Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem kemih seluruhnya terletak di bagian retroperitoneal sehingga proses

patologi, seperti obstruksi, radang dan pertumbuhan tumor, terjadi di luar rongga

abdomen, tetapi gejalanya dan tandanya mungkin tampak di perut menembus

peritoneum parietal belakang. Gejala dan tanda jarang disertai tanda rangsang

peritoneum. (Jong, 2009)

Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan

zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah ditemukan batu pada

kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh

dunia tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak

sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai

pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit

batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan

aktivitas pasien sehari-hari. (Purnomo, 2012)

World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi

diabetes mellitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millennium ketiga

ini, termasuk negara di Asia Tenggara, diantaranya Indonesia. Sebagian besar dari

penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40% dari pasien DM terdapat keterlibatan

ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetic (PGD)

juga akan mengalami peningkatan di era awal abad 21 ini. Pada decade ini juga, di

banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak dari pasien baru
2

yang menjalani terapi pengganti ginjal, keadaan yang sama sudah mulai juga

kelihatan di Indonesia. (Lubis, 2010).


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BATU SALURAN KEMIH

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan

gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi

dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara

epodemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu

saluran kemih pada seseorang. Faktor itu meliputi faktor intrinsik, yanitu

keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu

pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya. (Purnomo, 2012)

Faktor intrinsik itu antara lain adalah:

1. Herediter (keturunan): penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.

2. Umur: penyakit ini yang paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.

3. Jenis kelamin: jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak

dibandingkan dengan pasien perempuan. (Purnomo, 2012)

Beberapa faktor ekstrinsik di antaranya adalah:

1. Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu

saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal

sebagai daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di Afrika

Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.

2. Iklim dan temperatur.


4

3. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium

pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran

kemih.

4. Diet: diet banyak purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya

penyakit batu saluran kemih.

5. Pekerjaan: penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya

banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life. (Purnomo, 2012)

Secara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama

pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis

urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan

bawaan pada pelvikalises (stenosis uretero-pelvis), divertikel, osbtruksi

infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura dan buli-

buli neurogenic merupakan keadaan yang memudahkan terjadinya

pembentukan batu. (Purnomo, 2012)

Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organic

maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut tetap

berada dalam keadaan metastable (tetap larut) dalam urine jika tidak ada

keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.

Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu

(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-

bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya

cukup besar, agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu

saluran kemih. Untuk itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih
5

(membentuk retensi kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada

agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat

saluran kemih. (Purnomo, 2012)

Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di

dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine, laju aliran urine di dalam

saluran kemih, atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang

bertindak sebagai inti batu. Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas

batu kalsim, baik yang berikatan dengan oksalat maupun dengan fosfat,

membentuk batu kalsium oksalat dan kalsium fosfat; sedangkan sisanya

berasal dari batu asam urat, batu magnesium ammonium fosfat (batu infeksi),

batu xanthyn, batu sistein, dan batu jenis lainnya. Meskipun pathogenesis

pembentukan batu-batu di atas hampir sama, tetapi suasana di dalam saluran

kemih yang memungkinkan terbentuknya jenis batu itu tidak sama. Data

mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting

untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.

(Purnomo, 2012)

Batu yang sering terbentuk dalam urine yang bersifat asam terdiri dari

kalsium oksalat, kristal asam urat, atau sistin. Sekitar dua per tiga dari semua

jenis batu ginjal adalah jenis kalsium oksalat. Hiperkalsiuria idiopatik

merupakan suatu faktor predisposisi yang paling penting. Diuretic tiazid

mengurangi ekskresi kalsium dan sangat efektif untuk mencegah rekurensi.

(Price dan Wilson, 2006).


6

Batu sistin jarang terbentuk dan berhubungan dengan gangguan transport

pada tubulus ginjal yang herediter; gangguan ini melibatkan asam amino

tertentu. Sistin (produk metabolit dari metionin) merupakan asam amino

alami yang paling sukar larut. Kelebihan ekskresi sistin (sistinuria) dalam

urine yang asam akan mengakibatkan terbentuknya urolitiasis sistin.

