Op Mata Anes
Op Mata Anes
PENDAHULUAN
Pembedahan mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi ahli
anestesi, termasuk regulasi tekanan intraokuler, pencegahan reflex okulokardiak
dan penanganan akibatnya, mengontrol perluasan gas intraokuler dan dibutuhkan
untuk mengerjakan kemungkinan efek sistemik obat-obat mata. Pengetahuan
tentang mekanisme dan penanganan masalah tersebut dapat mempengaruhi hasil
pembedahan . bagian ini juga mempertimbangkan teknik khusus dari anestesi
umum dan regional dalam bedah mata.
Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika
isi dari bola mata meningkat, tekanan intraokuler ( normal 12 20 mmHg) akan
naik. Sebagai contoh, glaukoma disebabkan oleh sumbatan aliran humor aquos.
Umumnya obat obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada tekanan
intraokuler (tabel 38-3). Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang
proporsional sesuai dalamnya anestesi. Anestesi intravena juga dapat menurunkan
tekanan intraokuler. Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat
menaikkan tekanan darah arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot
ekstraokuler.
Banyak operasi mata, seperti ekstraksi katarak, transplantasi kornea,
trabekulektomi, vitrektomi, ataupun pembedahan perlengketan retina dapat
dilaksanakan dengan benar dengan anestesi regional dan sedasi ringan.
Manajemen anestesi berperan penting dalam berhasil atau tidaknya
pembedahan mata. Bagaimanapun juga strategi klinik untuk untuk menjaga
imobilitas pasien selama pembedahan mata sangatlah penting. Pengertian tentang
anatomi mata dan efek anestesi pada tekanan intraoculardan fisiologi mata penting
untuk diketahui dalam embuat manajemen anestesi dalam kasus-kasus seperti
strabismus, trauma mata terbuka, injeksi gas intravitreal, reflex okulokardial,
retinopati prematur.
1
BAB II
PEMBAHASAN
menurun
Tekanan darah arteri
meningkat
menurun
PaCO2
meningkat (hipoventilasi)
menurun (hiperventilasi)
PaO2
2
Meningkat O
Menurun
3
pemasangan lensa intraokuler sekunder
Trabekulektomi (dan presedur penyaring lain)
Vitrektomi (anterior dan posterior)
Perbaikan luka yang bocor
4
= meningkat (ringan, sedang)
/O = tidakberubah atau menurun ringan
? = masih dipertentangkan
Pemberian obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil
(midriasis), yang dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Dosis premedikasi
atropin sistemik yang dianjurkan tidak berhubungan dengan hipertensi
intraokuler, karena bagaimanapun hal ini akan terjadi pada pasien-pasien dengan
glaukoma. Besarnya empat struktur amonium glikopirolat dapat memperbesar
batas keamanan dan mencegah penularan ke dalam sistem saraf pusat.
Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler sebanyak 5 10 mmHg
selama 5 10 menit setelah pemberiannya, menembus terutama ke dalam otot
otot ekstraokuler dan menyebabkan kontraktur. Tidak seperti otot skelet lainnya,
otot ekstraokuler terdiri dari sel sel dengan multipel neuromuskuler junction.
Setelah pemulihan depolarisasi sel sel ini oleh suksinilkolin menyebabkan
kontraktur yang berkepanjangan. Hasilnya terjadi peningkatan tekanan intraokuler
yang mempunyai beberapa efek. Hal ini akan menyebabkan pengukuran palsu
terhadap tekanan intraokuler selama pemeriksaan dalam pengaruh anestesi pada
pasien pasien glaukoma, peningkatan ini tidak penting dalam pembedahan, oleh
karena itu kenaikan tekanan intraokuler dapat menyebabkan ekstruksi okuler
akibat bedah terbuka atau trauma yang tembus. Efek akhir kontraktur yang
berkepanjangan dari otot otot ekstraokuler adalah tes forced duction abnormal
selama 20 menit. Manuver ini menilai penyebab ketidakseimbangan otot
ekstraokuler dan pengaruh tipe pembedahan strabismus. Kongesti vena vena
koroid juga dapat menaikkan tekanan intraokuler. Obat pelumpuh otot
nondepolarisasi tidak menaikkan tekanan intraokuler.
