Anda di halaman 1dari 48

1

REFERAT

IMUNISASI

Pembimbing:

dr. Arsi Widyastriastuti, Sp.A

Disusun Oleh:

Raihana Zahra Ichsani (201620401011093)

SMF ANAK RS BHAYANGKARA KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya penulis dapat

menyelesaikan referat stase Ilmu Kesehatan Anak dengan mengambil topik Imunisasi.

Referat ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan

Anak di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini, terutama kepada dr. Arsi

Widyastriastuti, Sp.A selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada

penulis dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih

jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Ilmu

Kesehatan Anak.

Kediri, Desember 2017

Penulis
3

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. 2

Daftar Isi ........................................................................................................... 3

Bab 1. Pendahuluan .......................................................................................... 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 6

Bab 3. Kesimpulan ............................................................................................ 29

Daftar Pustaka ................................................................................................... 30


4

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam dunia kesehatan dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan

masyarakat yaitu preventif, kuratif atau pengobatan dan rehabilitatif. Dua puluh tahuin terakhir,

upaya pencegahan telah membuahkan hasil yang dapat mengurangi kebutuhan kuratif dan

rehbilitatif. Melalui upaya pencegahan penularan dan transmisi penyakit infeksi yang berbahaya

akan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak terutam kelompok di

bawah umur lima tahun. Penyediaan air bersih, nutrisi yang seimbang,pemberian air susu ibu

eksklusif, menghindari pencemaran udara di dalam rumah, keluarga berencana dan vaksinasi

merupakan upaya pencegahan (Ranuh IGN,dkk, 2011).

Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama.

Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya

menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit

berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi. Penurunan insiden penyakit menular

telah terjadi berpuluh puluh tahun yang lampau di Negara Negara maju yang telah

melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan yang luas.

Angka kesakitan bayi di Indonesia relatif masih cukup tinggi. Program imunisasi bisa

didapatkan tidak hanya di Puskesmas atau di Rumah Sakit saja, akan tetapi juga diberikan di

Posyandu yang dibentuk masyarakat dengan dukungan oleh petugas kesehatan dan diberikan

secara gratis kepada masyarakat dengan maksud program imunisasi dapat berjalan sesuai dengan

harapan. Program imunisasi di Posyandu telah menargetkan sasaran yang ingin dicapai yakni

pemberian imunisasi pada bayi secara lengkap. Imunisasi dikatakan lengkap apabila mendapat
5

BCG 1 kali, DPT 3 kali, Hepatitis B 3 kali, Campak 1 kali, dan Polio 4 kali. Imunisasi secara

lengkap dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit tersebut (Sri Rezeki, 2005).

Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan

pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan

cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang

anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada

anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran

infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan serius pada perkembangan

fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anak anak dari penyakit melalui vaksinasi

yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut.

Upaya imunisasi di Indonesia dapat dikatakan telah mencapai tingkat yang memuaskan.

Namun, Survei Kesehatan Demografi Indonesia (SKDI) diketahui bahwa dua tahun terakhir

cakupan imunisasi dan kualitas vaksinasi tampak menurun. Penurunan cakupan imunisasi sangat

dirasakan dengan ditemukannya kembali kasus polio dan difteria di negara kita. Tiga ratus enam

orang anak menderita poliomyelitis pada periode Mei 2005 sampai dengan Februari 2006

sebagai akibat cakupan vaksinasi polio yang menurun di daerah Cidahu Sukabumi. Angka

kejadian difteria yang masih tinggi pada tahun 2000 ditemukan 1036 kasus dan 174 kasus di

tahun 2007 merupakan bukti bahwa vaksinasi DPT tidak merata (Ranuh IGN,dkk, 2011).
6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Imunisasi dan Vaksin

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti

diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap

suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu

upaya untuk menimbulkan / meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit

atau hany mengalami sakit ringan. (Kemenkes RI, 2014)

Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi

dilemahkan, masih utuh atau bagiannya yang telah diolah berupa toksin mikroorganisme

yang telah diolah menjadi toksoid, protein rekombinan yang apabila diberikan kepada

seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi

tertentu (Kemenkes RI, 2014)

2.2 Tujuan Imunisasi

2.2.1 Tujuan Umum

Turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat

Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

2.2.2 Tujuan Khusus

a. Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan

imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi diseluruh

desa/kelurahan.
7

b. Tervalidasinya eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah

1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun).

c. Global eradikasi polio

d. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015 dan pengendalian penyakit

rubella.

e. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengolaan limbah

medis (safety injection practice and waste disposal management)

(PERMENKES Imunisasi, 2013)

2.3 Sasaran Imunisasi

Sasaran dalam pelayanan imunisasi rutin adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Sasaran Imunisasi pada Bayi

Jenis Imunisasi Usia Pemberian Jumlah Pemberian Interval Minimal


Hepatitis B 0-7 hari 1 -
BCG 1 bulan 1 -
Polio / IPV 1,2,3,4 bulan 4 4 minggu
DPT Hb Hib 2,3,4 bulan 3 4 minggu
Campak 9 bulan 1 -
Sumber : Dirjen PP dan PL Depkes RI, 2013

