Anda di halaman 1dari 14

BAB I

LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan Negara dengan angka kematian ibu dan perinatal


tertinggi. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh WHO, diketahui kasus kematian
ibu sebanyak 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2008. Menurut Survey
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), dikteahui bahwa angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia berada pada peringkat ke 12 dari 18 negara anggota ASEAN dan
SEARO (South East Asian Nation Regional Organization) dan dilaporkan angka
kematian ibu mengalami penurunan dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
1994 menjadi 225 per 100.000 pada tahun 1999, dan menurun lagi menjadi 125 per
100.000 pada tahun 2010. Menurut WHO (2005), penyebab kematian maternal
termasuk perdarahan, infeksi, eklampsia, persalinan macet dan aborsi tidak aman.
Penyebab kematian ibu di Indonesia dikenal dengan trias klasik yakni perdarahan,
preeclampsia/eklampsia, dan infeksi. Dimana dari 536.000 kematian maternal di dunia,
25 % oleh karena perdarahan 15% infeksi dan 12% preklampsia.1

Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang


berkomplikasi sekitar 5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus
yang paling umum di dunia, dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun
perkembangan terbaru menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi
manifestasinya terutama perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi
endotel. Pada ibu dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan
thrombocytopenia (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke,
penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan
persalinan preterm, hipoksia neurogenik, dan kematian.1

Sindrom HELLP adalah komplikasi berat pada Kehamilan ditandai dengan


hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombositopenia. Istilah sindrom HELLP
pertama kali dicetuskan oleh Weinstein pada Tahun 1982 sebagian penderita hanya
terdapat 1atau 2 tanda dari sindrom ini, yang disebut sebagai sindrom HELLP Parsial
(SHP). Kasus ini sering ditemukan pada trimester kedua (15%), trimester ketiga
(50%), sebelum persalinan atau periode pascapersalinan hingga 48 jam setelahnya.
Sindrom HELLP adalah komplikasi dari preeklampsia berat yang sering tak terdeteksi
dan progresif.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
HELLP sindrom merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-
tanda adanya hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang
diakibatkan disfungsi endotel sistemik. Keadaan ini merupakan salah satu
komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko partus preterm, hambatan
pertumbuhan janin.

2.2 Epidemiologi
Insidens Sindrom HELLP pada kehamilan berkisar antara 0,2-0,6 %, 4-
12% pada preeklampsia berat, dan menyebabkan mortalitas maternal yang cukup
tinggi (24 %), serta mortalitas perinatal antara 7,7%-60%. Sindroma HELLP dapat
timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah
melahirkan.2,3
Sindrom HELLP terjadi pada ± 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan,
preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP
berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi,
diagnosis sindrom ini sering terlambat. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda
dengan preeklampsi.4

Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna
lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi
tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih
tinggi pada populasi kulit putih dan multipara. Penulis lain juga mempunyai
observasi serupa. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga, walaupun
pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu; di masa antepartum
pada sekitar 69% pasien dan di masa postpartum pada sekitar 31%. Pada masa
post partum, saat terjadinya dalam waktu 48 jam pertama post partum.4
2.3 Etiologi
Sampai saat ini etiologi yang pasti belum diketahui. Penyebab sindrom
HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit multisistem
ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai
sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya
merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler yang akibatnya terjadi
vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan
endotel. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia.2
Terdapat 4 hipotesa patogenesis dari preeklampsia, sebagai berikut :

1. Iskemia Plasenta.
Peningkatan deportasi sel trofoblast yang menyebabkan kegagalan invasi ke
arteri spiralis dan akan mengakibatkan iskemia pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun.
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
trofoblast pada arteri spiralis, dan terjadinya disfungsi endotel di picu oleh
pembentukkan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetik Inpreting.
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif
tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin.
4. Perbandingan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) dan TxPA (Toxicity
Preventing Activity).
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak
non esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin
yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non esterifikasi dari jaringan
lemak kedalam hepar akan menurunkan aktifitas antitoksin albumin sampai
pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA
maka efek toksik dari VLDL akan muncul.

2.4 Patogenesis
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang
ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler,
vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor
pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan
selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi
hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi
saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin.
Pada sediaan hapusan darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular
cells dan burr cells. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat
obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini
menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi
perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis
periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering
ditemukan.4,5
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau
destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai
suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai
parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial
thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal.
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya sindrom HELLP yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.6

2.5 Gejala Klinis


Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat
bervariasi, dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada
pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan
nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan
muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien
(90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda
lain.
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium
diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh
deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan
peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang
penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik160 mmHg, diastolic 110 mmHg)
tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk
(1986) mempunyai tekanan darah diastolik 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah
diastolik 90 mmHg.

2.6 Diagnosis
Diagnosis Sindroma HELLP secara obyektif lebih berdasarkan hasil
laboratorium, sedangkan manifestasi klinis bersifat subyektif, kecuali jika keadaan
sindroma HELLP semakin berat. Berdasarkan hasil laboratorium dapat ditemukan
anemia hemolisis, disfungsi hepar, dan trombositopenia.5
Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,
mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus). Ada tanda dan
gejala preeklampsia. Sampai saat ini diagnosis Sindrom HELLP lebih berdasarkan
parameter laboratorium, dan parameter yang digunakan selama ini lebih
mengarah pada keadaan sindrom HELLP lanjut, dimana morbiditas dan mortalitas
ibu maupun janin cukup tinggi.

