Hipertensi 2017 PDF
Hipertensi 2017 PDF
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit hipertensi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tidak hanya
di Indonesia, namun juga di dunia. Sebanyak 1 milliar orang di dunia atau 1 dari 4 orang
dewasa menderita penyakit hipertensi. Bahkan diperkirakan jumlah penderita hipertensi
akan meningkat menjadi 1,6 milliar menjelang tahun 2025. 1 Berdasarkan data dari
Kementerian Kesehatan RI tahun 2012, hipertensi merupakan salah satu penyebab
tingginya kematian pada pasien rawat inap di seluruh rumah sakit Indonesia pada tahun
2010 setelah penyakit jantung, kanker, diabetes mellitus dan stroke.2
Hipertensi merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah di atas nilai normal, yaitu nilai sistolik ≥140 mmHg dan atau diastolik ≥90 mmHg.3
Data tahun 2010 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 28,6% orang dewasa berusia 18
tahun ke atas menderita hipertensi dan sekitar 59 juta orang menderita pre-hipertensi.4 Data
Global Status Report on Noncommunicable Disesases tahun 2010 dari WHO menyebutkan,
40% negara ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju
hanya 35%. Di kawasan Asia Tenggara, 36% orang dewasa menderita hipertensi. 6 Di
Indonesia, angka penderita hipertensi mencapai 25,8% pada 2013 dengan jumlah penderita
terbanyak di Bangka Belitung (30,9%) dan terendah Papua Barat (16,8%). 5 Menurut data
dinas kesehatan kota Palembang, proporsi penderita hipertensi pada tahun 2008 berjumlah
17.278, tahun 2009 penderita hipertensi berjumlah 20.994, tahun 2010 penderita hipertensi
berjumlah 21.616 dan tahun 2011 sebanyak 352 kasus baru.7
Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang
terus bertambah tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Berbagai
komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah penyakit jantung koroner (PJK), gagal ginjal
dan stroke yang merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. 5 Salah satu upaya
penurunan angka mortalitas dan morbiditas hipertensi adalah penurunan atau mengontrol
tekanan darah. Berdasarkan anjuran Joint National Committee 7, upaya yang dapat
dilakukan adalah modifikasi gaya hidup mulai dari pengaturan pola makan, peningkatan
aktivitas fisik, pengurangan asupan garam dan penurunan berat badan. Apabila langkah
tersebut tidak berhasil, maka dapat diberikan obat antihipertensi. 3 Namun, di dunia sendiri
masih sedikit penderita hipertensi yang melakukan pengobatan secara teratur untuk
mengontrol tekanan darah. Menurut American Heart Association, hanya 61% penderita
hipertensi di Amerika yang menjalankan pengobatan dan sepertiganya mencapai target
tekanan darah yang diharapkan. Kepatuhan pasien merupakan faktor utama penentu
keberhasilan terapi. Kepatuhan dalam menjalankan pengobatan hipertensi mempangaruhi
tekanan darah dan mencegah terjadinya komplikasi. 8 Kepatuhan pengobatan yang
merupakan perilaku kesehatan dipengaruhi banyak faktor yang dapat menjadi hambatan
dalam menjalankan pengobatan yang pada akhirnya berdampak pada terjadinya komplikasi
klinis. Penelitian mengenai determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhi, hambatan,
dan dampak klinis akibat ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan yang
dilakukan dengan follow up secara prospektif masih belum banyak dilakukan. Padahal data
tersebut diperlukan guna membuat langkah strategi yang dapat membatu meningkatkan
target tekanan darah terkontrol yang diharapkan pada pasien hipertensi.
