Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. i

DAFTAR ISI .................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4

BAB III LAPORAN KASUS .......................................................................... 13

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 20

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

1
BAB I
PENDAHULUAN

Apendiks atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah usus buntu,
adalah salah satu organ viseral pada sistem gastrointestinal yang sering
menimbulkan masalah kesehatan. Adanya peradangan pada apendiks vermiformis
disebut dengan apendisitis dan merupakan penyebab tersering nyeri akut abdomen
yang paling sering ditemukan serta menghasilkan jenis operasi yang paling sering
dilakukan di dunia. Peradangan pada apendiks merupakan kausa laparotomi
tersering pada anak dan orang dewasa.1,2
Insiden terjadinya radang pada apendiks atau apendisitis ini terus
meningkat.3 Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap apendisitis.4 Adapun
faktor risiko yang berpotensi menyebabkan apendisitis antara lain, diet rendah
serat dan tinggi gula, riwayat keluarga, infeksi, dan panjang apendiks.5 Faktor
predisposisi lain yaitu sisa makanan, limfoid hiperplasia (pada anak-anak) dan
tumor karsinoma. Inflamasi akibat virus dan bakteri juga dapat mempengaruhi
apendiks.6 Peradangan akut pada apendiks merupakan kasus gawat darurat karena
dapat menimbulkan abses, perforasi, hingga peritonitis, sehingga perlu tindakan
bedah yaitu apendektomi untuk mencegah komplikasi yang berbahaya dan dapat
mengancam jiwa.3
Penyakit ini dapat dimulai saat lahir, mengalami puncak di usia remaja
akhir dan menurun di usia lanjut.7 Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki
maupun perempuan dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya
mencapai 7-8%. Insiden tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun.
Kasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20-30% dan
meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang
dari satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan.8,9 Perbandingan angka
kejadian pada remaja : dewasa muda adalah 3 : 2 dan didominasi pria. Pada orang
dewasa, angka kejadian apendisitis 1,4 kali lebih banyak pada pria dibanding
wanita dan risiko terkena apendisitis sebanyak 8,6% pada pria dan 6,7% pada
wanita.7,9

2
Dalam bentuk tanda dan gejala fisik, apendisitis adalah suatu penyakit
prototipe yang berlanjut melalui peradangan, obstruksi dan iskemia dalam jangka
waktu yang bervariasi.10 Gejala awal apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak
enak di sekitar umbilikus. Gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1 atau 2
hari. Dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dengan disertai
oleh anoreksia, mual dan muntah. Dapat juga terjadi nyeri tekan disekitar titik Mc
Burney. Kemudian timbul spasme otot dan nyeri tekan lepas. Apabila terjadi
ruptur pada apendiks, tanda perforasi dapat berupa nyeri, nyeri tekan dan
spasme.11
Penanganan standar apendisitis di dunia adalah operasi pengangkatan
apendiks yang disebut apendektomi dan dilakukan laparotomi jika sudah terjadi
perforasi. Angka mortalitas pada pasien yang dilakukan apendektomi mencapai
0,07-0,7% dan 0,5-2,4% pada pasien dengan atau tanpa perforasi. Walaupun
mortalitas apendisitis akut rendah tetapi angka morbiditasnya cukup tinggi.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Apendiks merupakan organ pencernaan yang terletak pada rongga


abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang
berkisar 10 cm dan berpangkal utama pada sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.1

Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi yang didasarkan


pada letak struktur di sekitarnya seperti sekum dan ileum. Letak apendiks 30%
pelvikum yang masuk ke rongga pelvis, 65% terletak dibelakang sekum, 2%
terletak preileal, dan < 1% yang terletak retroileal.1

Apendiks mendapatkan persarafan otonom parasimpatis dari nervus


vagus dan persarafan simpatis dari nervus thorakalis. Persarafan ini
menyebabkan radang pada apendiks akan dirasakan preumbilikal.
Vaskularisasi apendiks adalah oleh arteri apendikularis yang tidak memiliki
kolateral. Arteri apendikularis adalah cabang dari a.Ileocecalis yang
merupakan cabang dari a. Mesenterika Superior.1

