PRESus Syahidatul Arifa
PRESus Syahidatul Arifa
PUSKESMAS TEGALREJO
Disusun oleh
SYAHIDATUL ARIFA
20120310272
i
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
PUSKESMAS TEGALREJO YOGYAKARTA
Syahidatul Arifa
20120310272
Mengetahui
Kepala PuskesmasTegalrejo
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang
Maha Esa, yang telah memberikan hidayah dan anugerah-Nya sehingga presentasi
kasus dengan judul “PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA
LAKI-LAKI PARUH BAYA DENGAN OVERWEIGHT YANG BEKERJA
SEBAGAI JURU PARKIR DENGAN KELUARGA DISFUNGSIONAL
SEDANG DALAM RUMAH TANGGA YANG TIDAK BERPERILAKU
HIDUP BERSIH DAN SEHAT.” ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat
serta salamselalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga serta
para sahabat, tabiin, tabi’it tabiin dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Presentasi kasus ini diajukan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti
ujian kepaniteraan Ilmu Kedokteran KeluargaFakultas Kedokteran dan Ilmu
KesehatanUniversitas Muhammadiyah Yogyakarta di Puskesmas Tegalrejo.Pada
kesempatan ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah berperan serta dalam membantu penyelesaian presentasi kasussekaligus
laporan home visit ini. Ucapan terima kasih diberikan kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan kesehatan dan kesempatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus ini
2. Dr. dr. Wiwik Kusumawati, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
3. dr. Iman Permana, M.Kes,Ph.D. selaku dokter pembimbing fakultas
kedokteran yang telah memberikan banyak masukan dan pertimbangan guna
menyempurnakan penulisan presentasi kasus ini
4. dr. Widyastuti selaku dokter pembimbing Puskesmas yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan
5. dr. Prie Aka Mahdayanti Kepala Puskesmas Tegalrejo Yogyakarta yang telah
bersedia memberi kami kesempatan untuk belajar banyak di puskesmas ini.
3
6. Seluruh karyawan Puskesmas Tegalrejo yang telah membantu kelancaran
home visit kasus ini
7. Pasien Tn. W, yang telah bersedia menjadi pasien dan meluangkan waktunya
untuk home visite
8. Semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penyelesaian presentasi
kasus ini yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu.
Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini masih belum
sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, agar
dikemudian hari penulis dapat mempersembahkan suatu hasil yang lebih baik.
Akhir kata, penulis mengharapkan presentasi kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama ilmu
kedokteran.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, September 2017
Penyusun
4
DAFTAR ISI
5
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : Bp.W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 31 Desember 1953
Usia : 63 th
Alamat : Sudogaran Tr III No106 RW 10 RT 38 Tegalrejo
Pekerjaan Juru Parkir
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : Tidak Lulus SD
Status Perkawinan : Menikah
Jaminan Kesehatan : BPJS PBI
6
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku memiliki asma saat kecil. Riwayat penyakit
diabetes, hipertensi sebelumnya disangkal.
7
Sistem Saraf Pusat : tidak ada keluhan
Sistem Integumentum : tidak ada keluhan
Sistem Muskuloskletal : tidak ada keluhan
Sistem Gastrointestinal : tidak ada keluhan
Sistem Urinaria : BAK normal
Sistem Respiratoria : batuk, sesak
Sistem Kardiovaskular : tidak ada keluhan
D. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos mentis
GCS E4 V5 M6
Vital sign : Tekanan darah :130/90 mmHg
Nadi : 86x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu badan :Afebris
Antropometri : Tinggi Badan: 159 cm
Berat Badan : 60kg
Status Gizi : Overweight
Indeks Massa Tubuh (IMT): 23.73 kg/m2
Pemeriksaan : normocephal, rambut warna hitam dan putih, distribusi
Kepala tidak merata.
8
- Mata: Konjungtiva anemis (-/-), dan sklera ikterik(-/-).
