Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen

Pembimbing : dr. Yunita Tampubolon, Sp.PD

Oleh :
Susi Susanti Lumban Gaol
12000040
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
2016

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun Referat yang
berjudul Sindroma Nefrotik. Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun
penyajiaannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar
dikesempatan yang akan datang penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yunita Tampubolon, Sp.PD
serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaikan presentasi kasus ini.

Semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Balige, November 2016

Penyusun

2
Susi Susanti Lumban Gaol

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1

DAFTAR ISI ......................................................................................................... 2

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 4

BAB II. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL ....................................... 5

A. Anatomi Ginjal .......................................................................... 5

B. Fisiologi Dasar Ginjal ............................................................... 6

BAB III. SINDROMA NEFROTIK ............................................................. 8

A. Definisi ..................................................................................... 8
B. Insidens ..................................................................................... 8
C. Etiologi ..................................................................................... 9

D. Patofisiologi .............................................................................. 11

3
E. Manifestasi Klinis ..................................................................... 17

G. Penatalaksanaan
19 ............................................................................................... 22

H. Komplikasi................................................................................. 24

I. Prognosis .................................................................................. 24

BAB IV. KESIMPULAN .............................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari beberapa penyakit
ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan sekunder, primer
apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada
penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat / Toksin. Sindrom nefrotik primer biasanya
terjadi pada anak-anak dan sindrom nefrotik sekunder sering terjadi pada orang dewasa.1

4
SN adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria (> 3,5 g / 24 jam), hipoalbuminemia (<30
g / L), edema dan hiperlipidemia.2

Sindrom nefrotik terjadi pada usia berapapun, tetapi yang lebih menonjol pada anak-anak,
sebagian besar berusia antara 1½ dan 4 tahun. Di usia muda (<8 thn), anak laki-laki lebih sering
terkena dibandingkan anak perempuan. Namun pada usia yang lebih tua dan kedua jenis kelamin,
berpengaruh sama terhadap etiologi primer atau sekunder. Sindrom nefrotik primer biasanya terjadi
pada anak-anak dan sindrom nefrotik sekunder sering terjadi pada orang dewasa. 1

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL

A. Anatomi Ginjal
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus
dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi

5
cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai
lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan
dukturs koletivus, serta di lapisan dalam, medula yang mengandung bagian-bagian tubulus
yang lurus, lengkung (ansa) Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal. 3

Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang
keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama
membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri
interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen
glomerulus. Sel-sel otot yagn terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan
sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus,
membentuk aparatus jukstaglomeruler yagn mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen
membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole
eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar
dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke
tubulus dan medula. 3

Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus terkait).
Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi
fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron baru yagn dapat
dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif dapat menyebabkan insufisiensi
ginjal. 3

Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme


penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium yagn mempunyai
sitoplasma sangat tipis yagn berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis
glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel mesangium
pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran mempunyai 3 lapisan. (1)
lamina densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina rara interna, yagn terletak di antara
lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3) lamina rara eksterna, yang terletak di antara
lamina densa dan sel-sel epitel. Sel epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan
“tonjolan kaki” sitplasma, yagn melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki
ada ruangan atau celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) teletak di antara
kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian
tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung pada kepiler

6
glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus,
filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks imun) dari glomerulius, melalui
fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan melalui saluran interseluler ke daerah
jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yagn mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1)
membrana basalis, yagn merupakan kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus
dan tubulus proksimalis, dan (2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel
epitel viscera. 3

B. FISIOLOGI DASAR GINJAL


Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan
ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikotnrol
oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus. 3

Fungsi Utama Ginjal 3


Fungsi Ekskresi

Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengna mengubah-ubah


ekresi air.
Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3.

7
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin.
Fungsi Non-ekskresi
Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah
oleh sumsum tulang.
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Degenerasi insulin
Menghasilkan prostaglandin

BAB III
SINDROM NEFROTIK

A. Definisi

8
Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan merupakan
komplex gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dengan ciri-
ciri sebagai berikut : 1
- edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
- Proteinuria, termasuk albuminuria ; sebagai batas biasanya ialah bila kadar
protein plasma total kurang dari 6 gram per 100 ml dan fraksi albumin kurang
dari 3 gram per 100 ml.
- Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya ialah
bila kadar cholesterol plasma total lebih dari 300 miligram per 100 ml.
- Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang mengandung lemak
(“ovel fat bodies”), torak lemak.
Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada yagn
berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yagn masif serta
hipoalbuminemi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik.