Sehubungan dengan itu, maka penelitian ini penting dilakukan guna mengetahui
determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhi, hambatan, dan dampak klinis
akibat ketidakpatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan yang dilakukan dengan
follow up secara prospektif. Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi referensi bagi
stake holder bidang kesehatan untuk membuat langkah strategi yang dapat membatu
meningkatkan target tekanan darah terkontrol yang diharapkan pada pasien
hipertensi.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hipertensi
2.1.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dengan tekanan sistolik di
atas 140 mmHg dan tekanan diastolik di atas 90 mmHg. Penderita hipertensi mengalami
peningkatan tekanan darah melebihi batas normal, di mana tekanan darah normal sebesar
110/90 mmHg. Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung, tahanan perifer pada
pembuluh darah, dan volume atau isi darah yang bersirkulasi. Hipertensi dapat
menyebabkan komplikasi seperti penyakit jantung koroner, left ventricle hypertrophy, dan
stroke yang merupakan pembawa kematian tinggi. 4
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor
risiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak
dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur, serta faktor yang dapat
dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi
makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh. Hipertensi yang tidak terkontrol
akan meningkatkan angka mortalitas dan menimbulkan komplikasi ke beberapa organ
vital seperti jantung (infark miokard, jantung koroner, gagal jantung kongestif), otak
(stroke, enselopati hipertensif), ginjal (gagal ginjal kronis), mata (retinopati hipertensif).10
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi hipertensi pada penduduk dewasa secara umum di dunia sebesar 26,4%
pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 29,2% pada tahun 2025. Di
Indonesia, jumlah penderita hipertensi terus meningkat. Berdasarkan Survei Kesehatan
Nasional (Surkesnas) 2001 dilaporkan 27,8% pada penduduk usia ≥ 25 tahun (pengukuran
dengan air raksa). Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, 2002
persentase lebih tinggi ditemukan pada wanita (29%) dibanding pria (27%) dan SKRT
2004 melaporkan 14% pada kelompok usia ≥ 15 tahun.5
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 yang dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan menunjukkan prevalensi 31,7% (pengukuran dengan digital Tensi meter). Hasil
Riskesdas 2013 menunjukkan penurunan prevalensi hipertensi menjadi 25,8% pada
kelompok usia yang sama. Penurunan ini mungkin disebabkan kesadaran masyarakat yang
semakin membaik pada tahun 2013 atau perbedaan alat ukur yang digunakan pada
responden. 12
2.1.3. Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yaitu
hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer atau hipertensi esensial
terjadi karena peningkatan persisten tekanan arteri akibat ketidakteraturan mekanisme
kontrol homeostatik normal, dapat juga disebut hipertensi idiopatik. Hipertensi ini
mencakup sekitar 95% kasus.
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal merupakan hipertensi yang penyebabnya
diketahui dan terjadi sekitar 10% dari kasus-kasus hipertensi. Hampir semua hipertensi
sekunder berhubungan dengan ganggaun sekresi hormon dan fungsi ginjal. Penyebab
spesifik hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldesteronisme primer, sindroma Cushing, feokromositoma, dan
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Umumnya hipertensi sekunder dapat
disembuhkan dengan penatalaksanaan penyebabnya secara tepat.11
Klasifikasi hipertensi menurut perjalanan penyakitnya dibagi menjadi hipertensi
benigna dan maligna. Bila timbulnya berangsur disebut benigna, dan bila tekanannya naik
secara progresif dan cepat disebut hipertensi maligna dengan banyak komplikasi seperti
gagal ginjal, CVA, hemoragi retina, dan ensefalopati. 13 Hipertensi benigna merupakan
keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya ditemukan saat
penderita kontrol. Hipertensi maligna merupakan keadaan hipertensi yang membahayakan
biasanya disertai keadaan kegawatan sebagai akibat komplikasi pada organ-organ seperti
otak, jantung dan ginjal.14,15
Hipertensi juga sering digolongkan sebagai ringan, sedang, atau berat, berdasarkan
tekanan diastole. Hipertensi ringan bila tekanan darah diastole 95-104, hipertensi sedang
tekanan diastolenya 105-114, sedangkan hipertensi berat tekanan diastolenya >115.42
Berdasarkan pedoman The Seventh Joint National Comittee (JNC7), tekanan darah dan
hipertensi dikelompokkan sesuai tabel dibawah ini 21:
Kategori Sistolik Diastolik
Optimal ≤115 ≤75
Normal ≤120 ≤80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 >160 >100
Tabel 1. Pengelompokan hipertensi berdasarkan JNC 7.21
2.1.4. Patofisiologi Hipertensi
Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara yaitu
jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap
detiknya arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak
dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Darah pada
setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit dari pada biasanya dan
menyebabkan naiknya tekanan, inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding
arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis.
Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi
vasokontriksi, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena
perangsangan saraf atau hormon di dalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa
menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi
ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh.
Volume darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat.
Sebaliknya, jika aktifitas memompa jantung berkurang arteri mengalami pelebaran,
banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun. Penyesuaian
terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan di dalam fungsi ginjal dan
sistem saraf otonom. Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui
beberapa cara jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam
dan air, yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan darah
ke normal.
Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air,
sehingga volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga bisa
meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang
memicu pembentukan hormon angiotensin, yang selanjutnya akan memicu pelepasan
hormon aldosteron. Ginjal merupakan organ yang penting dalam mengendalikan tekanan
darah, karena itu berbagai penyaklit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya
tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal bisa
menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa
menyebabkan naiknya tekanan darah.16, 17
2.1.5. Manifestasi Klinik
Secara umum gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi yaitu sakit kepala,
rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk, perasaan berputar serasa ingin jatuh, berdebar
atau detak jantung terasa cepat dan telinga berdengung.
Gejala klinis yang di alami oleh para penderita hipertensi biasanya berupa pusing,
mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah
lelah, mata berkunang-kunang, dan mimisan. Individu yang menderita hipertensi kadang
tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun, gejala bila ada menunjukkan adanya
kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang
divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat
bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari). Keterlibatan
pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi, atau gangguan tajam
pengelihatan.
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun
berupa nyeri kepala, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan
darah intrakranial. Pada pemeriksaan fisik, tidak di jumpai kelainan apapun selain tekanan
darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,
eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit
kepala, keluarnya darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain. 18
2.1.6. Komplikasi
Stroke dapat dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat
terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang dialirinya berkurang.
Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat menjadi lemah, sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. Gejala terkena stroke adalah sakit
kepala secara tiba-tiba, seperti orang bingung, linglung, atau bertingkah laku seperti orang
mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakkan (misalnya wajah, mulut,
atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara
mendadak.
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklorosis tidak dapat
menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Pada hipertensi kronik dan
hipertensi ventrikel, kebutuhan oksigen di miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan
dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi
ventrikel dapat menyebabkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi
ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan risiko
pembentukan bekuan darah.
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus, darah akan mengalir ke
unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia
dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin
sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering
dijumpai pada hipertensi kronik.
Ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya ke jantung
dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru, kaki dan jaringan lain disebut
edema. Cairan di paru-paru menyebabkan sesak napas, timbunan cairan di tungkai
menyebabkan kaki bengkak. Ensefalopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf
pusat, menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma.16
b. Tujuan Terapi
Tujuan dari terapi menggunakan obat antihipertensi adalah untuk mengurangi
risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan ginjal. Target tekanan darah adalah <
140/90 mmHg disertai dengan penurunan risiko penyakit kardiovaskular. Pada pasien
dengan diabetes atau penyakit ginjal, target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
Keuntungan dari obat antihipertensi ini berhubungan dengan penurunan dari (1) insiden
stroke, skitar 35-40 %; (2) MCI, sekitar 20-25%; dan gagal jantung, sekitar > dari 50 %.
Estimasi ini dlakukan pada hipertensi derajat 1 dengan tekanan sistolik 140-159 mmHg
dan atau tekanan diastolik 90-99 mmHg.21
b. Jenis Kelamin
Sebuah studi melaporkan bahwa perempuan lebih patuh dalam pengobatan
dibandingkan laki-laki, namun studi lain melaporkan sebaliknya.30 Jenis kelamin
berhubungan dengan tingkat kepatuhan pengobatan hipertensi. Dalam menjaga kesehatan,
perempuan lebih memerhatikan kesehatannya dibandingkan laki-laki dan lebih sering
melakukan pengobatan.41
c. Tingkat Pendidikan
Studi melaporkan bahwa wanita yang berpendidikan tinggi memiliki kepatuhan yang
tinggi dalam melaksanakan pengobatan. Penderita hipertensi yang berpendidikan tinggi
lebih paruh daripada penderita hipertensi dengan pendidikan rendah. Hal ini dikarenakan