Pada penyayatan melintang, apendiks mempunyai lapisan yang sama


dengan kolon di dekatnya, lapisan apendiks yaitu mukosa, submukosa dengan

4
jaringan limfoid yang menonjol, lapisan otot sirkular dan longitudinal, dan
lapisan serosa di atasnya.3

B. Fisiologi
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia belum sepenuhnya dipahami.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya
dicurahkan ke alam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampakya berperan pada patogenesis
apendisitis.1

Apendiks mengandung sel T dan B di dalam lamina propria apendiks,


yang merupakan diferensiasi dari lamina propria kolon di dekatnya.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Beberapa hipotesis mengatakan bahwa apendiks mungkin memiliki fungsi
imun seperti timus, walaupun jumlahnya kecil sekali dan tidak ada penelitian
yang membuktikan fungsi imun dari apendiks itu sendiri.12

C. Etiologi

Etiologi apendisitis sampai sekarang masih belum diketahui secara


pasti. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus apendisitis akut.
Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai pencetus
apendisitis. Sumbatan lumen tersebut dapat memicu pertumbuhan bakteri dan
peningkatan tekanan intra luminal, menyebabkan obstruksi aliran vena dan
mungkin juga arteri, akhirnya menimbulkan gangren dan perforasi. Penyebab
sumbatan lumen diduga sering karena hiperplasia limfoid, kondisi tersebut
umunya terjadi di kalangan remaja, dan berkorelasi dengan tingginya insidens
apendisitis pada usia ini. Dikatakan bahwa infeksi virus dan bakteri, seperti
Shigella, Salmonella, infeksi mononukleosis menimbulkan hiperplasia limfoid
yang selanjutnya menyumbat lumen sehingga dapat menyebabkan apendisitis.
Fekalit juga dapat menyebabkan terjadinya sumbatan lumen, lalu terjadi
apendisitis. Diduga sekitar 30% kasus apendisitis pada dewasa terkait dengan

5
adanya fekalit. Fekalit diperkirakan menyebabkan terjebaknya substansi
sayuran dan berikutnya deposisi mukus, yang akhirnya kalsifikasi. Teori
obstruksi ini tidak menjelaskan etiologi apendisitis sepenuhnya, karena
beberapa kasus apendisitis menunjukkan lumen yang paten secara radiologi,
makroskopik, dan pemeriksaan mikroskopik.3

D. Patofisiologi

Patofisiologi apendisitis akut secara umum berkaitan dengan proses


inflamasi pada apendiks akibat infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi
adalah karena terdapat obstruksi. Obstruksi tersebut mengganggu fisiologi dari
aliran lendir apendiks sehingga tekanan intralumen meningkat dan terjadi
kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada daerah tersebut. Pada
sebagian kecil kasus, infeksi dapat terjadi secara hematogen dari tempat lain
sehingga tidak ditemukan adanya obstruksi.1

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks


mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor.1

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.13
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.13

6
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.13
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-
48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.13
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa
dilakukan tindakan operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan
menyebabkan eksaserbasi akut sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung
pada komplikasi perforasi.14 Pada anak-anak dan geriatri, daya tahan tubuh
yang rendah dapat menyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat apendisitis
sehingga resiko perforasi lebih besar.13

E. Manifestasi Klinis
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan oleh
pasien dengan apendisitis akut. Karakteristik nyeri perut sangat penting untuk
menentukan diagnosa apendisitis akut.1

Nyeri perut pada apendisitis muncul mendadak yang kemudian


dirasakan samar-samar dan tumpul. Nyeri yang muncul merupakan nyeri
viseral pada daerah epigastrium dan preumbilikus. Nyeri viseral terjadi terus-
menerus kemudian nyeri berubah menjadi nyeri somatik. Dalam kurun waktu
sekitar 1-12 jam kemudian nyeri somatik berada di titik Mcburney, yaitu pada
1/3 lateral dari garis Spina Iliaka Anterior Superior (SIAS) dan umbilikus.
Nyeri somatik dirasakan lebih tajam dengan intensitas sedang-berat.14