5
dari suatu jalur trigeminal aferen (V1) dan vagal eferen. Refleks okulokardiak
adalah paling lazim didapati pada pasien pediatrik yang menjalani operasi
strabismus. Walaupun begitu, refleks ini dapat dimunculkan pada semua
kelompok usia dan selama berbagai prosedur mata, termasuk ekstraksi katarak,
enukleasi, dan perbaikan retinal detachment (perlepasan retina). Pada pasien yang
sadar, refleks okulokardiak dapat berhubungan dengan somnolens dan nausea.
Obat-obat antikolinergik sering bermanfaat dalam pencegahan refleks
okulokardiak. Atropin atau glikopirolat intravena sebelum pembedahan adalah
lebih efektif dibanding premedikasi intramuskular yang dapat menjadi tidak
efektif.2 Haruslah diingat bahwa obat-obat antikolinergik dapat berbahaya pada
pasien usia lanjut, yang seringkali memiliki penyakit arteri koroner derajat
tertentu. Blokade retrobulbar atau anestesia inhalasi yang dalam juga dapat
bermanfaat, namun prosedur-prosedur ini memiliki risikonya tersendiri. Blokade
retrobulbar sendiri sebenarnya dapat membangkitkan refleks retrobulbar.
Kebutuhan untuk profilaksis rutin adalah kontroversial.
Manajemen refleks okular kardiak ketika ia terjadi tersusun dari prosedur-
prosedur berikut: (1) pengenalan dini oleh ahli bedah dan penghentian sementara
stimulasi bedah hingga kecepatan detak jantung meningkat; (2) konfirmasi
ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesia yang adekuat; (3) pemberian
atropin intravena (10 g/kg) jika terdapat gangguan konduksi; dan (4) pada
episode rekalsitran, infiltrasi otot-otot ekstraokular dengan anestetik lokal. Refleks
ini pada akhirnya akan menghentikan dirinya sendiri dengan traksi berulang otot-
otot ekstraokular.
6
lebih larut dibanding nitrogen dalam darah. Maka NO cenderung berdifusi ke
dalam gelembung udara secara lebih cepat dibanding nitrogen (komponen utama
udara) diabsorbsi ke dalam aliran darah. Jika gelembung bertambah besar setelah
mata ditutup, tekanan intraokular akan naik.
SF6 adalah gas inert yang kurang larut dalam darah dibanding nitrogen
dan jauh kurang larut dibanding NO. Durasi kerjanya yang lebih lama (hingga 10
hari) dibanding gelembung udara dapat menguntungkan bagi oftalmolog. Ukuran
gelembung menjadi dua kali dalam 24 jam setelah injeksi karena nitrogen dari
udara yang dihirup memasuki gelembung udara secara lebih cepat dibanding SF6
berdifusi ke aliran darah. Walaup begitu, kecuali SF6 murni dengan volume besar
diinjeksikan, ekspansi gelembung yang perlahan biasanya tidak meningkatkan
tekanan intraokular. Namun jika pasien menghirup NO, gelembung akan secara
cepat bertambah besar dan dapat mengarah pada hipertensi intraokular.
Konsentrasi NO inspirasi sebesar 70% akan hampir memperbesar volume
gelembung 1 mL tiga kali lipat dan dapat menggandakan tekanan dalam mata
tertutup dalam 30 menit. Penghentian NO selanjutnya akan mengarah pada
resorbsi gelembung, yang telah menjadi campuran NO dan SF6. Penurunan
tekanan intraokular yang menyusul dapat mempresipitasi perlepasan retina lain.
Komplikasi-komplikasi yang melibatkan ekspansi gelembung gas
intraokular dapat dihindari dengan menghentikan NO pada sekurang-kurangnya
15 menit sebelum injeksi udara atau SF6. Jelas, waktu yang diperlukan untuk
mengeliminasi NO dari darah akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain
tingkat kecepatan aliran gas baru dan adekuasi ventilasi alveolar. Kedalaman
anestesia harus dipelihara dengan pemberian agen anestetik lain. NO harus
dihindari hingga gelembung diabsorbsi (5 hari setelah injeksi udara dan 10 hari
setelah injeksi SF6).
