Anda di halaman 1dari 21

Kasus

Topik : Asma Bronkial

Tanggal Kasus : 25 Juni 2017

Presenter : dr. Ady Adha Norsanie

Tanggal Presentasi :

Pendamping : dr. Rola Astuti

Tempat Presentasi : RS Bhayangkara Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin

Objektif Presentasi : Keterampilan, Diagnostik, Anak

Deskripsi : Perempuan, 8 tahun, mengeluh sesak nafas

sejak 15 menit yang lalu

Tujuan : Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Diskusi

Data Pasien : Nama Pasien : An. A

Data untuk bahan diskusi :

1. Diagnosis

Asma Bronkial

2. Riwayat Pengobatan

Pasien datang dengan keluhan sesak yang muncul mendadak sejak 15 menit

sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut sebelumnya sudah sangat sering di

keluhkan dalam 2 tahun terakhir ini. Keluhan muncul hilang timbul dan memberat

1
terutama saat cuaca dingin. Selama ini pasien rutin mengunakan obat pelega nafas

hirup untuk mengurangi keluhannya, namun saat ini obat pasien sedang habis.

Pasien juga mengeluhkan mengi terutama bila saat serangan sesak. Mengi

terdengan saat pasien menghembuskan nafas. Pasien juga mengeluhkan batuk

berdahak selama 1 minggu ini. Menurut ibu pasien, penderita selama 2 tahun

terakhir ini memang sering mengeluhkan batuk terutama saat sedang serangan

sesak. Demam (-). Mual (-). Muntah (-). BAB (+). BAK (+).

3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :

Riwayat asma (+)

4. Riwayat Keluarga

Riwayat Diabetes Melitus, Hipertensi disangkal, Asma (+)

5. Riwayat Pekerjaan

Siswa sekolah dasar

6. Lain-lain :

a. Pemeeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Vital Sign : TD :-

N : 101

RR : 38

T : 36,6 oC

BB : 29 kg

2
Kulit : Kelembaban cukup. Ikterik (-) Pucat (-)

Kepala dan Leher :

Mata : Konjungtiva anemis (-/-) ikterik (-/-)

Hidung : Sekret (-) epitaksis (-) deviasi septum (-)

Mulut : Mukosa basah. sianosis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-) peningkatan JVP (-)

Pemeriksaan Thorax

Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris. Retraksi (+).

Palpasi : Fremitus vokal simetris kanan dan kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler. Ronkhi (-). Wheezing (+/+)

Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS IV linea midclavikula

sinistra

Perkusi : Batas jantung

Atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Bawah : ICS V linea parasternalis sinistra

Kanan : ICS IV linea parasternal dextra

Kiri : ICS IV linea midklavikula sinistra

Auskultasi : S1>S2. Reguler. Murmur (-) Gallop (-)

3
Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : Datar

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Supel. H/L/M tidak teraba. Nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani

Pemeriksaan Ekstrimitas : Parese (-) Edema (-) Akral dingin

Hasil Pembelajaran

1. Diagnosis Kerja

Asma Bronkial

Dasar Diagnosis

Dari anamnesis, di dapatkan keluhan sesak napas, batuk berdahak yang biasanya

kronis, mengi, ada faktor pemicu (penjamu: riwayat atopi, lingkungan). Pada

pemeriksaan fisik bisa didapatkan ekspirasi memanjang, wheezing, pengunaan otot

bantu nafas pada serangan berat. Pada pemeriksaan penunjang yang perlu

diperhatikan adalah APE (Arus Puncak Ekspirasi) lebih baik lagi bila dilakukan

dengan spirometri.

Diagnosis Asma memerlukan klasifikasi asma dan serangan akut. Sebagai

contoh: Asma persisten ringan dengan serangan sedang.

