Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sehubungan dengan persoalan ‘perlindungan’,seharusnya dapat diakomodasi dan
difasilitasi oleh wakil rakyat yang terhimpun dalam partai.Setiap partai seharusnya
memiliki ideologi pemerjuangan warga negara untuk menuju Negara Sejahtera atau
Negara Madani. Sayang sekali,partai-partai yang ada sekarang ini konon tidak memiliki
ideologi yang konsisten diperjuangkan,sehingga aspirasi rakyatnya terabaikan.
Realitaspolitik yang demikian ini merupakan ekses dari beleid floating mass dan azas
tunggal pada masa Orde Baru.Latar belakang politik seperti itulah tuntutan kebutuhan
‘perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat’, termasuk guru tenaga
kependidikanswasta, mengemuka. Seharusnya tuntutan tersebut dapat dipenuhi oleh
partai yang selaras ideologinya akan tetapi dalam kenyataan rakyat menyalurkan
aspirasinya melalui lembaga-lembaga parlemen jalanan, termasuk di sini adalah
organisasi-organisasi massa dan lembaga-lembaga profesi.Namun demikian ada latar
masalah lainnya yang perlu disimak, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh filosof Alfred
North Whitehead tahun 1933 yang menyatakan, bahwa “Modern life ever to a great
extent is grouping it self into professionals” (Bittel, 1978). Delapan puluh tahun
kemudian, pernyataan itu terbukti dan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini
memang bermunculan kelompok-kelompok jabatan profesional yang beraneka macam.
Kelompok-kelompok semacam inilah yang dalam masyarakat madani disebut memiliki
kemandirian sekaligus terikat oleh tanggungjawab profesinya. Apakah kelompok-
kelompok masyarakat profesional seperti ini yang memerlukan perlindungan dalam
menjalankan tugas profesinya?
Selain dua latar masalah sebagaimana disebutkan di atas, ada fakta empirik yang
mengenaskan dan bermuara pada kebutuhan akan perangkat hukum untuk melindungi
dan memenuhi hak-hak guru (baca: guru swasta). Seperti fenomena yang terjadi, seorang
guru yang menghukum murid karena melanggar tata tertib sekolah. Ketika orangtua
murid tidak menerima atas vonis hukuman yang diberi oleh guru, ia melakukan tuntutan
dengan delik pengaduan. Dalam kasus seperti ini, guru seolah-olah tidak memiliki
imunitas hukum publik, sehingga posisi guru secara yuridis lemah.

1
Peristiwa lainnya dapat disebutkan, seorangguru yang kebetulan mengidap penyakit
hipertensi,berbicara emosional kasar pada seorang murid.Sang murid kebetulan anak
semata wayang,langsung mengalami depresi mental dan stres berat sehingga membuat
geram orangtuanya yang berujung pada tuntutan di pengadilan. Dalam persoalan seperti
ini, jelas sekali guru tidak berdaya dan mudah terjerumus ke dalam tindak pidana.
Apakah tindak-tanduk guru dalam bekerja menjalankan tugasnya perlu dipayungi
hukum? Contoh yang lebih konkret lagi, seorang guru swasta dipecat oleh ketua yayasan
perguruannya
karena memberi les kepada murid di sekolah tersebut di luar jam sekolah dengan
memungut bayaran sebagai upahnya dan sepengetahuan kepala sekolahnya. Kasus
pemecatan seperti ini memperlihatkan kesewenang-wenangan penguasa sekolah terhadap
karyawannya. Apakah guru tersebut memerlukan perlindungan hukum atas
kesewenang-wenangan ketua yayasan?

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja etika kerja guru?
2. Apa saja aturan-aturan dan praktek perlindungan guru?
3. Apa solusi untuk perlindungan guru?

