Anda di halaman 1dari 2

Shadow Ekonomi : Penggerus Tax Revenue Tak Kasat Mata Indonesia dari tahun 1999 hingga 2007 berkisar

n 1999 hingga 2007 berkisar pada

Karena shadow ekonomi sulit dipajaki, maka itu akan menggerus angka 18,9% dari PNB (Produk Nasional Bruto) kita. Sungguh bukan angka

pendapatan pajak (Ummad Mazhar & Pierre Meon, 2009) yang bisa dianggap remeh. Apalagi dengan nilai segitu banyak potensi
pajak yang hilang.
Itulah kalimat pengantar yang diungkapkan dua peneliti yang mencoba
mencari tahu apa hubungan antara dari shadow economy dengan pajak Data lain yang berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azwar (2017)

dan inflasi. Sebelum beranjak lebih jauh, kita harus mengetahui dahulu menyatakan bahwa nilai dari transaksi shadow economy periode 2011 s.

apa itu shadow economy. Dan bagaimana bisa hal tersebut dapat 2015 antara Rp 289 triliun sampai Rp 958 triliun dengan nilai rata-rata

mempengaruhi tax revenue? Shadow economy adalah kegiatan mencapai Rp 536 triliun per tahun atau setara dengan 22,1% terhadap

produksi dan/atau perdagangan barang maupun jasa, baik legal maupun PDB Nominal. Sementara itu, akibat adanya kegiatan underground

ilegal, yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan produk domestik economy, potensi pajak yang hilang berkisar antara Rp 23,32 triliun

bruto (PDB). Kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan hingga Rp 1.467 triliun dengan rata-rata per tahun mencapai Rp 487,12

memiliki motif tertentu. triliun atau setara dengan 1,9% dari PDB

Karena shadow economy ini tak kasat mata ataupun susah untuk Apa saja potensi pajak yang hilang sehingga dapat menggerus tax

dideteksi maka otomatis akan sulit bagi pemerintah memajaki kegiatan revenue?

tersebut. Sebagai informasi, penelitian-penelitian menyebutkan bahwa  PPh 4 ayat 2 seperti PP46 atas usaha usaha kecil menengah yang
skala kegiatan shadow economy berada dikisaran 12-15% dari total masih sulit dijangkau untuk dipajaki salah satunya e-commerce
pendapatan domestik bruto (PDB) di negara maju, sementara untuk  PPh 25/29 bagi yang peredaran brutonya lebih dari 4,8 milyar
negara berkembang bisa mencapai 30-40% dari PDB. Bagaimana dengan setahun
Indonesia?  PPh lainnya seperti 21, 23 dan sebagainya

Berdasarkan data dari Friedrich Schneider, Andreas Buehn dan Clauido E.  PPN Jika pelaku shadow economy sudah mempunyai penghasilan

Montenegro (dalam Tobing, 2014), rata-rata shadow economy di bruto di atas 4,8 miliar rupiah,
Selain dapat menggeruskan potensi perpajakan, shadow ekonomi ini
justru akan berakibat meningkatkan inflasi. Semakin besar shadow
ekonomi suatu negara, maka inflasi suatu negara juga akan meningkat.
Karena seakan-akan masyarakat aktif dalam melakukan transaksi
ekonomi, walaupun sebenarnya hal tersebut tidak terdeteksi. Secara
tidak langsung akan meningkatkan permintaan dipasar dan kelangkaan
barang yang berujung pada naiknya inflasi.

Hal ini berbanding terbalik dengan penerimaan pajak yang dibahas tadi.
Justru dengan adanya shadow economy, penerimaan pajak akan sulit
digapai. Maka, sudah menjadi tugas Direktorat Jenderal Pajak selaku
institusi penghimpun negara untuk mengecilkan rasio shadow economy
sehingga akan meningkatkan penerimaan pajak. Langkah yang sudah
ditempuh oleh DJP sendiri semisalnya adalah melakukan sensus pajak
yang dahulu digalakkan. Sehingga data-data masyarakat yang melakukan
usaha akan masuk ke database DJP sehingga akan mudah untuk dilakukan
monitoring. Selain itu DJP juga menggalakkan insentif pajak yang akan
menggugah nurani pelaku shadow economi untuk melaporkan usahanya.

Pada akhirnya, shadow economy menjadi momok yang harus diperangi


oleh DJP agar dapat mencapai target penerimaan yang menjadi tanggung
jawab untuk menopang APBN.

Anda mungkin juga menyukai