7
intravena (0.05-0.1 mg) yang digunakan untuk menangani pasien dewasa dengan
hipotensi. Obat topikal diabsorbsi dalam kecepatan yang terletak di antara
absorbsi setelah injeksi intravena dan subkutan (dosis subkutan toksik dari
fenilefrin adalah 10 mg). Anak-anak dan orang lanjut usia terutama berada dalam
risiko untuk efek toksik obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima
paling banyak larutan fenilefrin 2.5%. Kebetulan para pasien ini merupakan
pasien yang paling sering memerlukan pembedahan mata.
Ekhotiofat (Echothiophate) merupakan inhibitor kolinesterase ireversibel
yang digunakan dalam penatalaksanaan glaukoma karena dapat menurunkan
tekanan intraokular.2 Aplikasi topikal berujung pada absorbsi sistemis dan
reduksi aktivitas kolinesterase plasma. Karena suksinilkolin dimetabolisir oleh
enzim ini, ekhotiofat akan memperpanjang durasi kerja suksinilkolin. Namun
paralisis biasa tidak melebihi 20 atau 30 menit dan apneu postoperatif
kemungkinan besar tidak terjadi. Inhibisi aktivitas kolinesterase bertahan selama
3-7 minggu setelah penghentian tetes ekhotiofat. Efek samping muskarinik
seperti bradikardia selama induksi dapat dicegah dengan obat antikolinergik
intravena (seperti atropin, glikopirolat).
Tetes mata epinefrin dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, dan
disritmia ventrikular; efek disritmogenik ini dipotensiasi oleh halotan. Pemberian
langsung epinefrin ke dalam bilik anterior mata belum dihubungkan dengan
toksisitas kardiovaskular.
Timolol, suatu antagonis -adrenergik nonselektif, mengurangi tekanan
intraokular dengan menurunkan produksi humor aqueous. Tetes mata timolol
yang dipakai secara topikal, yang biasa digunakan untuk mengatasi glaukoma,
pada kasus-kasus yang langka telah dikaitkan dengan bradikardia resistan-atropin,
hipotensi, dan bronkospasme selama anestesia umum.
Cyclopentolate adalah suatu midriatika yang dapat menghasilkan
toksisitas sistem saraf pusat.2
Acetazolamide ketika diberikan secara kronis untuk mengurangi IOP
dapat berhubungan dengan hilangnya ion bikarbonat dan kalium lewat ginjal.2
8
SF6 (sulfur hexafluoride) diinjeksikan ke dalam vitreous untuk secara
mekanis memfasilitasi perlekatan kembali retina. N2O (kelarutan gas darah 0.47)
harus dihindari selama 10 hari setelah injeksi SF6 intravitreous (kelarutan gas
darah 0.004).2
II.5.1 Premedikasi
Pasien yang menjalani operasi mata dapat cemas, terutama jika mereka
telah menjalani banyak prosedur dan terdapat kemungkinan kebutaan permanen.
Pasien pediatrik sering memiliki kelainan-kelainan kongenital terkait (seperti
sindrom rubella, sindrom Goldenhar, sindrom Down). Pasien dewasa biasa
berusia lanjut, dengan setumpuk penyakit sistemik (seperti hipertensi, diabetes
melitus, penyakit arteri koroner). Semua faktor-faktor ini harus dipertimbangkan
ketika memilih premedikasi.
II.5.2 Induksi
9
Pilihan tekhnik induksi untuk operasi mata biasa lebih tergantung pada
masalah-masalah medis pasien dibanding pada penyakit mata pasien atau jenis
operasi yang direncanakan. Satu perkecualian adalah pada pasien dengan bola
mata ruptur. Kunci untuk induksi anestesia pada pasien dengan cedera mata
terbuka adalah kontrol tekanan intraokular dengan induksi yang mulus. Secara
spesifik, batuk selama intubasi harus dihindari dengan mencapai anestesia yang
dalam dan paralisis yang nyata. Respon tekanan intraokular terhadap laringoskopi
dan intubasi endotrakheal dapat ditumpulkan dengan pemberian lidokain
intravena (1.5 mg/kg) atau opioid (seperti alfentanil 20 g/kg). Suatu relaksan otot
nodepolarisasi digunakan sebagai pengganti suksinilkolin karena pengaruh
suksinilkolin pada tekanan intraokular. Sebagian besar pasien dengan cedera bola
mata terbuka memiliki perut yang penuh dan memerlukan tekhnik induksi
sekuens-cepat.