Banyaknya variasi letak apendiks pada tiap orang menyebabkan


beberapa kasus apendisitis memiliki gejala nyeri di lokasi yang berbeda-beda

7
pula. Anoreksia sering terdapat pada kasus apendisitis ini, sehingga perlu
ditanyakan saat anamnesa. Mual muntah terjadi pada 75% pasien. Banyak
pasien yang mengalami obstipasi terlebih dahulu sebagai onset awal dari nyeri
abdomen, dan banyak dari mereka yang merasa bahwa defekasi akan
menghilangkan nyeri tersebut. Selain itu, diare didapatkan juga pada beberapa
pasien, khususnya anak-anak. Maka dari itu, pola defekasi juga dapat
membantu menegakkan diagnosis.3
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, tanda nyeri di titik
McBurney tidak begitu jelas karena apendiks terlindung oleh sekum. Rasa
nyeri lebih ke arah perut sisi kanan, atau bisa juga dirasakan saat berjalan
karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang
terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan tanda dan gejala
dari rangsangan sigmoid atau rektum, menyebabkan peningkatan peristaltis,
dan pengosongan rektum juga akan menjadi lebih cepat. Apabila apendiks
menempel pada kandung kemih makan frekuensi berkemih akan meningkat,
karena terjadi rangsangan pada dindingnya. Lebih dari 95% pasien dengan
apendisitis akut mengalami anoreksia sebagai gejala awal, diikuti dengan
nyeri abdomen, lalu mual muntah.1
Tanda vital umumnya tidak banyak berubah pada apendisitis akut yang
tidak mengalami komplikasi. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar
37.5-38.5oC dan pulsasi nadi normal atau meningkat sedikit. Bila suhu naik
lebih tinggi dari 1oC mungkin sudah terjadi perforasi. Kembung sering terlihat
pada penderita yang sudah mengalami perforasi. Penonjolan perut kanan
bawah bisa dilihat pada massa atau abses apendikuler.15
Pasien dengan apendisitis berbaring dengan posisi supinasi dengan
tungkai ditekuk, karena pergerakkannya dapat meningkatkan rasa nyeri. Pada
palpasi didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, tepatnya pada titik
McBurney, bisa disertai nyeri lepas. Tanda Rovsing adalah adanya nyeri di
perut kanan bawah pada penekanan perut kiri bawah, uji bumberg positif yaitu
adanya nyeri perut kanan bawah bila tekanan pada perut kiri bawah
dilepaskan. Kedua pemeriksaan ini mengindikasikan juga adanya iritasi pada
peritoneum. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum

8
parietal akibat semakin parahnya proses inflamasi yang terjadi. Uji psoas
dengan cara hiperekstensi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan, uji psoas positif bila tindakan ini
menimbulkan nyeri yang disebabkan karena apendiks yang meradang
menempel di m.psoas Uji obturator dengan cara endorotasi sendi panggul pada
posisi terlentang, uji obturator positif bila tindakan ini menimbulkan nyeri.
Nyei disebabkan karena apendiks yang meradang kontak dengan m.obutaror
internus yang merupakan dinding panggul kecil. Uji psoas dan obturator
merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks.12
Pemeriksaan colok dubur dapat menyebabkan nyeri bila daerah radang
tercapai dengan jari telunjuk. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering
meragukan, maka colok dubur lebih menjanjikan untuk menegakkan
diagnosis. Namun pemeriksaan colok dubur tidak dianjurkan pada anak-anak.
Pada auskultasi, peristalsis usus sering normal. Peristalsis dapat hilang karena
ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisits perforata.1