penderita hipertensi dengan pendidikan tinggi lebih mengerti tujuan mengontrol tekanan
darah, akibat ketidakpatuhan, dan efek samping yang berhubungan dengan konsumsi obat
antihipertensi. Studi lain melaporkan bahwa tingkat pendidikan seorang pasien hipertensi
tidak berhubungan dengan tingkat kepatuhan pengobatan. Penelitian lain menemukan
bahwa penderita hipertensi yang bersekolah lebih tidak patuh daripada yang tidak
sekolah.31,33
d. Pekerjaan
Beberapa penelitian melaporkan bahwa penderita hipertensi yang bekerja dengan
keterampilan tinggi lebih patuh dibandingkan dengan penderita hipertensi yang bekerja
dengan keterampilan rendah.30 Namun lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Su-
Jin Cho yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan
kepatuhan pasien hipertensi dalam menjalani pengobatan. Orang yang bekerja cenderung
memiliki sedikit waktu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan. 42
e. Keiikutsertaan Asuransi Kesehatan
Pada beberapa penelitian akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Sebuah studi melaporkan akses
terhadap pelayanan kesehatan tidak mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien
hipertensi. Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa
akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kepatuhan pengobatan hipertensi. 32,33 Akses asuransi kesehatan
berhubungan signifikan dengan kepatuhan pengobatan. Penderita hipertensi yang memiliki
asuransi kesehatan memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penderita yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Hal ini dapat disebabkan oleh sistem
operasi asuransi kesehatan tersebut.31
f. Lama Menderita Hipertensi
Tingkat kepatuhan penderita hipertensi di Indonesia untuk berobat dan kontrol cukup
rendah. Semakin lama seseorang menderita hipertensi maka tingkat kepatuhanya makin
rendah, hal ini disebabkan kebanyakan penderita akan merasa bosan untuk berobat.34
Penelitian lainnya menunjukan ada hubungan yang signifikan antara lama menderita
hipertensi dengan ketidakpatuhan pasien penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan
(p=0,040). Dimana semakin lama seseorang menderita hipertensi maka cenderung untuk
tidak patuh karena merasa jenuh menjalani pengobatan atau meminum obat sedangkan
tingkat kesembuhan yang telah dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan.35
g. Riwayat Keluarga Dengan Hipertensi
Salah satu penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit India Selatan menunjukkan
bahwa kepatuhan pengobatan hipertensi yang diukur dengan Morisky Adherence Scale
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara adanya riwayat keluarga yang
menderita hipertensi dan kepatuhan pengobatan hipertensi.40
h. Lama Waktu Pengobatan
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukan bahwa lamanya program
pengobatan memicu terjadinya ketidakpatuhan pengobatan sebesar 75%, sedangkan
penelitian lain menyatakan bahwa lamanya program pengobatan dan keparahan penyakit
berperan dalam kepatuhan pasien hipertensi dalam minum obat. 37 Penelitian lain
menunjukkan dalam waktu 6 bulan hingga 1 tahun, kurang lebih 25-50% pasien
menghentikan pengobatan dan di akhir tahun kedua, tingkat ketidakpatuhannya mencapai
75%.39
i. Jumlah Obat Yang Dikonsumsi
Jumlah obat yang dikonsumsi sering menjadi alasan munculnya ketidak patuhan
pengobatan pada penyakit kronik. Semakin banyaknya obat yang harus diminum, besar
juga kemungkinan pasien untuk tidak patuh dengan pengobatannya. Menurut JNC 8,
penggunaan obat anti hipertensi lebih dari satu jenis obat mulai dipertimbangkan jika
seseorang tidak mencapai tekanan darah target dengan menggunakan satu jenis obat.
Sedangkan pada JNC 7, penggunaan lebih dari satu obat mulai digunakan jika tekanan
darah pasien telah tergolong hipertensi stage II. Hal ini menunjukkan semakin sulitnya
kontrol tekanan darah pasien maka akan berdampak pada semakin banyaknya pengobatan.
Tekanan darah yang tidak terkontrol akan mempermudah munculnya komplikasi pada
pasien hipertensi.36 Namun hal ini kontradiktif dengan penelitian yang dilakukan Pratama
et al, ditemukan bahwa tingkat kepatuhan pasien yang menggunakan lebih dari satu obat
antihipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang hanya menggunakan satu
jenis obat. Penyebab dari temuan tersebut adalah pada pasien dengan obat antihipertensi
lebih dari satu jenis biasanya ada pada tahapan penyakit yang lebih parah dibandingkan
dengan pasien yang hanya menggunakan satu jenis obat, sehingga kesadaran untuk
berobatpun lebih tinggi. Selain itu juga dikatakan pasien dengan satu jenis obat lebih
sering lupa untuk mengkonsumsi obat dibandingkan dengan pasien dengan lebih dari satu
jenis obat. 33
j. Pengobatan Alternatif
Hasil penelitian menunjukkan penderita hipertensi yang menggunakan obat herbal
sebagai pengobatan hipertensi cenderung tidak patuh minum obat antihipertensi.