Tabel 2.2 Sasaran Imunisasi pada Anak Balita

Jenis Imunisasi Usia Pemberian Jumlah Pemberian


DPT-Hb-Hib 18 bulan 1
Campak 18 bulan 1
Sumber : Dirjen PP dan PL Depkes RI, 2013
8

Tabel 2.3 Sasaran Imunisasi pada Anak Sekolah Dasar (SD/sederajat)

Sasaran Jenis Imunisasi Waktu Pemberian Keterangan


Kelas 1 SD Campak Bulan Agustus Bulan Imunisasi
Kelas 1 SD DT Bulan November Anak Sekolah
Kelas 2 & 3 SD Td Bulan November (BIAS)
Sumber : Dirjen PP dan PL Depkes RI, 2013

2.4 Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)

Ada banyak penyakit menular di Indonesia yang dapat dicegah dengan imunisasi, yang

selanjutnya disebut dengan Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I).

Berikut adalah daftar PD3I :

Tabel 2.4 Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)


9
10
11

2.5 Imunologi PD3I

Imunologi adalah ilmu yang sangat kompleks mempelajari tentang sistem kekebalan

tubuh. Perlindungan terhadap penyakit infeksi dihubungkan dengan suatu kekebalan, yaitu

kekebalan aktif dan kekebalan pasif.

2.6.1 Sistem Kekebalan

Sistem kekebalan adalah suatu sistem yang rumit dari interaksi sel yang tujuan

utamanya adalah mengenali adanya antigen. Antigen dapat berupa virus atau bakteri

yang hidup atau yang sudah diinaktifkan. Jenis kekebalan terbagi menjadi kekebalan

aktif dan kekebalan pasif.

Kekebalan aktif

Kekebalan aktif adalah tubuh anak sendiri membuat zat anti yang akan

bertahan selama bertahun-tahun. Adapun tipe vaksin yang dibuat hidup dan

mati. Vaksin yang hidup mengandung bakteri atau virus (germ) yang tidak

berbahaya, tetapi dapat menginfeksi tubuh dan merangsang pembentukan

antibodi. Vaksin yang mati dibuat dari bakteri atau virus, atau dari bahan

toksik yang dihasilkannya yang dibuat tidak berbahaya dan disebut toxoid

(Ranuh IGN,dkk, 2011).

Kekebalan pasif

Kekebalan pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan

untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi

sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya. Antibodi yang diberikan

ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi, baik

untuk infeksi bakteri maupun virus (Ranuh IGN,dkk, 2011).


12

Kekebalan pasif dapat terjadi secara alami saat ibu hamil memberikan

antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir trimester

pertama kehamilan dan jenis antibodi yang ditransfer melalui plasenta adalah

immunoglobulin G (LgG). Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke

bayi melalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer adalah immunoglobulin A

(LgA). Sedangkan transfer imunitas pasif secara didapat terjadi saat

seseorang menerima plasma atau serum yang mengandung antibodi tertentu

untuk menunjang kekebalan tubuhnya (Ranuh IGN,dkk, 2011).

Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak berlangsung lama,

sebab kadar zat-zat anti yang meningkat dalam tubuh anak bukan sebagai

hasil produksi tubuh sendiri, melainkan secara pasif diperoleh karena

pemberian dari luar tubuh. (Ranuh IGN,dkk, 2011).


13

Gambar 2.1 Skema Sistem Kekebalan

2.6.2 Sistem Imun

Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen

yang disebut sebagai sistem imun. Respon imun timbul karena adanya reaksi yang

dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya. Sistem

imun terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan

didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Baik sistem imun non spesifik maupun

spesifik memiliki peran masing-masing, keduanya memiliki kelebihan dan

kekurangan namun sebenarnya ke dua sistem tersebut memiliki kerja sama yang erat

(Kamen Iris, 2010).


14

Sistem Imun Non Spesifik

Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan

memiliki respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu

yang sehat. Sistem imun ini bertindak sebagai lini pertama dalam menghadapi

infeksi dan tidak perlu menerima pajanan sebelumnya, bersifat tidak spesifik

karena tidak ditunjukkan terhadap patogen atau mikroba tertentu, telah ada

dan berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas dan

mampu melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial. Manifestasi

respon imun alamiah dapat berupa kulit, epitel mukosa, selaput lendir,

gerakan silia saluran nafas, batuk dan bersin, lisozim, IgA, pH asam lambung

(Kamen Iris, 2010).

Pertahanan humoral non spesifik berupa komplemen, interferon, protein fase

akut dan kolektin. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila

diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam

respon inflamasi. Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang

meningkatkan fagositosis yang dapat menimbulkan lisis bakteri dan parasit.

Tidak hanya komplemen, kolektin merupakan protein yang berfungsi sebagai

opsonin yang dapat mengikat hidrat arang pada permukaan kuman (Kamen

Iris, 2010).

Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag

yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus

dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus.Peningkatan kadar C-

reactive protein dalam darah dan Mannan Binding Lectin yang berperan
15

untuk mengaktifkan komplemen terjadi saat mengalami infeksi akut (Kamen

Iris, 2010).