F. Diagnosis

Diagnosis apendisitis bergantung pada hasil klinis dari anamnesis,


pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda dan gejala yang khas pada
apendisitis. Anamnesis mengenai gejala nyeri perut serta perjalanan penyakit,
gejala penyerta seperti mual, muntah dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh. Pemeriksaan
abdomen juga ditambahkan beberapa pemeriksaan yaitu palpasi titik
McBurney, uji Rovsing, uji Blomberg, uji Psoas dan uji Obturator.
Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos abdomen bisa terlihat
adanya fekalit namun tidak bermakna dalam diagnosis. Pemeriksaan USG dan
CT scan abdomen disarankan untuk menegakkan diagnosis apendisitis.12
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat
digunakan suatu alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut yaitu Alvarado
Score. Pasien dengan skor 7-10 dipersiapkan untuk apendektomi cito, skor 5-6

9
dilakukan observasi dan pemberian antibiotik, skor 1-4 diberikan pengobatan
simptomatik dan dipulangkan.16
Selain Alvarado score, untuk pasien anak dapat juga digunakan alat
bantu Paediatric Appendisitis Score (PAS), dengan skor <= 5 Bukan
merupakan appendicitis dan skor >= 6 merupakan appendicitis.16
Tabel 1. Alvarado Scoring System & Paediatric Appendicitis Score16

G. Diagnosis Banding

1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.


Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis.16
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai
dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan
disertai dengan perasaan mual-muntah.16
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi,
appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang
membingungkan.16

10
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni,
leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.16

H. Penatalaksanaan

Jika diagnosis apendisitis akut sudah dapat dipastikan maka tindakan


paling tepat adalah dengan dilakukannya apendektomi.1
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa
analgetik, antibiotik spectrum luas, dan pemberian cairan adekuat. Beberapa
penelitian menunjukkan efektivitas pemberian antibiotik pre-operatif dalam
menurunkan resiko komplikasi apendisitis. Pada kasus apendisitis akut
pemberian antibiotik hingga 48 jam. Jika terjadi perforasi, antibiotik tetap
diteruskan sampai pasien afebril dan memiliki leukosit normal.17
Apendektomi dimulai dengan insisi di kuadran kanan bawah, tepatnya
di titik McBurney. Insisi pada tiga otot dinding abdomen, dan dilakukan
mengikuti arah serat dari otot-otot tersebut untuk alasan kosmetik.
Aponeurosis yang terdapat di atas m.oblikus eksternus diinsisi tajam, sisa otot
lainnya dilakukan retraksi. Lalu membuka lapisan peritoneum, dan mencari
apendiks. Pencarian apendiks dapat dilakukan dengan menelusuri persatuan
dari 3 taenia (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum), persatuan 3
taenia itu merupakan pangkal apendiks. Setelah menemukan apendiks,
dilakukan ligasi pada pembuluh darah. Setelah apendiks dipotong, dijahit
dengan benang yang dapat diserap, lalu disisipkan ke dalam melalui dinding
sekum. Sesudah apendektomi dilakukan, irigasi pada kavitas abdomen, lalu
peritoneum dan lapisan-lapisan otot dijahit lapis demi lapis, biasanya dengan
menggunakan benang yang dapat diserap.3
I. Komplikasi

Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak


dilakukan penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi,
biasanya diawali dengan adanya masa periapendikuler terlebih dahulu.1

11
Masa periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa
penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini
dapat diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi.
Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan penyebaran pus dalam infilitrat
dapat terjadei sewaktu-waktu sehingga massa periapendikuler ini adalah
target dari operasi apendektomi.1
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada
apendisitis karena selain angka morbiditas yang tinggi, penanganan akan
menjadi semakin kompleks. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis
purulenta yang ditandai nyeri hebat seluruh perut, demam tinggi, dan gejala
kembung pada perut. Bisis usus dapat menurun atau bahkan menghilang
karena ileus paralitik yang terjadi. Pus yang menyebar dapat menjadi
abses inttraabdomen yang paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan
subdiafragma. Tata laksana yang dilakukan pada kondisi berat ini adalah
laparotomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini
sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparoskopi sehingga
pembilasan dilakukan lebih mudah.1

