Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KELOMPOK STASE MULOK

ANALISA KASUS TRIASE

Oleh:
Brian Umbu Rezi Depamede (H1A212013)
Elina Indraswari (H1A012016)
Surya Meka Novita Sari (H1A212058)

Pembimbing:
dr. Oxy Tjahjo Wahjuni, Sp.EM

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF MULOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2017
BAB I

DAFTAR KASUS

1. Pasien perempuan berusia 24 tahun atas nama Shizuka dan sedang hamil, datang dengan
keluhan sesak setelah terkena furnitur dibagian dada. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
Airway clear, RR 32x/m, SpO2 92%, nadi 100x/m, TD 150/80 mmHg, GCS 456.
Terdapat adanya emphysema subkutis kanan. Dokter melakukan pemeriksaan penunjang
berupa foto thorax.

2. Pasien laki-laki berusia 32 tahun atas nama Nobita, datang dengan keluhan nyeri pada
perut setelah terkena furnitur dibagian perut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Airway
clear, RR 32x/m, SpO2 98%, nadi 130x/m, TD 84/50 mmHg, GCS 356. Terdapat nyeri
tekan abdomen positif. Pada pemeriksaan FAST positif.
3. Pasien laki-laki berusia 75 tahun atas nama Nobsuke, datang dengan keluhan penurunan
kesadaran disertai kelemahan anggota gerak sebelah kiri setelah terjatuh dari ketinggian.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Airway clear, RR 12x/m, SpO2 95%, nadi 62x/m, TD
170/100 mmHg, GCS 335. Terdapat anisokor dan paralisis ekstremitas sebelah kiri.
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang ditemukan pada pemeriksaan CT-scan
didapatkan gambaran SDH.

4. Pasien laki-laki berusia 5 tahun atas nama Takeshi, datang dengan keluhan nyeri pada
daerah rahang bawah disertai keluarnya darah dari mulut setelah terkena kelapa pada
wajah. Pasien dalam keadaan terbaring dan tidak dapat berjalan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan Airway unstable, RR 12x/m, SpO2 92%, nadi 80x/m, TD 150/90 mmHg,
GCS 346. Terdapat fraktur mandibular, dan tampak perdarahan aktif dari dalam mulut.
5. Pasien perempuan berusia 24 tahun atas nama Tamako, datang dengan keluhan nyeri
hebat pada daerah panggul setelah terkena terjatuh dari ketinggian. Pasien dalam keadaan
terbaring dan tidak dapat berjalan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Airway unstable,
RR 24x/m, SpO2 99%, nadi 100x/m, TD 110/90 mmHg, GCS 356. Pada pemeriksaan
rontgen, tampak fraktur pada pelvis.
BAB II
TEORI PENILAIAN TRIASE

1. Singapore Patient’s Acuity Category Scale (PACS)


a. PAC Scale 1: Pasien-pasien dengan status gagal kardiovaskular atau dalam
ancaman bahaya kegagalan dan oleh karenanya membutuhkan alokasi
sumberdaya dan sarana secara maksimum untuk penatalaksanaan awal.
b. PAC Scale 2: Pasien-pasien sakit dengan keadaaan non-ambulant dan dalam
berbagai keadaan yang sangat berbahaya. Mereka mungkin saja terlihat dalam
status kardiovaskuler stabil dan tidak dalam ancaman bahaya gagal
kardiovaskuler. Tingkat keparahan gejalanya membutuhkan perhatian yang
sangat awal karena seringkali mengalami perburukan status.
c. PAC Scale 3: Pasien-pasien dengan gejala akut, namun ambulant, mempunyai
gejala ringan hingga sedang dan membutuhkan terapi akut yang diharapkan
mengurangi gejalanya.
d. PAC Scale 4: Pasien-pasien yang tidak gawat. Tidak harus ke Instalasi Gawat
Darurat, dan seharusnya bisa ditatalaksana di sarana kesehatan primer, dokter
keluarga, atau poliklinik. Dengan cedera atau penyakit yang sudah lama.
Tidak memerlukan tindakan yang segera, tidak dalam keadaan yang
mengancam jiwa atau anggota badan.
2. The Worthing Physiological Scoring System (WPSS)
3. Emergency Severity Index (ESI)
BAB III

PEMBAHASAN DAN ANALISA TRIASE

3.1. Pembahasan Kasus

NO. PACS WPSS ESI


1 P2 P2 P2
2 P1 P1 P1
3 P1 P3 P1
4 P1 P3 P1
5 P2 P2 P1

A. Kasus 1
Dalam penilaian menggunakan PACS, kasus ini termasuk kedalam skala 3 karena
gejalanya akut, dari gejala ringan hingga sedang namun pasien masih dapat berjalan.
Adapun terapi yang diberikan adalah O2, yang diharapkan mengurangi gejala pada
pasien. Dalam modifikasi yang digunakan RSUP, PAC skala 3 termasuk kedalam P2.
Dalam penilaian menggunakan WPSS, pada kasus ini didapatkan skor total 3
yang termasuk dalam alert (P2).