Sel fagosit mononuklear dan polimorfonuklear serta sel Natural Killer dan sel

mast berperan dalam sistem imun non spesifik selular. Neutrofil, salah satu

fagosit polimorfonuklear dengan granula azurophilic yang mengandung

enzyme hidrolitik serta substansi bakterisidal seperti defensins dan

katelicidin. Mononuklear fagosit yang berasal dari sel primordial dan beredar

di sel darah tepi disebut sebagai monosit. Makrofag di sistem saraf pusat

disebut sebagai sel mikroglia, saat berada di sinusoid hepar disebut sel

Kupffer, di saluran pernafasan disebut makrofag alveolar dan di tulang

disebut sebagai osteoklas. Sel Natural Killer merupakan sel limfosit yang

berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor. Sel mast

berperan dalam reaksi alergi dan imunitas terhadap parasit dalam usus serta

invasi bakteri (Kamen Iris, 2010).

Sistem Imun Spesifik

Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang

dianggap asing. Benda asing yang pertama kali muncul akan segera dikenali

dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama,

bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan.

Respon sistem imun spesifik lebih lambat karena dibutuhkan sensitisasi oleh

antigen namun memiliki perlindungan lebih baik terhadap antigen yang sama.

Sistem imun ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit T yang berasal dari

sel progenitor limfoid (Kamen Iris, 2010).


16

Sistem Imun Spesifik Humoral

Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang

akan menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah,

berasal dari sel B yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel

plasma. Fungsi utama antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi

ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya. Sel B memiliki

reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap molekul antigen dandapat dideteksi

melalui metode tertentu melalui marker seperti CD19, CD21 dan MHC II

(Kamen Iris, 2010).

Sistem Imun Spesifik Seluler

Limfosit T berperan pada sistem imun spesifik selular. Pada orang dewasa,

sel T dibentuk di sumsung tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi

di kelenjar timus. Persentase sel T yang matang dan meninggalkan timus

untuk ke sirkulasi hanya 5-10%. Fungsi utama sistem imun spesifik selular

adalah pertahanan terhadap bakteri intraselular, virus, jamur, parasit dan

keganasan (Kamen Iris, 2010).

Sel T terdiri atas beberapa subset dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu sel

Th1, Th2, Tdth, CTL atau Tc, Th3 atau Ts atau sel Tr. CD4+ merupakan

penanda bagi sel T helper dan CD8 merupakan penanda dari CTL yang

terdapat pada membran protein sel (Kamen Iris, 2010).


17

Gambar 2. Perbedaan macam-macam Sistem Imun


Sumber: Imunologi Dasar Edisi 9 FKUI 2010

2.6 Klasifikasi Vaksin

Pada dasarnya vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

2.6.1 Live attenuated

Vaksin ini dibuat dari bakteri atau virus penyebab penyakit yang dilemahkan di

laboratorium dengan cara di biakkan berulang-ulang. Supaya dapat menimbulkan

respon imun , vaksin hidup attenuated harus berkembang biak didalam tubuh

resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian

mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar

untuk memberikan rangsangan suatu respon imun. Vaksin hidup ini bersifat labil dan

dapat mengalami kerusakan bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan

pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hati-hati. Vaksin yang berasal dari

virus hidup vaksin campak, parotitis, rubella, polio,rotavirus dan demam kuning.

Berasal dari bakteri hidup vaksin BCG dan demam tifoid oral (Ranuh IGN,dkk,

2011).

2.6.2 Inactivated
18

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam

media pembiakan kemudian dibuat tidak aktif dengan penanaman bahan kimia.

Vaksin ini selalu membutuhkan dosis multiple. Pada umumnya, dosis pertama tidak

menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya memacu atau menyiapkan system

imun. Respon imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Titer

antibosi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. Sebagai

hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis tambahan secara periodik.

Vaksin yang tersedia saat ini berasal dari :

Seluruh sel virus yang inactivated,contoh influenza, polio injeksi, rabies dan

hepatitis A

Seluruh bakteri yang inactivated ,contoh pertusis, tifoid, kolera dan lepra

Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-

seluler, tifoid Vi, lyme disease

Toksoid, contoh difteria, tetanus, botolinum

Polisakarida murni contoh pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus

influenza tipe B

Polisakarida konjugasi pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus influenza

tipe B (Ranuh IGN,dkk, 2011).


19

Tabel 2.6 Klasifikasi Vaksin

2.7 Penggolongan Vaksin

Ada 2 jenis vaksin berdasarkan sensitivitasnya terhadap suhu, yaitu vaksin yang sensitif

terhadap beku dan sensitif terhadap panas.

Gambar 2.2 Skema Penggolongan Vaksin


20

2.8 Jenis Imunisasi

1. Imunisasi Wajib

Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk

seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan

dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi wajib terdiri

atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus.

a. Imunisasi Rutin

Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus-

menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi

lanjutan.

