). Anti-NS1 akan bereaksi silang dengan endotel vaskular

sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler.63

35
KESIMPULAN

Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue, terdiri atas empat serotipe yaitu

DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus. Infeksi oleh salah satu dari empat serotipe di atas

akan menyebabkan spektrum klinis yang berbeda. Kebocoran plasma merupakan

faktor utama yang membedakan tingkat keparahan penyakit akibat infeksi virus

dengue. Pada awal infeksi sangat sulit membedakan infeksi dengue ringan dengan

kasus berat. Diperlukannya prediktor derajat keparahan penyakit, seperti sistem

skoring dan biomarker potensial IL-10. Sistem skoring infeksi dengue

menggunakan beberapa indikator karakteristik klinis untuk membedakan derajat

keparahan infeksi dengue. Klasifikasi pasien tergantung kepada total skor yang

diperoleh, yaitu total skor <2.5 (DD), 2.5-11.5 (DBD) dan >11.5 (DSS). IL-10

berkontribusi terhadap patogenesis dengan mengganggu respon sel T terhadap virus

dengue. Terdapat korelasi positif antara kadar IL-10 dengan derajat keparahan

infeksi dengue. Dengan diperoleh hasil kadar IL-10 lebih tinggi terdeteksi pada

pasien DBD/DSS dibandingkan dengan DD.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,


prevention and control. New edition. Geneva. 2009.
2. Aditama TY. Demam berdarah biasanya mulai meningkat di Januari.
Diunduh dari http://www.depkes.go.id. Diunduh pada tanggal 29 November
2015
3. Candra A.Demam berdarah dengue: epidemiologi, pathogenesis, dan faktor
risiko penularan. Aspirator. 2010;2:110-9
4. Srikiatkhatchorn A, Green S. Markers of dengue disease severity. Current
topic in microbiology and Immunology. 2010;338:67-79
5. Leong AS, Wong KT, Leong TY, Tan PH, Wannakrairot P. The pathology
of dengue hemorrhagic fever. Seminars in Diagnostic Pathology.
2007;24:227-36
6. Megariani, Mariko R, Alkamar A, Putra AE. Uji diagnostik pemeriksaan
antigen nonstructural-1 untuk deteksi dini infeksi virus dengue pada anak.
Sari Pediatri. 2014;16(2):121-7
7. Pongpan S, Patumanond J, Wisitwong A, Tawichasri C, Namwongprom S.
Validation of dengue infection severity score. Dovepress. 2014;3:45-9
8. Malavige GN, Gomes L, Alles L, Chang T, Salimi M, Fernando S, et al.
Serum IL-10 as a marker of severe dengue infection. BMC Infectious
Diseases. 2013;13:341-7
9. Butthep P, Chunhakan S, Yoksan, Sutee, Tangnararatchakit K, Chuansumrit
A. Alteration of cytokines and chemokines during febrile episodes
associated with endothelial cell damage and plasma leakage in dengue
hemorrhagic fever. 2012;13(12):232-8
10. Rathakrishnan A, wang SM, Khan AM, Ponnampalavanar S, Lum LCS,
Manikan R, et al. Cytokine expression profile of dengue patients at different
phases of illness. PLoS One. 2012;7(12):1-7
11. Potts JA, Gibbons RV, Rothman AL, Srikiatkachorn A, Thomas SJ,
Supradish PO, dkk. Prediction of dengue disease severity among pediatric
Thai patients using early clinical laboratory indicators. PLoS Neglected
Tropical Diseases. 2010;4(8):1-7
12. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Infeksi Virus Dengue
dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. 2008. IDAI;2:155-81
13. Karyanti MR, Uiterwaal CSPM, Kusriastuti R, Hadinegoro SR, Rovers
MM,Heesterbeek H, et all. The changing incidence of dengue haemorrgahic
fever in Indonesia: a 45-year registry-base analysis. BMC Infectious
disease. 2014;14:1-7
14. Fahri S, Yohan B, Trimarsanto H, Sayono S, Hadisaputro S, Dharmana E,
et all. Molecular surveillance of dengue in SemarangIndonesia revealed the
circulation of an old genotype of dengue virus serotype-1. PLOS.
2013;7(8):1-12
15. Sasmono RT, Wahid I, Trimarsanto H, Yohan B, Wahyunu S, Hertanto M,
et all. Genomic analysis and growth characteristic of dengue viruses from
Makassar, Indonesia. Infection, Genetics and Evolution. 2015;32:165-77

