Anda di halaman 1dari 4

Alasan Kenapa ‘Arifin and the Chipmunk’ adalah Sebuah

Eksperimental yang Gagal1


Oleh: Daruz Armedian2

Pada suatu waktu, Franz Kafka mengatakan bahwa buku yang baik adalah serupa kapak
yang mampu mencairkan lautan beku dalam diri kita. Tetapi, kata-kata bijak Kafka mengenai
buku itu tidak akan saya jelaskan lebih lanjut. Sebab, saya justru hanya butuh pada diri Kafka itu
sendiri.
Kafka termasuk pembaharu sastra. Ia memberi terobosan baru dalam khazanah sastra
dunia. Semula, hampir setiap penulis sebelum itu, memulai ceritanya dengan kejadian yang
benar-benar realistis. Semisal, pagi hari dan burung-burung bercericit di antara daun-daun, atau
sore yang menyediakan senja di ufuk barat, atau Santo dan anaknya sedang pergi ke pasar, atau
yang lain-lain, yang terasa sangat datar.
Sebelum Kafka, hampir setiap penulis menulis cerita diawali dengan pengenalan (entah
tokoh, penokohan, atau latar waktu dan latar tempat), kemudian disusul bakal-bakal konflik,
kemudian konflik itu sendiri, dan akhirnya peleraian, lalu penyelesaian atau ending. Kafka
mendobrak hal itu. Kafka, melalui karya monumentalnya, The Metamorfosis, memulai cerita
langsung menampilkan sebuah konflik: Gregor Samsa bangun tidur dan menemukan dirinya
tiba-tiba berubah menjadi kecoa.3
Kafka mempengaruhi banyak kalangan penulis-penulis yang nantinya akan kita kenal:
Haruki Murakami, George Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan bahkan penulis lokal seperti
Eka Kurniawan, Agus Noor, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain.
Kita juga mengenal seorang yang mirip dengan Kafka di Indonesia, tentu dalam hal
pembaharuannya di dunia sastra (dalam hal ini puisi), yaitu Chairil Anwar. Chairil mengubah
gaya perpuisian lama. Ia menolak puisi-puisi yang tunduk pada rima, yang melulu menyoal
kebaikan-kebaikan agama, yang melulu menggunakan empat baris dalam satu bait.
Awalnya, pembaharuan ini ditolak banyak kalangan penulis. Bahkan, ia dianggap telah
merusak tatanan perpuisian yang ada kala itu. Akan tetapi, lama-lama, justru banyak orang
terpengaruhi gaya perpuisian Chairil (terutama setelah ia dinobatkan oleh HB. Jassin sebagai
pelopor perpuisian Indonesia Angkatan 45). Banyak kemudian yang menyetujui bahwa puisi
memang harus bebas, tidak terikat, seperti halnya puisi-puisi Angkatan Lama yang menyerupai
syair-syair melayu.
1
Tulisan ini disampaikan pada kajian rutin malam Selasa di Garawiksa Institut.
2
Penikmat wifi gratis di Kafe Basabasi
3
Banyak pembukaan cerita yang kemudian meniru gaya Kafka. Misalnya, dalam One Hundred Years of Solitude-nya
Gabriel Garcia Marquez dan Cantik itu Luka-nya Eka Kurniawan.
1
Awal mula dari pembaharuan adalah sebuah eksperimen. Atau, setidaknya,
pembaharuan selalu membutuhkan eksperimentasi. Seorang yang hendak melakukan
eksperimen, dalam hal apa pun, serupa pendaki gunung yang hendak ke puncak tapi tidak mau
memakai jalan yang sudah ada. Akhirnya, pilihannya hanya dua, ia berhasil dan sampai ke
puncak lebih cepat (dan lebih nyaman) atau malah tersesat dan tak akan pernah sampai ke
puncak.
Intinya, setiap eksperimen akan selalu beriringan dengan risiko yang lebih besar
ketimbang tindakan-tindakan lain (dalam hal ini, tindakan yang sudah ada sebelumnya, dan kita
hanya sebagai pengikut). Itulah kenapa akhirnya eksperimen Kafka yang mulanya ditolak oleh
sebagian penulis kuno Jerman dan Rusia dan negara-negara lain sebagaimana eksperimen
Chairil yang ditolak kebanyakan penulis-penulis Angkatan Lama akhirnya justru diikuti oleh
banyak orang dan mereka disebut-sebut sebagai pembaharu dalam sastra. Mereka berdua
membuktikan bahwa eksperimen yang mereka lakukan memberi tawaran baru dalam dunia
kepenulisan. Mereka serupa dengan pendaki yang membuat jalan lain dalam sebuah pendakian
ke puncak, yang barangkali lebih cepat atau lebih nyaman atau lebih-lebih yang lain, tanpa harus
tersesat.
Membaca Arifin and the Chipmunk, yang terpikirkan oleh saya adalah sebuah cerita yang
hendak keluar dari cerpen-cerpen mainstream. Arifin and the Chipmunk, disadari atau tidak
oleh penulisnya, adalah cerita yang memakai gaya penceritaan yang tidak sama dengan gaya
penceritaan dalam tatanan cerpen Indonesia (atau kalau ini berlebihan, tidak serupa cerpen-
cerpen yang sering muncul di koran, cerpen-cerpen pakem yang diamini para penulis di
Indonesia). Nurr, sekali lagi disadari atau tidak, seolah-olah ingin melakukan eksperimen dalam
cerpennya. Akan tetapi, saya rasa, Nurr gagal atas hal itu.
Beberapa alasan di bawah ini menunjukkan kenapa Arifin and the Chipmunk adalah
sebuah eksperimental yang gagal. Atau kalau itu berlebihan, eksperimental yang kurang
berhasil.
Pertama, cerita itu memakai sudut pandang yang bergonta-ganti. Mulai dari sudut
pandang Arifin, Ratatuil, sampai tokoh Saya. Jika kita tengok novel O karangan Eka Kurniawan,
kita akan menemukan cara penceritaan yang sama. Yaitu bergonta-ganti sudut pandang, mulai
dari Kirik, Si Monyet bernama O, burung beo, sampai sebuah kaleng. Eka Kurniawan saya rasa
berhasil menampakkan karakter dalam tokoh-tokohnya. Bagaimana ia mampu menampakkan
karakter Kirik sebagai Kirik dan bukan Eka Kurniawan sendiri. Bagaimana ia mempu
menampakkan karakter kaleng dan burung beo sebagai kaleng dan burung beo dan bukan Eka
Kurniawan sendiri. Sehingga, pembaca akan mudah membedakan antar satu tokoh dengan
tokoh yang lain.
Akan tetapi, saya merasa sudut pandang yang dibangun Nurr malah membingungkan
pembaca (terutama yang tidak jeli). Ia membaurkan kata ganti ‘saya’ dengan ‘aku’ secara
semena-mena. Tidak hanya itu, bahkan karakter antar tokoh seperti tidak ada bedanya. Seolah-