Imunisasi Dasar

Tabel 2.7 Imunisasi Dasar


21
22
23
24

Imunisasi Lanjutan
25

b. Imunisasi Tambahan

Imunisasi tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang

paling berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode

waktu tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah


26

backlog fighting, Crash program, PIN (Pekan Imunisasi Nassional), Sub-

PIN, Catch up Campaign campak dan imunisasi dalam Penanganan KLB

(Outbreak Response Imunization/ORI)

c. Imunisasi Khusus

Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk

melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi

tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah haji/umrah, persiapan

perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan kondisi kejadian luar

biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri atas Imunisasi Meningitis

Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan Imunisasi Anti-Rabies.

2. Imunisasi Pilihan

Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang

sesuai dengan kebutuhanya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari

penyakit menular tertentu, yaitu vaksin MMR, Htb, Tifoid, Varisela, hepatitis A,

Influenza, Pneumokokus, Rotavirus, Japanese Ensephalitis, dan HPV.

Vaksin Influenza

Vaksin influenza diproduksi dua kali setahun berdasarkan perubahan galur virus

influenza yang bersirkulasi di masyarakat.

Pemberian : Pada anak <8 tahun pemberian pertama kali diperlukan 2

dosis dengan interval minimal 4-6 mingg, sedangkan bila anak berusia >

8 tahun, maka dosis pertama cukup 1 dosis saja.

Dosis : 6-35 bulan 0,25 ml; 3 tahun 0,5 ml

KIPI : nyeri, bengkak, demam, eritema, nyeri otot, nyeri sendi.


27

Kontraindikasi : reaksi anafilaksis pada vaksin sebelumnya, alergi telur,

sedang menderita demam akut berat, memiliki riwayat sindrom Guillain-

Barre (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013).

Vaksin Haemophillus Influenza tipe B (HiB)

Pemberian : PRP-T diberikan pada umur2,4 dan 6 bulan dan di ulang

pada usia 18 bulan Vaksin HiB juga dapat diberikan dalam bentuk vaksin

kombinasi. Apabila anak datang pada usia 1-5 tahun, HiB hanya

diberikan 1 kali. Anak > 5 tahun tidak perlu diberikan karena penyakit ini

hanya menyerang anak dibawah usia 5 tahun.

Dosis : 0,5 ml

Kemasan : prefilled syringe

Kontraindikasi : reaksi anafilaksis pada vaksin, sakit sedang atau berat

dengan atau tanpa demam (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD,

2013).

Vaksin Pneumokokus

Terdapat dua jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu

pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni (PPV) dan polisakarida

konjugasi (PCV).

Pemberian : Usia datang 2-6 bulan diberikan 3 kali interval 6-8 minggu

dan ulangan 1 kali usia 12-15 bulan. Usia datang 7-11 bulan diberikan 2

kali interval 6-8 minggu dan ulangan 1 kali pada usia 12-15 bulan. Usia

datang 12-23 bulan diberikan 2 kali interval 6-8 minggu tanpa ulangan.

Usia datang 24 bulan diberikan 1 kali.


28

Dosis : 5 ml

Kemasan : prefilled syringe

KIPI : eritema, bengkak, indurasi, nyeri bekas suntikan, demam, gelisah,

pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan menurun, diare, urtikaria

Kontraindikasi : reaksi anafilaksis pada vaksin, sakit sedang atau berat

dengan atau tanpa demam (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD,

2013)

Vaksin MMR

Pemberian : diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal interval 6 bulan

antara pemberian vaksin campak dengan MMR. MMR diberikan minimal

1 bulan sebelum atau sesudah penyuntikan imunisasi lain. Apabila

seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan

di ulang pada usia 6 tahun, imunisasi campak tambahan pada usia 6 tahun

tidak perlu diberikan lagi. Bila imunisasi ulangan belum diberikan setalah

uisa 6 tahun, berikan vaksin campak/MMR kapan saja saat bertemu. Pada

prinsipnya, berikan imunisasi campak 2 kali atau MMR 2 kali.

Dosis : 0,5 ml

KIPI : malaise, demam, ruam, kejang, ensefalitis pasca imunisasi (1:1

juta), meningoensefalitis (1:1 juta)

Kontraindikasi : penyakit keganasan yang tidak di obati, gangguan

imunitas, mendapat terapi imunosupresan, alergi berat terhadap gelatin

atau neomisin, dalam terapi steroid dosis tinggi (2 mg/ kgBB), demam

akut, mendapatkan vaksin hidup lainnya dalam 4 minggu, 3 bulan pasca


29

transfusi, HIV, imunodefisiensi, menerima suntikan imunoglobulin

dalam 6 minggu(Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013).

Vaksin Tifoid

Tersedia dua jenis vaktin tifoid di Indonesia yaitu vaksin parenteral

(polisakarida) dan oral (bakteri yang dilemahkan). Vaksin oral dapat

menstimulasi produksi IgA sekretorik didalam mukosa usus.

Pemberian : Imunisasi Tifoid diberikan pada usia > 2 tahun, dengan

ulangan setiap 3 tahun.

