Hari/tanggal :
Tanda Tangan :
LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh :
Yenni Apridayanti, S. Kep
04021481518004
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap tercapai atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang baik memungkinkan potensi bawaan
tercapai, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Adapun yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu dari faktor lingkungan
prenatal, faktor lingkungan post-natal.
1) Faktor lingkungan prenatal
Merupakan lingkungan dalam kandungan, mulai konsepsi sampai lahir. Faktor
lingkungan prenatal yang mempengaruhi tumbuh kembang janin mulai dari
konsepsi sampai lahir adalah sebagai berikut:
a) Gizi ibu pada waktu hamil, gizi ibu yang jelek sebelum hamil maupun saat
hamil akan menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR) atau lahir mati,
namun jarang akan menyebabkan kelainan bawaan.
b) Mekanis, trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan
kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
c) Radiasi, radiasi janin sebelum berumur 18 minggu kehamilan dapat
menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, atau cacat bawaan lainnya.
d) Stress, stress yang dialami ibu hamil akan berpengaruh terhadap tumbuh
kembang janin seperti cacat bawaan, kelainan kejiwaan, dan lain lain.
2) Faktor lingkungan post-natal
Pemberian air susu ibu (ASI) sedini mungkin setelah bayi lahir merupakan
stimulasi dini terhadap tumbuh kembang anak. Keuntungan pada bayi selain
nilai gizi yang tinggi juga mengandung zat anti yang melindungi bayi dari
berbagai macam infeksi, selain itu bayi juga merasa sentuhan, kata-kata,
kehangatan dari kasih sayang ibunya. Dalam lingkungan post-natal ada
beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a) Faktor dari lingkungan biologis mencakup ras/suku bangsa, gizi, umur,
budaya lingkungan dalam hal ini masyarakat dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak dalam memahami atau
mempersepsikan pola hidup sehat. Sebagai contoh anak yang dalam usia
tumbuh kembang membutuhkan makanan yang bergizi karena terdapat
adat atau budaya tertentu terdapat makanan yang dilarang. Pada masa
tertentu padahal makanan tersebut dibutuhkan untuk perbaikan gizi, maka
tentu akan menggangu atau menghambat pada masa tumbuh kembang.
b) Faktor fisik mencakup cuaca, musim, dan keadaan geografis suatu daerah
karena apabila pada saat musim kemarau panjang dan bencana alam yang
menyebabkan gagal panen menyebabkan anak kurang gizi, keadaan rumah
yang perlu cukup ventilisasi agar pertukaran udara baik dan sinar matahari
perlu untuk kesehatan.
c) Faktor keluarga mencakup pekerjaan atau pendapatan keluarga,
pendidikan ayah dan ibu, jumlah saudara, kepribadian ayah dan ibu, adat
istiadat dan norma-norma. Status sosial ekonomi keluarga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini dapat
terlihat dengan sosial ekonomi tinggi, tentunya pemenuhan kebutuhan gizi
sangat baik dibandingkan dengan anak yang sosial ekonomi rendah.
d) Nutrisi menjadi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang selama masa
pertumbuhan. Dalam nutrisi terdapat kebutuhan zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan seperti protein, karbohidrat, lemak,
mineral, vitamin dan air.
e) Olahraga atau Latihan fisik dapat memacu perkembangan anak, karena
dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga suplai oksigen keseluruh
tubuh dapat teratur.
f) Posisi anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada anak pertama atau tunggal,
dalam aspek perkembangan secara umum kemampuan intelektual lebih
menonjol dan cepat berkembang karena sering berinteraksi dengan orang
dewasa, akan tetapi dalam perkembangan motoriknya kadang kadang
terlambat karena tidak ada stimulasi yang biasanya dilakukan saudara
kandungnya.