1.3 Manfaat
1. Untuk mengetahui etika kerja guru
2. Untuk mengetahui aturan-aturan dan praktek perlindungan guru
3. Untuk mengetahui solusi untuk perlindungan guru

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etika Kerja Guru

Etika (ethic) bermakna sekumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak,
tata cara (adat, sopan santun) nilai mengenai benar dan salah tentang hak dan kewajiban yang
dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Etika, pada hakikatnya merupakan dasar
pertimbangan dalam pembuatan keputusan tentang moral manusia dalam interaksi dengan
lingkungannya. Secara umum etika dapat diartikan sebagai suatu disiplin filosofis yang
sangat diperlukan dalam interaksi sesama manusia dalam memilih dan memutuskan pola-pola
perilaku yang sebaikbaiknya berdasarkan timbangan moral-moral yang berlaku. Dengan
adanya etika, manusia dapat memilih dan memutuskan perilaku yang paling baik sesuai
dengan norma-norma moral yang berlaku. Dengan demikian akan terciptanya suatu pola-pola
hubungan antar manusia yang baik dan harmonis, seperti saling menghormati, saling
menghargai, tolong menolong, dsb. Sebagai acuan pilihan perilaku, etika bersumber pada
norma-norma moral yang berlaku. Sumber yang paling mendasar adalah agama sebagai
sumber keyakinan yang paling asasi, filsafat hidup (di negara kita adalah Pancasila), budaya
masyarakat, disiplin keilmuan dan profesi. Dalam dunia pekerjaan, etika sangat diperlukan
sebagai landasan perilaku kerja para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dengan etika
kerja itu, maka suasana dan kualitas kerja dapat diwujudkan sehingga menghasilkan kualitas
pribadi dan kinerja yang efektif, efisien, dan produktif. Etika kerja lazimnya dirumuskan atas
kesepakatan para pendukung pekerjaan itu dengan mengacu pada sumber-sumber dasar nilai
dan moral tersebut di atas. Rumusan etika kerja yang disepakati bersama itu disebut kode
etik. Kode etik akan menjadi rujukan untuk mewujudkan perilaku etika dalam melakukan
tugas-tugas pekerjaan. Dengan kode etik itu pula perilaku etika para pekerja akan dikontrol.,
dinilai, diperbaiki, dan dikembangkan. Semua anggota harus menghormati, menghayati, dan
mengamalkan isi dari semua kode etik yang telah disepakati bersama. Dengan demikian akan
terciptanya suasana yang harmonis dan semua anggota akan merasakan adanya perlindungan
dan rasa aman dalam melakukan tugas-tugasnya1. Secara umum, kode etik ini diperlukan
dengan beberapa alasan, antara lain:

1
Endang Komara, Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan, (Jakarta:September 2016),
hlm.433

3
• Untuk melindungi pekerjaan sesuai dengan ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

• Untuk mengontrol terjadinya ketidakpuasan dan persengketaan dari para pelaksana,


sehingga dapat menjaga dan meningkatkan stabilitas internal dan eksternal pekerjaan.

• Melindungi para praktisi di masyarakat, terutama dalam hal adanya kasus-kasus


penyimpangan tindakan.

• Melindungi anggota masyarakat dari praktek-praktek yang menyimpang dari ketentuan


yang berlaku.

Karena kode etik itu merupakan suatu kesepakatan bersama dari para anggota suatu
profesi, maka kode etik ini ditetapkan oleh organisasi yang mendapat persetujuan dan
kesepakatan dari para anggotanya. Khusus mengenai kode etik guru . di Indonesia, PGRI
(Persatuan Guru Republik Indonesia) telah menetapkan kode etik guru sebagai salah satu
kelengkapan organisasi sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga PGRI.2

2.2 Aturan dan Praktek Perlindungan Guru

2.2.1 Nilai Penting Guru Dalam Pendidikan

Dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values)
serta membangun karakter (character building) peserta didik yang berkelanjutan.3

Dalam terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar kata dengan
rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan
salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan. Demikian mulianya posisi guru, sampai-sampai
Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb mengidentifikasi diri-Nya sebagai rabbul’alamin
“Sang Maha Guru”, “Guru seluruh jagad raya”.

Untuk itu, kewajiban pertama yang dibebankan setiap hamba sebagai murid “Sang
Maha Guru” adalah belajar, mencari ilmu pengetahuan. Setelah itu, setiap orang yang telah
mempunyai ilmu pengetahuan memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain.