Dosis : 0,5 mL

Kontraindikasi : alergi terhadap bahan vaksin, demam, penyakit

akut atau kronis progresif (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD,

2013).

Vaksin Hepatitis A

Pemberian : Imunisasi hepatitis A diberikan pada usia > 2 tahun

sebanyak 2 dosis dengan interval 6-12 bulan secara intramuscular di

daerah deltoid.

Dosis : liquid 1 dosis/vial

Kemasan : vial

KIPI : demam dan reaksi lokal

Kontraindikasi : pasien yang mengalami reaksi berat pasca-penyuntikan

dosis pertama (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013).


30

Vaksin Varisela

Pemberian : Diberikan pada usia > 1 tahun, sebanyak 1 kali. Anak

berusia >13 tahun diberikan 2 kali dengan interval 4-8 minggu. Bila

terlambat, berikan kapanpun saat pasien datang, karena imunisasi ini bisa

diberikan sampai dewasa

Dosis : 0,5 ml

KIPI : demam, ruam vesikopapular ringan

Kontraindikasi : demam tinggi, limfosit <1.200 sel/mcl, defisiensi imun

selular, penerima kortikosteroid dosis tinggi, alergi neomisin(Probandari

AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013).

Vaksin Rotavirus

Pemberian :

1. Rotateq diberikan sebanyak 3 dosis; pemberian pertama pada usia 6-

14 minggu, pemberian ke-2 setelah 4-8 minggu kemudian, dan dosis

ke-3 maksimal pada usia 8 bulan.

2. Rotarix diberikan 2 dosis, dosis pertama diberikan pada usia 10

minggu dan dosis ke-2 pada usia 14 minggu (maksimal pada usia 6

bulan). Apabila bayi belum di imunisasi pada usia lebih dari 6-8

bulan, maka tidak perlu diberikan karena belum ada studi

keamanannya.

KIPI : demam, feses berdarah, muntah, diare, nyeri perut, gastroenteritis,

atau dehidrasi.
31

Kontraindikasi : hipersensitif terhadap vaksin, imunodefisiensi, dan yang

mendapat terapi aspirin (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD,

2013).

Vaksin Human Papiloma Virus

Terdiri dari dua jenis yaitu bivalen dan quadrivalen.

1. Bivalen terdiri dari HPV serotipe 16 dan 18

2. Quadrivalen terdiri dari HPV serotipe 6,11,16 dan 18

Pemberian : vaksin HPV dianjurkan pada sejak umur 10 tahun dapat

diberikan hingga anak berusia 26 tahun. Bivalen: dosis kedua interval 1

bulan dan dosis ketiga interval 6 bulan. Kuadrivalen dengan dosis kedua

interval 2 bulan dan dosis ketiga interval 6 bulan. Diberikan secara

intramuskular (Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013).


32

2.9 JADWAL IMUNISASI

Keterangan jadwal imunisasi :

Optimal Catch Up Booster Daerah Endemis


33

a. Vaksin hepatitis B (HB)

Vaksin HB pertama paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan

didahului pemberian suntikan vitamin K, sekitar 30 menit sebelumnya. Bila bayi lahir

dari ibu dengan HbsAg positif, maka diberikan vaksin HB dan immunoglobulin

hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi HB selanjutnya dapat

menggunakan vaksin HB monovalen atau vaksin kombinasi. Jika diberikan vaksin

kombinasi DTP-HB-Hib, vaksin HB usia 1 bulan tidak perlu diberikan. (vaksin HB

mencapai 5 dosis pada umur 18 bulan). Jika diberikan vaksin HB monovalen pada

anak yang telah mendapatkan HBIg tadi, maka jadwal pemberiannya adalah 0, 1, dan

6 bulan.6

b. Vaksin Polio

Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral

(OPV-0). Selanjutnya untukpolio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster diberikan

vaksin OPV atau IPV, paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV* bersamaan

dengan pemberian OPV-3.6

c. Vaksin BCG

Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal 2 bulan. Apabila

diberikan sesudah usia 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.6

d. Vaksin DTP

Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan

vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin

DTPa maka jadwal mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6

bulan. Vaksin DTPw-HB-Hib dapat pula diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk
34

anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap, booster diberikan setiap 10

tahun.6

e. Vaksin Pneumokokkus (PCV)

Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan

dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia

lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia diatas 2

tahun, PCV diberikan cukup satu kali.6

f. Vaksin Rotavirus

Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis ke-1 usia 6-14 minggu, dosis ke-2

dengan interval minimal 4 minggu dan harus selesai sebelum usia 24 minggu. Vaksin

rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis ke-1 usia 6-14 minggu, dosis ke-2 dengan

interval 4-10 minggu, dosis ke-3 diberikan pada usia kurang dari 32 minggu.6

g. Vaksin Influenza

Vaksin Influenza diberikan pada usia minimal 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk

imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun

diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 < 36 bulan

berikutnya, dosisnya 0,25 mL. Hal ini berlaku bagi vaksin trivalen dan quadrivalen.6

h. Vaksin Campak dan MMR

Vaksin Campak diberikan pada usia 9 bulan, sedangkan vaksin MMR pada usia 12

bulan. Apabila MMR sudah diberikan pada usia 12 bulan, vaksin campak kedua tidak

perlu diberikan pada usia 18 bulan. Vaksin campak ketiga tidak perlu diberikan

apabila sudah mendapatkan vaksin MMR yang kedua.6

i. Vaksin Varisela
35

Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk

sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 12 tahun, maka diperlukan 2

dosis dengan interval minimal 4 minggu.6

j. Vaksin human papiloma virus (HPV)

Diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval

0, 1, 6 bulan. Vaksin HPV tetravalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 2, 6 bulan.