4
2. Etiologi

Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor

genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi hiperreaktivitas, atopi/alergi

bronkus, faktor yang memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, ras/etnik. Faktor

lingkungan meliputi alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur), alergen diluar ruangan, makanan (bahan penyedap, pengawet,

pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur), obat-obatan tertentu

(misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll), bahan yang mengiritasi

(misalnya parfum, household spray dll), ekspresi emosi berlebih, asap rokok dari

perokok aktif dan pasif polusi udara diluar dan di dalam ruangan, exercise induced

asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu dan

perubahan cuaca. 1

3. Diagnosis

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk

dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau sore hari

(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi

pada pasien. 1

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan

bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, dagnosis asma menjadi lebih

definitif, kemudian ada bunyi mengi (wheezing), jarang ada nyeri, belum tentu ada

kongesti, hipersekresi mukus di saluran pernapasan. Untuk anak yang sudah besar

5
(>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya di lakukan. Uji fungsi paru yang

sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji

provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering

dan dingin atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini

berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya: 1

1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2. Kenaikan > 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi

bronkodilator

3. Penurunan > 20% pada PFR atau FEV 1 setelah provokasi bronkus.1

Adapun berikut akan dijelaskan mengenai klasifikasi asma secara umum:

Derajat Asma Gejala Gejala malam


Intermiten Bulanan

-Gejala <1x/minggu < 2x sebulan

-Tanpa gejala diluar serangan

-Serangan singkat
Persisten Mingguan

Ringan -Gejala >1x/minggu, <1x/hari >2x sebulan

-Serangan dapat menganggu aktivitas dan

tidur
Persisten Harian

Sedang -Gejala setiap hari >1x/minggu

-Serangan menganggu aktivitas dan tidur

-Bronkodilator setiap hari

6
Persisten berat Kontinyu

-Gejala terus menerus Sering

-Sering kambuh

-Aktivitas fisik terbatas

4. Tatalaksana Medikamentosa

2 macam terapi medikamentosa untuk asma adalah terapi pelega (reliever) yang

digunakan hanya jika serangan, dan terapi pengontrol (controller) yang dapat

digunakan walaupun saat sedang tidak serangan.


Reliever/pelega: Salbutamol inhalasi dan/atau ipratropium bromida. Bila tidak

membaik, dapat diberikan aminofilin IV. Pada serangan berat, dapat diberikan steroid

IV.
Controller/pengontrol: Steroid inhalasi. Dapat pula diberikan antagonis

leukotrien (montelukas, zafirlukas) sebagai pengganti steroid inhalasi sebagai

pengontrol. Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan lalu

turunkan bertahap sampai tercapai terapi minimal. Pemantauan dengan kuesioner

ACT (Asthma Control Test)


Obat asma dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)

dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan

atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada

lagi gejala maka obat ini sudah tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu.

Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat

profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi

7
kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan

walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya, kemudian pemberiannya diturunkan pelan-

pelan yaitu 25% setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6-8

minggu.2
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
Asma Intermiten
Pengobatan yang diberikan pada penderita asma intermiten adalah agonis

beta-2 kerja singkat yang diberikan hanya jika dibutuhkan, atau sebelum exercise

pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene modifiers

atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat

pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,

kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau

antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu

selama 3 bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten

ringan.4

Tabel 13. Pengobatan sesuai klasifikasi serangan asma

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila

dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.


Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain

harian
Asma Tidak perlu -------- -------

Intermiten

8
Asma Persisten Glukokortikosteroid · Teofilin ------

Ringan inhalasi lepas lambat

(200-400 ug BD/hari
· Kromolin
atau ekivalennya)

· Leukotriene

modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi · ·

Sedang glukokortikosteroid Glukokortikosteroid Ditambah agonis

inhalasi (400-800 ug beta-2 kerja lama


(400-800 ug BD/hari
BD atau ekivalennya) oral, atau
atau ekivalennya) dan
ditambah Teofilin lepas

agonis beta-2 kerja lama lambat ,atau

Ditambah teofilin

· lepas lambat

Glukokortikosteroid

inhalasi (400-800 ug

BD atau ekivalennya)

ditambah agonis beta-2

kerja lama oral, atau

9
·

Glukokortikosteroid

inhalasi dosis tinggi

(>800 ug BD atau

ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid

inhalasi (400-800 ug

BD atau ekivalennya)

ditambah leukotriene

modifiers

Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/

Berat glukokortikosteroid metilprednisolon oral

selang sehari 10 mg
(> 800 ug BD atau
ditambah agonis beta-2
ekivalennya) dan agonis
kerja lama oral, ditambah
beta-2 kerja lama,
teofilin lepas lambat
ditambah ³ 1 di bawah

10
ini:

- teofilin lepas lambat

- leukotriene modifiers

- glukokortikosteroid

oral

Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,

kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan

kondisi asma tetap terkontrol

Tabel 14. Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang

Tujuan: Tujuan:

Asma yang terkontrol Mencapai kondisi sebaik mungkin

11
• Menghilangkan atau meminimalkan • Gejala seminimal mungkin

gejala kronik, termasuk gejala malam


• Membutuhkan bronkodilator

• Menghilangkan/ meminimalkan seminimal mungkin

serangan
• Keterbatasan aktiviti fisis minimal

• Meniadakan kunjungan ke darurat gawat


• Efek samping obat sedikit

• Meminimalkan penggunaan

bronkodilator

• Aktiviti sehari-hari normal, termasuk

latihan fisis (olahraga)

• Meminimalkan/ menghilangkan efek

samping obat

Faal paru (mendekati) normal Faal paru terbaik

•Variasi diurnal APE < 20% • Variasi diurnal APE minimal

•APE (mendekati) normal • APE sebaik mungkin

Asma Persisten Ringan

12
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari

untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat

sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari

dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug

BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi

2 kali sehari. 4

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika

dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita

membutuhkan pelega/bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan

kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya. 4

Asma Persisten Sedang

Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap

hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol

adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug

FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali

sehari. Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah

(£ 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan

agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol,

dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat

13
bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix

combination) agar lebih mudah. 4

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika

dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis beta-2

kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau

kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja

singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas

lambat sebagai pengontrol. 4

Asma Persisten Berat

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,

gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE)

mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat

seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa

obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi

inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan

pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari. 4

Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers

dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai

14
kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan

terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis

beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan

glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus

single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara

nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi

glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama

dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek

samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk

memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau

sebagai penatalaksanaan jangka panjang. 4

Obat-obat Pereda (Reliever)


1. Bronkodilator
- Short-acting B2 agonist
Merupakan bronkoldilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak. Reseptor B2 agonis berada di epitel saluran nafas, otot pernafasan, alveolus,

sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas. 2
Dengan pemberian short acting B2 agonist, diharapkan terjadi relaksasi otot

polos jalan nafas yang mengharapkan terjadinya bronkodilatasi, peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler dan berkurangnya pelepasan mediator

sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamo, fenoterol, terbutalin. 2
Dosis salbutamol:
Oral: 0,1-0,15 mg/kgbb/kali setiap 6 jam

15
Nebulisasi: 0,1-0,15 mg/kgbb (dosis maksimum 5mg/kgbb), interval 20 menit atau

nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/jam (dosis maksimum 15 mg/jam)


Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgbb/kali setiap 6 jam
Dosis Terbutaline:
Oral: 0,05-0,1 mg/kgbb/kali setiap 6 jam
Nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Pemberian oral memberikan efek bronkodilatasi dalam 30 menit, efek puncak

dicapai dalam 2-4 jam, lama kerja sampa 5 jam. Pemberian inhalasi

(inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10

menit, lama kerja 4-6 jam.


Serangan ringan: MDI 2-4 semprotan tiap 3-4 jam
Serangan sedang: MDI 6-10 semprotan tiap 1-2 jam
Serangan berat: MDI 10 semprotan. 2
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan

ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan nafas. Efek samping

takikardi lebih sering terjadi. 2


Dosis salbutamol IV: mulai 0,2 mcg/kgbb/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgbb setiap 15

menit, dosis maksimal 4 mcg/kgbb//menit


Dosis terbutaline IV: 10 mcg/kgbb melalui infus selama 10 menit, dilanjutkan dengan

0,1-0,4 ug/kgbb/jam dengan infus kontinu. 2


Efek samping B2 agonis antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi dan takikardia. 2


2. Methyl xantine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan B2 agonis inhalasi, tapi

karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini

diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi B2 agonis dan antikolinergik.

Metilxantine cepat diabsorpsi melalui pemberian oral, rektal, atau parenteral.

Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang

lama. Umunya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan

16
absorpsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Methylsantine

didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu.

Eliminasinya terutama melalui metabolisme hati, sebagian besar diekresi bersama

urine. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia dan aritmia. Dosis aminofilin IV

inisial bergantung kepada usia 1-6 bulan 0,5 mg/kgbb/jam, 6-11 bulan 1

mg/kgbb/jam, 1-9 tahun 1,2-1,5 mg/kgbb/jam.3


3. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi B2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis

anjuran 0,1 ml/kgbb, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam

larutan 0,025% dengan dosis untuk usia diatas 6 tahun 8-20 tetes, usia dibawah 6

tahun 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak di mulut.

Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang

pada anak. 3
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inhalasi B2

agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma

tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai

kontroler; (3) serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai

perbaikkan klinis, efek maksimum dicapai dalam waktu 12-24 jam. Preparat oral

yang dipakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamnisolon dengan dosis 1-2

mg/kgbb/hari diberikkan 2-3 kali sehari selama 3-5 kali sehari. Metilprednisolon

17
merupakkan pilihan utama karena kemampuan penetrasi ke jaringan paru lebih baik,

efek antiinflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid lebih minimal. Dosis

metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgbb setiap 4-6 jam. Dosis

hidrokortison IV 4mg/kgbb/hari tiap 4-6 jam. Dosis dexametason bolus IV 0,5-1 mg

bolus IV 0,5-1 mg/kgbb/hari setiap 6-8 jam. 3


Obat-obat pengontrol
Obat-obat pengontrol asma pada anak-anak termasuk inhalasi dan sistemik

yaitu: glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled B2 agonist, teofilin,

kromolin dan long acting oral B2 agonist. 3


1. Inhalasi Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan paling

direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan

penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikkan dalam

pengontrolan asma dan mengurangi pengunaan obat-obat tambahan. Terapi

pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-

gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di

rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial

dan mengurangi bronkokontriksi yang diinduksi latihan. Dosis yang dapat

digunakkan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping dapat berupa gangguan

pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat dan gangguan pada gigi dan

mulut. 3
2. Leukotrine Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikkan dengan steroid hirupan dan mungkin

hasilnya lebih baik. LTRA dapat melangkapi kerja steroid hirupan dalam menekan

cystenil leukotriane. Selain itu LTRA mempunyai efek bronkodilator dan

18
perlindungan terhadap bronkokonstriktor dan dapat mencegah early asma reaction

dan late asthma reaction. LTRA dapat diberikkan peroral, penggunaannya aman, dan

tidak mengganggu fungsi hati. Preparat LTRA yaitu montelukas dan zafirlukas.

Preparat yang tersedia di indonesia yaitu zafirlukas. Zafirlukas digunakan untuk anak

usia >7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari. 3


3. Long acting B2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian

ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1

pagi dan sore, penggunaaan steroid oral, menurunnya hipereaktivitas dan airway

remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi

fluticasone propionate dan salmaterol (seretide), budesonide dan formoterol

(symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan symbicort dalam DPI. Kombinasi ini

mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat. 3


4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang

bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan

glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid

inhalasi dosis rendah. Terapi dimulai pada dosis inisial 5 mg/kgbb/hari. 3

Terapi di RS Bhayangkara :

IVFD RL 10 tpm
Inj. Dexametason 3x5 mg
Nebulizer Ventolin 2x1 vial
Pendidikan: dilakukan kepada keluarga pasien untuk membantu proses penyembuhan,

pemulihan dan mencegah kekambuhan. Di berikan informasi mengenai

penyakit terkait dan waspadai jika terjadi serangan berulang terus menerus

19
dan tidak ada perbaikan setelah diberikan obat di rumah atau perburukan

klinis untuk segera di bawa ke RS. Mengistirahatkan penderita serta

berupaya menjauhkan dari berbagai pencetus untuk penyembuhan juga

untuk mencegah kekambuhan.

Konsultasi: Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan spesialis

penyakit terkait apabila ada komplikasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. George L Adams, Lawrence R Boeis, Peter H.Hilger; alih bahasa Caroline


wijaya; editor Harjanto Effendi. 2007. BOEIS: buku ajar Respiratory (BOEIS
findamental of respirasy) edisi 6. Jakarta: EGC

2. Dharmabakti US. 2003. Penatalaksanaan Baku Asthma Bronkial. Dalam:


Kumpulan Abstrak Kongres Nasional XIII. PERHATI KL. Bali 14-16 Oktober
2003; 57.

3. Hilger PD. 2014, Disease of Respiratory Syndrome. Adam GL Boies LRJK


Hilger Fundametal of Oyolaryngology, 6th ed. Philadelphia ; Sounders
Company,; 249 – 270.

4. Dharmabakti US. 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di


Indonesia. Dalam: Konsensus Asma, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003.
Hal 42-46.

21

Anda mungkin juga menyukai