2
Ibid
3
Asruron Ni’am Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru (Analisis Kronologi Atau
Lahirnya UU Guru dan Dosen), (Jakarta:Elsas. 2006), hlm. 3

4
Dengan demikian, profesi mengajar adalah sebuah kewajiban yang merupakan manifestasi
dari ibadah. Sebagai konsekuensinya, barang siapa yang menyembunyikannya sebuah
pengetahuan maka ia telah melangkahkan kaki menuju jurang api neraka.

Di sisi lain, profesi mengajar yang merupakan kewajiban tersebut, hanya dibebankan
setiap orang yang berpengetahuan. Dengan kata lain, profesi mengajar harus didasarkan pada
adanya kompetensi dengan kualifikasi akademik tertentu. Mengajar, bagi seorang yang tidak
mempunyai kompetensi profesional untuk itu justru akan berbuah dosa. Dan,”apabila sesuatu
dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Penggalan
hadits Rasulullah Saw ini seolah memberikan warning bagi guru yang tidak memenuhi
kompetensi profesionalnya.

Secara konseptual, deskripsi dua kondisi di atas memberikan dua hal prinsip dalam
konteks membicarakan mengenai profesi guru dan dosen. Pertama, adanya semangat
keterpanggilan jiwa, pengabdian dan ibadah. Profesi pendidik merupakan profesi yang
mempunyai kekhususan dalam membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dan memerlukan keahlian, idealisme, kearifan dan keteladanan melalui waktu yang panjang.

Kedua, adanya prinsip profesionalitas, keharusan adanya kompetensi dan kualifikasi


akademik yang dibutuhkan, serta adanya penghargaan terhadap profesi yang diemban.
Setinggi apapun idealisme dan rasa keterpanggilan niwa seseorang untuk mengajar, tanpa
disertai prinsip profesionalitas maka pekerjaannya akan sia-sia, bahkan berbuah kehancuran
dan dosa.

Maka prinsip idealisme dan keterpanggilan jiwa serta prinsip profesionalitas harus mendasari
setiap perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat guru dan dosen.

Dengan demikian profesi guru dan dosen merupakan profesi tertutup yang harus sejalan
dengan prinsip-prinsip idealisme dan profesionalitas secara berimbang. Jangan sampai akibat
pada perjuangan dan penonjolan aspek profesionalisme berakibat penciptaan gaya hidup
materialisme dan pragmatisme yang menafikan idealisme dan keterpanggilan jiwa.

2.2.2 Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Pemberdayaan Guru

Masa depan suatu bangsa sangat erat kaitannya dengan komitmen politik dan upaya
nyata bangsa itu dalam membangun pendidikan untuk mencerdaskan generasi mudanya.
Sedangkan keberhasilan suatu bangsa dalam membangun mutu pendidikannya sangat
ditentukan oleh mutu gurunya. Setidaknya hal itu dapat dicermati di negara-negara maju atau

5
yang sedang bergerak maju. Rendahnya mutu pendidikan telah memberikan akibat langsung
padaa rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita. Karena proses untuk melahirkan
sumber daya manusia yang bermutu hanya bisa melalui jalur pendidikan dan proses
pembelajaran yang bermutu pula. Hal ini dapat dilihat dari laporan United National
Development Program (UNDP) tahun 2003 yang menunjukkan penurunan Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI) dari 0,684 menjadi 0,682 atau dari urutan 110
menjadi urutan 112 dari 175 negara.4

Mutu pendidikan dapat dicapai apabila para guru hidup dengan memadai, memiliki
penghasilan yang mencukupi, manusiawi, dan bermartabat sehingga mereka mampu
memberikan perhatian secara memadai dalam menunaikan tugasnya dalam proses
pembelajaran. Selama ini, dari aspek kesejahteraan, kondisi guru sangat memprihatinkan.
Penghasilan guru secara umum tidak mencukupi kebutuhan minimum hidupnya. Banyak guru
yang memaksakan diri melakukan pekerjaan di luar mengejar, seperti menjadi pedagang,
buruh, dan bahkan ada yang menjadi tukang ojek. Secara bersamaan, dalam melaksanakan
tugasnya, profesi guru kurang mendapat perlindungan hukum secara memadai.