37
16. Leyssen P, Clercq ED. Perspectives for the treatment of infections with
flaviviridae. Clin Microbiol Rev. 2000;13:67-82.
17. Gubler DJ, John AS. Dengue Viruses. Elsevier. 2014:1-14
18. Guzman MG, Vazquez S. The complexity of antibody dependent
enhanchement of dengue virus infection. Viruses. 2010;2:2649-62.
19. Kurane I. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on
immunopathogenesis. Microbiol Infect Dis. 2006;30:329-40.
20. Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Patogenesis Infeksi Dengue
dalam Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada
Anak Edisi 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014;(1):7-12
21. Soegijanto S. Patogenesa infeksi virus dengue recent update. Management
of Dengue Viral Infection in Children. 2010;10:11-45.
22. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue pada anak. Dalam: Sri
Rezeki HH, Hindra IS. Demam berdarah dengue. Naskah lengkap. Pelatihan
bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam
tatalaksana kasus DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1999:1-12
23. Jessie K, Fong MY, Devi S, et al. Localization of Dengue virus in naturally
infected human tissues, by immunohistochemistry and in situ hybridization.
J Infect Dis. 2004;189:1411-8
24. World Health Organization-South East Asia Regional Office.
Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.
25. Yip WCL. Dengue hemorrhagic fever: current approach to management.
Medical Progress. 1980;7(13):201-9
26. Wright WF, Pritt BS. Update: the diagnosis and management of dengue
virus infection in North American. Diagnostic Microbiology and Infectious
Disease. 2012;73:215-20
27. Yamada KI, Takasaki T, Nawa M, Kurane I. Virus isolation as one of the
diagnostic methods for dengue virus infection. 2002;24:203-9
28. Darwish NT, Alias YB, Khor SM. An introduction to dengue-disease
diagnostic. Trends in Analytical Chemistry. 2015;67:45-55
29. Amorim JH, Alves RDS, Boscardin SB, Ferreira LSDS. The dengue virus
non-structural 1 protein: risks and benefits. Virus Research. 2014;181:53-
60
30. Young PR, Hilditch PA, Bletchly C, Halloran W. An antigen capture
enzyme-linked immunosorbent assay reveals high levels of the dengue virus
protein NS1 in the sera of infected patients. J. Clin. Microbiol.
2000;38:1053-7.
31. Vazquez S, Ruiz D, Barrero R, Ramirez R, Calzada N, Pena DRB, Reyes,
Guzman MG. Kinetics of dengue virus NS1 protein in dengue 4-
confirmedadult patients. Diagn. Microbiol. Infect. Dis. 2010;68:469.
32. Dussart P, Labeau B, Lagathu G. Evaluation of an enzyme immunoassay
for detection of dengue virus NS1 antigen in human serum. Plos.
2006;13:11859
33. Datta S, Wattal C. Dengue NS1 antigen detection: A useful tool in early
diagnosis of dengue virus infection.Indian J Med Microbiol 2010;28:107-
10.

38
34. Libraty DH, Young PR, Pickering D. High circulating levels of the dengue
virus nonstructural protein NS1 early in dengue illness correlate with the
development of dengue hemorrhagic fever. JID 2002;186:1165-8
35. Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, Wahab AH, Chem YK, Mohamad M,
dkk. Evaluating the sensitivity of a commercial dengue NS1 antigen-capture
Elisa for early diagnosis of acute dengue infection. Singapore Med J
2007;48:669-73.
36. Garcia CJA, Guzman GFJ, Alejandro QVM, Ruiz MCG, Sachez HM,
Lemarroy CRC. Dengue hemorrhagic fever in infant after
primoinfection.Bol Med Hosp Infant Mex. 2010;67:355-8
37. Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J, Namwongprom S.
Clinical study development of dengue infection severity score. Hindawi
Publishing Corporation ISRN Pediatrics. 2013;6:1-6
38. Anders KL, Nguyet NM, Chau NVV, Hung NT, Thuy TT, Lien LB, et all.
Epidemiological factors associated with dengue shock syndrome and
mortality in hospitalized dengue patients in Ho Chi Minh city, Vietnam.
2011;123-34
39. Halstead SB, Gubler DJ, Kuno G. Epidemiology of dengue and dengue
hemorrhagic fever. Oxon, UK. 1997.
40. Pongpan S, Wisitwong A, Tawichasri C, Patumanond J. Prognostic
indicators for dengue infection severity. Int K Clin Pediatr. 2013;2(1):12-8
41. Ahmed FU, Mahmood CB, Sharma JD, Hoque SM, Zaman R, Hasan MS.
Dengue and dengue hemorrhagic fever in children during the 2000 outbreak
in Chittagong, Bangladesh. 2001;25:34-9
42. Junia J, Garna H, Setiabudi D. Clinical risk factors for dengue shock
syndrome in children. Paediatr Indones. 2007;47(1):7-11.
43. Gupta V, Yadav TP, Pandey RM, Singh A, Gupta M, Kanaujiya P, et al.
Risk factors of dengue shock syndrome. Journal of Tropical Pediatrics.
2011;57:451-6
44. Pham Tb, Nguyen TH, Vu TQ, Nguyen TL, Malvy D. Predictive factors of
dengue shock syndrome at the children hospital No. 1, Ho-Chi-Minh City,
Vietnam. 2007;100(1):43-7
45. Falconar AKI, Romero-vivas CME. Simple prognostic criteria can
definitely identify patients who develop severe versus non-severe dengue
disease, or have other febrile illnesses. J Clin Med Res. 2011;4(1):33-44
46. Kittigul L, Pitakarnjanakul P, Sujirarat D, Siripanichgon K. The differences
of clinical manifestations and laboratory findings in children and adults with
dengue virus infection. J Clin Virol. 2007;39(2):76-81
47. Srikiatkachorn A, Krautrachue A, Ratanaprakarn W, Wongtapradit L,
Nithipaya N, Kalayanarooj S, et al. Natural history of plasma leakage in
dengue hemorrhagic fever: a serial ultrasonographic study. Pediatric
Infectious Disease Journal. 2007;26(4):283-90
48. Ejaz K, Khursheed M, Raza A. Pleural effusion in dengue. 2011;32(1):46-
9
49. Espinosa JN, Dantes HG, Quintal JGC, Martinez JLV. Clinical profile of
dengue hemorrhagic fever cases in Mexico. Salud Publica de Mexico 2005;
47:193-200.

