Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

“OTONOMI DAERAH”
Dosen Pembimbing : DR. Rahima Ema, M.Si
Disusun Oleh :
M. Fajri M.
Jamil
Robby. R Rianto
Mentari S. A
Febrian Pratama
Riki Suherman
Apriyan Saputra
Eko Putra. M
Hermanto
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2012
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
C. Rumusan Masalah
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Otonomi Daerah
B. Sejarah Perkembangan Otonomi
Daerah di Indonesia
C. Dasar Hukum Dan Landasan
Teori Otonomi Daerah
D. Pemeran Penting Dalam Otonomi
Daerah
E. Dampak Otonomi Daerah
BAB III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan
kehendakNya jualah makalah sederhana ini dapat
kami rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Pemerintahan Daerah. Adapun yang kami bahas dalam
makalah sederhana ini mengenai Otonomi Daerah.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui
berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu
Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan
dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah
sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen
pembimbing kami yakni Ibu DR. Rahima Ema, M.Si
yang telah memberikan limpahan ilmu berguna
kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang
masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah
berusaha semaksimal mungkin.Tapi kami yakin
makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini.
Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan juga
kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan
datang.
Harap kami, makalah ini dapat menjadi track
record dan menjadi referensi bagi kami dalam
mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar
makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang
membacanya.
Pekanbaru, November 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia para founding fathers telah
menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran
kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara.
Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi
bagian dalam praktek pemerintahan Negara sejak
berlakunya UUD 1945, terus memasuki era
Konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai pada era kembali
ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit
Presiden 5 juli 1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut
membuktikan bahwa cita desentralisasi senantiasa
dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia,
sekalipun dari satu periode ke periode lainnya
terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita
desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah
penting sudah dilakukan oleh pemerintah.
Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemerintahan daerah
membuktikan bahwa keinginan untuk
mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun
demikia, kenyataan membuktikan bahwa cita
tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi
daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang
sebagai kenyataan yang telah terjadi. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah
belumlah terwujud sebagaimana yang diharapkan.
Kita nampaknya baru menuju kea rah Otonomi
Daerah yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang menetukan
prospek otonomi daerah, diantaranya, yaitu :
Faktor Pertama adalah faktor manusia
sebagai subyek penggerak (faktor dinamis) dalam
peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor
manusia ini haruslah baik, dalam pengertian moral
maupun kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur
pemerintah daerah yang terdiri dari Kepala Daerah
dan DPRD, aparatur daerah maupun masyarakat
daerah yang merupakan lingkungan tempat
aktivitas pemerintahan daerah tersebut.
Faktor kedua adalah faktor keuangan yang
merupakan tulang punggung bagi terselenggaranya
aktivitas pemerintahan Daerah. Salah stu cirri
daerah otonom adalah terletak pada kemampuan
self supportingnya / mandiri dalam bidang
keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini
akan sangat memberikan pengaruh terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sumber keuangan daerah yang asli,
misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm
perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil
daerah lainnya yang sah, haruslah mampu
memberikan kontribusinya bagi keuangan daerah.
Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang
merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah.
Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi
jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan
praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat
peralatan semacam inilah yang akan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah faktor organisasi
dan manajemen. Tanpa kemampuan organisasi
dan manajemen yang memadai penyelenggaraan
pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan baik,
efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang
sungguh-sunggguh terhadap masalah ini dituntut
dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah
membuktikan bahwa keempat faktor tersebut di
atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya
Otonomi Daerah masih menunjukkan sosoknya
yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu
apabila kita berkeinginan untuk merealisasi cita-
cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan
perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan
kepada empat faktor di atas.
B. Tujuan Penulisan
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan
daerah tingkat I maupun Tingkat II mampu
mengelola daerah nya sendiri. Untuk kepentingan
rakyat dan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat secara sosial ekonomi yang merata.
C. Rumusan Masalah
Makalah ini di buat dengan rumusan masalah:
Apa itu Otonomi Daerah?
Bagaimana Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah
di Indonesia
Apa dasar hukum dan Landasan teori Otonomi
Daerah?
Apa salah satu yang paling berperan di dalam
Otonomi Daerah?
Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi
Daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari 2 kata
yaitu , auto berarti sendiri, nomosberarti rumah
tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan
demikian berarti mengurus rumah tangga
sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi
dengan kata daerah,maka istilah “mengurus
rumah tangga sendiri” mengandung makna
memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur
atau menyelenggarakan rumah tangga
pemerintahan daerah sendiri.
Ada juga berbagai pengertian yang
berdasarkan pada aturan yang di tetapkan oleh
Pemerintahan Daerah. Pengertian yang memliki
kaitan dan hubungan dengan otonomi daerah yang
terdapat di dalam Undang-Undang,yaitu sebagai
berikut:
Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan
di dalam suatu daerah.
Penyelenggaran urusan pemerintah daerah
tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya
dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang
dimaksudkan di dalam UUD 1945.
Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau
Walikota, perangkat daerah seperti Lurah,Camat serta
Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah
tertinggi.
DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di
mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat yang
menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD
adalah suatu unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.
Otonomi daerah adalah wewenang,hak dan
kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan
mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus
berbagai kepentingan masyarakat yang berada dan
menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah otonom adalah suatu kesatuan masyarakat
yang berada di dalam batas-batas wilayah dan
wewenang dari pemerintahan daerah di mana
prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri namum
sesuai dengan sistem NKRI.
Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa
pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia
sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di
Indonesia
Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial
mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad
ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial
mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922.
Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap
yang semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu
juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat
(zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh
pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak
politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek).
Dengan demikian, dalam masa pemerintahan kolonial,
warga masyarakat dihadapkan dengan dua
administrasi pemerintahan.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi
ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke Daratan
Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini
berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris
di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di
Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang
singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil
melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia
Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan
undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak
memiliki kewenangan. Penyebutan daerah otonom
bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.
Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun
1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun
1945 menitik beratkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan
KND (komite Nasional Daerah) di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi,
dan daerah-daerah yang dianggap perlu
oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri
atas dua macam yang masing-masing
dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya
mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnya pun
hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak
memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun
1948
Peraturan kedua yang mengatur
tentang otonomi daerah di Indonesia
adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang
ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal
10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam
tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah
tangganya sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun
1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957,
daerah otonom diganti dengan istilah
daerah swatantra. Wilayah RI dibagi
menjadi daerah besar dan kecil yang
berhak mengurus rumah tangga sendiri,
dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk
kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini
menitikberatkan pelaksanaan otonomi
daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat
(1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6
Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang
berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan
efisiensi pemerintahan daerah, dengan
memasukkan elemen-elemen baru.
Penyebutan daerah yang berhak mengatur
rumah tangganya sendiri dikenal dangan
daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah
tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada
kebijakan otonomi daerah pada masa ini,
bahwa kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat, terutama dari kalangan
pamong praja.
5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun
1965
Menurut UU ini, wilayah negara
dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat,
kepala daerah bertugas memegang
pimpinan kebijaksanaan politik polisional
di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antarjawatan pemerintah pusat
di daerah, melakukan pengawasasan, dan
menjalankan tugas-tugas lain yang
diserahkan kepadanya oleh pemerintah
pusat. Sebagai alat pemerintah daerah,
kepala daerah mempunyai tugas
memimpin pelaksanaan kekuasaan
eksekutif pemerintahan daerah,
menandatangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah
berhak mengatur, dan mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi.
Dalam UU ini dikenal dua tingkatan
daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah
tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi
menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak
pada daerah tingkat II karena daerah
tingkat II berhubungan langsung dengan
masyarakat sehingga lebih mengerti dan
memenuhi aspirasi masyarakat. Prinsip
otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab.
7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang lebih mengutamakan desentralisasi.
Pokok pikiran dalam penyusunan UU No.
22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia
wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas
desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan
asas desentralisasi dan dekonsentrasi
adalah daerah provinsi sedangkan
daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah kabupaten
dan daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam
daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat
daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999
banyak membawa kemajuan bagi daerah
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi sesuai perkembangan keinginan
masyarakat daerah, ternyata UU ini juga
dirasakan belum memenuhi rasa keadilan
dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan
UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas
menyatakan bahwa dengan berlakunya UU
ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak
berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara
kabupaten dan provinsi, antara provinsi
dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah. Pemerintah pusat berhak
melakukan kordinasi, supervisi, dan
evaluasi terhadap pemerintahan di
bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara
kepala daerah dan DPRD semakin di
pertegas dan di perjelas.
C. Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi
Daerah
Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang otonomi
daerah saja yang perlu kita bahas.Namun ada dasar-
dasar yang bisa menjadi landasan.Ada beberapa
peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi
daerah,yaitu sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat
1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang
mengatur tentang pemerintahan daerah.
3) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang
mengatur tentang sumber keuangan
negara.
Selain berbagai dasar hukum yang
mengatur tentang otonomi daerah,saya juga
menulis apa saja yang menjadi tujuan
pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi
daerah harus bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan terhadap masyarakat yang berada di
wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan
pula sumber daya yang di miliki oleh daerah
agar dapat bersain dengan daerah otonom
lainnya.
Landasan Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori
dalam otonomi daerah .
a. Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi
daerah yang saya tuliskan di sini.Asas-asas
tersebut sebagai berikut:
· Asas tertib penyelenggara negara
· Asas Kepentingan umum
· Asas Kepastian Hukum
· Asas keterbukaan
· Asas Profesionalitas
· Asas efisiensi
· Asas proporsionalitas
· Asas efektifitas
· Asas akuntabilitas
b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari
rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan
Republik Indonesia. dengan adanya
desentralisasi maka muncullan otonomi
bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah
dalam keorganisasian yang secara
sederhana di definisikan sebagai
penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan
pardigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab, kewenangan,
dan sumber-sumber daya (dana, manusia
dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Dasar pemikiran yang
melatarbelakanginya adalah keinginan
untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan
mereka yang merasakan langsung
pengaruh program dan pelayanan yang
dirancang dan dilaksanakan oleh
pemerintah. Hal ini akan meningkatkan
relevansi antara pelayanan umum dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal,
sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin
dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah
dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi.
Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan
sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya
pemerintah secara efektif dan efisien
untuk memenuhi kebutuhan lokal.
c. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi
sebagai bentuk penyelenggaraan negara
adalah persoalan pembagian sumber daya
dan wewenang. Pembahasan masalah ini
sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik
perimbangan sumber daya dan wewenang
yang ada pada pemerintah pusat dan
pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan
“baik” dari perimbangan ini adalah
pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-
baru ini, pandangan politik yang dianggap
tepat dalam wacana publik adalah bahwa
desentralisasi merupakan jalan yang
meyakinkan, yang akan menguntungkan
daerah. Pandangan ini diciptakan oleh
pengalaman sejarah selama masa Orde
Baru di mana sentralisme membawa
banyak akibat merugikan bagi daerah.
Sayang, situasi ini mengecilkan
kesempatan dikembangkannya suatu
diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya
desentralisasi dikembangkan di Indonesia.
Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah
“melepaskan diri sebesarnya dari pusat”
bukan “membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak
boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu
arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama,
kedua “sasi” itu adalah masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah
pusat dan pemerintah daerah akan selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak
ada rumusan ideal perimbangan. Selain
proses politik yang sukar ditentukan,
seharusnya ukuran yang paling sah adalah
argumen mana yang terbaik bagi
masyarakat.
D. Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan
yang namanya Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya
akan membahas sedikit mengenai APBD.
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas
dari kemampuan bidang keuangan yang
merupakan salah satu indikator penting dalam
menghadapi otonomi daerah. Kedudukan faktor
keuangan dalam penyelenggaraan suatu
pemerintah sangat penting, karena pemerintahan
daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya
dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup
untuk memberikan pelayanan pembangunan dan
keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar
kriteria untukmengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Suatu daerah
otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam
membiayai kegiatan pemerintah daerahnya
dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah
pusat mempunyai proposal yang lebih kecil dan
Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian
yang terbesar dalammemobilisasi dana
penyelenggaraan pemerintah daerah. Oleh karena
itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak
ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah demi
mewujudkan tingkat kemandirian dalam
menghadapi otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai
pernyataan mengenai estimasi kinerja yang
hendak dicapai selama periode waktu tertentu
yang dinyatakan dalam ukuran
finansial,sedangkan penganggaran adalah proses
atau metode untuk mempersiapkan suatu
anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai
berikut ,anggaran publik merupakan suatu
dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan
dari suatu organisasi yang meliputi informasi
mengenai pendapatan belanja dan aktifitasSecara
singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik
merupakan suatu rencana finansial yang
menyatakan :
Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/
belanja),dan
Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk
mendanai rencana tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003
tentang keuangan Negara disebutkan bahwa APBD
adalah rencana keuangan tahunan pemerintah
daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP
No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan
Daerah disebutkan bahwa APBD adlah rencana
keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di
bahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan,
pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial
ekonomi diharapkan dapat menjamin
digunakannya sumber-sumber daya pemerintah
secara efektif dan efisien untuk memenuhi
kebutuhan lokal.