10
prosedur mata dikombinasikan dengan kebutuhan akan kedalaman anestesia yang
adekuat dapat menghasilkan hipotensi pada individu usia lanjut. Masalah ini
biasa dihindari dengan memastikan hidrasi intravena yang adekuat, pemberian
efedrin dosis kecil (2-5 mg), atau memberikan paralisis intraoperatif dengan
relaksan otot nondepolarisasi. Pilihan terakhir ini memungkinkan pemeliharaan
tingkat anestesia yang lebih dangkal.
Emesis yang disebabkan oleh stimulasi vagus merupakan masalah
postoperatif yang sering terjadi, terutama setelah operasi strabismus. Efek Valsava
dan peningkatan tekanan vena sentral yang menyertai muntah dapat berakibat
buruk bagi hasil operasi dan meningkatkan risiko aspirasi. Pemberian
metoklopramid intravena intraoperatif (10 mg pada dewasa) atau droperidol dosis
kecil (20 g/kg) dapat terbukti bermanfaat. Karena biayanya, ondansetron biasa
dicadangkan untuk pasien dengan riwayat mual muntah postoperatif.
11
cukup. Nyeri yang berat dapat merupakan tanda hipertensi intraokular, abrasi
kornea, atau komplikasi bedah lainnya.
12
okulosefalik (yaitu mata yang terblok tidak bergerak selama penggelengan
kepala).
Komplikasi injeksi anestetik lokal retrobular antara lain adalah pendarahan
retrobulbar, perforasi bola mata (terutama pada mata dengan panjang aksial lebih
dari 26 mm), atropi saraf optik, konvulsi yang jelas, refleks okulokardiak, edema
pulmonar neurogenik akut, blok saraf trigeminal, dan henti napas. Injeksi paksa
anestetik lokal ke dalam arteri oftalmikus menyebabkan aliran balik ke otak dan
dapat menyebabkan seizure spontan. Sindrom apneu post-retrobulbar mungkin
dikarenakan injeksi anestetik lokal ke dalam selubung saraf optik, dengan
penyebaran ke dalam cairan serebrospinal. Sistem saraf pusat terpapar terhadap
anestetik lokal konsentrasi tinggi, yang menyebabkan kecemasan dan
ketidaksadaran. Apneu terjadi dalam 20 menit dan beresolusi dalam satu jam.
Sementara itu, terapi bersifat suportif, dengan ventilasi tekanan positif untuk
mencegah hipoksia, bradikardia, dan henti jantung. Ventilasi yang adekuat harus
diawasi secara berkelanjutan pada para pasien yang telah menerima anestesia
retrobulbar.
Injeksi retrobulbar biasanya tidak dilakukan pada pasien dengan kelainan
pendarahan (karena risiko pendarahan retrobulbar), miopia yang sangat berat
(bola mata yang lebih panjang meningkatkan risiko perforasi), atau cedera mata
terbuka (tekanan dari cairan yang diinjeksikan di belakang mata dapat
menyebabkan ekstrusi isi intraokular melalui luka).
13
II.6.3 Teknik-Teknik Regional Yang Kurang Invasif
Pada beberapa tahun terakhir, tekhnik-tekhnik regional yang kurang
traumatik untuk pembedahan bilik depan dan glaukoma telah berevolusi.
Alternatif yang ada antara lain adalah anestesia peribulbar melalui injeksi
anestetik lokal bervolume kecil (seperti 0.5 mL) ke dalam kuadran superior
subkonjungtiva menunju ruangan sub Tenon. Ini dapat diselesaikan dengan
penggunaan jarum kecil gauge 27 atau kanula lengkung tumpul, penggunaan
kanula menghindari risiko perforasi bola mata. Tekhnik yang lebih baru lagi
mengeliminasi injeksi anestetik sama sekali. Setelah pemberian tetes anestetik
lokal (0.5% proximetakain klorhidrat) yang diulangi pada interval 5 menit untuk 5
kali pemberian, suatu gel anestetik (lidokain klorhidrat plus 2% metilselulosa)
diapuskan ke sakus konjungtiva superior dan inferior. Tekhnik-tekhnik yang lebih
baru dan kurang invasif ini tidaklah tepat untuk operasi bilik posterior (seperti
perbaikan perlepasan retina dengan buckle) dan paling baik digunakan untuk ahli
bedah dengan tekhnik yang cepat namun lembut.