Khusus pada remaja usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan.6

k. Vaksin Japanese Ensefalitis (JE)

Vaksin JE yang dilemahkan dapat diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis

dan berpergian ke daerah tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan

booster 1-2 tahun berikutnya.6

l. Vaksin Dengue

Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, 12 bulan.6

2.10 Tata CaraPemberian Imunisasi

Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan

digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila telah diencerkan, harus diperiksa

terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan kejernihan). Jarum ukuran 21 yang steril

dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm

digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

Tempat suntikkan harus dibersihkan sebelum imunisasi

Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuscular atau subkutan dalam,

kecuali OPV yang diberikan peroral dan BCG yang diberikan dengan suntikan

intradermal.
36

Standar jarum suntik adalah ukuran 23 dengan panjang 25 mm tetapi ada perkecualian

untuk beberapa hal, yaitu :

Pada bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dapat dipakai

jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm

Untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan

panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang

12 mm

Untuk suntikkan intramuscular pada orang dewasa yang sangat gemuk dipakai

jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm

Untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27

dengan panjang 10 mm

Pada penyuntikan intramuskular perlu diperhatikan :

Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot

Suntikan dengan arah jarum 60-90o, lakukan dengan cepat

Perhatian untuk penyuntikan subkutan

Arah jarum 45o terhadap kulit (Ranuh IGN,dkk, 2011)

2.11 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Definisi KIPI

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah kejadian medik yang

berhubungan dengan imunisasi baik efek vaksin atau efek samping, toksisitas,

reaksi sensitivitas, efek farmakologis atau kesalahan program, koinsidensi,

reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan(Ranuh

IGN,dkk, 2011).
37

Klasifikasi KIPI

Reaksi Vaksin, misal : induksi vaksin, potensiasi vaksin, sifat dasar vaksin

Kesalahan program, misal : salah dosis, salah lokasi dan cara penyuntikan,

semprit dan jarum tidak steril, kontaminasi vaksin dan alat suntik, penyimpanan

vaksin salah

Kebetulan (coincidental), kejadian terjadi setelah imunisasi tapi tidak disebabkan

oleh vaksin. Indikator faktor kebetulan diketemukannya kejadian yang sama

disaat yang sama pada kelompok populasi setempat tetapi tidak mendapat

imunisasi.

Injection reaction, disebabkan rasa takut/gelisah atau sakit dari tindakan

penyuntikan, bukan dari vaksin. Misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan

pada tempat suntik, takut, pusing dan mual.

Penyebab tidak diketahui, yaitu penyebab kejadian tidak dapat ditetapkan

(Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013)

Gejala Klinis KIPI

Gejala klinis dapat timbul secara cepat atau lambat dan dapat dibagi menjadi

gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya.

Reaksi Lokal:

Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis

Reaksi SSP:

Kelumpuhan akut
38

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang

Reaksi Lainnya:

Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema

Reaksi anafilaksis

Syok anafilaksis

Artralgia

Demam tinggi >38,5oC

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis

Menangis menjerit yang terus menerus (3 jam)

Sindroma septik (Chen RT, 2005).

Reaksi lokal paling sering terjadi pada pemberian vaksin inaktif, khususnya yang

mengandung ajuvan, seperti vaksin DTP. Reaksi lokal biasanya terjadi beberapa jam

setelah suntikan dan biasanya ringan serta dapat sembuh sendiri. Pada beberapa kasus,

reaksi lokal dapat menjadi lebih parah. Ini dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas

meskipun bukan alergi. Reaksi ini disebut reaksi arthus dan sering terjadi pada

pemberian tetanus toksoid dan difteri. Reaksi arthus disebabkan oleh titer antibodi yang

terlalu tinggi yang biasanya disebabkan oleh terlalu banyaknya dosis toksoid (Depkes

RI, 2005).
39

Reaksi sistemik berupa reaksi alergi dapat disebabkan oleh antigen vaksin

sendiri, komponen vaksin seperti materi sel kultur, stabilisator, preservatif, atau

antibiotik yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Reaksi alergi yang

parah dapat membahayakan jiwa, tetapi hal ini jarang terjadi. Berdasarkan estimasi

dapat terjadi satu kasus dari setengah juta dosis. Reaksi alergi dapat diperkecil dengan

melakukan skrining terlebih dahulu dengan wawancara sebelum dilakukan imunisasi

(Depkes RI, 2005).