Secara yuridis, kita memang telah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. Tetapi Undang-Undang ini tidak memuat ketentuan yang mengatur
guru bertugas di sekolah swasta, karena guru tidak dapat dikelompokkan dalam kelompok
pekerja atau buruh suatu perusahaan mengingat persyaratan pendidikan dan tugasnya sangat
berbeda dengan pekerja atau buruh. Akibatnya, baanyak guru yang bertugas di sekolah
swasta terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, mendapat perlakuan
sewenang-sewenang dan tidak dipenuhi hak-haknya. Begitu juga tidak ada perlindungan bagi
guru yang bertugas di daerah terpencil, daerah bencana, atau daerah konflik. Kita juga telah
memiliki Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) yang mengatur pendidikan secara umum, namun UU tidak mengatur secara
komprehensif mengenai guru.

Keseluruhan kondisi tersebut menjadi faktor utama penyebab makin rendahnya harkat
dan martabat guru. Keberadaan dan posisi guru menjadi termarginalkan di tengah-tengah
masyarakat. Guru tidak menjadi pilihan utama angkatan kerja. Peserta didik yang berkualitas
menjadi kurang tertarik untuk memilih perguruan tinggi yang lulusannya menjadi guru. Hal

4
Loc., Cit, hlm. 6

6
inilah yang menjadi salah satu dasar pemahaman kita bahwa mutu guru menjadi rendah
karena memang mutu masukan dari lembaga pendidikan dan keguruan adalah rendah.

Gambaran umum mengenai kondisi guru dewasa ini, sangat berbeda dengan kondisi
guru pada zaman dahulu. Pada zaman kerajaan Hindu-Budha, seperti Empu Tantular, guru
mempunyai status sosial dan posisi yang sangat terhormat dan sentral. Begitu juga dalam
zama kerajaan Islam seperti kisah perjalanan hidup Wali Songo. Sejarah telah mencatat
bagaimana peran Wali Songo yang melakukan pendampingaan pendidikan masyarakat Jawa
yang akhirnya mampu menciptakan harmoni dan keteraturan sosial. Berikutnya, para Kiai di
pondok pesantren, posisinya sangat dihormati, bahkan dimuliakan tidak saja oleh murid atau
santrinya, tetapi juga di masyarakat di sekitarnya.

Pada zaman perjuangan kemerdekaan sampai masa revolusi, guru memegang peranan
sentral dalam menggelorakan semangat perjuangan. Guru dan ustadz ditempatkan sebagai
tokoh panutan dan pemimpin masyarakat. Panglima Besar Jendral Sudirman adalah suatu
contoh nyata betapa sosok seorang guru mampu menggelorakan sebuah perjuangan massal
yang spektakuler. Begitu juga dengan KH. Hasyim Asyari, seorang tokoh pendidik di sebuah
pesantren, dengan “Resolusi Jihadnya”, mampu memberikan inspirasi dalam menggerakan
perlawanan massal “arek-arek Suroboyo” pada 10 November 1946 yang kemudian dikenang
sebagai hari pahlawan.

Fakta diatas merupakan tantangan besar setiap orang yang mempunyai komitmen
membangkitkan bangsa agar menjadi besar dan kuat serta berdaya saing di tengah persaingan
global yang sangat kompetitif. Maka tindakan nyata yang diperlukan dalam bangsa ini adalah
mewujudkan reformasi dalam dunia pendidikan yang sejalan dengan UU Sisdiknas. Tindakan
tersebut antara lain melalui pembenahan secara menyeluruh dan komprehensif terhadap guru
yang meliputi pengembangan profesi guru, jaminan terhadap kesejahteraan guru,
perlindungan guru, dan penghargaan guru melalui suatu Undang-Undang yang khusus
mengatur tentang guru.