Pengobatan gangguan ini ditujukan langsung untuk pemulihan keadaan yang

menjadi faktor resiko, misalnya banyak minum, pemberian bikarbonat atau

asetazolamid (Diamox) untuk mempertahankan pH urine diatas 7,5. Diet

rendah garam dapat mengurangi ekskresi sistin sebesar 40%. (Price dan

Wilson, 2006).

Hiperurisemia yang dapat menyebabkan kristalisasi asam urat sangat

berbahaya bagi pasien kanker dan leukemia yang mendapat obat-obatan

sitotoksik. Asam urat terutama terbentuk sebagai hasil akhir metabolism

nucleoprotein. Dengan meningkatnya proliferasi dan destruksi sel maka

terjadi peningkatan asam urat yang sebanding sebagai akibat proses degradasi

nucleoprotein sel. Dokter mungkin menganjurkan penggunaan natrium

bikarbonat atau sitrat untuk alkalinisasi urine. Untuk mencegah kristalisasi

asam urat dalam tubulus ginjal dan interstisial serta mencegah obstruksi yang

ditimbulkannya, perlu dianjurakan minum cairan yang banyak terutama

sebelum tidur ketika urine cenderung menjadi lebih asam. Beberapa jenis

makanan yang membantu alkalinisasi urine adalah susu, sayuran, dan buah-

buahan (kecuali buah plum kering, buah plum segar, dan cranberry). (Price

dan Wilson, 2006).


7

Batu yang sering terbentuk dalam urine yang basa terdiri dari kalsium

fosfat atau magnesium fosfat atau magnesium ammonium fosfat (batu tripel

fosfat atau struvit). Kalsium fosfat atau oksalat sering ditemukan pada batu

tripel fosfat. Batu tripel fosfat sering dihubungkan dengan infeksi saluran

kemih, terutama disebabkan oleh organisme yang dapat memecah urea. Batu-

batu ini kadang-kadang memenuhi seluruh sistem pevis-kaliks. Baru seperti

ini sering disebut sebagai batu “staghorn” (tanduk rusa) karena bentuknya,

dan batu ini harus diangkat melalui operasi. Sebanyak 90% dari semua batu

mengandung kalsium sehingga hiperkalsiuria merupakan faktor predisposisi

yang penting. Hiperkalsiuria berkaitan dengan hiperparatiroidisme, asidosis

tubulus ginjal, dan imobilisasi yang lama, semuanya berkaitan dengan

mobilisasi garam kalsium dari tulang. Daging, roti, makanan berprotein, jus

cranberry, plum kering dan plum segar cenderung membentuk urine asam

sehingga dapat membantu mencegah pembentukan batu-batu ini. Dokter

mungkin menganjurkan obat seperti metenamine mandelat (Mandelamine)

untuk mengasamkan urine pada kasus infeksi saluran kemih yang menetap.

Faktor yang terpenting untuk mencegah semua batu tanpa memandang zat

penyusunnya adalah minum air yang banyak hingga cukup untuk

menghasilkan urine sebanyak 2,5 sampai 3 liter per hari. (Price dan Wilson,

2006).
8

B. PENYAKIT GINJAL DIABETIK

Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti

terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut

maupun kronik, dan juga berbagai glomerulonephritis, yang selalu disebut

sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi yang

terbanyak dan terkait secara pathogenesis dengan diabetesnya adalah PGD,

yang secara klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson pada

tahun 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus. (Lubis, 2010)

Diagnosis PGD dimulai dan dikenalinya albuminuria pada pasien DM,

baik tipe 1 maupun tipe 2. Bila jumlah protein/albumin di dalam urin masih

sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang

biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun >20 ug/menit, disebut juga

sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap sebagai nefropati insipient.

