Anda di halaman 1dari 4

TATALAKSANA

Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik


1. Intubasi dan Ventilasi Mekanik
Dua per tiga sampai 90% penderita krisis miastenik memerlukan intubasi dan ventilasi
mekanik. Lebih dari 20% pasien memerlukan intubasi selama evaluasi di unit gawat
darurat, dan hampir 60% diintubasi setelah pasien dirawat di ruang perawatan intensif.
Ketika diintubasi, pernapasan pasien sebaiknya berada di bawah bantuan ventilator dengan
pengaturan volume tidal 8-10 cc/kg BB ideal dan tekanan 8-15 cmH2O untuk mencegah
atelektasis dan meminimalisasi beban pernapasan.
Penghentian penggunaan ventilator harus diinisiasi setelah pasien menunjukkan
perbaikan klinis, biasanya pada kapasitas vital yang lebih dari 15mL/kg. Perbaikan pada
kekuatan fleksor leher dan otot tambahan lain biasanya dihubungkan dengan perbaikan
kekuatan otot respirasi dan bulbar, dan berguna sebagai penilaian terhadap perbaikan klinis.
Ventilator pasien sebaiknya ditransisi ke mode pernapasan spontan (misalnya ventilasi
dengan bantuan tekanan), di mana pasienlah yang menginisiasi pernapasan. Bantuan
pernapasan tersebut dapat dikurangi secara bertahap hingga mencapai pengaturan minimal.
Masih tidak jelas kapan sebaiknya pasien diekstubasi setelah mengalami krisis
miastenik. Terdapat 3 faktor risiko independen yang memperpanjang masa intubasi (> 14
hari): umur>50 tahun, kapasitas vital puncak <25 mL/kg pada post-intubasi hari 1-6, dan
serum bikarbonat ≥ 30 mmol/L. Pasien tanpa faktor risiko diintubasi selama kurang dari 2
minggu, sedangkan pasien dengan ketiga faktor risiko tersebut memiliki masa intubasi yang
lebih lama. Untuk mencegah atelektasis dapat dilakukan intubasi dini, fisioterapi dada yang
agresif, dan suction yang sering, serta pemberian PEEP tinggi selama pasien menggunakan
ventilasi mekanik.
2. Ventilasi non-invasif
Ventilasi non-invasif digunakan untuk mencegah intubasi dan re-intubasi pada pasien
dengan krisis miastenik. Dengan menggunakan bilevel positive airway pressure (BiPAP),
tekanan positif diberikan delama kedua fase pernapasan, sehingga meningkatkan aliran
udara dan mengurangi beban pernapasan selama inspirasi dan mencegah kolaps jalan napas
dan atelektasis selama ekspirasi. Pada pasien yang awalnya mendapat ventilasi non-invasif
dan mengalami perburukan gejala seperti sesak napas, takipneu, atau hiperkapni terus
menerus sebaiknya dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Terdapat
prediktor independen kesuksesan ventilasi non-invasif, yaitu serum bikarbonat <
30mmol/L dan skor APACHE II <6. Prediktor independen kegagalan metode ini adalah
hiperkapnia (pCO2> 45 mmHg).
Penggunaan ventilasi non-invasif dini diasosiasikan dengan durasi penggunaan
bantuan pernapasan yang lebih singkat. Pada pasien dengan kelemahan bulbar, tindakan ini
meningkatkan risiko aspirasi, namun pada pasien yang berhasil dengan tindakan tersebut
mengalami lebih sedikit komplikasi pulmoner.