Dalam penilaian menggunakan ESI, kasus ini tidak membutuhkan intervensi


segera, tidak terdapat nyeri hebat, penurunan kesadaran, maupun resiko perburukan yang
segera. Tetapi tetap dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa USG thoraks karena
pasien dalam keadaan hamil. Sehingga kasus ini termasuk kedalam ESI 4, dalam
modifikasi di RSUP termasuk P2.

B. Kasus 2
Dalam penilaian menggunakan PACS, kasus ini termasuk kedalam skala 1 karena
pasien dalam ancaman bahaya kegagalan kardiovaskuler dengan MAP <65 dan oleh
karenanya membutuhkan alokasi sumberdaya dan sarana secara maksimum untuk
penatalaksanaan awal. Dalam modifikasi yang digunakan RSUP, PAC skala 1 termasuk
kedalam P1.
Dalam penilaian menggunakan WPSS, pada kasus ini didapatkan skor total 8
yang termasuk dalam urgent (P1).

Dalam penilaian menggunakan ESI, kasus ini membutuhkan intervensi segera


karena pasien dalam keadaan syok dengan MAP <65. Pada kasus ini termasuk kedalam
ESI 1, dalam modifikasi di RSUP termasuk P1.

C. Kasus 3
Dalam penilaian menggunakan PACS, kasus ini termasuk kedalam skala 1 karena
pasien dalam ancaman bahaya kegagalan dan oleh karenanya membutuhkan alokasi
sumberdaya dan sarana secara maksimum untuk penatalaksanaan awal. Dalam modifikasi
yang digunakan RSUP, PAC skala 1 termasuk kedalam P1.
Dalam penilaian menggunakan WPSS, pada kasus ini didapatkan skor total 1
yang termasuk dalam normal (P3).
Dalam penilaian menggunakan ESI, kasus ini tidak membutuhkan intervensi
segera, namun memiliki resiko perburukan yang segera. Pada kasus ini termasuk kedalam
ESI 2, dalam modifikasi di RSUP termasuk P1.

D. Kasus 4
Dalam penilaian menggunakan PACS, kasus ini termasuk kedalam skala 1 karena
pasien dalam ancaman bahaya kegagalan respiratorik akibat obstruksi jalan nafas dan
oleh karenanya membutuhkan alokasi sumberdaya dan sarana secara maksimum untuk
penatalaksanaan awal. Dalam modifikasi yang digunakan RSUP, PAC skala 1 termasuk
kedalam P1.
Dalam penilaian menggunakan WPSS, pada kasus ini didapatkan skor total 1
yang termasuk dalam normal (P3).

Dalam penilaian menggunakan ESI, kasus ini membutuhkan intervensi segera


karena resiko gagal nafas. Pada kasus ini termasuk kedalam ESI 1, dalam modifikasi di
RSUP termasuk P1.
E. Kasus 5
Dalam penilaian menggunakan PACS, kasus ini termasuk kedalam skala 2 karena
pasien dalam keadaaan non-ambulant dan dalam berbagai keadaan yang sangat
berbahaya. Walaupun status kardiovaskuler stabil tetapi pasien dalam ancaman bahaya
gagal kardiovaskuler. Tingkat keparahan gejalanya membutuhkan perhatian yang sangat
awal karena seringkali mengalami perburukan status. Dalam modifikasi yang digunakan
RSUP, PAC skala 2 termasuk kedalam P2.
Dalam penilaian menggunakan WPSS, pada kasus ini didapatkan skor total 3
yang termasuk dalam alert (P2).

Dalam penilaian menggunakan ESI, kasus ini tidak membutuhkan intervensi


segera, namun memiliki resiko perburukan yang segera. Pada kasus ini termasuk kedalam
ESI 2, dalam modifikasi di RSUP termasuk P1.

3.2. Triase Lapangan

Pada triase lapangan, urutan pemilihan pasien yang akan di load and go ke Rumah
Sakit yaitu pasien kasus 2, 4, 5, 3, 1. Pemilihan pasien kasus 2 sebagai yang pertama
untuk di rujuk didasarkan oleh kebutuhan pasien untuk diintervensi segera dan
membutuhkan terapi definitive segera. Pada kasus ini pasien mengeluhkan nyeri perut
setelah terkena furnitur pada perut, dan didapatkan nyeri tekan pada abdomen sehingga
mengarahkan pada kasus trauma abdomen. Pada trauma abdomen yang ditakutkan adalah
adanya perdarahan intraabdomen. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami
syok dengan MAP <65. Syok yang dialami pasien dapat berasal dari perdarahan
intraabdomen sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan USG
FAST yang bertujuan membantu dalam menegakkan diagnosis pada kasus ini. Kasus
trauma abdomen yang dicurigai terjadinya perdarahan intra abdomen, tidak cukup hanya
diberikan resusitasi cairan sehingga perlu dicari sumber perdarahan yang menyebabkan
syok.