Derajat albuminuria/proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya

terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai

albumin/kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi albumin/protein dalam

urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti

terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat Kerusakan Ginjal yang Dihubungkan dengan Ekskresi


Albumin/Protein dalam Urin
Kategori Kumpulan urin 24 Kumpulan urin Urin sewaktu
jam (mg/24 jam) sewaktu (µg/min) (µg/mg creat)
Normal < 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299
Albuminuria > 300 > 200 > 300
klinis
9

Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi dalam tahapan

berikut.

a. Tahap I

Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40% diatas normal yang disertai

pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah

biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0-5 tahun

sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian

glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fugnsi maupun struktur ginjal

akan normal kembali.

b. Tahap II

Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes tegak, saat perubahan

struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria

hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress, atau

kendali metabolic yang memburuk. Keadaan ini dapar berlangsung lama.

Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresifitas

biasnaya terkait dengan memburuknya keadaan metabolic. Tahap ini

disebut sebagai tahap sepi (silent stage).

c. Tahap III

Ini adalah tahap awal nefropati (incipient diabetic nefropathy), saat

mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun

didiagnosis diabetes tegak. Secara histopatologis juga telah jelas

penebalan membrane basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan

tekanan sudah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan ini dapat
10

bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah

dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.

d. Tahap IV

Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetic bermanifestasi secara

klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan

darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun di bawah normal.

Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain

sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil

lemak, dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal

hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak

darah, dan tekanan darah.

e. Tahap V

Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah

sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan

memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialysis maupun

cangkok ginjal. (Lubis, 2010).

C. PERSIAPAN PRE OPERATIF PADA PASIEN DENGAN DIABETES

MELITUS

Penderita diabetes mengalami stress yang bermakna selama periode

perioperative dan diperkirakan mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas

50% lebih tinggi daripada pasien nondiabetik. Penderita diabetes lebih

banyak menderita komplikasi infeksi dan mengalami gangguan penyembuhan


11

luka. Sering ditemukan penyakit vascular, seperti penyakit arteri coroner.

Penyakit yang kadang tanpa gejala ini harus dipertimbangkan karena infark

miokard dengan gejala tidak khas sering menjadi penyebab utama kematian

perioperatif. (Jong, 2009)

Evaluasi meliputi penilaian komplikasi kronik diabetes dan status kadar

gula terakhir. Kondisi komorbid yang sering menyertai seperti penyakit

kardiovaskular dan ginjal harus disingkirkan. Secara umum, glukosa darah

harus terkendali sebelum pembedahan terencana. Kadar gula darah harus

diperiksa sesaat sebelum memasuki ruang operasi dan selama di bawah

anastesi umum untuk mencegah hiperglikemia dan hipoglikemia yang tidak

diketahui. Bukti mutakhir menunjukkan hasil yang baik pada pasien dalam

keadaan kritis yang mendapat terapi insulin intensif untuk mempertahankan

kadar gula antara 80-110 mg/dL. Asidosis, ketidakseimbangan elektrolit,

hypokalemia, dan kekurangan cairan prabedah pada pasien diabetes yang

tidak terkendali dan disertai ketoasidosis diabetic yang memerlukan

pembedahan darurat, harus segera diatasi. Pasien diabetes yang gula darahnya

terkendali dengan pengaturan diet dapat dipertahankan dengan aman tanpa

makanan atau infus glukosa prabedah. (Jong, 2009)

Pasiend diabetes yang menggunakan obat hipoglikemik harus

melanjutkan pengobatannya semalam sebelum pembedahan terencana. Pasien

yang minum obat kerja-lama seperti klorpropamid atau gliburid harus

menghentikan terapinya 2-3 hari sebelum pembedahan. Pasien yang dalam


12

keadaan normal mendapat insulin tetap diberi insulin, dan glukosa prabedah

untuk mencegah ketosis dan katabolisme. (Jong, 2009)

Pasien yang menjalani operasi mayor harus diberi satu setengah dari

dosis insulin pagi mereka dan dekstrosa 5% intravena dengan dosis 100-125

mL/jam. Selanjutnya insulin dapat diberikan secara subkutan menurut sliding-

scale atau infus insulin yang berpandu pada pengukuran kadar glukosa darah

berkala (setiap 4-6 jam). Pompa insulin subkutan harus dimatikan pada pagi

hari pembedahan. Pengendalian glukosa darah pada pasien kritis seperti ini

paling baik dikendalikan dengan infus insulin. (Jong, 2009)