g) Status kesehatan anak dapat mempengaruhi pertumbuhan serta
perkembangan. Hal ini dapat dilihat apabila anak dengan kondisi sehat dan
sejahtera maka percepatan untuk tumbuh kembang sangat mudah, akan
tetapi apabila kondisi status kesehatan kurang maka akan terjadi
perlambatan. Sebagai contoh,pada saat tertentu anak seharusnya mencapai
puncak dalam pertumbuhan dan perkembangan, akan tetapi apabila saat itu
pula terjadi penyakit kronis yang ada pada diri anak, maka pencapaian
kemampuan untuk maksimal dalam tumbuh kembang anak terhambat,
karena anak memiliki masa kritis.
h) Faktor Hormonal yang berperan dalam tumbuh kembang anak antara lain ;
somatotropin (growth hormone) yang berperan dalam mempengaruhi
pertumbuhan tinggi badan.
2) Pemeriksaan Fisik
Penilaian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dapat juga
ditentukan dengan melakukan pemeriksaan fisik; melihat bentuk tubuh;
membandingkan bagian tubuh dan anggota gerak lainnya; menentukan
jaringan otot dengan memeriksa lengan atas, bokong dan paha; menentukan
jaringan lemak; melakukan pemeriksaan pada trisep; serta menentukan
pemeriksaan rambut dan gigi.
3) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan guna meliai keadaan pertumbuhan dan
perkembangan anak yang berkaitan dengan keberadaan penyakit. Adapun
pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan kadar hemoglobin,
pemeriksaan serum protein (albumin dan globulin), hormonal, dan
pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dapat menunjang penegakan diagnosis
suatu penyakit ataupun evaluasinya.
4) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan ini dilakukan guna untuk menilai usia tumbuh kembang, seperti
usia tulang apabila dicurigai adanya gangguan pertumbuhan.
9. Konsep SDIDTK/DDTK
Menurut Pedoman SDIDTK dalam Depkes RI (2013) Stimulasi adalah kegiatan
merangsang kemampuan dasar anak umur 0 -6 tahun agar anak tumbuh dan
berkembang secara optimal. Setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini
mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. Stimulasi tumbuh kembang anak
dilakukan oleh ibu dan ayah yang merupakan orang terdekat dengan anak, pengganti
ibu / pengasuh anak, anggota keluarga lain dan kelompok masyarakat di lingkungan
rumah tangga masing-masing dan dalam kehidupan sehari-hari. Kurangnya stimulasi
dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak bahkan gangguan yang
menetap. Dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang anak,ada beberapa prinsip
dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
b. Selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru tingkah
laku orang-orang yang terdekat dengannya.
c. Berikan stimulasi sesuai dengan kelompok umur anak.
d. Lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi,
menyenangkan tanpa paksaan dan tidak ada hukuman.
e. Lakukan stimulasi secara bertahap dan berkelanjutan sesuai umur anak, terhadap
ke 4 aspek kemampuan dasar anak.
f. Gunakan alat bantu/permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar anak.
g. Anak selalu diberi pujian, bila perlu diberi hadiah atas keberhasilannya.
Sedangkan Deteksi dini tumbuh kembang anak adalah kegiatan / pemeriksaan untuk
menemukan secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak
prasekolah. Dengan ditemukannya secara dini penyimpangan / masalah tumbuh
kembang anak, maka intervensi akan lebih mudah dilakukan, tenaga kesehatan juga
mempunyai waktu dalam membuat rencana tindakan / intervensi yang tepat, terutama
ketika hares melibatkan ibu. / keluarga. Bila penyimpangan terlambat diketahui, maka
intervensinya akan lebih sulit dan hal ini akan berpengaruh pada tumbuh kembang
anak.
Menurut Kemenkes RI (2010) ada 3 jenis deteksi dini tumbuh kembang yang dapat
dikerjakan oleh tenaga kesehatan di tingkat puskesmas dan jaringannya berupa :
a. Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan yaitu untuk mengetahui / menemukan
status gizi kurang / buruk clan mikro / makrosefali.
b. Deteksi dini penyimpangan perkembangan yaitu untuk mengetahui gangguan
perkembangan anak (keterlambatan), gangguan daya lihat, gangguan daya dengar.
c. Deteksi dini penyimpangan mental emosional yaitu untuk mengetahui adanya
masalah mental emosional, autisme dan gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktifitas.
