Pancasila
23.45.00 Iwan Wahyudi 0 Comments
Dalam bidang optik, sesuatu objek bisa saja terlihat berbeda-beda, tergantung
dari latar (faktor sikon disekitarnya). Adakalanya disebabkan karena adanya bias
(pembiasan), deviasi (penyimpangan, pembelokan), depresiasi (penurunan).
Dalam bidang Psikologi pun sesuatu objek bisa terlihat berbeda-beda, tergantung
dari latar (faktor sikon disekitarnya yang mempengaruhinya) dan dari cara, sikap
pandang si pengamat (observer) sendiri. Persepsi, observasi, evaluasi,
pengamatan, penilaian seseorang terhadap sesuatu masalah selalu akan
berbeda-beda, tergantung pada latar (sikon disekitar masalah) dan sikon
disekitar si pengamat.
Bila objek dinyatakan sebagai premise mayor (muqaddam kubra) dan latar
(sikon) sebagai premise minor (muqaddam shughra), maka dalam bidang Logika
(Mantiq), persepsi dapat dinyatakan sebagai konklusi (natijah). Dan bila objek
dinyatakan sebagai genotip (bawaan) dan latar (sikon) sebagai (fenotip)
(lingkungan), maka dalam biologi, persepsi dapat dinyatakan sebagai sosok.
Dalam hubungan ini, kini, belakangan ini marak isu, berita tentang tindak
kejahatan, tindak kriminal berkedok, mengatasnamakan NII (Negara Islam
Indonesia). Sesuai dengan cara, sikap pandang masing-masing, maka ada yang
berkesipulan bahwa NII (Islam) itu menghalalkan segala cara. Dan ada pula yang
berkesimpulan sebaliknya bahwa NII (Islam) itu didiskreditkan, dipojokkan
dengan berbagai cara.
Masih dalam hubungan ini, kini juga marak isu, berita tentang studi banding ke
luar negeri yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di DPR. Kenapa tak berminat
melakukan studi banding ke dalam negeri? Studi banding antara sitim
pemerintahan Minangkabau dengan sitim pemerintahan Jawa ? Studi banding
antara sistim pemerintahan parlementer dengan sistim pemerintahan
presidensial? Studi banding antara konsitusi UUDS-1950 dengan konstitusi UUD-
1945 ? Studi banding antara konstitusi NII (NKA, Negara Karunia Allah) dengan
konstitusi NKRI ? dan lain-lain, dan lain-lain.
Cara (Metoda) yang ditempuh oleh Ulama Fiqih (Pakar Hukum Islam) dalam
menentukan kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) secara sederhana adalah sperti
berikut : 1. Menela'ah sumber syar'iyah (Sumber Hukum Islam). 2. Merumuskan
kaidah-kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) dari sumber syar'iyah 9Sumber
Hukum Islam). 3. Menyusun ketentuan hukum (Hukum Islam) dari kaidah-kaidah
ushul (Prinsip Hukum Islam). 4. Memeriksa ketentuan hukum (Hukum Islam)
dengan sumber syar'iyah (Sumber Hukum Islam). 5. Merumuskan kembali
kaidah-kaidah ushul (Prinsip hukum Islam).
Diantara kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) yang dikemukakan oleh ulama fiqih
(Pakar Hukum Islam) berbunyi bahwa "Yang menjadi pegangan ('ibarat) adalah
kekhususan (parsial) sebabnya, bukan keumuman (total) lafadznya
(ungkapannya), disamping "Yang menjadi perhatian ('ibarat) adalah keumuman
(total) tujuan katanya, bukan kekhususan (parsial) sebab terjadinya" (Simak
antara lain : ALMUSLIMUN, No.191, Februari 1986, hal 23; Prof Dr Hamka : "Tafsir
AlAzhar", juzuk II, 1983, hal 77; Abdul Hamid Hakim : "AlBayan", hal 61).
Dalam Ilmu Mantiq (Logika) disebutan bahwa lafadz (ungkapan) itu ada yang
kulli (total) dan ada pula yang juz^I (parsial). Meskipun lafadznya itu bersifat
kulli (total), namun makna (mafhum, 'ibarat) nya bisa bersifat juzi (parsial)
(Simak antara lain Drs M Umar dkk: "Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq untuk Madrasah
Aliyah", Depag RI, 1984/1985, hal 130-132).
Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik,Yaitu Partai Islam
dan yang satu lagi Partai Pancasila. Di negara-negara besar yang matang
demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah
menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi
yang tidak setuju ideology Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang
bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam
(idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap
sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim
diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam
sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang
BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.
Komponen politik strategis yang perlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan
persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam.
Kedua, instrumen politik (sarana dan prasarana infrastrukturnya) yang akan
bekerja sebagai mesin politik Umat Islam.
Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang
memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang
bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang
berpihak pada Umat Islam.
Memang sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab dan Abu Bakar telah
berupaya mempelopori penyamaan visi dan persepsi politik Umat Islam yang
bertikai antara kelompok Anshar dan Muhajirin pada sa'at janazah Rasulullah
masih terbujur. Namun kini yang menjadi persoalan, bagaimana caranya
menyatukan, menyamakan visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling
bertentangan itu, dan apakah memang visi dan persepsi politik Umat Islam yang
saling bertentangan satu sama lain dapat disatukan, disamakan?