- Telinga: secret (-), perdarahan (-)
- Hidung: secret (-), epistaksis (-), tidak ada deviasi
septum
- Mulut: sianosis (-), lidah kotor (-), pharing hiperemis (-
), gigi hilang (-)
- Bibir: kering (-), sianosis (-), bibir berawarna gelap
Pemeriksaan : - Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Leher - Kelenjar limfonodi: Pembesaran (-)
Pemeriksaan : Bentuk dada: simetris (+)
dada
Pemeriksaan : Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
Jantung Palpasi : ictus cordis teraba pada sela igake 5 line
midclaviclaris.
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas : SIC II linea para sternalis kanan
Kiri atas: SIC II linea para sternalis kiri
Kanan bawah: SIV IV linea para sternalis kanan
Kiri bawah:SIC V linea midclavicularis kiri
Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop
(-).
Pemeriksaan :
Kanan Kiri
paru-paru
Tampak simetris
Tampak simetris
retraksi subcostalis (-)
retraksi subcostalis (-)
Inspeksi retraksi intercostalis
retraksi intercostalis (-)
(-)
ketinggalan gerak (-)
ketinggalan gerak (-)
Ketinggalan gerak (-) Ketinggalan gerak (-)
Palpasi
deformitas (-) deformitas (-)
9
Sonor pada seluruh Sonor pada seluruh
Perkusi
lapang paru lapang paru
Suara dasar vesicular Suara dasar vesicular
Auskultasi ronkhi (+) ronkhi (+)
wheezing (-) wheezing (-)
Pemeriksaan : Inspeksi : distensi (-), meteorismus (-),
perut darm contour (-).
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : NT (-) hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium:
BTA S/P/S : -/-/-
2. Radiologi: -
3. Spirometri : -
10
5. Trihadi L 25 tahun Kerja - Cukup baik
serabutan dan
membuat
gorden
11
H. INSTRUMEN PENILAIAN KELUARGA (FAMILY ASSESMENT
TOOLS)
1. Genogram Keluarga
Keluarga Bp.W 06/09/17
BL
B/D C
55
Bp.W Ny.D
63th 56th
Perokok aktif
12
2. Tahapan Siklus Keluarga (Family Life Cycle)
Siklus keluarga pada pasien ini termasuk tahap keluarga dengan anak-anak
meninggalkan rumah.
Tn. Y
40 th
(ANAK 1)
Ny. D
56th
Keterangan :
= Fungsional
≠ Disfungsional
13
keinginan saya untuk memulai kegiatan
atau tujuan baru dalam hidup saya.
4. Saya merasa puas dengan cara keluarga
saya mengungkapkan kasih sayang dan
V
menanggapi perasaan-perasaan saya,
seperti kemarahan, kesedihan dan cinta.
5. Saya merasa puas dengan cara keluarga
V
saya dan saya berbagi waktu bersama.
Skor Total 6 (Disfungsional sedang)
14
1976 Pasien menikah dengan Istri
1977 Pasien memiliki anak pertama
1982 Pasien memiliki anak kedua
1992 Pasien memiliki anak ketiga
2012 Pasien mengeluhkan batuk yang tidak
kunjung sembuh, pasien memeriksakan
keadaannya.
2014 Pasien berhenti merokok
2015 Pasien didiagnosis flek
2017 BTA SPS -/-/-
Pasien masih rutin minum obat
15
dalam ruangan tanpa menggunakan alat bantu penerangan. Terdapat
lampu yang dapat dinyalakan berwarna kuning terang.
f. Kebersihan dan Tata Letak dalam Ruangan :
Kebersihan rumah kurang terawat dan kurang tertata rapi.
g. Sanitasi Dasar :
Kebutuhan air untuk sehari-hari menggunakan air sumur. Penghuni
rumah menggunakan kamar mandi umum dengan jamban cemplung di
belakang rumah bersama tetangga lainnya.
h. Lain-lain :
Halaman rumah pasien berhadapan dengan lapangan
bulutangkis.
Rumah Tetangga rumah pasien dan tetangga saling
berdempetan, hanya dipisahkan oleh dinding.