12
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : An. OM
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Pekerjaan : Sekolah
Alamat : Rinegetan lingkungan V
Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Tanggal Pemeriksaan : 13 Oktober 2017

B. Anamnesis
a. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit
b. Riwayat penyakit sekarang
Nyeri perut kanan bawah dirasakan pasien sejak ± 3 hari sebelum
masuk Rumah Sakit. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati ± 4 hari sebelum
masuk Rumah Sakit, nyeri kemudian berpindah ke perut kanan bawah
sejak ± 3 hari yang lalu dan dirasakan hilang timbul dengan intensitas
yang semakin meningkat. Nyeri tidak menyebar ke seluruh perut. Saat
berjalan badan pasien membungkuk ke kanan depan.
Keluhan diserta demam yang hilang timbul, mual dan muntah (+)
warna putih kekuningan isi air dan makanan, nafsu makan berkurang (+).
Pasien belum BAB sejak ± 2 hari yang lalu dan diare dialami sejak ± 6 jam
sebelum masuk rumah sakit, BAK normal. 2 hari sebelum masuk Rumah
Sakit penderita dibawa berobat ke dokter umum dan diberi obat-obatan
pulang. Namun karena keluhan tidak membaik, penderita akhirnya dibawa
ke RS Bethesda dan kemudian dirujuk ke RSUP Prof. Kandou.

13
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa, hipertensi, DM, asma, sakit jantung, alergi,
operasi sebelumnya disangkal pasien.

d. Riwayat penyakit keluarga


Penderita baru kali ini menderita sakit seperti ini dan dalam keluarga
hanya pasien yang menderita penyakit seperti ini.

C. Pemeriksaan Fisik Umum


Status Generalis
Keadaan Umum : Anak aktif, menangis kuat
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 134 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu Badan : 37,90C
Berat badan : 25 kg
Jantung : Iktus cordis tidak terlihat, teraba(+) SI-SII regular,
murmur(-), gallop(-)
Paru : Suara pernapasan vesikuler, Rhonki(-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Palpasi : Nyeri tekan titik McBurney (+), Rovsing
Sign (+), Blumberg sign (+), defans muskular (-),
Psoas Sign (-), Obturator Sign (-).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

Penilaian dengan Alvarodo Sign:


Symptom Score
Migratory Right Iliac Fossa Pain 1

14
Nausea/Vomiting 1
Anorexia 1
Signs
Tenderness in right fossa iliac 2
Rebound tenderness in right iliac fossa 1
Elevated temperature (>37,3 C) 1
Laboratory Findings
Leucocyitosis 2
Shift to the left of neutrophils -
TOTAL 9
Skor total adalah 9 yang artinya segera dipersiapkan untuk apendektomi.

Penilaian dengan PAS:


Symptom Score
Migratory Right Iliac Fossa Pain 1
Nausea/Vomiting 1
Anorexia 1
Tenderness in right fossa iliac 2
Pain with cough/percussion/hopping -
Elevated temperature (>38 C) 1
WBC >10000 cells/Ml 1
Neutrophils > 7500 cells/mL -
TOTAL 7
Skor total adalah 7 yang artinya merupakan appendisits.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 13/10/2017
Leukosit 18.400
Eritrosit 4,20
Hemoglobin 13,2
Hematokrit 38,6%
Trombosit 212.000

15
SGOT/GPT 12/7
Ureum/Creatinin 29/0,5
GDS 98
Na/K/Cl 137/3,50/105.0
PT/APTT/INR 19,7/1,31/1,02

Rectal Toucher:
Tonus Sphincter Ani cekat, Ampula kosong, mukosa licin.