Meskipun hadis tentang Umat Islam akan terpecah atas 73 firqah (kelompok,
golongan) diperselisihkan kesahihan sanadnya, namun nyatanya Umat Islam itu
terkotak-kotak. Ada yang berorientasi pada politik, teleologi, teosofi, hukum dan
seterusnya. Dalam bidang siasah ada yang beraliran Syi'ah, Khawarij, Ahli
Sunnah, dst. Dalam bidang akidah, ada yang beraliran Mu'tazilah, Jabariyah,
Qadariyah, Murji:ah, dst. Dalam bidang tasauf, ada yang beraliran Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Syazaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, dst. Dalam bidang fiqih, ada
yang beraliran Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Tsauriyah,
dst.
Dalam bidang akhlak, sikap hidup (sesama Muslim dan terhadap thagut),
jama'ah dakwah ada yang berakhlak relatif mengikuti etika (moral thughyan).
Ada yang berakhlak keras terhadap mukmin, kasih sayang terhadap thagut
(kafirin, musyrikin, munafikin, fasikin). Ada yang berakhlak sinis dan curiga
terhadap mukmin yang bermaksud menerapkan al-Qur:an dan as-Sunnah,
ramah-tamah dengan kafirin. Ada yang berakhlak mengutamakan kesalehan
pribadi. Ada yang berakhlak di dalam lebih nampak rasional sesama mukmin,
tegas terhadap thagut, tetapi sama-sama lemah-lembut atau mendukung
kebijaksanaan thagut. Ada yang berakhlak nampak kuat ukhuwah sesama
mereka dengan mengutamakan
kesalehan dan nampak tegas terhadap thagut, namun harus berugi dalam waktu
sejauh mana bersikap sabar seagai akaibat sikap hidup terhadap thagut itu,
apakah mengalami reduksi dengan alasan ekonomi.
Dalam perilaku lainnya, jama'ah dakwah ada yang berprilaku sub-ordinasi sistim
thugyan, sepenuhnya mengikuti sistim thughyan (rela diatur oleh ideologi Barat
atau Timur atau Lokal). Ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam serta
kajian ke-Islaman dalam persepktif/metodologi dan epistemologi thugyan, dan
menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan (Islam ditempatkan di
bawah ideologi Barat atau Timur atau Lokal).
Ada yang beraliran modernis, yang memandang Islam itu hanya menyangkut
soal nilai, masalah moral (ajaran etika), dan hanya menginginkan terwujudnya
kultural-sosial Islam. Ada yang bealiran radikalis kompromistis-evolusioner, yang
memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan
terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan
menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), bersifat evolusioner dan
dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil
bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Ada
yang beraliran radikalis-kompromistis-revolusioner, yang berupaya
mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral,
penggalangan publik-opini, aksi-sosial, dengan sikap kompromi, dengan
menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara
mendasar dan menyeluruh.
Ada yang beraliran radikalis-non-kompromistis (fundamentalis-integralis-militan),
yang berupaya mengwujudkan pemerintahan/negara Islam dengan
menggunakan cara yang bersifat konfrontatif (hijrah dan represif) terhadap
struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang
menentang perjuangan dan cita-cita Islam),, bersifat populis (gerakan massa,
aksi-sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat),
bersifat revolusioner, berjuang
menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik
konstitusional.
Namun di samping itu ada pula yang secara sistimatis, terarah, terencana dan
berkesinambungan berupaya meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan,
memenjarakan Islam. Mengebiri, memasung, memandulkan, melumpuhkan
Islam. Meredusir, mereduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak
Islam didakwahkan sebagai acuan alternatif.
Menantang hak individu dintervensi, diatur oleh Islam. Menolak Islam diterapkan
secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan syari'at Islam ke dalam
peraturan perundangan sebagai hukum positif. Melakukan labelisasi/stigmatisasi
Umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primodial, ekstrim,
fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan.
Menggembar-gemborkan bahwa syari'at Islam itu hanya cocok buat bangsa
biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil,
kumal. Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung
sinkretis (talbis alhaq bi albathil) (Luthfi Basori : "Perkuat Keimanan Islam",
dalam "Musykilat Dalam NU", terbitan Forum Nahdliyin Untuk Kajian Strategis).
Hanya berupaya sebatas menegakkan nilai-nilai Islam, dan sama sekali antipati
terhadap hukum Islam. Menghalangi, merintangi tegaknya hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat. Meyakinkan bahwa dalam perspektif historis,
gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang berupaya menegakkan hukum
(syari'at) Islam tidak pernah mendapat simpati dari mayoritas umat Islam.
Bahwa segala bentuk sikap, pandangan dan tindakan yang berlawanan dengan
pluralitas kehidupan akan mendapat tantangan. Yang dijadikan patokan, ukuran
kebenaran adalah hawa, publik-opini, suara terbanyak, vox populi vox Dei.
Memang ada solusi lain yang pernah diajukan, agar segera bangkit kembali
menyusun barisan, melakukan konsolidasi. Mengadakan kontak tatap-muka
(silaturrahim). Saling menyeru, memanggil, mengajak melakukan kegiatan
tabligh, taushiah, dakwah tatap-muka. Saling nasehat-menasehati. Melakukan
lobi secara intensif, dialog (muhasabah, mudzakarah). Saling memperhatikan.
Saling bantu membantu (HUSNAYAIN 72:1999).