Denah Rumah :
9m
3m
16
J. INDIKATOR PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT(PHBS)
No. Indikator PHBS Jawaban
Ya Tidak
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan V
2. Pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 - 6 bulan V
3. Menimbang berat badan balita setiap bulan V
4. Menggunakan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan V
5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun V
6. Menggunakan jamban sehat V
7. Melakukan pemberantasan sarang nyamuk di rumah dan V
lingkungannya sekali seminggu
8. Mengkonsumsi sayuran dan atau buah setiap hari V
9. Melakukan aktivitas fisik atau olahraga V
10 Tidak merokok di dalam rumah V
Kesimpulan: Keluarga tidak berprilaku hidup bersih dan sehat
K. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Diagnosis Klinis:
PPOK
2. Diagnosis Holistik (Klinis-Psiko-Sosial-Kultural-spritual)
Penyakit paru obstruktif kronis pada laki-laki paruh baya dengan
overweight yang bekerja sebagai juru parkir dengan keluarga
disfungsional sedang dalam rumah tangga yang tidak berperilaku
hidup bersih dan sehat..
L. PENGELOLAAN KOMPREHENSIF
1. Upaya Promotif
o Memberikan edukasi kepada keluarga dan pasien tentang bahaya
rokok pada perokok aktif dan pasif.
o Memberikan edukasi kepada keluarga dan pasien mengenai etika
batuk.
17
o Memberikan edukasi kepada keluarga dan pasien tentang hal-hal
yang harus dilakukan bila terjadi serangan eksaserbasi serta apasaja
yang dapat meningkatkan dan meringankan keadaan sakit pasien.
2. Upaya Preventif
Modifikasi gaya hidup pada pasien
Konsumsi makanan dengan nutrisi seimbang antara protein
lemak dan karbohidrat, dapat diberikan dalam porsi kecil tetapi
sering
Aktivitas fisik ringan yang bisa dilakukan seperti berjalan
keliling sekitaran rumah sekitar 30menit/hari
Istirahat cukup pada malam hari 6-8jam
Management stress dengan melakukan kegiatan yang digemari
seperti memancing namun tidak sampai larut malam.
Melakukan kontrol rutin setiap bulan
Mendapatkan konseling CEA untuk mengatasi kesalahpahaman
pasien terkait penyakit
Konseling 5A untuk anggota keluarga pasien yang masih
merokok
Menggunakan masker atau kain penutup hudung saat bekerja
Melakukan perilaku hidup bersih dan sehat
18
3. Upaya Kuratif
R/ Salbutamon tab mg 2 no X
S 2 dd tab I
R/ ambroxol
S 3 dd CI
4. Upaya Rehabilitatif
Fisioterapi
o Latihan ekspektorasi
o Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
o Latihan bernapas dengan pursed Lip breathing
5. Upaya Paliatif
Belum perlu dilakukan
19
BAB II
ANALISA KASUS
A. ANALISA KASUS
Diagnosis klinis pada pasien ini adalah penyakit paru obstruktif kronis
dengan prehipertensi. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa tegak berdasarkan adanya gejala sesak nafas yang
mengganggu aktivitas fisik serta keluhan batuk yang terjadi kronis. Selain itu
pasien memiliki faktor risiko adanya riwayat perokok, pekerjaan sebagai juru
parkir, asma sebelumnya serta anggota keluarga yang masih menjadi perokok
aktif. Pemeriksaan spirometri, foto polos thorax ataupun analisis gas darah
tidak dapat dilakukan mengingat keterbatasan fasilitas.
Semenjak terdiagnosis DM selama kurang lebih 3 tahun, pasien telah
melakukan perubahan gaya hidup yakni berhenti merokok. Pasien sama sekali
tidak merokok sejak tahun 2014. Namun pasien ttinggal bersama anaknya
yang merokok satu hingga dua bungkus sehari. Selain itu pasien tidak
mengenakan masker maupun penutup pada saat bekerja sebagai juru parkir.
Pola makan pasien baik, setiap hari mengkonsumsi sayur namun tidak selalu
mengkonsumsi buah karena keterbatasan ekonomi. Pasien istirahat dengan
baik 6 sampai 8 jam sehari kecuali bila pasien melakukan aktivitas
memancingnya, ia akan terjaga hingga larut. Pasien berjalan kaki setiap hari
setelah sholat subuh di masjid.