E. DIAGNOSIS
Apendisitis Akut

F. PENATALAKSANAAN
- Pro Appendektomi CITO
- IVFD NaCl 0,9% 1500c/24jam
- Ceftriaxone 2x1 gr (IV)
- Ranitidin 2x25 mg (IV)
- Paracetamol 3x250 mg

G. PROGNOSIS
o Quo ad vitam: Bonam
o Quo ad functionam: Bonam
o Quo ad sanationam: Bonam

H. Follow Up
Tgl 14-10-2017
S: Nyeri Luka Operasi(+)
O: Kepala CA-/-, SI-/-
Abdomen: NT(+) kanan bawah, defens muscular(-)
A: Post Apendektomi ec Apendisitis Akut (H1)
P: IVFD NaCl 0,9%
Ceftriaxone 2x 1 gr IV (H2)

16
Ranitidin 2x25 mg IV
Diet Lunak

Tgl 15-10-2017
S: Nyeri luka operasi
O: Abdomen: I: Luka operasi terawat
A: BU(+) Normal
P: Lemas, NT(-)
P: Timpani
A: Post Apendektomi ec Apendisitis Akut (H2)
P: Cefixime Syrup 2x1 cth
Paracetamol Syrup 3x2 cth

Tgl 16-10-2017
S: Nyeri luka operasi(-)
O: Abdomen: I: Luka operasi terawat
A: BU(+) Normal
P: Lemas, NT(-)
P: Timpani
A: Post Apendektomi ec Apendisitis Akut (H3)
P: Cefixime Syrup 2x1 cth
Paracetamol Syrup 3x2 cth
Rawat Jalan

J. Laporan Operasi
Apendektomi Cito dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2017 di OK Cito
RS.Prof.R.D.Kandou Manado dengan operator dr. Ishak Lahunduitan, SpB,
SpBA. Diagnosis pra-bedah adalah Apendisitis Akut dan jenis operasi yang
dilakukan adalah Apendektomi. Operasi berlangsung selama satu jam lima
puluh lima menit, dimulai pada pukul 22.15 wita dan berakhir pada pukul
00.10 wita.

17
Uraian Pembedahan:

- Pasien tidur terlentang dalam general anestesi

- Asepsis dan antisepsis lapangan operasi

- Insisi oblique di titik Mc Burney dipisahkan hingga peritoneum

- Peritoneum dibuka tampak omentum

- Omentum disisihkan

- Identifikasi caecum, tampak apendiks letak retrosekal, panjang 6 cm,


diameter 2 cm, hiperemis (+), perforasi (-)

- Dilakukan appendektomi secara antegrade

- Apendiks dijahit

- Luka dijahit lapis demi lapis

- Operasi selesai

Foto Appendiks

18
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien seorang anak laki - laki usia 9 tahun di rujuk dari RSUD Bethesda
ke RSUP Prof Kandou dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari
SMRS. Berdasarkan keluhan tersebut maka dapat dipikirkan bahwa pasien
mengalami gejala abdomen akut. Untuk dapat menegakkan penyebab dari
abdomen akut maka harus diketahui dahulu lokasi nyeri yang dirasakan pasien
dan perlu dilakukan pemeriksaan fisik.

Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya sempat


mengalami nyeri perut di daerah periumbilical yang dirasakan hilang timbul
dan kemudian berpindah ke perut kanan bawah yang dirasakan terus menerus.
Perpindahan nyeri perut dari daerah periumbilical ke perut kanan bawah ini
sangat khas pada kasus apendisitis. Nyeri perut yang dirasakan di daerah
periumbilical merupakan nyeri viseral akibat rangsangan pada peritoneum viseral.
Pada saat terjadi distensi apendiks akibat peningkatan tekanan intralumen maka
peritoneum viseral akan teregang dan memberikan sensasi rasa nyeri. Nyeri
dari organ-organ yang berasal dari midgut (jejenum hingga kolon
transversum) akan dirasakan di daerah periumbilical. Nyeri selanjutnya
dirasakan di perut kanan bawah merupakan nyeri somatik akibat proses
peradangan pada apendiks yang berlanjut merangsang peritoneum parietal.18,19

Pada pasien juga ditemukan adanya keluhan anoreksia, mual, muntah,


dan diare. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Pasien juga mengalami demam ringan dengan suhu 37,9 ºC,
dimana hal ini menunjukkan apendisitis belum mengalami perforasi, jika sudah
terjadi perforasi suhu menjadi lebih tinggi.

Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapat kondisi pasien dalam keadaan
sakit ringan. Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya nyeri tekan
di titik McBurney. Adanya nyeri tekan di titik McBurney dan terbatas di region

19
iliaka kanan merupakan kunci diagnosis apendisitis akut. Selain itu juga
ditemukan adanya nyeri pada perut kanan bawah apabila dilakukan
penekanan pada perut kiri bawah (Rovsing Sign), adanya Rovsing Sign dapat
membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pemeriksaan lain
yaitu Psoas Sign dan Obturator Sign didapatkan hasil negatif. Uji psoas dan
uji obturator ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas merangsang
otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di
m. psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator
digunakan untuk mengetahui apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.
obturator internus. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelviks. Pada pemeriksaan
didapatkan defans muskular negatif. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan pada peritoneum parietale, dimana jika terjadi maka diagnosis
mengarah ke peritonitis. Pada pemeriksaan colok dubur nyeri yang dirasakan
tidak terlalu jelas. Nyeri dirasakan juka daerah infeksi bisa dicapai dengan jari
telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya leukositosis


(18.400). Pada pasien tidak dilakukan foto polos abdomen dengan alasan foto
polos abdomen hanya dilakukan jika hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
meragukan untuk menegakkan diagnosis apendisitis akut. Untuk membantu
menegakkan diagnosis apendisitis akut pada pasien dengan nyeri perut
kanan bawah dapat digunakan Alvarado score. Berdasarkan hasil
perhitungan maka didapatkan nilai 9 pada pasien sehingga kemungkinan
besar pasien mengalami apendisitis akut. Nilai Alvarado score > 7 menunjukkan
bahwa kemungkinan besar pasien mengalami apendisits akut. Pada pasien
apendisitis akut ini, terapi utama yang direncakan adalah Apendektomi sesegera
mungkin.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat


menyingkirkan diagnosis banding pada kasus ini seperti gastroenteritis dan
demam dengue. Pada gastroenteritis juga terdapat mual, muntah dan diare namun
gejala ini mendahului nyeri perut. Nyeri perut yang dirasakan juga lebih ringan

20
dan tidak berbatas tegas, seperti pada kasus ini nyeri terasa hebat dan berbatas
tegas di regio iliaka kanan. Demam dan leukositosis dapat terjadi namun kurang
menonjol dibandingkan apendisitis akut. Pada demam dengue sakit perut yang
dirasakan serupa dengan peritonitis dan pemeriksaan darah ditemukan
trombositopenia serta hematokrit yang meningkat. Kelainan pada saluran kemih
juga dapat disingkirkan karena BAK normal.

Pada penaganan kasus pasien ini, sudah dilakukan dengan benar karena
direncanakan apendektomi cito. Apendektomi secara dini diharapkan dapat
mengurangi komplikasi post-operasi seperti infeksi luka dan pembentukan abses
intraabdomen. Bila pada kasus apendisitis diagnosisnya belum jelas, sebaiknya
dilakukan observasi dulu. Ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi
masih terdapat keraguan.

Untuk persiapan operasi, pada pasien diberikan analgetik dan antibiotik


sprektum luas. Diberikan analgetik dan antipiretik paracetamol dengan dosis
2x250 mg per oral sesuai dengan berat badan pasien. Pada anak usia 6-12 tahun
dosis paracetamol 150-300 mg/kali. Pemberian paracetamol pada pasien ini sudah
dapat mengatasi nyeri dan demam. Pada kasus ini diberikan antibiotik Ceftriaxone
dengan dosis 2x1 gr sesuai dengan berat badan yang diberikan secara injeksi
intravena. Ceftriaxone merupakan golongan sefalosprin generasi ketiga dimana
obat ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba.

Terapi cairan pada pasien ini dilakukan seperti biasa karena tidak ada
tanda-tanda gangguan sirkulasi yaitu pemberian Intravena NaCl 0,9% 500 cc/24
jam. Terapi cairan juga diberikan karena pasien akan menjalani operasi
segera sehingga untuk mempertahankan hemodinamika pasien.1

21
BAB V

KESIMPULAN

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks atau usus buntu.


