Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA PASIEN DENGAN CA NASOFARING
DIRUANG BEDAH TERATAI RSUD DR SOETOMO SURABAYA

DISUSUN OLEH :
AFIFA DWI MAS’UDAH
NIM : P27820715011

KEMENTRIAN KESEHATAN REPULNIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
2017-2018
LAPORAN PENDAHULUAN

CA NASOFARING

A. Pengertian
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima, 2006 dan Nasional
Cancer Institute, 2009).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel epitelial yang
menutupi permukaan nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh
Regaud dan Schmincke pada tahun 1921 (Bernard, 2006).

B. Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup
banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:
1) Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih
menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA
(human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan
dengan sebagian besar karsinoma nasofaring (Nasir, 2009) .
2) Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring
dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang
Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah
dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan
seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-Ig
A), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika
yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan
dengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya)
tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma (Nasir, 2009 dan Nasional Cancer Institute, 2009).
3) Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya
karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin, diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat
(Roezin, Anida, 2007 dan Nasir, 2009).
Selain itu, kebiasaan mengonsumsi makanan yang diawetkan (daging dan ikan)
terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma nasofaring.

C. Patofisiologi

Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang
diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan
pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen penekan tumor
(TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel (Maitra dkk, 2007 dan Roezin,
Anida, 2007).
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur
oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami
mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan
pembelahan sel secara patologis (Maitra dkk, 2007 dan Roezin, Anida, 2007).
D. Pathway
E. Klasifikasi
1. Menurut bentuk dan cara tumbuh
1. ulseratif
2. Eksofilik : Tumbuh keluar seperti polip
3. Endofilik : Tumbuh dibawah mukosa, agar sedikit lebih tinggi dari jaringan sekitar
(creeping tumor)
2. Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
1. Tipe WHO 1
a. Karsinoma sel skuamosa
b. Deferensiasi baik sampai sedang
c. Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan)
2. Tipe WHO 2
a. Karsinoma non keratinisasi
b. Paling banyak pariasinya
c. Menyerupai transisional
d. Karsinoma
3. Tipe WHO 3
a. Karsinoma tanpa deferensiasi
b. Seperti antara lain limfoepitelioma. karsinoma anaplastik,”Clear Cell
Carsinoma”, varian sel spindle
c. Lebih radiosensitive, prognosis lebih baik
4. Penentuan stadium
TUMOR SIZE (T)
T Tumor primer
T0 Tidak tampak tumor
T1 Tumor terbatas pada satu lokasi saja
T2 Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada
rongga nasofaring
T3 Tumor lebih keluar dari rongga nasofaring
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
saraf-saraf otak
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
REGIONAL LIMFE NODES (N)
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tapi homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral, yang
sudah melekat pada jaringan
METASTASE JAUH (M)
M0 Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh
a. Stadium I : T1 N0 dan M0
b. Stadium II : T2 N0 dan M0
c. Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau T3 dan N0 dan M0
d. Stadium IV : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau
T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3/N4 dan M1

F. Manifestasi Klinis
Gejala dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin,Anida, 2007). Gejala pada telinga
dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa
dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan
gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan
ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga
telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak,
sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran
(Roezin, Anida, 2007 dan National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga
oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,
sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin, Anida, 2007 dan National
Cancer Institute, 2009 ).

Gejala Lanjutan
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter
di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,
sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh.
Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel
kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala
yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno, Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga
tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan
ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) di daerah wajah sampai akhirnya
timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman.
Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya
kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus
pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang
disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).

G. Pemeriksaan Penunjang
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan
daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan
terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan
Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan
darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain-lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis
(Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B
telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui
rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy (Krishnakat, Samir,2002 dan Nasir, 2008).
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersama-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring
dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan
terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical
dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang
memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam
nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan
hanya menggunakan thin flexible tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui
mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah
digunakan untuk melihat nasofaring,disebut nasofaringoskopi (Pandi, 1983 dan Arima,
2006).