39
50. Simmons CP, Farrar JJ, Chau NVV, Wills B. Current concepts dengue. N
Engl J Med. 2012;366:1423-32
51. Mayetti. Hubungan klinis dan laboratoriumsebagai faktor risiko syok pada
DBD. Sari Pediatri. 2010;11(5):367-72
52. Kalayanarooj S, Nimmannitya S, Suntayakorn S, Vaughn DW, Nisalak A,
Green S, et al. Can doctors make an accurate diagnosis of dengue infections
at an early stage? Dengue Bulletin. 2000;23:19.
53. Narayanan M, Aravind MA, Ambikapathy P. Dengue fever-clinical and
laboratory parameters associated with complications. Dengue Bulletin
2003; 27:108-15.
54. Wichmann O, Hongsiriwon S, Bowonwatanuwong C, Chotivanich K,
Sukhtana Y, Pukrittayakamee. Risk factors and clinical features associated
with severe dengue infection in adults and children during the 2001
epidemic in Chonburi, Thailand. Trop Med and Int Health 2004;9:1022-9.
55. Dewi R, Tumbelaka AR, Sjarif DR. Clinical features of dengue hemorrhagic
fever and risk factors of shock event. Pediatr Indones. 2006;46:144-8
56. Mohan B, Patwari AK, Anand VK. Hepatic dysfunction in childhood
dengue infection. J Trop Pediatr. 2000;46(1):40-43.
57. Shah I, Deshpande GC, Tardeja PN. Outbreak of dengue in Mumbai and
predictive markers for dengue shock syndrome. J Trop Pediatr.
2004;50(5):301-305.
58. Trifunovic J, Miller L, Debeljak Z, Horvat V. Pathologic patterns of
interleukin 10 expression A review. Biochemica Medica. 2015;25(1).36-
48
59. Asadullah K, Sterry W, Volk HD. Interleukin-10 therapy review of new
approach. Pharmacol Rev. 2003;55:241-69
60. Saraiva M, OGarra A. The regulation of IL-10 production by immune cells.
Macmillan publishers limited. 2010;10(3):170-81.
61. Tsai TT, Chuang YJ,Lin YS, Chang CP, Wan SW, Lin SH, et al. Antibody-
dependent enhancement infection facilitates dengue virus-regulated
signaling of il-10 production in monocytes. PLoS neglected tropical
diseases. 2014;8(11):1-15
62. Alagarasu K, Bachal RV, Tillu H, Mulay AP, Kakade MB, Shah PS, et al.
Association of combinations of interleukin-10 and pro-inflammatory
cytokine gene polymorphisms with dengue hemorrhagic fever. Elsevier.
2015;3:1-7
63. Malavige GN, Jeewandara C, Alles KML, Salimi M, Gomes L, Kamaladasa
A, et al. Suppression of virus specific immune responses by il-10 in acute
dengue infection. PLoS Neglected Tropical Diseases. 2013;7(9):1-10
64. Tsai TT, Chuang YJ. Wan SW, Chen CL, Lin CF. An emerging role for the
anti-inflammatory cytokine interleukin-10 in dengue virus infection.
2013;20:1-9
65. Librarty DH, Endy TP, Houng HSH, Green S, Kalayanarooj S, Suntayakorn
S, et al. Differing influences of virus burden and immune activation on
disease severity in secondary dengue-3 virus infections. J Infect Dis.
2002;181(9):1213-21

40

Anda mungkin juga menyukai