2
olah di situ hanya ada Nurr dan bukan tokoh-tokoh dalam ceritanya. Cara penceritaan yang
hampir sama: berupa ceracauan satu orang yaitu penulis itu sendiri. Tokoh-tokoh di situ,
meskipun telah menjadi tokoh aku-sudut-pandang-pertama, sama sekali tidak menampilkan
karakternya. Sehingga yang terjadi adalah kekaburan antar satu tokoh dengan tokoh yang lain.
Kedua, cerita itu lebih panjang dari cerpen-cerpen mainstream, seolah-olah penulisnya
sedang ingin bereksperimen. Tetapi, cerita seperti sudah ada sejak dulu. Jeorge Luis Borges
melakukannya, Roberto Bolano juga, Franz Kafka juga.
Edgar Allan Poe memberikan pandangan yang menarik, bahwa cerpen adalah cerita yang
mampu selesai dibaca dalam sekali duduk. Akan tetapi, hal itu, terutama dalam cerpen-cerpen
kontemporer, ungkapan Poe bahkan tidak terlalu berlaku. Kita bisa saja membaca cerpen dalam
sekali helaan napas karena sangat pendeknya cerpen itu, sekaligus juga dalam waktu yang
sangat panjang, setengah harian, misalnya, karena sangat panjangnya cerpen itu.
Ketiga, cerita itu memakai sub judul. Akan tetapi, sub judul itu seperti tidak membantu
apa pun. Bahkan malah membuat pembaca bertanya-tanya; ini untuk apa? Dan, ya, memang,
saya kira sub judul di situ tidak ada korelasinya sama sekali dengan isi dari sub judul itu sendiri.
Sesungguhnya, pasti ada makna tersembunyi di balik penulisan sub judul Asu, Kampret, Gudal,
Jangkrik!, Cuuk!. Tetapi, saking tersembunyinya, pembaca bahkan tidak mampu meraba.
Keempat, masalah teknis (ini alasan yang paling lemah). Nurr tidak konsisten menulisan
kata ‘kok’, salah menuliskan ‘SMS’, kosakata kekinian, dan serapan. Alasan ini sebenarnya bisa
kalian abaikan.
Keempat alasan itu, setidaknya sudah bisa dijadikan acuan untuk mengatakan bahwa
Arifin and the Chipmunk adalah sebuah eksperimental yang gagal.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, eksperimen yang gagal bukanlah sesuatu yang buruk.
Ada hal-hal penting justru kita dapatkan dari sebuah kegagalan. Dalam ‘kegagalan’ cerita Arifin
and the Chipmunk kita, toh, tetap mendapatkan sesuatu yang ternyata indah. Semisal, kita
menemukan ide yang coba dibangun oleh Nurr memanglah bagus. Nurr seperti salah satu
pasukan dari antah berantah yang dikirimkan ke dunia untuk menghancurkan sistem bahasa. Ia
menolak kemapanan dalam bahasa. Dalam hal ini, saya jadi teringat Afrizal Malna, penyair
Indonesia yang menghancurkan tatanan bahasa dalam puisi. Bagi Afrizal, bahasa itu diciptakan
secara arbitrer, sebarangan. Kita menamai “Kurma” sebagai “Kurma”, “Kadal” sebagai “Kadal”,
tanpa tahu apa alasannya. Kenapa “Laptop” tidak kita sebut “Seprai” atau “Kertas” tidak kita
sebut “Gorengan”? Nah, di situlah Afrizal Malna ingin menyadarkan kita bahwa bahasa
sesungguhnya bisa diobrak-abrik lagi.
Dalam novel Saman karangan Ayu Utami juga, kita akan menemukan beberapa kata
mengenai bahasa. Kenapa bunga raksasa di Sumatera dinamakan Raflesia Arnoldii, padahal
Thomas Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold, penemu bunga itu, lahir jauh (bahkan sangat
jauh) setelah bunga raksasa itu diciptakan di dunia.