D. PENYULIT PASCA BEDAH PADA PASIEN DENGAN DIABETES

MELITUS

Penderita diabetes mellitus yang mengalami pembedahan harus mendapat

perhatian khusus karena adanya kelainan homeostasis glukosa pada darah,

jika tidak ditangani, hal ini akan mengakibatkan ketoasidosis dan jika

penanganan berlebihan, akan timbul hipoglikemia. (Jong, 2009)

Anastesia dapat berpengaruh pada metabolism glukosa, yaitu

mengakibatkan hiperglikemia akibat adanya pemecahan glikogen menjadi

glukosa. Oleh karena bertambahnya sekresi epinefrin dan hormone anabolic

lain pada pembedahan, terjadi peningkatan proses pemecahan glikogen

menjadi glukosa di hati. Dengan bertambahnya glukosa dalam darah,

kebutuhan akan insulin pun bertambah. Pasien diabetes mellitus harus diberi

kesempatan dioperasi lebih dulu untuk mengurangi efek puasa dan ketosis.
13

Anastesia spinal cenderung lebih jarang menyebabkan hiperglikemia. (Jong,

2009)

Pengobatan harus dilakukan untuk mencegah ketoasidosis, koma

nonketotik hyperosmolar, menurunnya curah jantung, gangguan

keseimbangan elektrolit, penurunan kemampuan fagositosis, dan gangguan

penyembuhan luka yang semuanya berhubungan dengan diabetes mellitus

yang tidak terkendali. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang sangat

diperlukan penderita diabetes mellitus adalah Hb dan leukosit, urin, gula

darah dan EKG. Terapi terdiri atas infus insulin dan memperbaiki keadaan

umum. Dehidrasi harus diatasi dan gangguan elektrolit harus diseimbangkan

kembali. Terapi non ketotik pada koma hiperglikemik hyperosmolar terdiri

atas pemberian cairan hipotonik dan infus insulin. (Jong, 2009)

E. TATALAKSANA

Penatalaksanaan batu saluran kemih harus tuntas sehingga bukan hanya

mengeluarkan batu saja, tetapi harus disertai dengan terapi penyembuhan

penyakit batu atau paling sedikit disertai dengan terapi pencegahan. Hal ini

karena batu sendiri hanya merupakan gejala penyakit batu sehingga

pengeluaran batu dengan cara apapun bukanlah merupakan terapi yang

sempurna. Selanjutnya, perlu juga diketahui bahwa pengeluaran batu baru

diperlukan bila batu menyebabkan gangguan pada saluran air kemih. Bila

batu ternyata tidak memberi gangguan fungsi ginjal, batu tersebut tidak perlu

diangkat, apalagi misalnya pada batu ureter diharapkan batu dapat keluar
14

sendiri. Penangannya dapat berupa terapi medis dan simptomatik atau dengan

bahan pelarut. Dapat pula dengan pembedahan atau dengan tindakan yang

kurang invasive, misalnya nefrostomi perkutan, atau tanpa pembedahan sama

sekali dengan gelombang kejut. (Jong, 2009)

Terapi medis batu saluran kemih berusaha mengeluarkan batu atau

melarutkan batu. Pengobatan simptomatik mengusahakan agar nyeri,

khususnya kolik, yang terjadi menghilang dengan pemberian simpatolitik.