Pasien datang ke puskesmas rutin setiab sebukan sekali untuk
mengobati batuk dan sesaknya. Pasien mendapatkan terapi farmakologi
bronkodilator β2 agonist short acting (salbutamol) dan agen mukolotik
(ambroxol). Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP
dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek
bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
20
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala
(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata
pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak
didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Mukolitik (mukokinetik,
mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated
glycerol dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
Dari perangkat penilaian keluarga family SCREEM, pasien memiliki
sumber daya yang tidak cukup kuat, karena terdapat kondisi patologis dari
beberapa komponen, seperti dari sisi ekonomi, dan pendidikan Dari sisi
pendidikan, Pasien tidak lulus SD, hanya sampai kelas 4 SD sehingga pasien
kurang bisa memahami tentang sakit yang dideritanya. Dari sisi ekonomi,
pasien saat ini pemasukan keluarga dari pekerjaan pasien sebagai juru parkir
dan anaknya yang bekerja serabutan. Selain itu pekerjaan pasien dapat
meningkatkan faktor risiko dari keadaan sakit pasien.
Dalam penilaian kesehatan keluarga,pasien termasuk kategori dalam
perilaku hidup tidak bersih dan sehat karena indikator PHBS tidak terpenuhi.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada pasien harus ditingkatkan lagi.
Dari segi psikososial, pasien memiliki anggota keluarga yang perokok
aktif. Anak ketiga pasien yang tinggal bersama merupakan perokok aktif sejak
usia belasan. Ia mengaku menghabiskan satu hingga dua bungkus rokok
perhari. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menerapkan menejemen
komprehensif seperti yang dijabarkan pada BAB I khususnya preventif berupa
konseling 5A. Setelah dilakukan konseling 5A pasien mulai mendapatkan
solusi dari permasalahannya
Pada pasien ini dilakukan manajemen komprehensif mulai dari
promotif, preventif, serta kuratif. Manajemen promotif dan preventif sekunder
ini bertujuan agar pasien yang sudah menderita Penyakit Paru Obstruktif
Kronis tidak mengalami komplikasi dari penyakitnya. Untuk manajemen
kuratif pada pasien ini diberikan pengobatan farmakologi yang diminum oleh
pasien secara rutin setiap harinya. Untuk manajemen rehabilitatif beberapa
21
manajemen fisio terapi dapat diberikan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Manajemen paliatif pada pasien ini belum dibutuhkan.
Penerapan Prinsip Kedokteran Keluarga
1. Primary care
Prinsip ini sudah diterapkan pada pasien ini, dimana pasien datang periksa
ke pelayanan primer terlebih dahulu yaitu puskesmas. Pasien mendapat
terapi brokodilator salbutamol 2mg dan ambroxol 30mg
2. Person center care
Dalam pelayanan personal, penulis mencoba melakukan hubungan
komunikasi dokter-pasien. Penulis berkunjung ke rumah pasien dan
melakukan anamnesis-pemeriksaan fisik. Semua perkataan pasien
berusaha penulis dengar seluruhnya karena pasien cukup senang bercerita.
Pasien terbuka dengan segala pertanyaan dan pernyaan yang dilontarkan
3. Holistic care
Saat menegakan diagnosis, memandang pasien pada kasus ini tidak hanya
dari segi klinisnya tetapi juga enanyakan dari segi psikis adalah masalah
atau beban pikiran serta dari riwayat social yang mungkin mempengaruhi
dari perjalan panyakit pada pasien ini
4. Comprehensive care
Dalam menangani kasus pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan
menyeluruh mulai dari promotif, yaitu bertujuan memberikan edukasi
pasien tentang penyakitnya sehingga pasien bisa meminimalisasi dan
mencegah komplikasi terkait penyakit pasien, edukasi tentang pentingnya
modifikasi gaya hidup, pengendalian berat badan, serta pentingnya
kegiatan fisik dalam mengendalikan penyakit pasien ini. Pada segi
preventif diberikan edukasi untuk menerapkan pola makan yang baik dan
pasien diberikan edukasi agar rutin monitoring kadar gula dalam darah
sebulan sekali. Pada segi kuratif lebih ditekankan pada aspek farmakologis
dan non farmakologis untuk mengontrol penyakitnya. Dari segi
rehabilitative dan paliatif belum diperlukan pada pasien ini.