B. Insidens
Sindrom nefrotik terjadi pada usia berapapun, tetapi yang lebih menonjol
pada anak-anak, sebagian besar berusia antara 1½ dan 4 tahun. Di usia muda (<8
thn), anak laki-laki lebih sering terkena dibandingkan anak perempuan. Namun pada
usia yang lebih tua dan kedua jenis kelamin, berpengaruh sama terhadap etiologi
primer atau sekunder. Sindrom nefrotik primer biasanya terjadi pada anak-anak dan
sindrom nefrotik sekunder sering terjadi pada orang dewasa.1

C. Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui, Namun akhir-akhir ini dianggap sebagai
satu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :2,4
I. Sindrom nefrotik bawaan
Dirurunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.

9
Resisten terhaap semua pengobatan.
Gejala adalah edema pada masa neonatus.
Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
II. Sindrom nefrotik sekunder
1. Malaria kuartana atau parasit lain
2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
3. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosisis vena
renalis.
4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun oak, air raksa.
5. Amilodisosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano
proliferatif hipokomplementamik.
III. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya).
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. Membangi dalam 4
golongan yaitu :
1. Kelainan minimal
Dengan mikrospok biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan
mikroskop elektron terdapat IgG atau imunoglobulin bet-1C pada dinding
kapiler glomerulus.
Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa.
2. Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi set. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik.
3. Glomerulonefritis proliferatif
a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus.

10
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi
dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik.
Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan
setelah pengobatan yang lama.
b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(kapsular) dan viseral.
c. Dengan bulan sabit (crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai
(simpai (kapsular) dan viseral.
d. Glomerulonefritis membranopliferatif.
Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai
membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta 1A
rendah.
e. Lain-lain.
Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas.
IV. Glomeruloksklerosis fokal segmental.
Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan
atrofi tubulus.
Prognosis buruk.
D. Patofisiologi
1. Proteinuria
Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala
klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan
“berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang
bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2
luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.4

11
2. Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada
kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya
terdiri atas albimin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas
proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin
terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000).
Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN
dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.
Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk
membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan
ini dianggap tidak efisien. 4

3. Perubahan pada filter kapiler glomerulus


Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal
bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan
klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan
klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa
di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar
ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina
rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul
muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan
hepartinase mengakibatkan timbulnya albuminaria. 4,5
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini
yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki
sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut
podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada

12
model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein
kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya
proteinuria. 4,5

4. Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan
pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam
keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah
seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi
protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif
steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal dengan atau
tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis albumin pada SN dalam
keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau normal. 3
Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di bawah
normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara
relatif, maka katabolisme pool fraksional yagn menurun ini sebetulnya meningkat.
Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme
ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yagn normal
albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi
albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama
disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui
daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya 
- 1 globulin, (normal atau rendah), dan  - 2-globulin, B globulin dna figrinogen
meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya  - 2 globulin disebabkan oleh
retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju
sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM
dapat meningkat dan IgG menurun. 3

13
5. Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak
lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara
konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan
bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien SN
konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien densitas
rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein
densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN
walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada
hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat
atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya
abnormal.4 Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya
sintesis albumin dan sekudner terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan.
Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang
normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya -
glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali
normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka
umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat
tekanan onkotik albumin serumnya, karena ofek yang sama dapat ditimbulkan
dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan
hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi
remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN
relaps frekuensi yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di
dalam urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu
merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross
tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila
dilihat dengan cahaya polarisal. 4,5

14
6. Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah
dianggap jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data
menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak memberikan penjelasan yang
lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah
menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes
keruang interstisial. Dengan meningkatnya permealiblitas kapiler glomerulus,
albumin keluar menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia.4
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang interstial yang menyebabkan
terbentuknya edema. 3

15
Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma 

Volume plasma 

Retensi Na renal sekunder 

Edema

Terbentuknya edema menurut teori underfilled6

Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah
arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai
usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan
dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara
terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya
mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas
memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil. 2,6
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar renin
plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak

16
ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan
meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar
aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium
renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat
overfilling cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori overfilled ini dapat
menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan
aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia. 2,6

Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primeri
Albuminuria

Hipoalbuminemia
Volume plasma 

Edema

Terjadinya edema menurut teori overfilled6

Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan
tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan
vasokonstriksi perifer denan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju
filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan
biasanya terdapat pada SNKM. Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai
dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan
fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai
dengan volume plasma tinggi, tekanan darah tinggi dan kadar renin plasma dan

17
aldosteron rendah yang meningkat sesudah persediaan natrium habis. kelompok
kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif lebih
rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok petama. Karakteristik
patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan
retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer intrarenal. 5,6
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan
mungkin saja kedua proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat
menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume
intravaskular akan merangsang kelarnya renin dan menimbulkan rangsangan non
osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit
natrium. 5,6
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi
umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka
dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah
umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan
renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan
SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya SNKM. Namun derajat
tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara
kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum
pasti.5,6