Selain itu, terutama untuk batu ureter yang dapat diharapkan keluar dengan

sendirinya, dapat diberikan minum berlebihan serta diuretik. Produksi air

kemih yang lebih banyak diharapkan dapat mendorong dan mengeluarkan

batu. Batu ureter ini ialah batu yang tidak mengganggu saluran kemih,

termasuk ginjal dan ukurannya kurang dari setengah sentimeter. Jenis batu

yang dapat dilarutkan adalah dari jenis batu asam urat. (Jong, 2009)

Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotripsor, alat

gelombang kejut, atau bila cara nonbedah tidak berhasil. Batu ginjal yang

terletak di kaliks selain oleh indikasi umum, perlu diperlukan tindak bedah

bila terdapat hidrokaliks. Batu sering ahrus dikeluarkan melalui nefrolitotomi

yang tidak gampang karena batu biasanya tersembungi di dalam kaliks. Batu

pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi atau

menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya batu pelvis terlebih lagi yang

berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal. Operasi

untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi, sedangkan untuk

bentuk tanduk rusa dengan pielolitotomi yang diperluas. (Jong, 2009)


15

Berikut gambaran skematis tahapan tindakan operasi pada

nephrolithiasis.

Ureter

Gambar 1. Kompartemen ginjal telah dibuka. Identitikas ureter.


(Masquelet, 2005)

Gambar 2. Diseksi ureter sehingga dapat mengakses ke pelvis renalis.


(Masquelet, 2005)
16

Gambar 3. Insisi pelvis renalis.


(Masquelet, 2005)

Gambar 4. Pengeluaran batu.


(Masquelet, 2005)
17

BAB III

REFLEKSI KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. Marhumah Pekerjaan : URT

Umur : 63 tahun Tanggal masuk : 10/12/2016

JK : Perempuan Ruangan : Teratai

Alamat : Jl. Anoa Rumah Sakit : Undata

II. ANAMNESIS

Keluhan utama :

Nyeri saat BAK

Anamnesis terpimpin :

Pasien baru masuk dengan keluhan nyeri saat buang air kecil dirasakan sejak

+2 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan

pada pinggang kanan hingga menjalar ke selangkangan sebelah kanan,

dialami saat buang air kecil dan kadang hilang timbul saat beraktivitas, tetapi

belakangan nyeri dirasakan terus menerus. Riwayat demam tidak ada, mual

dan muntah tidak ada. Buang air kecil warna merah seperti air cucian daging,

frekuensi sering dan keluar sedikit-sedikit. Buang air besar lancar.

Riwayat penyakit sebelumnya :

Riwayat Diabetes Melitus Type II (+), diketahui sejak + 5 tahun yang lalu,

rutin konsumsi obat metformin dosis 3x1 tablet.


18

Riwayat penyakit keluarga :

Riwayat Diabetes Melitus (+)

Riwayat Penyakit Jantung (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata : Sakit sedang

Tanda Vital :

TD : 130/70 mmHg Pernapasan : 22 x/menit

Nadi : 88 x/menit Suhu : 36,9 0C

Kepala : Bentuk normocephali

Conjunctiva anemis - / -

Sclera ikterik - / -

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax

Paru-Paru

- Inspeksi : simetris bilateral

- Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri

- Perkusi : sonor (+) pada seluruh lapang paru

- Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V midclavicula sinistra


19

- Perkusi : batas jantung normal

- Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler (+), Gallop (-),Murmur (-)

Abdomen

- Inspeksi : cembung, kesan normal

- Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal

- Perkusi : tympani (+) pada seluruh lapang abdomen

- Palpasi : Nyeri tekan (+) kuadran lumbal dextra dan inguninal

dextra

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-)

- Inferior : akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan tambahan : Nyeri ketok CVA (+/-)

IV. RESUME

Pasien perempuan umur 63 tahun masuk dengan dysuria sejak + 2 bulan

yang lalu SMRS, hematuria, dan intermitensi urin. Riwayat DM (+).

Pemeriksaan fisik ditemukan TD: 130/70 mmHg, S: 36,90C, R: 22x/menit,

N: 88 x/menit. Nyeri tekan abdomen (+) kuadran lumbal dextra dan inguinal

dextra, Nyeri ketok CVA (+/-).