Pemilihan kasus 4 menjadi yang kedua karena jalan nafas pasien tidak stabil dan
membutuhkan penanganan segera berupa suction untuk mencegah obstruksi jalan nafas
akibat perdarahan pada mulut pasien. Untuk menghentikan sumber perdarahan
dibutuhkan tindakan operatif sehingga harus di Load and Go ke Rumah Sakit. Pemilihan
kasus 5 menjadi yang ke tiga didasarkan oleh adanya nyeri pelvis yang disebabkan
jatuhnya pasien dari ketinggian. Meskipun saat ini tanda-tanda vital masih dalam keadaan
normal, tetapi dikhawatirkan terjadi perburukan yang segera. Pada kasus ini perlu
dicurigai adanya trauma pelvis berupa perdarahan, karena rongga pelvis termasuk dalam
lima lokasi trauma dengan perdarahan terbanyak.

Pemilihan kasus 3 sebagai yang ke empat didasarkan oleh cedera kepala yang
dialami korban hingga mengalami defisit neurologis disertai penurunan kesadaran.
Defisit neurologis dan penurunan kesadaran merupakan tanda adanya perdarahan yang
menekan daerah otak. Tanda vital yang stabil dan kelianan yang ditemukan yaitu hanya
pada disability sehingga kasus lainnya dapat didahulukan untuk ditangani. Pasien terakhir
yang dipilih yaitu kasus 1, karena pada pasien ini tidak terdapat adanya tanda kegagalan
cardiovaskuler, tanda vitalnya stabil, dan hanya mengalami peningkatan dari respiration
rate. Oleh karena itu, penanganan yang diberikan tidak harus segera.

3.3. Triase Rumah Sakit

Dalam situasi di Rumah Sakit, dari kelima pasien ini yang menjadi urutan
prioritas adalah kasus 2, 5, 3, 4, 1. Pemilihan kasus 2 sebagai yang pertama untuk
ditangani didasarkan pada hasil pemeriksaan fisik dimana pasien mengalami syok,
disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa FAST positif yang menunjukkan adanya
perdarahan intraabdomen sehingga membutuhkan penanganan definitif segera dikamar
operasi. Pemilihan kasus ini dibandingkan kasus lain karena pasien datang dalam keadaan
yang sudah buruk atau tidak stabil. Pada kasus ini dapat terjadi perburukan segera yang
berakibat kegagalan cardiovaskuler sehingga membutuhkan penanganan segera.
Pemilihan kasus 5 sebagai yang kedua didasarkan pada keluhan pasien yang
mengaku nyeri hebat pada daerah panggul, disertai foto rontgen abdomen yang
menunjukkan adanya fraktur tulang pelvis. Fraktur tulang pelvis dapat mengakibatkan
terjadinya perdarahan akibat rupturnya jaringan atau organ sekitar rongga pelvis sehingga
dalam kasus membutuhkan penanganan definitif segera. Pada kasus ini dapat terjadi
perburukan lebih cepat dibandingkan kasus 4, 3, 1 akibat perdarahan yang terjadi di
rongga pelvis yang dapat menyebabkan kegagalan kardiovaskuler sewaktu-waktu. Kasus
3 berada diurutan ketiga didasarkan dari hasil pemeriksaan GCS yang menunjukkan
adanya penurunan kesadaran disertai gambaran CT-scan berupa SDH disertai mid line
shift sehingga perlu dilakukan terapi definitif berupa tindakan operatif. Dibandingkan
kasus 4, kasus ini lebih didahulukan karena perdarahan yang dialami menyebabkan
penekanan pada otak sehingga menimbulkan defisit neurologis.

Pada kasus 4, ditempatkan pada urutan keempat karena keadaan pasien dapat
distabilkan dengan intervensi awal yaitu dengan pembebasan airway. Selama intervensi
awal ini dilakukan, pasien masih dapat menunggu hingga 3 pasien sebelumnya selesai
diberikan terapi definitif. Kasus ini didahulukan dibandingkan kasus 1 karena pada kasus
ini terdapat fraktur mandibular disertai perdarahan sehingga perlu dilakukan tindakan
penghentian sumber perdarahan dan fiksasi tulang mandibularnya. Sedangkan kasus 1
berada pada urutan terakhir, karena keadaan pasien stabil, dan dari hasil pemeriksaan
penunjang tidak ditemukan adanya pneumothorak sehingga bahaya kegagalan
respiratorik dapat disingkirkan. Pada pasien hanya perlu diberikan O2 dan diobservasi.

Anda mungkin juga menyukai