14
bervariasi antar pasien dan harus diberikan dalam peningkatan-peningkatan kecil.
Tanpa tergantung tekhnik yang digunakan, ventilasi dan oksigenasi harus terus
dimonitor (lebih disukai melalui pulse oxymetry), dan peralatan untuk
menyediakan ventilasi tekanan positif harus segera tersedia.
15
antagonis reseptor H2 seperi metoklopropamid (0,15 mg/Kg iv) akan menurunkan
volume lambung dan memberikan perlindungan.
Sebelum rangkaian induksi cepat anestesi, beberapa peringatan harus
diambil untuk mencegah respon kardiovaskular dan TIO terhadap laringoskopi
dan intubasi trakea. Pemberian intravena lidokain (1,5 mg/Kg) dan remifentanil
(0,7g/Kg) 3-5 menit sebelum induksi dapat membantu meringankan peningkatan
TIO setelah intubasi trakea. Obat yang memblok reseptor -adrenergik seperti
labetalol (0,05-0,10 mg/Kg iv) juga dapat berguna untuk memblok respon
kardiovaskular terhadap intubasi trakea, khususnya pada pasien dengan angina
atau hipertensi.
Dosis thiopental (6 mg/Kg iv) atau popofol (3,0 mg/Kg iv) akan menjamin
kecukupan dalamnya anestesi selama intubasi trakea. Keefektifan penggunaan
teknik suksinilkholin pra tatalaksana pada kasus ini masih kontroversial.
Walaupun TIO dapat meningkat dengan metode ini, belum ada laporan yang
menggambarkan kerusakan mata lanjut setelah rangkaian induksi cepat anestesi
dengan d-tubokurarin, thiopental, dan suksinilkholin.
Selama anestesi umum untuk pembedahan mata terbuka, dalamnya
anestesi harus memadai untuk menjamin kurangnya gerakan atau batuk. Dapat
dianjurkan untuk menggunakan blok neuromuskular nondepolarisasi untuk
mencegah batuk yang disebabkan oleh rangsangan karina.
16
menjamin bahwa perut akan menjadi kosong. Perhatian lanjut meliputi pemberian
metoklopropamid dan antagonis reseptor H2 sebagaimana pada orang dewasa.
Perut harus didekompresi selama pembedahan dan pasien di extubasi saat
bangun, dengan perlindungan reflek saluran napas yang utuh. Untuk toleransi
ETT dan mengurangi perlawanan pada pasien yang bangun, narkotik dapat
diberikan 10-20 menit sebelum akhir pembedahan dan lidokain (1,5 mg/Kg)
diberikan intravena 5 menit sebelum ekstubasi trakea.
II.7.5 Elektroretinography
Halothan, isofluran, dan enfluran dapat mempengaruhi potensial bangkitan
visual (VEPs). Halothan dan isoflurane menurunkan amplitudo dan meningkatkan
tetapnya VEPs. Konsentrasi 0,9% atau lebih timggi isofluran dapat
memperpanjang tetapnya VEPs. Walaupun beberapa penelitian menyatakan
bahwa hubungan ini tergantung dosis.
Ketamin, derivat phencyclidine adalah sesuatu anestetik yang unik karena
meningkatkan aktivitas elektrik otak. Peningkatan aktivitas ini dapat mengubah
17
amplitudo VEPs dan membiaskan kesimpulan tes. Ketamin telah digunakan untuk
anestesia pada kelinci tanpa mempengaruhi respon elektroretinograpi.
II.7.6 Strabismus
Tiga masalah yang berhubungan dengan strabismus meliputi:
kemungkinan peningkatan resiko hipertemia maligna, tingginya insiden mual dan
muntah postoperative.
Resiko hipertermia maligna dapat dikurangi dengan menghindari
suksinikholin dan halothan. Lebih lanjut, karena suksinilkolin meningkatkan tonus
otot ekstraokular untuk menjamin episode hipertermia maligna cepat terdeteksi,
suhu tubuh, EKG, dan khususnya konsentrasi tidal akhir CO2 harus dimonitor
dengan hati-hati selama anestessi umum pada pasien dengan strabismus. Mual
muntah postoperative persisten menghambat pemulihan dan bahkan memerlukan
pengawasan ketat. Banyak obat telah digunakan untuk mengontrol mual dan
muntah pada pasien ini juga tanpa memperpanjang masa penyembuhan.