Dengan demikian ada landasan yang kuat untuk memberi peluang bagi guru dalam
meningkatkan mutu profesinya serta memperluas wawasan keilmuannya dalam
melaksanakan tugas profesinya secara efektif, efisien, dan produktif sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang.5

5
Loc., Cit, hlm. 6-9

7
2.2.3 Peneguhan Profesionalitas Guru

Guru dan dosen yang profesionalitas merupakan faktor penentu proses dan luaran
pendidikan yang bermutu. Untuk dapat menjadi profesional, mereka harus mampu
menemukan jati diri. Pemberian prioritas yang sangat rendah pada pembangunan pendidikan
selama beberapa puluh tahun terakhir berdampak buruk yang sangat luas bagi bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.

Dewasa ini Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) selalu menjadi


pilihan kedua bagi peserta didik yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Mereka menilai LPTK adalah untuk lulusan SMA/MA, SMK/MAK yang tidak diterima di
lingkungan fakultas atau jurusan lain, atau untuk anak dari orang tua yang miskin. Kondisi ini
berbeda dengan kondisi guru dan dosen pada masa lalu cukup menarik minat kalnangan
generasi muda hingga mereka berupaya keras untuk mendapatkannya. Dulu profesi guru dan
dosen memberikan posisi yang terhormat di masyarakat. Para calon guru dan dosen dari
jenjang yang terendah Sekolah Guru B (SGB), jenjang yang menengah Sekolah Guru A
(SGA) sampai pada LPTK berasal dari lulusan terbaik satuan penddidikan di bawahnya,
sehingga memberikan jaminan lahirnya guru dan dosen yang berkualitas pada masa itu.

Perkembangan kondisi guru dan dosen yang memprihatinkan itu ternyata telah
menjadi penyebab utama semakin terpuruknya penyelenggaraan proses belajar mengajar di
satuan yang berlangsung tidak efektif, tidak efesien, dan berkualitas rendah. Profesionalisme
bagi sejumlah guru dan dosen tidak lebih dari idealisme dan kenangan masa lalu. Banyak
guru telah kehilangan kebanggaan atas profesinya sebagai pekerjaan pengabdian yang mulia,
sebagaimana dialami para guru dan dosen tempo dulu.

Historisitas individu itu seharusnya menumbuhkan kesadaran pentingnya peranan


guru dalam kehidupan. Sehingga muncul motivasi untuk melakukan suatu kegiatan yang
berguna bagi para guru dan dosen dan hal ini secara otomatis berdampak positif bagi bangsa
dan negara. Dari persepsi yang sama itu diharapkan tercipta pengakuan pentingnya
memberikan perlindungan hukum bagi profesi/pekerjaan guru dan dosen sehingga hak-
haknya dapt dipenuhi sekaligus dapat melaksanakn kewajibannya secara profesional dan
bertanggung jawab.

8
Penyusunan UU dimaksudkan untuk memberikan jaminan bagi pelaksanaan
pekerjaan/jabatan guru dan dosen sebagai profesi yang kontribusinya sangat besar bagi upaya
mempersiapkan warga negara Indonesia menjadi manusia yang berkualitas, kompetitif,
memiliki kemampuan yang menyelamatkan kehidupan dirinya sendiri dan keluarganya dan
kehidupan bangsa dan negara, khususnya untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di sektor
pemerintahan dan swasta di masa mendatang.

Di samping itu UU juga memberikan jaminan kepastian hukum bagi peserta didik
orang tua dan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang pendidikan yang profesional.
UU ini memberikan hak kepada masyarakat untuk mengajukan tuntutan apabila mengalami
perlakuan yang menyimpang dari para guru dan dosen dalam proses pendidikan, khususnya
proses belajar mengajar pada jalur pendidikan satuan pendidikan dan luar satuan pendidikan.

Peraturan tersebut juga memberikan jaminan bagi ketersediaan calon guru dan dosen
yang berkemampuan tinggi mengingat jabatan/pekerjaan guru dan dosen akan kembali layak
untuk dihormati dan dihargai. Sehinga seorang guru dan dosen tidak lagi tertarik untuk
pindah ke lapangan pekerjaan lain yang dinilai lebih menjanjikan masa depan lebih baik.
Tidak kalah pentingnya UU ini memberikan jaminan perlindungan hukum kepada guru dan
dosen dari ancaman dan/ atau tindakan peserta didik, orang tua/wali peserta didik, dan
anggota masyarakat yang emosi melakukan tindakan tidak bertanggung jawab, luar hukum
yang berlaku terhadap guru yang menjalankan tugas pokoknya secara profesional. Termasuk
memberikan jaminan kesetaraan semua satuan pendidikan sejenis dan setingkat tanpa perlu
dibedakan antara pendidikkan unggulan atau bukan unggulan. Keberadaan UU ini
diharapakan menjamin jabatan/pekerjaan guru dan dosen menjadi lapangan pekerjaan pilihan
generasi muda potensial dan berkemampuan tinggi.