22
5. Continuing care
Dilakukan home visit pada tanggal 6 September 2017 untuk meonitor
keadaan pasien dilingkungan rumah, serta menggali informasi yang lebih
lengkap mengenai kondisi keseluruhan dari pasien yang dipandang dari
aspek bio-psiko-sosio-kultural.
23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
24
mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk
membantumenentukan diagnosis PPOK, dan Computed Tomography (CT)
Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Beberapa studi
juga menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada
pasien PPOK maupun asma.
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan
4. Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan
secara paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)),
kapasitas udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory
Volume in one second (FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut
(FEV1/FVC). Pada tabel 1 diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan
keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK.
25
Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:
1. Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun
dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
2. Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam setahun
dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.1
3. Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
4. Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.
26
B. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
Berhenti Merokok
Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi
dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan
toleransi
aktivitas.
27
Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik
dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.
Terapi farmakologi
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi
tonus otot polos pada jalan napas.
β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek
bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala
(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata
pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak
didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting β2 agonist
inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan
salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health
related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan
(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah
sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru
dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki
FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping
adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus
takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan
28
aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang
diobati obat golongan ini.
Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin
pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing
anticholinergic inhalasi lebih lama disbanding short acting β2 agonist.
Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat
mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status
kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan
antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bias menimbulkan gejala
pada prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan
kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini
tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki
gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi
pada pasien dengan FEV1<60% prediksi.
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit
perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala.
Terapi Farmakologis Lain
Vaksin: vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
29
Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini
sangat mahal, dan tidak tersedia di hamper semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
Vasodilator
30
4. Penanganan nutrisi
Edukasi
Edukasi merupakan proses rehabilitasiyang sangat penting. Pasien diberikan
pemahaman tentang penyakit dan pencegahan eksaserbasi, terapi (obat-obat)
termasuk program rehabilitasi serta target yang akan dicapai sehingga
diharapkan pasien mematuhi program.
Edukasi juga berisi tentang teknik-teknik konservasi energi. Dengan begitu,
diharapkan pasien dapat menyederhanakan setiap aktivitasnya terutama yang
berhubungan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Seperti berjalan, makan,
mandi, berpakaian sampai dengan aktivitas pekerjaanya.
Latihan dan Terapi Fisik
Latihan dasar dari program rehabilitasi paru. Secara umum, latihan
terdiri dari latuhan pernafasan dan latihan rekondisi. Jenis latihan pernafasan
tergantung dari gangguan paru obstruktif atau restriktif. Selain itu , diajarkan
juga teknik-teknik pernafasan untuk mendapatkan pola nafas yang baik dan
ventilasi yang maksimal.
Macam-macam Latihan Permafasan:
Latihan pernafasan diafragmatik untuk meningkatkan gerakan pengembangan
dinding dada
Latihan pernafasan pursed lip untuk mengurangi kolaps paru, dyspneu dan
frekuensi pernafasan.
Latihan posisi tubuh tertentu untuk meningkatkan ventilasi dan relaksasi,
misalnya duduk dengan posisi tubuh mendatar ke depan (eaning forward).
Latihan rekondisi dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan
kebugaran fisik terutama bagi penderita yang telah mengalami deconditioning.
Latihan dapat berupa senam ringan, latihan fleksibilitas (streching) dan
kekuatan alat gerak atas dan bawah, latihan cardiopulmonal endurance atau
latihan khusus untuk otot-otot pernafasan. Intensitas latihan dimulai dari yang
paling ringan. Jenis latihan endurance dapat berupa berjalan, ergocycle (sepeda
statis) atau treadmill. Lama waktu setiap latihan adalah 30 menit dengan
frekuensi latihan minimal tiga kali seminggu.
31
Berdasarkan bukti ilmiah efek fisiologis atau keuntungan dari latihan baru
dapat tercapai dengan durasi latihan enam minggu. Terapi fisik diperlukan saat
keadaan kondisi akut (rawat inap) maupun rawat jalan. Terapi fisik dada (chest
physical therapy) biasanya diberikan untuk masalah sekret atau dahak dan
saluran nafas.