E. Manisfestasi klinis
1. Edema
Di masa lalu orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu
makan yang kurang. Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan
sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya

18
dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema.
1

Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema


dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten
dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik utama bagi mereka
yang menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera
diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat
oleh orangtua atau anak yang besar sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama
kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat
atau cepat atau dapat menghilangkan dan timbul kembali. Selama periode ini edema
periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema
menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga
penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema berpindah dengan
perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada
edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya
cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan
asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai
pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti
malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.6

2. Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di
mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin
disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada
beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada
keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis
harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila

19
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat
disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri
dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang
berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya.
Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat
yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada
keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani.6

3. Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.6

4. Gangguan fungsi psikososial


Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit
berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. 2

F. Penatalaksanaan
1. Tentukan penyebab (biopsi ginjal).
Pada orang dewasa, tidak perlu seperti anak-anak dimana dilakukan terapi steroid
sebagai bagian dari penegakkan diagnosis, kelainan minimal hanya menjadi penyebab pada
10-20% kasus. terapi disesuaikan dengan diagnosis dan penyebab yang mendasari. 7

Nefropati membranosa idiopatik menunjukkan efek yang menguntungkan pada


pemberian obat imunosupresif. Pada nefropati jenis ini dapat terjadi remisi spontan yang
tidak diinduksi oleh pemberian terapi imunosupresif tersebut tetapi karena karakteristik
penyakitnya sendiri, Pada pasien dengan proteinuria berat jarang terjadi remisi spontan. 7

2. Penatalaksanaan edema

20
Dianjurkan tirah baring dan memakai stocking yang menekan, terutama untuk pasien
usia lanjut. Hati-hati dalam pemberian diuretik karena adanya proteinuria berat dapat
menyebabkan gagal ginjal atau hipovolemik. Harus diperhatikan dan dicatat keseimbangan
cairan pasien, biasanya diusahakan penurunan berat badan dan cairan 0.5-1 kg/ hari.
Dilakukan pengawasan terhadap kalium plasma, natrium plasma, kreatinin dan ureum. Bila
perlu diberikan tambahan kalium. Diuretik yang biasa diberikan adalah diuretik ringan,
seperti tiazid dan furosemid dosis rendah, dosisnya dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan.7,8

3. Garam dalam diet dan cairan dibatasi bila perlu. pemberian albumin intravena
hanya diperlukan pada kasus-kasus refrakter, terutama bila terjadi kekurangan
volume intravaskuler atau oliguria.7
4. Mencegah infeksi7
Biasanya diberikan antibiotik profilaksis untuk menghindari infeksi, terutama terhadap
pneumokok

5. Pertimbangkan obat anti koagulasi7


Dilakukan pada pasien dengan sindrom nefrotik berat kecuali bila terdapat kontra indikasi.
Terapi (biasanya warfarin) dipertahankan sampai penyakitnya sembuh.

6. Memperbaiki nutrisi7
Dianjurkan pemberian makanan tinggi kalori dan rendah garam. Manfaat diet tinggi
protein tidak jelas dan mungkin tidak sesuai karena adanya gagal ginjal, biasanya cukup
dengan protein 50-60 g/hari ditambah kehilangan dari urin. Atau restriksi protein dengan
diet protein 0,8 gram /KgBB ideal/ hari + eskresi protein dalam urin/24 jam

7. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari7


8. Berhenti merokok. 7
9. Pengobatan proteinemia dengan penghambat ACE dan/ atau antagonis reseptor
Angiotensin II7
10. Pengobatan dislipidemia dengan obat golongan statin dengan kerja menurunkan
kolesterol darah, misalnya lovastatin. 7

21
11. Pengobatan hipertensi dengan target tekanan darah < 125/75 mmHg. Penghambat
ACE dan antagonis reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama. 7
12. Transplantasi ginjal, pengobatan dengan transplantasi masih kontroversial7
13. Rituximab (RIT) 7
Rituximab adalah Antibodi monoklonal yang bekerja menghambat CD20 - sel B
mediasi - sel proliferasi dan diferensiasi. CD20 adalah suatu protein membran pada sel B
yang terdapat pada sel maligna misalnya pada Non Hodgkins Lymphoma. Francois et al
melaporkan bahwa pada pasien dewasa dengan multi relaps SN dengan perubahan minimal
sukses menggunakan RIT sukses menurunkan kejadian remisi SN