3
Bagaimana kita bisa menamakan kalau ini bunga melati, itu bunga mawar, ini pohon
mahoni, itu pohon jati, padahal kita lahir jauh setelah bunga-bunga dan pohon-pohon itu
muncul ke dunia. Bukankah itu sesuatu yang dianggap sebagai pemaksaan? Bagaimana kalau
mereka sebetulnya tidak menginginkan nama-nama itu?
Dalam Arifin and the Chipmunk kita bisa menemukan cara Nurr menghancurkan tatanan
bahasa itu: kamu bisa maju menjadi calon presiden di ‘Pilkada’ 2019 mendatang; Karang Salam,
negara bagian Amerika yang masih satu kabupaten dengan Situbondo; Agus yang masih ketar-
ketir melihat kampungnya di galaksi COC diserang terus-menerus oleh penghuni Pluto dan Mars;
dan lain-lain.
Kita juga akan menemukan letupan-letupan imajinasi Nurr dalam cerita itu. Bagaimana
ia mengambil secara serampangan tokoh-tokoh dunia, baik kartun maupun manusia:
Spongebob, Patrick Star, Mr. Krab, Inuyasa, Zuko, Doraemon, Saka, Lindsay Louhan, Lady Gaga,
Jenifer Lopez, dan lain-lain. Kemudian dibenturkan satu tokoh dengan tokoh lain.
Nurr seperti membuat dunia sendiri dalam ceritanya. Saya tentu tidak akan melupakan
bagaimana Gabriel Garcia Marquez dalam One Hundred Years of Solitude membuat pulau
imajinatif beserta tokoh-tokoh yang mendiaminya, yaitu Macondo. Atau Eka Kurniawan
membuat tempat imajinatif bernama Halimunda beserta konflik-konflik yang menyertai di
tempat itu dalam novel Cantik Itu Luka.
Nurr seperti sedang menceracau dalam ceritanya. Seperti semburan air dari bendungan
ambrol, yang tentu saja, tidak bisa dibendung. Saya tidak mungkin melupakan juga bagaimana
Mario Vargas Llosa menceracau dalam karyanya berjudul Sang Pengoceh, atau Roberto Bolano
dalam cerita-cerita maupun esai-esainya.[]

Anda mungkin juga menyukai