Penelitian pada penderita hipertensi di sub-Saharan Afrika juga menunjukkan hubungan
penggunaan obat herbal terhadap ketidakpatuhan minum obat antihipertensi. Berpindah-
pindahnya seorang pasien dalam melakukan pengobatan dapat menjadi suatu indikasi
bahwa pasien tersebut tidak patuh. Kesembuhan akan sulit dicapai jika pasien
menggunakan pengobatan alternatif lain diluar pengobatan medis yang sedang dijalaninya.
Hal ini disebabkan, jika pasien mencoba pengobatan alternatif lain, maka secara otomatis
pengobatannya yang sekarang akan dihentikannya yang akibatnya terapi pada obat
pertama tadi tidak akan dicapai karena instruksi dokter untuk meminum obat yang
diresepkan tidak dijalani sepenuhnya. Tukar-menukar pengobatan atau tidak fokusnya
pasien menjalani pengobatan akan berdampak buruk bagi pasien yang bersangkutan, lebih
berbahaya lagi jika pasien tersebut mengkombinasi kan semua obat-obatan dari semua
tempat pelayanan kesehatan yang dikunjunginya. Disini peran seluruh tenaga kesehatan
sangat berguna untuk mencegah tindakan pasien tersebut terjadi. Edukasi tentang
penggunaan obat atau menjalani pengobatan yang seharusnya sangat penting diketahui
oleh pasien dengan tujuan meminimalisir efek samping yang merugikan akibat salahnya
penggunaan obat atau lebih jauh lagi dapat menimbulkan komplikasi penyakit yang pada
akhirnya berdampak sangat buruk bagi pasien. Selain pasien yang bersangkutan, keluarga
pasien juga hendaknya dilibatkan dalam proses edukasi tersebut sehingga kemungkinan
untuk terjadinya tukar-menukar pengobatan akan semakin berkurang akibat adanya
pengawasan dari keluarga.31
Outcome (+)
(Dampak Klinis bertambah)
Patuh
(Risk Factor +)
Outcome (-)
(Survive)
Pasien Hipertensi
Retrospektif
n
z 1α/2
2λ 2
z 1β λ 2 λ 2
1
2
2
λ 1
λ2 2
2
2
2 2
1,96 2(0,371 ) 1,64 0,542 0,20
n
34
0,542 0,20 2
Diketahui:
α = 5% = z1 /2 = 1,96
1- = 90% = 1,64
1 = insidensi populasi terpajan (insiden ketidakpatuhan berobat pasien hipertensi).
Data menggunakan penelitian Lulebo, et al (2015) =54,2%
2 ` insidensi populasi tidak terpajan (insiden kepatuhan berobat pasien hipertensi).
Data menggunakan penelitian Lulebo, et al (2015) =20%
̅ = λ λ 1 λ 2 / 2
= (0,542+0,20)/2=0,371
Maka, jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 34 responden untuk masing-
masing kelompok, untuk dua kelompok sampel yang dibutuhkan adalah sebesar 68
responden ditambah 30% antisipasi loss to follow up, sehingga total sampel adalah 90
responden.
14 Dampak Terjadi atau tidak, dan atau Kuesioner Status pasien Nominal 1. Ya
Klinis bertambah atau tidaknya (diagnosa 2. Tidak
komplikasi akibat dokter)
hipertensi.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau berkorelasi yaitu antara variabel bebas dan variabel terikat. Analisis ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan
terakhir, status pekerjaan, keikutsertaan asuransi kesehatan, lama menderita
hipertensi, riwayat keluarga dengan hipertensi, lama waktu pengobatan, jumlah
pengobatan, pengobatan alternative, efek samping pengobatan, dengan kepatuhan
penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. Analisis untuk membuktikan
kebenaran hipotesis dengan mengggunakan uji statistik chi square, Kaplan Meier,
dan Confidence Interval (CI) digunakan taraf signifikansi 95% dengan nilai
kesalahan 5%.
c. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan terhadap semua variabel independen
menggunakan uji regresi logistik untuk mendapatkan model prediksi, serta survival
analisis dengan cox regression untuk mendapatkan model prediksi, survival rate,
serta hazard ratio.