Reaksi sistemik lebih merupakan gej ala umum, termasuk demam, malaise,

mialgia, sakit kepala, hilangnya nafsu makan, dan lain-lain. Gejala ini dapat bersifat

umum, tidak spesifik, dan dapat terjadi pada orang yang diimunisasi dapat disebabkan

oleh vaksin atau oleh sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan vaksin, seperti

infeksi virus lain. Reaksi sistemik sering terjadi pada pemberian vaksin sel utuh DTP

Untuk menghindari reaksi KIPI sistemik berat, perlu dilakukan anamnesa apakah ada

riwayat kejang pada keluarganya (Depkes RI, 2005).

Penanganan KIPI

Penyebab karena vaksin

Reaksi lokal ringan

o Gejala : nyeri, eritema, bengkak di daerah suntikan < 1 cm, timbul <48

jam setelah imunisasi

o Penanganan : kompres hangat, jika nyeri mengganggu dapat diberi obat

(parasetamol)
40

Reaksi lokal berat

o Gejala : Eritema/ indurasi > 8 cm nyeri bengkak dan manifestasi

sistemik

o Penanganan : kompres hangat dan parasetamol

Reaksi umum/sistemik

o Gejala : demam, lesu, nyeri otot, nyeri kepala, menggigil

o Penanganan : berikan minum hangat dan selimut, parasetamol

Kolaps atau keadaan seperti syok

o Gejala : anak tetap sadar tapi tidak bereaksi terhadap rangsangan, pada

pemeriksaan frekuensi nadi serta tekanan darah dalam batas normal

o Penanganan : Rangsang dengan wewangian atau bau, bila tidak segera

teratasi dalam 30 menit, rujuk

Syok anafilaktik

o Gejala : terjadi mendadak, kemerahan merata, oedem, urtikaria, sembab

kelopak mata, sesak, nafas bunyi, jantung berdebar kencang anak

pingsan/tidak sadar

o Penanganan : suntikkan adrenalin 1:1.000 dosis 0.1 -0.3 ml,

subkutan/intramuskuler atau 0.01 ml/kgBB x maks dosis 0.05 ml/kali.

Jika membaik suntikkan deksametason 1 ampul iv/im, pasang infus

NaCl 0.9 %, rujuk RS.


41

Penyebab karena tata laksana program

Abses dingin

o Gejala : Bengkak, keras, nyeri daerah suntikan. Karena vaksin

disuntikkan kondisi dingin

o Penanganan : Kompres hangatdan parasetamol

Pembengkakan

o Gejala : Bengkak disekitar suntikan karena penyuntikan kurang dalam

o Penanganan : Kompres hangat

Sepsis

o Gejala : Bengkak di sekitar suntikan, demam karena jarum suntik tidak

steril. Gejala timbul 1 minggu sesudah disuntikkan

o Penanganan : Kompres hangat, parasetamol dan rujuk RS

Tetanus

o Gejala : Kejang, dapat disertai demam, anak tetap sadar

o Penanganan : Rujuk RS

Kelumpuhan/kelemahan otot

o Gejala : Anggota gerak yang disuntik tidak bisa digerakkan terjadi

karena daerah penyuntikan salah

o Penanganan : Rujuk RS untuk fisioterapi

Penyebab karena faktor penerima/pejamu

Alergi

o Gejala : Pembengkakan bibir dan tenggorokan, sesak napas, eritema,

papula, gatal, tekanan darah menurun.


42

o Penanganan : Deksamethason 1 ampul im/iv, jika berlanjut pasang infus

NaCl 0.9%

Faktor Psikologis

o Gejala : Ketakuan, berteriak, pingsan

o Penanganan : Tenangkan, beri minum hangat. Saat pingsan beri

wewangian atau alcohol. Setelah sadar beri minum teh manis hangat

Koinsiden (faktor kebetulan)

Faktor kebetulan

o Gejala : penyakit terjadi kebetulan bersamaan dengan waktu imunisasi.

Gejala dapat berupa salah satu gejala KPI diatas

o Penanganan : Tangani sesuai gejala, cari informasi disekitar apakah ada

kasus serupa pada anak yang tidak diimunisasi dan kirim ke RS

(Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD, 2013).

2.12 Penyimpanan dan Transportasi Vaksi

Rantai Vaksin

Rantai Vaksin adalah rangakaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin

dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas

vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien (Ranuh IGN,dkk, 2011).

Peralatan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam

pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang

ditetapkan, meliputi :
43

1. Lemari Es

2. Vaccine carrier : adalah alat untuk membawa vaksin dapat mempertahankan suhu

+2C s/d +8C relatif lama . Vaccine carrier dilengkapi dengan 4 buah cool pack.

3. Kotak Dingin ( Cool pack ) : adalah wadah plastik berbentuk segi empat yang

diisi dengan air yang kemudian didinginkan pada lemari es selama 24 jam

4. Thermos : digunakan untuk membawa vaksin ke tempat pelayanan imunisasi.

Setiap thermos dilengkapi cool pack minimal 4 buah. Dapat mempertahankan

suhu kurang dari 10 jam, sehingga cocok digunakan untuk daerah yang

transportasinya lancar.