Adapun jadwal kegiatan dan jenis skrining/deteksi dini adanya penyimpangan tumbuh
kembang pada balita dan anak prasekolah oleh tenaga kesehatan adalah sebagai
berikut
Jadwal dan jenis deteksi dini tumbuh kembang dapat berubah sewaktu-waktu, yaitu
pada:
a. Kasus rujukan
b. Ada kecurigaan anak mempunyai penyimpangan tumbuh
c. Ada keluhan anak mempunyai masalah tumbuh kembang
B. Konsep Imunologi
1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu cara peningkatan kekebalan pada tubuh seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit tertentu. Tujuan dari imunisasi ini adalah untuk
mencegah atau melindungi seseorang dari penyakit tertentu, menghilangkan penyakit
tertentu pada kelompok masyarakat.
Menurut Pusdatin (2016) imunisasi merupakansalah satu cara pencegahan penyakit
menular khususnya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang diberikan
kepada anak, dimana cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri
atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan merangsang
sistem imun tubuh untuk membentuk antibodi (kekebalan tubuh).
Selain itu jika, jika terjadi keterlambatan dalam pemberian imunisasi dapat dilakukan
pemberian vaksin sesuai dengan rekomendasi dibawah ini:
a. BCG
Jika usia anak kurang dari 12 bulan dapat diberikan kapan saja, jika usia anak
lebih dari 12 bulan dapat diberikan kapan saja dengan dosis 0,1 ml/IM.
b. Polio oral
Bila terlambat tidak diperbolehkan mengulang pemberian dari awal, tetapi
lanjutkan dan lengkapi imunisasi sesuai jadwal. Tidak peduli berapapun jarak
waktu atau intervalnya keterlambatan dari pemberian sebelumnya.
c. DPT
Diberikan pada anak usia lebih dari 7 tahun jika vaksin tersedia. Bila terlambat
tidak diperbolehkan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi sesuai jadwal. Tidak peduli berapapun jarak waktu atau
intervalnya keterlambatan dari pemberian sebelumnya. Bila belum pernah
imunisasi dasar pada usia kurang dari 12 bulan, imunisasi diberikan sesuai
imunisasi dasar baik jumlah maupun intervalnya. Bila pemberian ke-4 setelah
umur empat tahun, maka pemberian ke-5 tidak perlu lagi.
d. Campak
Jika usia antara 9-12 tahun diberikan saat ada di Posyandu. Usia anak 1 tahun atau
lebih berikan MMR
e. MMR
Bila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, MMR bisa
diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun
f. Hepatitis B
Bila terlambat jangan pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi
imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapun jarak waktu atau interval dari
pemberian sebelumnya. Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi Hepatitis
B pada masa bayi, bisa mendapatkan serial imunisasi Hepatitis B kapan saja saat
berkunjung.
5. Cara pemberian imunisasi dan efek samping dari imunisasi yang diberikan
Pemberian imunisasi pada anak dapat menimbulkan reaksi atau efek samping
terhadap anak yang diberikan imunisasi, reaksi paska imunisasi tersebut diantaranya
yaitu:
a. Imunisasi BCG
Dosis BBL 0.05 ml dan dosis anak-anak 0.10 ml. pemberian imunisasi ini secara
intracutan (IC) di deltoid kanan. Sebaiknya diberikan pada anak dengan uji
mantoux (tuberkulin) negatif. Penyuntikan yang benar akan menimbulkan ulkus
lokal superfisial. Ulkus sembuh dalam 2-3 bulan dan akan meninggalkan jaringan
parut berbentuk bulat dengan diameter 4-8 mm.
b. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)
Dosis pemberian imunisasi ini 0,5 ml secara intramuscular (IM). Reaksi lokal
akibat imunisasi ini adalah merah, bengkak, nyeri. Sedangkan reaksi umum yaitu
demam ringan, jarang hiperpireksia, kejang.
c. Imunisasi Polio
Dosis pemberian imunisasi ini adalah 2 tetes per oral dengan interval tidak kurang
dari 4 minggu. Virus pada vaksin polio ini akan berada di dalam usus dan
menstimulasi pembentukan antibodi dalam darah dan epitel usus sebagai
pertahanan lokal. Reaksi pasca imunisasi yaitu diare ringan. Kontraindikasi
dilakukan pemberian imunisasi polio ini yaitu jika anak demam >38.5C, diare,
keganasan.
d. Imunisasi Campak
Dosis 0,5 ml secara subkutan (SC). Reaksi yang timbul dari pemberian imunisasi
ini adalah biasanya terjadi pada imunisasi ulangan. Dapat berupa demam >39,5 oC
pada hari ke 5-6 berlangsung 2 hari.
6. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
KIPI merupakan semua kejadian sakit yang terjadi selama 1 bulan setelah diberikan
imunisasi. Dimana reaksi dari KIPI yaitu reaksi lokal pada tempat suntikan atau reaksi
umum seperti kemerahan, gatal dan nyeri. KIPI dari beberapa macam pemberian
imunisasi diantaranya yaitu:
a. BCG
Dalam 2 sampai dengan 6 minggu dapat timbul papula dan berkembang menjadi
ulkus yang kemudian akan sembuh dengan menimbulkan jaringan parut.
b. DPT
Demam tinggi, reaksi lokal.
c. Hep.B
Jarang terjadi, namun ada yang menyebabkan demam yang agak tinggi, reaksi
lokal.
d. Polio oral
Sangat jarang terjadi.
e. Campak dan MMR
Reaksi lokal yaitu rasa tidak nyaman . 5-12 hari setelah imunisasi dapat timbul
demam atau erupsi kulit halus yang berlangsung kurang dari 48 jam. 3 minggu
pasca imunisasi dapat timbul pembengkakan kelenjar getah bening di belakang
telinga.
2. Etiologi
Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, atau protozoa. Virus yang
termasuk penggolong ISPA adalah rinovirus, koronavirus, adenovirus, dan
koksakievirus, influenza, virus sinsisial pernapasan. Virus yang mudah ditularkan
melalui ludah yang dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita adalah virus influenza,
virus sinsisial pernapasan, dan rinovirus (Junaidi, 2010).
Menurut Depkes RI (2009) penyebab ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri
dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus
(termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan virus campak),
adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya streptokokus hemolitikus, stafilokokus,
pneumokokus, hemofilus influenza, Bordetella pertussis, korinebakterium diffteria.
Selain itu juga penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu
yang biasanya digunakan untuk memasak. Timbulnya asap dari bahan bakar kayu ini
menyebabkan batuk, sesak napas dan sulit untuk bernapas. Polusi dari bahan bakar
kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, carbon, dan lain lain yang
sangat berbahaya bagi kesehatan.
3. Faktor Resiko
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor risiko terjadinya ISPA secara umum yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku, yakni:
a. Faktor individu
Faktor individu anak atau faktor keadaan anak dimana anak yang mudah sekali
terkena penyakit ISPA. Umur anak, status kondisi anak saat lahir, status kekebalan
tubuh anak, status gizi anak, dan status kelengkapan imunisasi anak merupakan
faktor anak itu mudah sekali terkena penyakit ISPA.
b. Faktor Lingkungan
Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga,
keterbatasan tempat penukaran udara bersih (ventilasi), kelembaban, kebersihan,
musim, temperature, ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan
langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses
terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi) ISPA mudah
sekali tersebar, maka lingkungan yang seperti ini merupakan faktor terjangkitnya
penyakit ISPA.
c. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi
dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang
dilakukan oleh ibu, bapak, ataupun oleh anggota keluarga lainnya. Peran aktif
keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga
dan dapat menular. Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena penyakit ini
banyak menyerang balita, sehingga balita dan anggota keluarganya yang sebagian
besar dekat dengan balita dengan ISPA mengetahui dan terampil dalam menangani
penyakit ISPA ketika anaknya sakit. Menurut Fitriani (2011) perilaku kesehatan
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Perilaku pemeliharaan kesehatan dengan
mengusahakan seseorang untuk menjaga kesehatannya agar tidak sakit serta
perilaku meningkatkan gizi agar tidak mudah terserang penyakit. Perilaku
pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau perilaku
pencarian pengobatan, serta perilaku kesehatan lingkungan yaitu dengan menjaga
lingkuangan agar lingkungaan tetap bersih dan sehat.
4. Patofisiologi
Menurut Depkes RI (2009); Hutagaol (2014); Naning, dkk (2014) proses perjalanan
terjadinya penyakit ISPA adalah sebagai berikut:
5. Klasifikasi ISPA
Menurut Wong (2008) Infeksi saluran pernapasan akut memiliki berbagai macam
jenisnya. Berdasarkan letaknya terbagi menjadi infeksi di saluran pernapasan atas,
sindrom croup (terdiri dari epiglotis, laring dan trakea), dan saluran pernapasan bawah
(terdiri dari bronkus dan bronkiolus. Infeksi saluran pernapasan atas terdiri dari pilek
(nasofaring), faringitis, influenza. Sindrom croup terdiri dari laringitis akut, laringitis
spasmodik akut, epiglotitis akut, dan trakeitis akut. Infeksi saluran pernapasan bawah
terdiri dari bronchitis pneumoni, TBC, dan Aspirasi substansi asing.
c. ISPA berat
ISPA berat ditandai dengan gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai
satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Penarikan dinding dada
2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) saat bernapas
Kesadaran menurun
3) Bibir atau kulit pucat kebiruan
4) Suara nafas seperti mengorok
7. Komplikasi
Menurut Wong (2008) penyakit ISPA merupakan self limited disease, yang sembuh
sendiri 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplukasi yang dapat terjadi
adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi ke sistem
yang lain.
8. Pencegahan
Pencegahan terjadinya ISPA yakni dengan meningkatkan daya tahan tubuh atau
memperbaiki gizi dengan makan makanan yang bergizi, minum cukup, dan istirahat
cukup. Kunjungi pelayanan kesehatan segera atau beri pengobatan bila mulai muncul
tanda-tanda ISPA. Tempat tinggal sedapat mungkin memiliki ventilasi yang baik dan
tidak terlalu penuh penghuninya agar udara tidak sesak, serta pastikan anak
mendapatkan imunisasi lengkap (Sukandarrumidi, 2010).
9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan untuk penderita ISPA yaitu:
a. Pemeriksaan kultur/biakan kuman (swab)
Hasil yang didapatkan adalah biakan kuman positif sesuai dengan jenis kuman
b. Pemeriksaan hitung darah (deferential count)
Laju endap darah meningkat disertai dengan adanya leukositosis dan bisa juga
disertai dengan adanya trombositopenia
c. Pemeriksaan thorax jika diperlukan
10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan dalam pelayanan sesuai klasifikasinya dengan petunjuk
bagan MTBS, untuk gejala batuk bukan Pneumonia beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk yang aman, jika batuk lebih dari 3 minggu rujuk untuk pemeriksaan
lanjutan, kunjungi pelayanan kesehatan bila selama 5 hari tidak ada perbaikan.
Klasifikasi Pneumonia diberikan antibiotik yang sesuai, beri pelega tenggorokan dan
pereda batuk yang aman dan Pneumonia berat beri dosis pertama antibiotik yang
sesuai dan dirujuk ke sarana kesehatan yang lebih memadai (Depkes, 2008).