Bentuk terapi ini antara lain, pertama postural drainage. Dengan memposisikan
penderita sesuai dengan letak retensi sekret. Dilakukan perkusi atau vibrasi
untuk membantu pengeluaran sekret. Kedua, batuk. Apabila penderita dalam
keadaan sadar diberikan teknik-teknik batuk untuk mengeluarkan dahak.
Terapi fisik lain dapat berupa latihan relaksasi otot-otot pernafasan dengan
tujuan membantu mempercepat relaksasi otot bantu nafas karena beban kerja
yang terus menerus. Terapi fisik juga diperluka untuk melakukan koreksi
postur abnormal yang sering terjadi pada penderita paru akronik.
Terapi Perilaku dan Psikososial
Gejala-gejala yang dialami pasien sekian lama akan menimbulkan
kecemasan atau depresi. Kondisi ini akan menambah berat kondisi dan
berpotensi untuk membuat pasien jatuh dalam keadaan deconditioning.
Pemeriksaan khusus psikologis diperlukan untuk penampisan kecemasan atau
depresi.
Bentuk terapi yang diperlukan dapat berupa edukasi atau latihan seperti
latihan relaksasi untuk mengurangi kecemasan maupun relaksasi otot-otot
pernafasan agar beban kerja berkurang dan tidak mudah terjadi fatigue.
Penderita dapat lebih percaya diri untuk melakukan aktivitas.
Depresi akan menghambat kepatuhan pasien terhadap program
terutama untuk latihan sehingga diperlukan suatu psikoterapi. Keluarga juga
dapat terkena dampak dampak dari ketidakmampuan penderita beraktivitas.
Tenaga psikolog diharapkan dapat memberika konseling, sehingga keluarga
dapat memberikan dorongan kepada penderita. Terapi perilaku dan psikososial.
Gejala-gejala yang dialami pasien sekiaan lama akan menimbulkan
kecemasan atau depresi. Gejala-gejala yang dialami pasien sekian lama akan
menimbulkan kecemasan atau depresi. Kondisi ini akan menambah berat
32
kondisi dan berpotensi untuk membuat pasien jatuh dalam keadaan
deconditioning. Pemeriksaan khusus psikologis diperlukan untuk penampisan
kecemasan atau depresi. Bentuk terapi yang diperlukan dapat berupa edukasi
atau latihan seperti latihan relaksasi untuk mengurangi kecemasan maupun
relaksasi otot-otot pernafasan agar beban kerja berkurang dan tidak mudah
terjadi fatigue. Penderita dapat lebih percaya diri untuk melakukan aktivitas.
Penderita paru kronik tidak hanya memerlukan terapi obat-obatan tetapi
juga memerlukan program rehabilitasi paru. Tujuan utama program ini adalah
untuk mengembalikan penderita kepada tingkat kapsitas fungsional yang
terbaik yang masih dimiliki.
Penderita dibantu untuk kembali aktif secara fisik dan memahami
penyakitnya. Terapi dan cara untuk mengahadapi penyakit paru kronik yang
ada pada dirinya. Untuk keberhasilan program ini diperlukan suatu kerjasama
tim multidisiplin mulai dari dokter, fisoterapis, perawat, terapis okupasi,
psikolog, nutrisionis, sampai dengan tenaga sosial.
Kerjasama yang baik dengan penderita serta keluarga dibutuhkan untuk
mendukung program. Selain itu, untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan
motivasi dari penderita untuk mematuhi dan mengikuti program karena bersifat
jangka panjang (minimal enam minngu dengan pengawasan di pusat-pusat
rehabilitasi medik). Program tidak akan berhasil tanpa motivasi daro penderita
penyakit paru kronik.
(Soeroto dan Suryadinata 2014)
(Sharma 2010)
(Kronik 2013)
(Disease 2017)
33
DAFTAR PUSTAKA
Sharma, Anita. COPD in Primary Care. Boca Raton: CRC Press, 2010.
34