Sindrom HELLP ditandai:


1. Hemolisis
Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara
laboratorium adanya Burr cells pada apusan darah tepi.2,3
2. Elevated liver enzymes
Dengan meningkatnya SGOT, SGPT (> 70 iu) dan LDH (> 600 iu) maka
merupakan tanda degenerasi hati akibat vasospasme luas. LDH > 1400 iu,
merupakan tanda spesifik akan kelainan klinik.2,3
3. Low platelets
Jumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi intravaskuler.
Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan
kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis
mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan
dalam mendiagnosis hemolisis.2,3

Tabel 1. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee, Memphis)

Hemolisis
-kelainan hapusan darah tepi
-total bilirubin >1,2 mg/dl
-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
-serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
-hitung trombosit < 100.000/mm
Temuan patologis.4
• Eritrosit
Terjadi kerusakan eritrosit, mengalami fragmentasi dapat dilihat pada darah tepi.
• Trombosit
o Umur trombosit normal : 8 – 10 hari. Pada preeklmpasia umur trombosit
menjadi : 5 – 8 hari.
o Pada sindrom HELLP, umur trombosit makin memendek, disertai peningkatan
kerusakan trombosit dan agregasi trombosit pada lapisan sel endotel.
o Kerusakan trombosit akan menghasilkan tromboxan, vasokonstriktor kuat.
• Gangguan ginjal
o Sindrom HELLP dapat menimbulkan gangguan ginjal yang lebih bervariasi
dari sekedar kenaikan kreatinin serum sampai terjadi gagal ginjal akut yang
reversibel (acute tubular necrosis) maupun yang ireversibel (cortical
necrosis)
o Perubahan ginjal pada sindrom HELLP adalah pembesaran glomerulus,
adanya butir-butir fibrin pada lapisan epitel, dan pembengkakan sel endotel,
sehingga terjadi penyempitan kapiler glomerulus.

2.7 Penatalaksanaan
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier
dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia.
Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya
kelainan pembekuan darah.

Prinsip penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia


penatalaksanaan preeklampsia antara lain.4,5:

1. melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah


2. mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan janin
terhambat, hipoksia sampai kematian janin)
4. melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera mungkin
setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau ibu akan lebih
berat jika persalinan ditunda lebih lama.

Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah


kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis
awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai
produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4 Jika
terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.

Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110
mmHg di samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko
perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya
mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang
sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg
(dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai.
Labetalol, Normodyne dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik.
Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan
bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat
digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai
pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko
perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk
segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain
merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang
kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan
memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit),
menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan.
Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian
besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35
minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam
kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa
bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2
dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48
jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama
periode ini.
Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat
meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau
25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena
meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah
trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau
betametason.
Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan
dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat
diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup, pasien-
pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm atau mempunyai
enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan
kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil
laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan
betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat
pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang
diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih
cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin
yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi.
Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid
dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang
dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta
produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang
mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus
diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur
kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti
induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat
untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan <
32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah
persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang karena
pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan,
pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan
membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat
terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan
pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.
Penanganan sindrom HELLP post partum sama dengan pasien sindrom
HELLP antepartum, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus
lebih ketat.
Tabel 2. Penanganan Sindrom HELLP

Pemberian diuretik tidak dilakukan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemid. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.7
2.8 Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, edema paru, hematom subkapsular, dan ruptur
hati. Terhadap janin komplikasi yang dapat terjadi yaitu kematian janin dalam
rahim, kematian neonatus, lahir prematur dan nilai apgar score yang rendah.
Risiko untuk terjadinya sindrom HELLP pada kehamilan berikutnya ± 14-27 %
sedangkan risiko untuk penderita PEB pada kehamilan berikutnya ± 43%..9
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta,
hipoksi intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan
pernapasan (RDS). Kematian ibu bersalin cukup tinggi yaitu 24 %. Penyebab
kematian dapat berupa : kegagalan kardiopulmuner, gangguan pembuluh darah,
perdarahan otak, ruptur hepar, kegagalan organ multipel. Kematian perinatal
cukup tinggi, terutama disebabkan oleh persalinan preterm.7,9
Angka kejadian DIC pada sindroma HELLP sekitar 15%. Hellegren dkk
menggunakan sistem skoring untuk mendiagnosis DIC adalah sebagai berikut :
1. jumlah trombosit < 100 000
2. pemanjangan waktu protrombin ( 14 det) dan tromboplastin parsial ( 40
det)
3. kadar fibrinogen  300 mg/dl
4. fibrin split product + (>40 mg/L) atau D-Dimer ( 40 mg/L)
5. aktivitas anti-trombin III < 80 %
Bila didapat 3 kelainan tersebut adalah merupakan diagnosis DIC dan
jika ditemukan 2 kelainan dicurigai suatu DIC. Menurut Sibai diagnosis DIC jika
didapatkan trombositopeni, fibrinogen < 300, FDP > 40 ug/dl. (Peningkatan
trombin time) .10 .
2.9 Prognosis

Kematian ibu bersalin pada sindrom HELLP cukup tinggi yaitu 24%.
Penyebab kematian dapat berupa kegagalan kardiopulmoner, gangguan
pembekuan darah, perdarahan otak, ruptur hepar, dan kegagalan organ multipel.7
Nyaris tidak diragukan lagi bahwa perempuan yang mengalami
preeklampsia dengan komplikasi sindrom HELLP memiliki prognosis yang lebih
buruk dibandingkan mereka yang tidak mengalami komplikasi ini. Dalam ulasan
mereka terhadap 693 perempuan dengan sindrom HELLP, Keisser dkk (2009),
melaporkan 10 persen diantaranya mengalami eklampsia. Sep dkk,(2009) juga
mengambarkan risiko komplikasi yang meningkat secara bermakna pada
perempuan dengan sindrom HELLP dibandingkan dengan perempuan yang
mengalami preeklampsia saja. Komplikasi-komplikasi yang mereka laporkan
melliputi eklampsia 15 persen, persalinan kurang bulan 93 persen, dan angka
kematian perinatal 9-4%.7

Anda mungkin juga menyukai