Menurut WHO (2012) perawatan di rumah sangat penting dalam penatalaksanaan
anak dengan penyakit ISPA yang dapat dilakukan dengan cara:
a. Pemberian makanan
1) Berilah makanan secukupnya selama sakit
2) Tambahlah jumlahnya setelah sembuh
b. Pemberian cairan
1) Berilah anak minuman lebih banyak dan tingkatkan pemberian asi
c. Pemberian obat pelega tenggorokan dan pereda batuk dengan ramuan yang aman
dan sederhana
d. Amati tanda tanda pneumonia
Bawalah kembali ke petugas kesehatan, bila nafas menjadi sesak, nafas menjadi
cepat, anak tidak mau minum, sakit anak lebih parah.
D. Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan secara komprehensif
meliputi aspek biopsikososiokultural. Pada tahap ini semua data atau informasi
tentang klien dikumpulkan melalui wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan diagnostik. Menurut Doengoes (2000) pengkajian yang
dapat dilakukan pada pasien dengan ISPA diantaranya yaitu:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelelahan, Insomnia Tanda : Letargi, penurunan toleransi
terhadap aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat adanya/GJK kronis Tanda :takikardia, Penampilan kemerahan
atau pucat
c. Integritas Ego
Gejala : Banyakya stressor, masalah financial
d. Makanan/Cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan,mual/muntah Tanda : Distensi abdomen,
Hiperaktif bunyi usus, Kulit kering dengan turgor buruk, Penampilan
kakeksia(malnutrisi.
e. Neurosensori
Gejala :sakit kepala daerah frontal (influnza) Tanda :perubahn mental (bingung,
samnolen ).
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, Nyeri dada(pleuritik), meningkat oleh batuk, nyeri dada
subternal(influenza)mialgia,artralgia, nyeri tenggorokan 7.
g. Pernafasan
Gejala : Riwayat adanya/ISK kronis, PPOM, merokok sigaret Tanda : Adanya
sputum atau secret; Perkusi : pekak di atas area yang konsolidasi; Bunyi nafas
:menurun atau tidak ada di atas area yang terlibat , atau nafas yang bronchial;
Warna :pucat atau sianosis bibir/kuku
h. Keamanan
Gejala : Demam (mis :38,5-39,76oC) Tanda : Berkeringat, Menggigil berulang,
gementar, kemerahan mungkin ada pada kasus rubeola atau varisela
i. Penyuluhan/Pembelajaran
Tanda : Bantuan dengan perawatan diri: tugas pemeliharaan rumah; Oksigen
mungkin diperlukan, bila ada kondisi pencetus
j. Pemeriksaan fisik
Difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan:
Pemeriksaan Hasil
Inspeksi Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan,
Tonsil tampak kemerahan dan edema, Tampak batuk
tidak produktif, Tidak ada jaringan parut pada leher,
Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan
tambahan, pernafasan cuping hidung.
3. Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
.
1. Bersihan jalan napas tidak 1.Respiratory status : Airway Manajemen
efektif Ventilatio 1. Monitor status oksigen pasien
Definisi : 2.Respiratory status : 2. Auskultasi suara nafas
Ketidakmampuan untuk Airway patency sebelum dan sesudah
membersihkan sekresi atau 3.Aspiration Control suctioning.
obstruksi dari saluran pernafasan 3. Pastikan kebutuhan oral /
untuk mempertahankan Tujuan dan Kriteria tracheal suctioning
kebersihan jalan nafas. Hasil: setelah 4. Minta klien nafas dalam
dilakukan tindakan sebelum suction dilakukan.
