Apoteker adalah sebuah profesi kesehatan yang diakui keberadaannya oleh UU tenaga
kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan.Para tenaga kesehatan itu masing-
masing juga berkumpul dalam sebuah organisasi profesi yang diakui keberadaannya oleh
pemerintah. IDI untuk profesi dokter, IBI untuk profesi bidan, IDGI untuk profesi dokter
gigi. Untuk apoteker tergabung dalam ISFI atau Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. Masing-
masing organisasi profesi ini punya kewenangan mengatur rumah tangganya, dan bersifat
independent. Mereka mempunyai kode etik dalam menjalankan profesinya.
Kode etik apoteker mengatur hubungan dengan sesame apoteker dan tenaga kesehatan lain
dan juga dalam berpraktek profesi. Sebelum apoteker berpraktek profesi di apotek, RS,
Industri dan lain bidang akan mencari surat rekomendasi untuk menjalankan praktek
profesinya. Apoteker dengan apoteker lain menurut kode etik adalah saudara sekandung yang
mestinya adalah saling melindungi, tetapi kenyataan di lapangan bukannya saling melindungi
tetapi saling “jagal menjagal”.terutama apoteker yang berpraktek profesi di Komunitas
(apotek). Apoteker akan tertawa melihat apotek saudara sekandungnya tutup karena kalah
bersaing dalam bisnis apotek. Hal ini karena apoteker tidak independent dalam berpraktek
profesi di apotek. Masih ada satu faktor yang menghalangi yaitu factor PSA (Pemilik Sarana
Apotek). Tidak semua apotek milik apoteker. Dan memang profesi apoteker adalah profesi
yang sangat dekat dengan bisnis. Kelemahan tidak semua apotek dimiliki oleh PSA inilah
yang seringkali dimanfaatkan sedemikianrupa oleh PSA untuk mengeruk keuntungan tanpa
memperdulikan etika profesi dan organisasi profesi.
Apoteker atau ada yang menyebutnya dengan farmasis merupakan salah satu dari profesi
kesehatan. Kalau mendengar kata apoteker, barang kali yang terlintas dalam banyak benak
orang adalah apotek karena memang kata yang terakhir ini sudah sangat dikenal luas. Untuk
menjadi seorang apoteker, maka setelah menamatkan sekolah menengah atasnya (SMU atau
SMF / Sekolah Menengah Farmasi atau yang sederajat), seseorang harus melanjutkan
pendidikannya ke perguruan tinggi dengan memilih jurusan/ program studi FARMASI.
Lamanya pendidikan di program studi ini adalah selama 4 tahun atau 8 semester. Setelah
menyelesaikan studi yang setara dengan Strata 1 / S1 ini dan mendapatkan gelar Sarjana (
sekarang sarjana farmasi ), maka langkah selanjutnya adalah mengambil kuliah profesi
selama 1 tahun atau 2 semester. Baru setelah kuliah profesi ini diselesaikan, seseorang berhak
menyandang profesi apoteker yang sebelumnya harus mengucapkan sumpah profesi di
hadapan pemuka agama yang didatangkan dari instansi berwenang.
Selama menempuh pendidikan di bangku kuliah, baik untuk tingkat sarjana maupun
profesi, seseorang akan lebih banyak mempelajari tentang obat dan segala sesuatu yang
1
terkait dengannya. Mulai dari bahan baku obat, proses pembuatan obat menjadi produk obat
yang bisa digunakan oleh masyarakat, kegunaan atau khasiat obat, cara penggunaan obat,
efek samping dari obat, dan lain sebagainya. Pendek kata segala sesuatu yang berkaitan
dengan obat dipelajari sebelum menyandang profesi apoteker. Sehingga apoteker merupakan
profesi yang seharusnya memiliki pengetahuan yang paling luas tentang obat.