V. DIAGNOSA AWAL

Suspek Nephrolithiasis Dextra


20

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah rutin

WBC 9,25 x 103/uL

RBC 3,97 x 106/uL

HGB 11,8 g/dL

HCT 35,2 %

PLT 364 x 103/uL

GDS 175,6 mg/dL

SGOT 16,4 U/L

SGPT 8,8 U/L

Creatinine 1,29 mg/dL (meningkat)

Ureum 53,2 mg/dL (meningkat)

Urinalisis

Protein (+3)

Leukosit (+3)

Eritrosit (+3)

Sedimen leukosit : penuh

Sedimen eritrosit : penuh

HbsAg : negatif
21

Ultrasonografi

Kesan:

- Nephrolith dextra disertai mild hydronephrosis

- Cystitis

CT Scan Abdomen
22

Kesan:

- Nephrolithiasis bentuk staghorn ginjal kanan dengan hydronesphrosis

ringan ginjal kanan

- Beberapa kalsifikasi mesenterial

VII. DIAGNOSIS AKHIR

Batu Staghorn ren dextra + Hydronephrosis dextra + Diabetes Melitus Tipe

II

VIII. PENATALAKSANAAN

- Tramadol tablet 5 mg 3 x 1

- Metformin tablet 5 mg 3 x 1

- Pro Nephrototomy dextra

IX. PROGNOSIS

Dubia
23

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien wanita berumur 63 tahun masuk rumah sakit dengan

keluhan dysuria, hematuria serta intermitensi urin yang dialami sejak 2 bulan yang

lalu. Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus yang baru diketahui sejak

5 tahun yang lalu, dan rutin mengkonsumsi obat oral metformin 3x1 tablet. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 130/70 mmHg, nyeri tekan abdomen

di region lumbal dextra dan inguinal dextra, serta nyeri ketok

costovertebraangular sinistra. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan

proteinuria (+3), leukosituria (+3), hematuria (+3), peningkatan kadar ureum

sebesar 53,2 mg/dL dan peningkatan kadar creatinine sebesar 1,29 mg/dL. Hasil

USG abdomen menunjukkan kesan nefrolith dextra disertai mild hydronephrosis

dan cystitis. Hasil CT Scan abdomen menunjukkan kesan nephrolithiasis bentuk

staghorn ginjal kanan dengan hydronesphrosis ringan ginjal kanan, serta beberapa

kalsifikasi mesenterial.

Berdasarkan referensi, pasien termasuk dalam penyakit ginjal diabetik tahap

2, dimana ditemukan proteinuria yang nyata pada pemeriksaan biasa, walaupun

tidak diiringi dengan peningkatan tekanan darah.

Pada pasien ini ditemukan pula batu staghorn pada ren dextra, yang

biasanya terjadi akibat infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh organisme

yang memecah urea. Infeksi saluran kemih yang mengawali terjadinya

pembentukan batu staghorn pada pasien ini, diduga akibat penyakit ginjal diabetik

yang dialaminya. Gangguan fungsi filtrasi ginjal akibat kerusakan pada struktur
24

menyebabkan urin stasis, akibatnya bakteri dapat berkembang biak dan memicu

terbentuknya batu staghorn.


25

BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai kasus ini, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut.

1. Penyakit ginjal mempunyai keterlibatan terhadap penyakit Diabetes Melitus,

termasuk sebagai faktor resiko terbentuknya batu saluran kemih yang

sebagian besar diawali dengan infeksi saluran kemih.

2. Penanganan batu saluran kemih dapat berupa terapi medis dan simptomatik

atau dengan bahan pelarut. Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat

litotripsor, alat gelombang kejut, atau bila cara nonbedah tidak berhasil.

3. Penderita diabetes lebih banyak menderita komplikasi infeksi dan mengalami

gangguan penyembuhan luka. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi

meliputi penilaian komplikasi kronik diabetes dan status kadar gula terakhir

pada saat preoperatif maupun pasca operatif.


26

DAFTAR PUSTAKA

Jong, D. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC, Jakarta.

Lubis, HR. 2010. “Penyakit Ginjal Diabetik” dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid II. Edisi V. Interna Publishing, Jakarta.

Masquelet, AC. 2005. An Antlas of Surgical Anatomy. Taylor & Francis Group,

United Kingdom.

Price, S dan Wilson, LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta.

Purnomo, BB. 2012. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. CV Sagung Seto, Malang.

Anda mungkin juga menyukai