Batasan Karakteristik: keperawatan selama 2 x 5. Berikan O2 dengan
a. Dispneu, Penurunan suara 24 jam bersihan jalan menggunakan nasal untuk
nafas napas tidak efektof memfasilitasi suksion
b. Orthopneu teratasi/ berkurang nasotrakeal
c. Cyanosis dengan indicator : 6. Gunakan alat yang steril
d. Kelainan suara nafas (rales, 1. Mendemonstrasikan sitiap melakukan tindakan
wheezing) batuk efektif dan 7. Hentikan suksion dan berikan
e. Kesulitan berbicara suara nafas yang oksigen apabila pasien
f. Batuk, tidak efekotif atau bersih, tidak ada menunjukkan bradikardi,
tidak ada sianosis dan dyspneu peningkatan saturasi O2, dll.
g. Mata melebar (mampu
h. Produksi sputum mengeluarkan Airway Management
i. Gelisah sputum, mampu 1. Auskultasi suara nafas, catat
j. Perubahan frekuensi dan bernafas dengan adanya suara tambahan
irama nafas mudah, tidak ada 2. Monitor respirasi dan status
pursed lips) O2
Faktor-Faktor yang berhubungan: 2. Menunjukkan jalan 3. Identifikasi pasien perlunya
a. Lingkungan : merokok, nafas yang paten pemasangan alat jalan nafas
menghirup asap rokok, (klien tidak merasa buatan
perokok pasif-POK, infeksi tercekik, irama nafas, 4. Atur intake untuk cairan
b. Fisiologis : disfungsi frekuensi pernafasan mengoptimalkan
neuromuskular, hiperplasia dalam rentang keseimbangan
dinding bronkus, alergi jalan normal, tidak ada 5. Buka jalan nafas, guanakan
nafas, asma. suara nafas abnormal) teknik chin lift atau jawthrust
c. Obstruksi jalan nafas : spasme 3. Mampu bila perlu
jalan nafas, sekresi tertahan, mengidentifikasi-kan 6. Posisikan pasien untuk
banyaknya mukus, adanya dan mencegah factor memaksimalkan ventilasi
jalan nafas buatan, sekresi yang dapat 7. Lakukan fisioterapi dada jika
bronkus, adanya eksudat di menghambat jalan perlu
alveolus, adanya benda asing nafas 8. Keluarkan sekret dengan
di jalan nafas. batuk atau suction
9. Berikan bronkodilator bila
perlu
Weight Management
1. Diskusikan bersama pasien
mengenai hubungan antara
intake makanan, latihan,
peningkatan BB dan
penurunan BB.
2. Diskusikan bersama pasien
mengani kondisi medis yang
dapat mempengaruhi BB
3. Diskusikan bersama pasien
mengenai kebiasaan, gaya
hidup dan factor herediter
yang dapat mempengaruhi
BB
4. Diskusikan bersama pasien
mengenai risiko yang
berhubungan dengan BB
berlebih dan penurunan BB
5. Perkirakan BB badan ideal
pasien
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
3. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
HE :
1. Instrusikan pasien untuk
menginformasikan kepada
peraway jika peredaan nyeri
tidak dapat dicapai
2. Informasikan kepada klien
tentang prosedur yang dapat
meningkatkan nyeri dan
tawarkan strategi koping
yang disarankan.
3. Berikan informasi tentang
nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama akan
berlangsung, dan antisipasi
ketidaknyamanan akibat
prosedur
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nanda NIC NOC. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis.
Yogyakarta: MediAction
Namira, S. (2013). Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada anak
prasekolah di Kampung Pemulung Tangerang Selatan. (skripsi). UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Ngastiyah. (2005). Perawatan anak sakit. (Edisi 2). Jakarta: EGC
Permenkes RI. (2014). Pemantauan Pertumbuhan, Perkembangan dan Gangguan Tumbuh
Kembang Anak. No 66 tahun 2014
Singgih, D. G. (2008). Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta; Gunung Mulia
Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropegene. Yogyakarta : Kanisius
Sulistyawati, A.(2014). Deteksi tumbuh kembang anak. Jakarta : Salemba Medika
Supartini, Y.(2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta: EGC
WHO. (2007). Infection Prevention and Control of Epidemic-and Pandemic-Prone Acute
Rrespiratory Diseases in Health Care. Jenewa
(2012). Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta:
Bakti Husada
Wong, Donna L dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6. Jakarta: EGC