Dimanakah profesi apoteker bisa dijumpai? Sesuai dengan peraturan tentang kefarmasian,
maka profesi ini bisa mengabdikan profesinya di beberapa tempat. Tempat yang paling
banyak menampung apoteker adalah apotek. Sesuai dengan peraturan pemerintah, apotek
harus dibawah tanggung jawab seorang apoteker. Di Indonesia, satu apotek pada umumnya
memiliki satu apoteker, kecuali pada beberapa apotek besar. Berbeda dengan di Jepang
dimana dalam satu apotek bisa terdapat 10 atau lebih apoteker tergantung pada besar kecilnya
apotek. Di apotek Indonesia, dalam menjalankan tugasnya, seorang apoteker dibantu oleh
beberapa tenaga teknis seperti asisten apoteker (lulusan SMF atau Akademi Farmasi), juru
racik ,kasir atau tenaga lainnya. Di tempat ini seharusnya apoteker lebih banyak
berkomunikasi dengan pasien yang menebus obat. Kenapa komunikasi apoteker sebagai
tenaga ahli di bidang obat dengan pasien diperlukan? Jawabannya adalah karena banyaknya
persoalan-persoalan yang terkait dengan obat. Mulai dari aturan penggunaan, efek samping
obat, interaksi obat, kepatuhan pasien dan lain sebagainya. Banyak penelitian yang telah
dipublikasikan terkait masalah-masalah ini. Jadi ketika kita sebagai pasien menebus obat di
apotek, ada baiknya kita meminta untuk berkonsultasi dengan apoteker. Kalau apotekernya
tidak ada di tempat, silahkan buat janji atau jika memungkinkan bisa berkomunikasi lewat
telepon dan sebagainya.
Selain di apotek, apoteker juga banyak bekerja di rumah sakit, tepatnya di bagian instalasi
farmasi. Bidang tugasnya kurang lebih sama dengan di apotek, bedanya apotek ini berada di
dalam instansi rumah sakit.
Selain itu apoteker juga bekerja di pabrik produsen obat. Sesuai dengan peraturan
pemerintah bahwa bagian produksi dan riset pabrik obat harus di bawah tanggung jawab
apoteker. Apoteker juga banyak bekerja di bidang pengawasan obat seperti Badan
Pemeriksaan Obat dan Makanan ( BPOM ). Produsen kosmetik juga menjadi lahan kerja bagi
apoteker. Karena kosmetik juga bidang studi yang dipelajari cukup luas di perguruan tinggi
farmasi. Kosmetik disamping bertujuan untuk estetika, ada juga yang bertujuan sebagai terapi
atau pengobatan.
2
Kode Etik Apoteker
MUKADIMAH
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajiban nya serta dalam
mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan
Yang Maha Esa Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam
mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu
ikatan moral yaitu :
BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Sumpah/Janji
Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker.
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada
umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
3
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Pasal 7
Pasal 8
BAB II
Pasal 9
BAB III
Pasal 10
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi
ketentuan- ketentuan Kode Etik.
Pasal 12
4
BAB IV
Pasal 13
Pasal 14
Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat
mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas
kesehatan lainnya.
BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Dalam melakukan tugas dan fungsinya, apotek mengenal beberapa istilah pelanggaran
dalam melakukan kegiatannya. Jenis pelanggaran apotek dapat dikategorikan dalam dua
macam, berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran tersebut. Kegiatan yang termasuk
pelanggaran berat apotek meliputi :
a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. Kegaiatan ini menurut
perundangan yang berlaku tidak boleh terjadi dan dilakukan. Karena komoditi dari
5
sebuah apotek, salah satunya adalah obat, dimana obat ini dalam peredarannya di atur
dalam perundangan yang berlaku.
b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. Peredaran gelap
yang dimaksud adalah golongan obat dari Narkotika dan Psikotropika.
c. Pindah alamat apotek tanpa izin. Dalam pengajuan untuk mendapatkan izin apotek,
telah dicantumkan denah dan lokasi apotek.
d. Menjual narkotika tanpa resep dokter. Ini adalah pelanggaran yang jarang terjadi. Para
tenaga teknis farmasi di apotek, biasanya sudah mengetahui apa yang harus mereka
perbuat, ketika mengahadapi resep dengan komposisi salah satunya obat narkotika.
e. Kerjasama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam menyalurkan obat kepada
pihak yang tidak berhak dalam jumlah besar. Selain dari merusak pasar, kegaiatan
seperti ini akan mengacaukan sistem peredaran obat baik di apotek, distrbutor, maupun
pabrik. Akibat yang mungkin ditimbulkan adalah kesulitan konsumen untuk memilih
obat mana yang baik dan benar karena banyaknya obat yang beredar.
f. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti pada waktu Apoteker
Pengelelola Apotek (APA) keluar daerah.