E. Dampak Otonomi Daerah
Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan
otonomi daerah makapemerintah daerah akan
mendapatkan kesempatan untuk menampilkan
identitas lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya
wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yangberada di daerahnya
sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak
daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkanpemerintah lokal mendorong
pembangunan daerah serta membangun program
promosikebudayaan dan juga pariwisata.
Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya
kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah daerah
untuk melakukan tindakan yang dapat
merugikaNegara dan rakyat seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-
kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi
Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar
daerah satu dengan daerah tetangganya, atau
bahkandaerah dengan Negara, seperti contoh
pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi ditingkat
daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system
otonomi daerah maka pemerintahpusat akan lebih
susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah,
selain itu karena memang dengan sistem.otonomi
daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak
begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan
korupsi dengan APBD :
1) Korupsi Pengadaan Barang Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai
barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam
proses tender.
2) Penghapusan barang inventaris dan aset
negara (tanah)
Modus :
- Memboyong inventaris kantor untuk
kepentingan pribadi.
- Menjual inventaris kantor
untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran
gaji, keniakan pangkat, pengurusan
pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar
ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang bantuan sosial dan
subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti
asuhan dan jompo)
Modus :
- Pemotongan dana bantuan sosial b.
Biasanya dilakukan secara bertingkat
(setiap
meja).
5) Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif
seolah-olah ada bantuan dari pemerintah
ke pihak luar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka
setiap daerah akan diberi kebebasan dalam
menyusun program dan mengajukannya kepada
pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan
berdampak positif dan bisa memajukan daerah
tersebut apabila Orang/badan yang menyusun
memiliki kemampuan yang baik dalam
merencanan suatu program serta memiliki analisis
mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi
dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan
berdamapak kurang baik apabila orang /badan
yang menyusun program tersebut kurang
memahami atau kurang mengetahui mengenai
bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik
serta analisis dampak yang akan terjadi.
B. Saran
Analisis Langkah-Langkah Yang Harus Diambil
Pemerintah Dalam Mengontrol Otonomi Daerah:
Merumuskan kerangka hukum yang memenuhi
aspirasi untuk otonomi di tingkat propinsi dan sejalan
dengan strategi desentralisasi secara bertahap.
Menyusun sebuah rencana implementasi
desentralisasi dengan memperhatikan faktor-faktor
yang menyangkut penjaminan kesinambungan
pelayanan pada masyarakat,perlakuan perimbangan
antara daerah-daerah,dan menjamin kebijakan fiskal
yang berkelanjutan.
Untuk mempertahankan momentum
desentralisasi,pemerintah pusat perlu menjalankan
segera langkah desentralisasi,akan tetapi terbatas pada
sektor-sektor yang jelas merupakan kewenangan
Kabupaten dan Kota dan dapat segera diserahkan.
Proses otonomi tidak dapat dilihat sebagai semata-
mata tugas dan tanggung jawab dari menteri negara
otonomi atau menteri dalam negeri,akan tetapi
menuntut koordinasi dan kerjasama dari seluruh
bidang dalam kabinet (Ekuin,Kesra & Taskin, dan
Polkam).
Upaya Yang Menurut Saya harus Dilakukan
Pejabat Daerah Untuk Mengatasi Ketimpangan
Yang Terjadi :
Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu
sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi
ke daerah.
Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik
warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan
politik dan keberadaan organisasi swadaya
masyarakat, media massa dan lainnya.
Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan
jujur.
Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat.
Dan yang paling penting pejabat harus tahu prinsip-
prinsip otonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di
Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah,
Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal
Dan Tantangan Global, Jakarta, Rhineka Cipta.
http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-
perkembangan-otonomi-daerah-di.html

Anda mungkin juga menyukai