2.2.4 Pemberdayaan Guru Kebutuhan Semua

Secara faktual esensi untuk memberikan perlindungan hukum pada profesi guru dan
dosen bukan hanya untuk kepentingan subjektif semata, melainkan suatu mata rantai dalam
pembenahan sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Ia harus diarahakan untuk
menunjang sebuah misi yang lebih besar yakni mencerdasakan kehidupan bangsa dengan
mengimplementasikan tujuan pendidikan nasional seperti menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UU Sisdiknas.

Secara subtansial pengaturan guru harus diarahkan pada pemberian jaminan bagi
pelaksanaan kewajiban dan tugas-tugas profesional guru dan dosen dalam upaya

9
mencerdasakan kehidupan bangsa. Termasuk juga dalam rangka memunculkan kesadaran,
tanggung jawab profesionalitas guru dalm bekerja dengan memiliki motivaasi yang tinggi
untuk terus menerus berusaha meningkatkan kompetensinya.

Disamping itu aturan profesi guru juga diarahkan untuk pemberian jaminan kepastian
hukum bagi peserta didik, orang tua dan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang
bermutu.

2.3 Solusi dan Perlindungan hak guru

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan padaketiga kasus tersebut, menurut hemat saya


adalahtidak perlu undang-undang perlindungan guru.Penulis kiranya berseberangan dengan
pendapat Nizar (2009), Syafitriandy (2010) dan Sugiantoro(2011), karena patut ditanyakan:
Apakah untuk melindungi kiprah dan menjamin hak guru dalam menjalankan tugas perlu
regulasi setingkat Undang-Undang? Apakah setiap jabatan profesional di masyarakat perlu
dipayungi hukum berwujud undang-undang?
Bagi penulis, untuk keperluan perlindungan dimaksud cukup dikeluarkan beleid
Peraturan Pemerintah (PP) saja atau merevisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005, dengan memasukkan hak loco parentis. Hak Loco Parentis ini adalah peraturan
yang memberi kewenangan kepada pihak guru dan sekolah untuk mengasuh, mendidik,
‘memberi pengajaran’ kepada anak, jika anak berada dalam wilayah sekolah.
Hak semacam ini merupakan hak imunitas guru/sekolah dari tuntutan orangtua atau
masyarakat atas perlakuan terhadap murid-muridnya. Hak ini diberikan dengan syarat, bahwa
dalam proses mendidik dan mengajar itu harus dilandasi rasa kasih-sayang, tanggungjawab
moral, dan tanggungjawab profesional dalam mengantarkan anak menuju ke kedewasaannya.
Lain daripada itu, pembuatan Undang-Undang Perlindungan Guru (termasuk guru swasta)
tidak diperlukan lagi karena sudah ada perangkat undang-undang yang melindungi setiap
warga negara, seperti: UUD 45 Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia; UU No. 14/2005 Pasal 39 dan Peraturan Pemerintah No. 74/2008; UU
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan; dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia serta
Peraturan dan Perundang-undangan lainnya. Akan halnya munculnya kasus-kasus di sekolah
yang menimpa guru-guru atau tenaga kependidikan (termasuk swasta) dapat dipertanyakan
kembali, apakah benar guru yang bersangkutan profesional? Bagi guru/tenaga kependidikan

