Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN TUGAS HIV/ AIDS

TUGAS 2

NAMA : RITA DWI HANDAYANI


KELAS :A
NPM : 1614201120326

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN, 2017
Analisis hubungan antara HIV yang bisa menyebabkan TB, antara lain :
1. Transmisi
Koinfeksi tuberkulosis dan HIV memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi perkembangan penyakit masing-masing. Risiko perkembangan
TB aktif pada individu imunokompeten diperkirakan 5-10% selama hidupnya,
sedangkan pada individu dengan HIV positif risiko meningkat menjadi 5-15%.
Pada penderita HIV, terjadi penurunan sel limfosit T CD4 menyebabkan
penurunan produksi interferon (IFN). Penurunan produksi IFN2 ini
menyebabkan peningkatan risiko terjadinya reakivasi atau reinfeksi TB. Pada
pasien dengan infeksi M.tuberculosis juga memiliki pengaruh terhadap
perkembangan infeksi HIV. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh
granuloma tuberkulosa terutama tumor necrosis factor-2 (TNF2) dihubungkan
dengan peningkatan viremia yang akan memperberat imunosupresi. Produksi
TNF sebagai respon infeksi MTB diperlukan untuk mengontrol perkembangan
bakteri, TNF diketahui dapat mengaktivasi replikasi HIV di dalam makrofag.
Infeksi HIV dan MTB stimulasi pelepasan TNF dari sel-sel yang terinfeksi.
TNF akan menghambat pertumbuhan bakteri MTB dan pada saat bersamaan
meningkatkan replikasi HIV.

2. Diagnosis
a. Pemeriksaan Laboratorium Dahak
1) Mikroskopis
Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan
mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari
ODHA yang menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun
pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan
mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak
(Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak
hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan.
2) Biakan
Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis
TB. Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan
yaitu media padat dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media
cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman TB
merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan
memerlukan waktu sekitar 6 – 8 minggu. Pemeriksaan biakan
memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB
pada ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat
mengakibatkan angka kematian TB pada ODHA meningkat.

Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif


sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal
ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasil-hasil
pemeriksaan penunjang lainnya negatif. Pemeriksaan biakan dahak
dilakukan pada laboratorium yang telah memenuhi standar yang
ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana
Kesehatan (BPPM dan SK).

Catatan: Pada saat ini untuk mendiagnosis TB pada ODHA, WHO


merekomendasikan pemeriksaan Uji Cepat/Rapid Test, yang
memerlukan waktu lebih singkat dan sekaligus dapat dimanfaatkan
untuk mengetahui lebih awal kemungkinan ODHA resisten terhadap
Rifampisin. Namun ketersediaan alat ini masih terbatas hanya pada
beberapa Fasyankes dan belum menjadi kebijakan nasional.
b. Pemeriksaan Penunjang Radiologis
Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam
penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif.
1) Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA
a) BTA positif
Foto toraks diperlukan pada:
 Pasien sesak napas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi
pleura).
 Pasien hemoptysis.
 Pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya.

b) BTA negatif
Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif.

Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru.


Tabel 1. Gambaran foto toraks tipikal atau tidak tipikal
Tipikal Tidak Tipikal
Infiltrat di apeks paru Infiltrat di interstitial (selain
Infiltrat bilateral apeks paru)
Kavitas Limfadenopati intratoraks
Fibrosis dan Tidak terdapat kavitas
pengerutan/atelectasis

Catatan: Perubahan gambaran foto toraks pada pasien TB/HIV


menggambarkan derajat tingkat kekebalan. Pada penurunan tingkat
kekebalan tubuh yang ringan gambaran foto toraks masih
menunjukkan gambaran tipikal (kavitas, infiltrat di apeks paru). Jika
penurunan tingkat kekebalan sudah lebih berat maka gambaran foto
toraks menjadi tidak tipikal.
2) Diagnosis banding berdasarkan foto toraks
Gambaran foto toraks penyakit selain TB dapat juga memberikan
gambaran foto toraks seperti TB.
Tabel 2. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan
kelainan pada foto toraks yang sering dinterpretasikan sebagai TB Paru
Hasil temuan foto toraks Kemungkinan Penyebab
Kavitas Infeksi
Pneumonia bakterial
Nokardiosis
Melioidosis
Paragonimiasis
Abses paru
Beberapa infeksi jamur