6
obat narkotika untuk keperluan stok dan resep serta sifatnya adalah cito atau butuh
cepat.
i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. Penyimpanan narkotika yang diatur dalam
Undang-Undang no 5 tahun 2009, adalah dengan menyimpan sediaan dalam lemari
terkunci, terpisah dengan obat keras lainnya, dst. Lihat disini untuk lengkapnya.
j. Resep narkotika tidak dipisahkan. Prosedur standar yang harus beberapa apotek dan
tenaga kefarmasian sudah ketahui. Salah satu kegunaan pemisahaan resep obat ini
adalah mempermudah kita dalam membuat Laporan Narkotika.
k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. Hal teknis seperti sudah
harus dapat dihindari dan diperbaiki. Karena jika hal ini terjadi, maka akan mempersulit
administrasi dari apotek tersebut dalam pengelolaan apotek.
l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui dengan jelas
asal usul obat tersebut.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik
sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan menurut
keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/
MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang
waktu masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA
disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di
Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :
Kemitraan antara Apoteker dan tenaga/staf medik lainnya di rumah sakit (dokter, dokter
gigi, perawat, bidan) sudah ada selama ini walaupun kemitraan yang ada belum sebagai
“mitra” tetapi Apoteker sering masih sebagai pembantu. Selama ini obat dalam pelayanan
kesehatan selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan
diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan seperti ini tidak lepas dari sejarah pelayanan
kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik) serta menyerahkan obat
7
kepada pasien. Hubungan interaksi langsung Apoteker dengan pasien sangat jarang dan
bahkan komunikasi antara Apoteker dengan staf medik lainnya juga sangat kurang, padahal
kemitraan dimulai dengan komunikasi yang baik. Peran dokter yang sangat sentral dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit dan adanya hambatan komunikasi antara Apoteker
dengan staf medik lainnya selama ini menyebabkan kemitraan antara Apoteker dan staf
medik masih seperti disebut diatas.
Dengan perkembangan Ilmu dan Teknologi yang begitu pesat maka terjadi pula
perubahan yang sangat mendasar dalam pelayanan kefarmasian yang tadinya menitik
beratkan pada produk berubah dengan menitik beratkan pada pasien. Perubahan pola
pelayanan kefarmasian ini dinegara-negara maju telah lama berlangsung sedangkan di
Indonesia masih sangat tertinggal bahkan sering masih dalam tingkat wacana. Karena itu
sangat diharapkan para profesi
Apoteker yang memang bekerja dalam pelayanan kefarmasian (farmasi rumah sakit, dan
farmasi komunitas) harus berani keluar dari keterkukungannya memasuki realitas baru dalam
pelayanan kefarmasian).
Pemerintah sendiri telah menyadari kenyataan ini sehingga berani mereposisi pelayanan
kefarmasian setara dengan pelayanan kesehatan lainnya dengan pembentukan satu Direktorat
Jenderal Pelayanan Kefarmasian di Departemen Kesehatan. Pembentukan Direktorat Jenderal
Pelayanan Kefarmasian tersebut merupakan wujud pengakuan akan pentingnya pelayanan
kefarmasian sebagai bagian yang menyatu dengan pelayanan kesehatan.
Kita berharap bahwa pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada peningkatan kualitas
hidup pasien seperti disebut diatas dapat terwujud juga di Indonesia. Pelayanan kefarmasian
yang berorientasi pada produk dan penyerahan obat kepada pasien, secara bertahap dan pasti
dapat ditinggalkan demi kebutuhan pasien dan Apoteker itu sendiri. Dalam era globalisasi ini
yang ditandai dengan perdagangan bebas antara lain AFTA, APEC dan sebagainya, maka
tidak ada lagi diskriminasi dan hambatan dalam perdagangan termasuk jasa. Hambatan hanya
diijinkan dengan penerapan standar. Apoteker / pharmacist dari negara lain khususnya
8
ASEAN akan bebas melayani di Indonesia sepanjang memenuhi standar. Khususnya dalam
pelayanan kefarmasian mereka lebih siap. Oleh sebab itu para Apoteker Indonesia harus
mempersiapkan diri sebelum terlambat menjadi tamu di negeri sendiri, dalam pelayanan
kefarmasian baik di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya.
Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemitraan antara Apoteker dan staf medik
lainnya di rumah sakit ?
• Komunikasi
Kemitraan timbul dari komunikasi. Tanpa komunikasi maka tidak ada kemitraan,
karena Apoteker yang mengharapkan untuk dapat diterima sebagai mitra oleh staf
medik lain (dokter, perawat, bidan dan dokter gigi) maka haruslah Apoteker yang aktif
memulai/menyambung komunikasi. Harus diakui hambatan/barriers untuk
berkomunikasi selama ini harus ditinggalkan dan mulai melangkah. Apoteker tidak
dapat meminta profesi lain untuk menunggu, Tetapi haruslah Apoteker yang berlari
untuk mengejar ketinggalan.
Karena itu apa yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi selama ini harus
dihilangkan dan kemampuan berkomunikasi harus ditingkatkan. Kalau selama ini lebih
banyak menghadapi produk yang tidak membutuhkan komunikasi maka sekarang
berubah menghadapi pasien dan tenaga medis yang kebutuhan dasarnya berkomunikasi.
• Peningkatan kemampuan
Kelancaran dan keberhasilan Apoteker untuk berkomunikasi tergantung dari adanya
bahan yang akan dikomunikasikan yang berguna bagi staf medik lain dan pasien.
Dalam bidang kefarmasian diharapkan dan seharusnya demikian, Apoteker harus
menjadi pusat informasi obat-obatan dalam segala aspek. Kalau kemampuan ini tidak
ada maka kemajuan dan keberanian berkomunikasi akan lemah dan akhirnya Apoteker
akan ditinggalkan dan kemitraan yang diharapkan tidak akan terjadi. Oleh sebab itu
peningkatan kemampuan merupakan kunci utama untuk peningkatan kemitraan.
Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh tiga pihak yaitu :
a) Apoteker sendiri
Apoteker sendiri harus dengan disiplin yang tinggi berupaya untuk menambah
kemampuan khususnya dalam bidang klinis dan ilmu kefarmasian untuk dapat
berkomunikasi lebih baik dengan profesi lain.
b) Ikatan profesi
Ikatan profesi harus dapat menyusun standar pelayanan kefarmasian dan
mempersiapkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan Apoteker
melakukan tugasnya dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
c) Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi Farmasi di Indonesia sudah sangat berjasa mempersiapkan
Apoteker khususnya dalam kemampuan pembuatan dan analisa obat, sesuai dengan
peran Apoteker dalam pelayanan yang dituntut pada waktu itu. Namun tuntutan
pelayanan kefarmasian telah berubah sesuai dengan perubahan ilmu pengetahuan
dan visi kesehatan. Oleh sebab itu hendaknya pula kurikulum perguruan tinggi
9
Farmasi dapat disempurnakan untuk menopang pelayanan kefarmasian seperti yang
berkembang dewasa ini.
Dalam kongresnya yang ke-60, FIP telah menyerukan Good Pharmacy Education Practice
seperti dituangkan dalam International Pharmacy Journal Vol. 14 No. 2, December 2000.
Seruan ini berdasarkan hasil WHO Consultative Group on Preparing The Future Pharmacist
tahun 1997 di Vancouver untuk mempersiapkan Apoteker siap bermitra dengan profesi
lainnya dalam pelayanan kesehatan di masa mendatang.
Kembali kita diingatkan bahwa kesiapan tergantung sepenuhnya kepada kemajuan dan
kemampuan para Apoteker.
Hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya adalah hubungan harmonis
yang saling memahami hak dan kewajiban masing-masing profesi tenaga kesehatan. Adapun
tenaga kesehatan lain yang dimaksud antara lain :
10