Apendisitis berawal dari adanya sumbatan pada lumen apendiks, yang
menyebabkan pertumbuhan bakteri dan peningkatan tekanan intraluminal.
Gejala yang sering muncul adalah adanya nyeri di epigastrium yang
nantinya berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri dapat disertai dengan mual,
muntah, konstipasi, dan juga anoreksia. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
hasil leukositosis sedang. Adapun pemeriksaan dengan Alvarado Score dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis, untuk anak-anak dapat juga digunakan
Pediatric Appendicitis Score (PAS).
Penatalaksanaan apendisitis akut adalah dengan tindakan bedah segera,
untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti perforasi dan peritonitis.
Pada pasien ini telah didiagnosa dengan tepat dan diberikan penanangan
yang tepat, tidak terjadi komplikasi dan pasien rawat jalan hari ketiga post
apendektomi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:


EGC;2011. Hal 755-64.

2. Kartono D. Apendisitis akuta. In: Reksoprodjo S, editor. Kumpulan Kuliah


Ilmu Bedah Bagian Ilmu Bedah FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara, p.115.

3. Matthew JB, Hodin RA. Acute Abdomen and Appendix. In: Mulholland,
Michael W, Lillemoe, Keith D, editors. Greenfield’s Surgery: Scientific
Principles and Practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006. p. 1214-9.
4. Hafid, A., & Syukur, A. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. (R. Sjamsuhidayat, & W.
d. Jong, Penyunt.) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Dani & Calista P. Karakteristik Penderita Appendisitis Akut di Rumah Sakit
Immanuel Bandung Periode 1 Januari 2013 – 30 Juni 2013: Fakultas Kedokteran,
Universitas Kristen Maranatha.

6. Shimi, S. M. (2011). Appendicitis and Appendectomy. Appendicitis - A


Collection of Essays from Around the World , 137-154.
7. Buckius, M. T., McGrath, B., Monk, J., Bell, T., & Ahuja, V. 2011.
Changing Epidemiology of Acute Appendicitis in The United States:
Study Period 1993-2008. J Surg Res , 185-190.
8. Omari, A., Khammash, M., Qasaimeh, G., Shammari, A.,Yaseen, M.,
Hammori, S. (2014). Acute Appendicitis In The Elderly: Risk Factors for
Perforation. World Journal of Emergency Surgery. DOI:10.1186/1749-
7922-9-6. pp 1-6.
9. Feldman, M., Friedman, L. S., & Brandt, L. J. (2010). Sleisenger &
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. Philadelphia: Saunders
Elsevier.
10. Sabiston C. Buku Ajar Bedah (1st ed). Jakarta: EGC, 1995; p. 495.
11. Price S, Wilson L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
(6th ed). Jakarta: EGC, 2012; p. 448.

23
12. Ferguson CM. Acute appendicitis. In: Irene Butcher, editor. Oxford
Textbook of Surgery. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press; 2002. p.
626-30.
13. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing; 2006. H. 123-27.
14. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ; 2007. P
333:540-34.
15. Berger DH, Jaffe BM. The Appendix. In: F. Charles Brunicardi, editor.
Schwartz’s Manual of Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p.
784-96.
16. Winn R, Laura S, Douglas C, et al: Protocol based approach to suspected
appendicitis, incorporating the Alvorado Score and outpatients Antibiotics.
ANZ J. Surg; 2004. 321:921-22.
17. Jaffe B, Berger D. The Appendix in Schwartz’s principles of surgery. 8th
ed. New York: McGraw Hill; 2006. P 648-51.
18. Brunicardi FC. Schwartz’s Manual of Surgery. 8th edition. London:
McGraw-Hill. 2006. p. 784-95
19. Grace PA, Borley NR. Surgery at a Glance. 2nd edition. Victoria:
Blackwell Science. 2002. p. 28

24

Anda mungkin juga menyukai