Pengobatan Krisis Miastenik


Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni immunoglobulin
intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE). IVIg biasanya diberikan 400mg/kg setiap hari
selama 5 hari. Pasien harus disapih terhadap adanya IgA defisiensi untuk mencegah anafilaksis
terhadap IVIg. Efek samping yang paling sering terjadi adalah sakit kepala. Komplikasi lain
termasuk demam, mual, ketidaknyamanan, kemerahan, lemah, dan nyeri. Efek samping yang
lebih serius adalah meningitis aseptik, hipertensi, aritmia jantung, trombositopenia, stroke,
infark jantung, dan emboli paru.
Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap penggantian) biasanya
dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya adalah larutan normal salin/5% albumin.
Akses vena dilakukan dengan infus set besar, atau tunneled double-lumen central venous
catheters. Komplikasi PE yang biasanya terjadi adalah demam, gejala hipokalemia (umumnya
parestesia), penurunan sementara tekanan darah, dan takikardia. Efek samping yang lebih
serius namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark miokardial, dan hemolisis. Respon
terhadap pengobatan biasanya terjadi setelah 2 hari dengan PE dan setelah 4-5 hari dengan
IVIg. Bila respon yang terjadi tidak adekuat atau tidak ada respon sama sekali, PE bisa
diberikan setelah IVIg dan IVIg bisa diberikan setelah PE. Beberapa studi menunjukkan bahwa
pemberian PE lebih efektif dibandingkan IVIg pada penderita krisis miastenik, namun
kemungkinan terjadinya komplikasi juga lebih tinggi pada penggunaan PE, seperti infeksi dan
instabilitas jantung.
Kortikosteroid diberikan bersama dengan IVIg dan PE. Prednisone dosis tinggi (60-100
mg per hari atau 1-1.5 mg/kg/hari) dapat dimulai bersamaan dengan IVIg atau PE, karena
prednisone mulai bekerja setelah 2 minggu, di mana efek PE dan IVIg mulai berkurang.
Pemberian kortikosteroid secara oral lebih dipilih, dan inisiasi pemberian prednisone dapat
ditunda sampai pasien telah diekstubasi bila pasien mununjukkan perbaikan yang cepat setelah
pengobatan dengan IVIg atau PE. Ketika pasien sudah menunjukkan perbaikan klinis, dosis
prednisone dapat dikurangi, dan secara gradual dikonversi ke alternate-day dosing. Efek
samping paling sering adalah penampakan Chusingoid., katarak, dan peningkatan berat badan.
Infeksi, diabetes yang tidak terkontrol, dan osteoporosis merupakan kontraindikasi relatif
dalam penggunaan kortikosteroid.
Cyclosporine dapat dipertimbangkan setelah dimulainya terapi IVIg atau PE pada
pasien yang tidak dapat mentolerasi atau tidak bereaksi terhadap kortikosteroid. Namun, onset
kerja cyclosporine adalah 1-2 bulan. Agen immunomodulating lain, azathioprine dan
mycophenolate, tidak berguna dalam krisis miastenik karena masa laten kerjanya yang
panjang.
Nilai laboratorium yang abnormal yang dapat mempengaruhi kekuatan otot harus
dikoreksi. Kekurangan ion kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk krisis miastenik
dan harus dikoreksi. Hematokrit yang kurang dari 30% dapat mempengaruhi kelemahan
dengan menurunkan oxygen-carrying capacity. Nutrisi yang cukup juga juga untuk
menghindari keseimbangan energi yang negatif dan memperburuk kekuatan otot.5,16
Pemberian inhibitor asetilkolinesterase biasanya dihentikan pada krisis miastenik untuk
menghindari sekresi bronkial yang berlebihan. Selain itu, bila digunakan secara berlebihan,
kelemahan otot dapat meningkat. Setelah pasien menunjukkan perbaikan kekuatan otot yang
jelas (biasanya beberapa hari setelah dimulainya IVIg atau PE), inhibitor asetilkolinesterase,
khususnya pyridostigmine oral dapat dimulai kembali setelah ekstubasi. Pyridostigmine oral
lebih dipilih, namun dapat pula diberikan secara intravena. Satu milligram pyridostigmine
intravena setara dengan 30 mg pyridostigmine oral. Pasien sebaiknya memulai pengobatan
pada dosis yang rendah terlebih dahulu yang ditingkatkan hingga gejala berkurang. Pemberian
pyridostigmine intravena secara terus menerus sebagai pengobatan krisis miastenik dapat
berefek sama dengan PE, namun hal ini dihubungkan juga dengan meningkatnya risiko aritmia
jantung yang mengancam nyawa.

Thymektomi
Hiperplasia timus sering terjadi pada pasien miastenia muda, khususnya perempuan, dengan
antibodi terhadap AchR yang positif. Tumor timus, ditemukan pada 15% pasien miastenia
gravis dan pada 32% pasien krisis miastenik, sebaiknya dilakukan timektomi. Pasien dengan
miastenia gravis non-timus dapat dipertimbangkan untuk melakukan timektomi untuk
meningkatkan kemungkinan terjadinya perbaikan kondisi atau remisi. Sebuah studi
retrospektif menemukan bahwa pasien miastenia gravis yang melakukan timektomi memiliki
lebih sedikit insiden terjadinya krisis miastenia dan episode yang lebih ringan. Krisis miastenik
postoperasi sering ditemukan setelah timektomi; insiden berkisar antara 12-34%. Krisis
postoperasi dihubungkan dengan riwayat krisis miastenik, kelemahan bulbar yang muncul pada
preoperasi, antibodi AChR serum preoperasi > 100 nmol/L, kehilangan darah>1L pada masa
intraoperasi.

1. Goldenberg WD, Kulkarni R. Emergent Management of Myasthenia Gravis. Medscape


2011. [cited: March 25th, 2012]. Available from: Kesalahan! Referensi hyperlink tidak valid.

Anda mungkin juga menyukai