Droperidol (75g/Kg iv ) berhasil mengurangi insuden mual dan muntah sampai
16%-22% tanpa meningkatkan waktu pemulihan (4,6 jam). Pemberian intravena
lidokain (1,5 mg/Kg) sebelum intubasi trakea juga menurunkan insiden mual
muntah sampai 16-20%.
Weir dan rekan-rekan telah menunjukkan pengurangan signifikan insiden
dan frekuensi muntah dalam 24 jam pertama setelah pembedahan strabismus
dengan menggunakan teknik infuse propofol dan N2O.
Sebagai tambahan pada manejemen pediatric terkait praktik biasa,
penggunaan tindakan berikut untuk menurunkan insiden mual muntah setelah
pembedahan strabismus harus dipertimbangkan:
Penggunaan minimal opioid untuk mengurangi nyeri
Penggunaan propofol dan anestetik volatile potent untuk memelihara
anestesi umum kurangi atau hindari penggunaan N2O
Pemberian antagonis serotonin 5-HT3 seperti ondansetron (0,1 mg/Kg iv)
selama anestesi
Penggunaan dexamethason (0,15 mg/Kg iv)
18
Pemasangan dan pelepasan orogastrik tube untuk dekompresi perut setelah
induksi anestesi
Pemeliharaan hidrasi adekuat dengan krstaloid iv
Penggunaan lidokain dekat otot ekstraokular selama pembedahan untuk
mengurangi impuls afferent dan nyeri postoperative.
19
BAB III
KESIMPULAN
Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika
isi dari bola mata meningkat, tekanan intraokuler ( normal 12 20 mmHg) akan
naik. Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan
intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi
trendelenburg).
Umumnya obat obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada
tekanan intraokuler. Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang
proporsional sesuai dalamnya anestesi. Anestesi intravena juga dapat menurunkan
tekanan intraokuler. Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat
menaikkan tekanan darah arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot
ekstraokuler.
Pilihan antara anestesi umum dan lokal harus dibuat secara bersama-sama
oleh pasien, anestesiolog, dan ahli bedah. Anestesia umum diindikasikan pada
pasien yang tidak kooperatif, karena bahkan gerakan kepala yang sedikit dapat
memberikan hasil yang terbukti berbahaya selama pembedahan mikro. Pilihan
tekhnik induksi untuk operasi mata biasa lebih tergantung pada masalah-masalah
medis pasien dibanding pada penyakit mata pasien atau jenis operasi yang
direncanakan. Kunci untuk induksi anestesia pada pasien dengan cedera mata
terbuka adalah kontrol tekanan intraokular dengan induksi yang mulus.
Anestesia regional untuk operasi mata telah secara tradisional terdiri atas
blok retrobulbar, blok saraf facialis, dan sedasi intravena. Dalam tekhnik blok
retrobulbar anestetik lokal diinjeksikan di belakang mata ke dalam kerucut yang
dibentuk oleh otot-otot ekstraokular. Injeksi retrobulbar biasanya tidak dilakukan
pada pasien dengan kelainan pendarahan (karena risiko pendarahan retrobulbar),
miopia yang sangat berat (bola mata yang lebih panjang meningkatkan risiko
20
perforasi), atau cedera mata terbuka (tekanan dari cairan yang diinjeksikan di
belakang mata dapat menyebabkan ekstrusi isi intraokular melalui luka).
Suatu blok saraf facialis mencegah penyempitan kelopak mata selama
operasi dan memungkinkan penempatan spekulum kelopak mata. Terdapat
beberapa tekhnik blok saraf facialis: van Lint, Atkinson, dan OBrien. Komplikasi
utama dari blok-blok ini adalah pendarahan subkutan. Beberapa tekhnik sedasi
intravena tersedia untuk operasi mata. Beberapa anestesiolog memberikan suatu
dosis kecil barbiturat kerja singkat (seperti 10-20 mg metoheksital atau 25-75 mg
thiopental), suatu bolus kecil alfentanil (375-500 g), Midazolam (1-3 mg)
dengan atau tanpa fentanil (12.5-25 g) merupakan regimen yang lazim. Dosis
cukup bervariasi antar pasien dan harus diberikan dalam peningkatan-peningkatan
kecil.
21