Penyakit non-infeksi
Karsinoma bronkus
Penyakit jaringan kolagen
Penyakit paru akibat kerja

Infiltrat satu sisi Pneumonia


Karsinoma bronkus

Infiltrat dua sisi Pneumonia


Penyakit jaringan kolagen
Penyakit paru akibat kerja
Sarkoidosis

Limfadenopati mediastinal Limfoma


Karsinoma bronkus
Sarkoidosis

3. Pengobatan
Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan
pengobatan TB tanpa HIV/AIDS, yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan
dosis dan waktu yang tepat. Kategori pengobatan TB tidak dipengaruhi oleh
status HIV pada pasien TB tetapi mengikuti Buku Pedoman Nasional Program
Pengendalian TB (BPN PPTB). Pada prinsipnya pengobatan TB pada infeksi
TB HIV harus diberikan segera sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah
pengobatan TB dapat ditoleransi dengan baik, dianjurkan diberikan paling
cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu. HIV yang tidak mendapatkan
respon pengobatan, harus dipikirkan adanya resistensi atau malabsorbsi obat
sehingga dosis yang diterima tidak cukup untuk terapi (Kemenkes RI, 2012).

Terapi dengan Anti Retro Viral (ARV) dapat menurunkan laju sampai sebesar
90% pada tingkat individu dan sebesar 60% pada tingkat populasi, selain itu
mampu menurunkan rekurensi TB sebesar 50%. Pada pemeriksaan HIV
penderita TB yang memberikan hasil positif, rekomendasi penggunaan terapi
ARV adalah:
a. Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi.
Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu, berapapun jumlah
CD4.
b. Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI ada pasien yang memulai terapi
ARV selama dalam terapi TB. Rifampisin dapat menurunkan kadar
nelfinavir dan nevirapin. Obat yang dapat digunakan AZT atau TDF + 3TC
+ EFV. Setelah OAT selesai, EFV dapat diganti dengan NVP.

Untuk memulai pengobatan ARV pada pasien sedang dalam pengobatan TB


dapat dipakai pedoman sebagai berikut: terapi ARV diberikan untuk semua
ODHA yang menderita TB tanpa memandang jumlah CD4. Namun pengobatan
TB tetap merupakan prioritas utama untuk pasien dan tidak boleh terganggu
oleh terapi ARV. Seperti telah dijelaskan di atas, pengobatan ARV perlu
dimulai meskipun pasien sedang dalam pengobatan TB. Perlu diingat,
pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung Rifampisin sehingga pasien
dalam pengobatan TB dan mendapat pengobatan ARV bisa mengalami
masalah interaksi obat dan efek samping obat yang serupa sehingga
memperberat efek samping obat. Paduan pengobatan ARV yang mengandung
Efavirenz (EFV) diberikan bila pengobatan ARV perlu dimulai pada pasien
sedang dalam pengobatan TB. Di samping itu, ODHA dengan TB juga
diberikan PPK. Jadi, jumlah obat yang digunakan bertambah banyak sehingga
mungkin perlu beberapa perubahan dalam paduan ARV. Setiap perubahan
tersebut harus dijelaskan secara seksama kepada pasien dan pengawas melan
obat (Kemenkes RI, 2012).

Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-


infeksi TB-HIV, menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi
ARV lebih cepat, meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan kekambuhan
TB.