14. Terapi untuk beberapa penyakit glomerulus primer yang menyebabkan SN bisa
dilihat dari tabel dibawah ini. 7

Tabel 2: Tabel Terapi Imun untuk Beberapa Penyakit Glomerulus Primer yang Umum Penyebab
Sindrom Nefrotik7,8

Terapi Imun untuk Beberapa Penyakit Glomerulus Primer yang Umum Penyebab
Sindrom Nefrotik

Penyakit Terapi

Perubahan Minimal glomerulopaty Kortikosteroid ( alklating agen,


siklosporin)

Fokal segmental glomerulosclerosis Kortikosteroids (alkilating agen,

siklosporin); immunoabsorbsion

Glomerulonefritis Membranosa Kortikosteroid ditambah alkilating

agen; siklolosporin

Pada orang dewasa dengan perubahan minimal glomerulopati digunakan 1mg


prednisolon/ kgBB/hr selama kurang lebih delapan minggu, bila tidak memberikan respon

22
yang memuaskan digunakan cicklophospamide 1-2 mg/kgBB/hr selama delapan minggu
jika pasien mempunyai karakteristik yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal
(lelaki, hipertensi, merokok, peningkatan kreatinin serum atau proteinuri yang massif)

G. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada penderita yaitu:. 5,6
1. Infeksi
Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan tubuh yaitu
gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas komplemen,
penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang berkurang.
Infeksi yang serign terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi saluran
kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus.
2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi
pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan tromboemboli
baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini disebabkan oleh
faktor-faktor :
 perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto V.X.VII.
Fibrinogen dan fakto von Willebrand.
 perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia
 perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid
 Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII dan
memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi besar
kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi trombost.
 Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan angka
hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi fibrinogen akan
meningkat.
3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein

23
Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL seta
apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun
khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol
dapat mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan
arteria renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik
ataupun trombosis arteri Renalis.
Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme
karbohidrat belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang
mensintesis protein lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu
didapatkan penignkatan ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini
dapat terjadi hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi kronik. Sejumlah
protein plasma yang penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan,
karena molekulnya kacil, dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat
tersebut akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
 Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia
 Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya
 Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia dan
penurunan sel-sel imunitas.
 Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi metabolisme
kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid.
 Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis
lebih besar terhadap kortikosteroid.
Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam
keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5
gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha
protein, meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai
risiko kesimbangan negatif di masa mendatang.
4. Gagal Ginjal Akut (GGA)

24
Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan pada
penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal. diperkirakan
akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG pada
penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak ada
perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.

H. Prognosis
Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur,
jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal.
prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih
baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya
lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih
baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada
glomerulonefritis proliferatif. 1
Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal ginjal
kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya pneumonia).1

25
BAB IV
KESIMPULAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit gromerular yang
ditandai dengan proteinuri masif >3.5 gram/ 24 jam/ 1.73 m2 disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Umumnya menegakkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah sindroma nefrotik primer. Kelainan minimal
memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan mempunyai prognosis baik. Untuk
memperoleh hasil pengobatan yang optimum perlu kerja sama antara penderita dan dokter yang
mengobatinya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen EP. Nephrotic syndrome.MedScape. 2016. Available at:


.http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview,

2. Jaipul Navin. Overview of Nephrotic Syndrome. The Merck Manuals Online


Medical Library. 2016. Available at:
http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary-disorders/glomerular-
disorders/overview-of-nephrotic-syndrome

3. Sherwood Luralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. EGC. Jakarta;
2014

4. Hull RP, Goldsmith DJA. Nephrotic syndrome in adults. .The Merck Manuals
Online Medical Library. 2013. Available at :
www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/glomerulardisorde
rs/overview_of_nephrotic_syndrome. html?qt=Nephrotic Syndrome in
Adults&alt=sh. (tanggal akses 10 November 2016)

5. Nephrotic Syndrome in Adults. The National Kidney and Urologic Diseases


Information Clearinghouse. U.S. 2012. National Kidney and Urologic Diseases
Information Clearinghouse. Available at: https://www.niddk.nih.gov/health-
information/health-topics/kidney-disease/nephrotic-syndrome in
adults/Documents/Nephrotic_Syndrome_ Adults_508. pdf

6. Sudoyo AW, Bambang Setiyohadi, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UI.
Jakarta; 2009.

27
7. Kodner Charles. Nephrotic Syndrome in Adults: Diagnosis and Management.
American Family Physician. University of Louisville School of Medicine.2009.
Available at: http://www.aafp.org/afp/2009/1115/p1129.pdf, )

8. Dedi Rachmadi. Tata laksana Sindrom Nefrotik. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UNPAD. Bandung; 2013.

28

Anda mungkin juga menyukai