10
swasta, patut pula ditanyakan, apakah benar tenaganya dibutuhkan karena profesionalisme
yang dimilikinya?
Dua pertanyaan itu sengaja penulis lontarkan untuk menyanggah pendapat akhir
pemerintah mengenai disahkannya UU No. 14/2005 yang menyebutkan esensi perlindungan
hukum tentang jabatan profesi guru dan dosen sebagai berikut: 1) Memberikan jaminan
kepastian bagi peserta didik,orangtua, dan masyarakat untuk mendapatkan layanan
pendidikan yang bermutu; 2) Memberikan jaminan pada tersedianya calon guru dan dosen
yang profesional karena jabatan guru dan dosen akan kembali dihormati dan dihargai secara
layak 3) Memberikan jaminanbahwa jabatan/pekerjaan guru dan dosen akan menjadi jabatan
yang menarik dan kompetitif; 4) Memberikan jaminan bahwa para guru dan dosen akan
memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung
jawab; 5) Meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab profesionalitas guru dan dosen dalam
bekerja dengan terus-menerus berusaha meningkatan kompetensi dan profesionalitasnya; 6)
Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dan dosen untuk memperoleh hak-
haknya sebagai pengemban profesi yang tidak saja layak secara manusiawi, tetapi juga sesuai
dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya; 7) Memberikan jaminan perlindungan
hukum bagi guru dan dosen dalam menghadapi ancaman dan/atau tindakan yang tidak
manusia dari peserta didik, orangtua/wali siswa, dan anggota masyarakat; dan 8) Memberi
jaminan kestaraan semua satuan pendidikan antara satuan pendidikan yang diselenggaarkan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan yang diselenggarakan masyarakat. Menurut hemat
penulis bukan persoalan perangkat hukum yang menjamin hak dan perlindungan bagi guru,
melainkan sistem politik dan sistem hukum yang ada saat ini: 1) Kurang memberikan fungsi
edukatif, 2) Secara sosiologis belum memberikan rasa kebermanfaatan bagi warga
masyarakat, 3) Secara yuridis belum memberikan jaminan kepastian hukum, dan 4)Secara
filosofis belum memberikan jaminan keadilan (Rahardjo, 2000).

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fenomena hiruk-pikuk di tengah masyarakat mengenai tuntutan perlunya
Undang-Undang Perlindungan Guru dan Tenaga Kependidikan seharusnya dibaca
sebagai: 1) Dinamika masyarakat yang mulai sadar dan melek hukum, 2) Dinamika
kehidupan masyarakat yang beranjak menuju pada spesifikasi dan profesionalisme
lapangan pekerjaan, 3) Munculnya peluang tindak kejahatan dalam wujud praktik
pokrol, pemerasan (extortion) atau mafia hukum. Hal penting yang perlu dicatat
adalah, semakin banyak regulasi, maka akan semakin cenderung banyak pelanggaran.
Semakin banyak pelanggaran, maka akan menjatuhkan wibawa hukum dan
pemerintah (negara). Konsekuensi selanjutnya adalah tidak akan tercapai tujuan
bernegara untuk menyejahterakan rakyatnya atau semakin mustahil akan terbentuk
masyarakat/negara madani. Oleh karena itu, tidak perlu ada undang-undang tentang
Perlindungan Guru, melainkan perlu menyempurnakan UU No. 14/ 2005 dengan
memasukkan pasal mengenai loco parentis serta menegaskan sanksi-sanksi jika
terjadi pelanggaran. Seandainya terjadi kasus pelanggaran terhadap guru, kiranya
dapat diterapkan UU atau peraturan lainnya yang dapat tetap menjamin kese-jahteraan
atau perlindungan para warga (guru). Sehubungan dengan itu, hal yang paling esensial
dalam menciptakan perlindungan profesi dan pemenuhan hak adalah setiap individu
guru hendaknya menempa diri menjadi lebih profesional, membebaskan diri dari
kebergantungan sekaligus menciptakan ketergantungan, dan membangun solidaritas
kelompok profesional. Semoga terwujud! Amin.

12
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis. Profesi Dan Etika Keguruan. Jakarta:PT.Kalam Mulia.2013
Komara, Endang. Jurnal Indonesia untuk Kajian Pendidikan. September 2016
Ni’am Sholeh, Asruron. Membangun Profesionalitas Guru (Analisis Kronologi Atau
Lahirnya UU Guru dan Dosen). Jakarta:Elsas. 2006

13

Anda mungkin juga menyukai