4. Pencegahan
a. Meningkatkan Pelayanan TB-HIV Secara Terpadu
Seringkali penderita TB terdeteksi terkena HIV apabila sudah mengidap TB
terlebih dahulu, sedangkan ODHA dapat dengan mudah terkena TB apabila
berinteraksi dengan orang yang terkena TB positif sehingga pelayanan TB-
HIV secara terpadu perlu dilakukan. Pelayanan ini meliputi penyediaan
fasilitas kesehatan misalnya klinik TB-HIV, kemudahan akses untuk
mendeteksi dini, tersedianya sumber daya manusia dalam bidang medis
untuk menangani serta tersedia kebijakan serta peraturan yang menaungi.
Misalnya pasien TB-HIV dapat mengunjungi satu klinik saja untuk
konsultasi maupun melakukan pengobatan; terdapat pelayanan yang cepat
berkat tersedianya tenaga medis yang memadai sehingga dapat mengurangi
interaksi ODHA dengan pasien TB lainnya begitu pula sebaliknya sehingga
resiko penularan menjadi minim; kemudian apabila pasien TB dicurigai
terinfeksi HIV maka segera diberi rujukan untuk melakukan tes HIV.
Kecenderungannya adalah pasien terdeteksi HIV positif setelah terinfeksi
TB sehingga upaya pencegahan menjadi terhambat. Maka upaya
pendeteksian dini secara terpadu pada satu fasilitas kesehatan diharapkan
dapat meminimalisir interaksi kedua penyakit tersebut.
b. Memastikan pelayanan optimal bagi pasien terdiagnosis TB-HIV
Bagi pasien yang sudah terdiagnosis TB-HIV perlu diberikan pelayanan
yang optimal dengan dukungan pengobatan HIV melalui pemberian
Krotimoksasol dan ARV. Pelayanan yang optimal tidak berhenti hanya
sampai pada pemberian obat saja. Pemantauan ketika pasien TB-HIV
mengkonsumsi OAT maupun ART juga perlu dilakukan. ODHA yang
terinfeksi TB maupun sebaliknya akan mengkonsumsi obat yang banyak
sekaligus yaitu OAT dan ARV yang seringkali menimbulkan efek samping.
Efek samping ini kadang sulit untuk diketahui dari obat yang mana karena
beban obat dapat terlalu besar sehingga diperlukan pemantauan terhadap
konsumsi kedua jenis obat agar pasien tidak merasakan terbebani dengan
memperhatikan waktu serta besarnya infeksi dari masing-masing penyakit.

c. Meningkatkan Fasilitas Pelayanan TB-HIV


Fasilitas pelayanan TB-HIV terpadu diharapkan tersedia secara merata
pada semua daerah untuk mengoptimalkan pencegahan interaksi kedua
penyakit tersebut, terutama pada daerah-daerah endemis TB maupun HIV.

d. Upaya Pencegahan Melalui Pendeteksian Dini dan Skrining


Untuk mengendalikan penularan kuman TB dapat dilakukan upaya
pendeteksian dini terhadap pasien dengan suspect TB. Langkah pencegahan
dini selain memudahkan pengobatan juga menekan kuman TB menjadi
resisten yang tentunya berbahaya jika bersekutu dengan HIV. Sedangkan
untuk mencegah penyebaran HIV juga dapat melalui pendeteksian dini dan
penemuan penderita melalui skrining HIV dan AIDS. Skrining dapat
dilakukan terhadap hasil donor darah, pemantauan pada kelompok berisiko
seperti penderita penyakit menular seksual (PMS), pengguna narkoba
melalui jarum suntik dan pada kelompok berisiko rendah seperti ibu rumah
tangga.
DAFTAR PUSTAKA

Yayasan Spiritia. (2006). Seri Buku Kecil HIV dan TB. Jakarta: Yayasan Spiritia.

Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. 2012. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI.

Made, A. (2016). Profil Pasien Koinfeksi TB – HIV. (Internet). Volume 36 (2).


Available form : http://jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2017/01/JRI-
2016-36-3-175.pdf (Accessed 22 Maret 2017).

Anda mungkin juga menyukai