5. Cold Box digunakan apabila keadaan darurat seperti listrik padam untuk waktu

cukup lama.

6. Freeze Tag atau freeze watch : untuk memantau suhu pada waktu membawa

vaksin dalam upaya peningkatan kualitas rantai vaksin.

Penyimpanan semua vaksin disimpan pada suhu 2C sampai dengan 8C kecuali

Polio disimpan dalam suhu -15 C s/d -25oC (Ranuh IGN,dkk, 2011).

Kualitas Vaksin

Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi

vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin, yaitu : disimpan di dalam lemari es atau

freezer dalam suhu 2o C sampai dengan 8o C, tansportasi vaksin di dalam kotak dingin

atau termos yang tertutup rapat, tidak terendam air terlindung dari sinar matahari

langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa, indicator suhu berupa VVM ( Vaccine

Vial Monitor) atau freeze watch tag belum pernah di bawah suhu 2oC atau di atas suhu

8oC dalam waktu cukup lama (Ranuh IGN,dkk, 2011).


44

1. VVM ( Vaccine Vial Monitor) digunakan untuk menilai apakah vaksin sudah

pernah terpapar suhu di atas 8oC dalam waktu lama dengan membandingkan

warna kotak segi empat dengan warna lingkaran disekitarnya

Kondisi vaksin dapat digunakan warna segi empat bagian dalam lebih terang

dari warna gelap sekelilingnya.

Kondisi vaksin harus segera digunakan warna segi empat bagian dalam

sudah mulai gelap namun masih terang dari warna gelap sekelilingnya.

Kondisi vaksin tidak boleh digunakan warna segi empat bagian dalam sama

gelap

2. Freeze watch atau freeze tag adalah alat untuk mengetahui apakah vaksin pernah

terpapar suhu di bawah 0oC. Bila dalam freeze watch terdapat warna biru yang

melebar kesekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang (X) berarti vaksin

pernah terpapar suhu di bawah 0oC yang dapat merusak vaksin mati (inaktif).

Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Warna dan Kejernihan, vaksin polio harus berwarna kuning oranye bila berubah

kemerahan atau pucat berarti pHnya telah berubah sehingga tidak stabil dan tidak

boleh diberikan kepada pasien. Vaksin toksoid atau polisakarida umumnya berwarna

putih jernih sedikit berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah

pernah beku, tidak boleh digunakan karena rusak. Untuk meyakinkan dapat dikocok

terlebih dahulu. Bila dikocok tetap emnggumpal atau mengendap berarti vaksin tidak

boleh digunakan karena rusak (Ranuh IGN,dkk, 2011).


45
46

BAB 3

KESIMPULAN

Imunisasi adalah proses memicu sistem kekebalan tubuh seseorang secara artifisial yang

dilakukan melalui vaksinasi (imunisasi aktif) atau melalui pemberian antibodi (imunisasi pasif)

yang memiliki tujuan mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan

penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat atau menghilangkannya dari dunia seperti

keberhasilan imunisasi variola. Adapun imunisasi wajib yang harus diberikan pada anak adalah

BCG, Campak, DTP, Polio dan Hepatitis B.. Dalam setiap imunisasi dapat terjadi kejadian

ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang dapat berupa reaksi lokal maupun sistemik. Setiap reaksi

tersebut dapat ditangani dengan pemberian obat, kompres hangat ataupun dapat dirujuk ke RS.

Vaksin yang ada harus dijaga kualitasnya dengan alat-alat yang ada agar tidak rusak,

apabila kualitas dari vaksin tersebut berkurang ada beberapa indikator yang dapat dilihat seperti

warna dan kejernihannya, freeze tag ataupun VVMnya.


47

DAFTAR PUSTAKA

1. Anik Maryunani, Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan, CV. Trans Info Media,

Jakarta, 2010.

2. Chen RT . Safety of vaccines dalam: Plotkin SA, Mortimer WA, penyunting Vaccines

3th Edition,2005.

3. Depkes RI. Kepmenkes RI tentang Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan KIPI,

2005.

4. Ismoedijanto. Perlunya Peningkatan Cakupan Vaksinasi Difteria pada Anak dan Remaja.

Dalam the 1st National Symposium on Immunisation, penyunting Hadinegoro SR,

Widyastuti E, Kadim M, Kaswandani N, Prawitasari T, Endyarni B. PKB IKA FKUI ke-

54. Jakarta 2008. p 118-29.

5. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Philips CF. Report of the Committee on Infectious

Diseases. Illionis : American Academy of Pediatrics, 2004.

6. Probandari AN, Handayani S, Laksono NJD. Ketrampilan Imunisasi. Solo : Balai

Penerbit Universtis Sebelas Maret, 2013.

7. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko.

Pedoman Imunisasi Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter

Anak Indonesia, 2011.

8. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jadwal imunisasi anak umur 0-

18 tahun; rekomendasi IDAI. 2014.

9. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. Dr. Sp.A (K), dkk. Pedoman Imunisasi di Indonesia.

Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta. 2005:3.

10. Peraturan Menteri Kesahatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013.


48

Anda mungkin juga menyukai