H. Penatalaksanaan medis
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi
leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan
anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan) (Roezin, Anida, 2007
dan National Cancer Institute, 2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat
ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian
pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan
cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-
fluorouracil oral setiap hari sebelumdiberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer
memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma
nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Arisandi, 2008).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di
leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah
penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau
kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi
(Roezin, Anida, 2007).
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan
dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan
lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena
fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-
kadang muntah atau rasa mual (Roezin,Anida, 2007).
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis
jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut
diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan
umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan
dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Fuda Cancer Hospital
Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).
I. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis
dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan
hipoplasia struktur otot dan tulang diradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi
sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism dapat terjadi
dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan
penggunaan cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang
menerima cisplatin. Mereka yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis
paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering
dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).
J. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-
ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya dalam
Dharishini, 2010).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
CA NASOFARING
I. PENGKAJIAN
a. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pekerjaan, alamat, nomor
registrasi, tanggal mrs
b. Riwayat keluhan utama
merasa sakit kepala dan pandangan kabur
c. Upaya yang telah dilakukan
Mengkaji upaya dan tindakan yang telah dilakukan dilakukan pasien untuk mengatasi keluhan
yang dirasakan baik sebelum atau selama masuk rumah sakit
d. Terapi/operasi yang perna dilakukan
Kemoterapi, radioterapi
e. Riwayat kesehatan
1. Riwayat penyakit sebelumnya
adanya riwayat kanker nasofaring dan radang tenggorakan
2. Riwayat penyakit sekarang
Lemas, nyeri, dan muncul benjolan di pipi dan leher, nafsu makan menurun dan mual
muntah.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Dalam riwayat kesehatan keluarga terdapat keluarga yang pernah mengalami sakit kanker
4. Keadaan kesehatan lingkungan
sering berhadapan dengan lingkungan banyak bahan kimia, lingkungan banyak asap
seperti asap pabrik, asap kendaraan ataupun kayu bakar
5. Alergi
Mengkaji klien apakah selama ini mempunyai riwayat alergi yang diderita seperti alergi
makanan atau obat
6. Genogram
Pada data ini berisikan data keluarga klien
II. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Bagian ini mengkaji pasien secara umum, seperti
1. keadaan penyakit (ringan/sedang/berat/akut/kronik)
2. Tingkat kesadaran pasien
3. Karakteristik suara bicara
4. Pernafasan, suhu tubuh, nadi, tekanan darah, dan nyeri
2. B1 (Breathing)
Gerakan dada simetris, retraksi dad (+), sesak nafas, RR >20/menit, suara perkusi paru
sonor, suara nafas ronkie
3. B2 (Blood) adanya cardiomegali, tidak ada suara tambahan mur-mur, tampak pucat
4. B3 (Brain)
Pusing, nyeri, dan gangguan sensori
5. B4 (Bladder)
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising
usus, distensi abdomen
6. B5 (Bowel)
BB menurun, anorexia
7. B6(Bone)
Terlihat lelah, banyak istirahat, dan kerusakan integritas kulit
III. Pola-pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup
Bagaimana persepsi pasien tentang hidup sehat, apakah klien menggunakan alcohol,
tembakau, dan pola olahraga, dan bagaimana status ekonomi pasien
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Dikaji pola dan porsi makan pasien setiap harinya, bagaimana nafsu makan pasien apakah
ada mual, muntah/alergi. Ada atau tidak kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu
masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas
c. Pola eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising
usus, distensi abdomen
d. Pola tidur dan istirahat
adakah gangguan pola tidur atau tidur tidak nyenyak karena nyeri
e. Pola aktifitas dan latihan
Apa saja kegiatan sehari-hari pasien sebelum masuk rumah sakit. Juga ditanyakan aktifitas
pasien selama di rumah sakit. Lebih banyak beristirahat.
f. Pola hubungan dan peran
Bagaimana hubungan pasien dengan lingkungan sekitarnya. Apakah peranan pasien dalam
keluarga dan masyarakat. Juga ditanyakan bagaimana hubungan pasien dengan pasien lain
dirumah sakit.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Bagaimana body image, harga diri, ideal diri, dan identitas diri pasien. Apakah ada
perasaan negatif terhadap dirinya. Juga bagaimana pasien menyikapi kondisinya setelah
mengetahui penyakitnya
h. Pola sensori dan kognitif
Bagaimana daya penginderaan yang dirasakan pasien. Bagaimana cara berpikir dan jalan
pikiran pasien.
i. Pola reproduksi seksual
Dikaji bagaimana kualitas hubungan dengan partner, kaji pula bagaimana pengetahuan dan
sikap klien terhadap seksualitas, fungsi, dan program seksual
j. Pola penanggulangan stress
Bagaimana pasien memecahkan masalah yang dihadapi dan stressor yang paling sering
muncul pada pasien.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Dikaji bagaimana kepercayaan klien terhadap agama, dampak keyakinan terhadap upaya
penyembuhan, dan dampak sakit terhadap ritualitas

IV. Diagnosa keperawatan


1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik ditandai dengan pasien tampak meringis.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan nutrisi ditandai dengan penurunan berat badan.
3) Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasive, imunitas tubuh menurun.
4) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan infeksi pada nasofaring ditandai dengan
sesak napas

V. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi


kriteria hasil
1 Nyeri akut Tujuan : 1. Lakukan pegkajian nyeri secara
berhubungan Setelah dilakukan komprehensif termasuk lokasi,
dengan agen injuri tindakan asuhan karakteristik, durasi, frekuensi,
fisik ditandai keperawatan selama 3 x kualitas dan faktor presipitasi.
dengan pasien 24 jam tingkat nyeri Rasional : Nyeri merupakan
tampak meringis berkurang pengalaman subyektif dan harus
dijelaskan oleh pasien,
Kriteria Hasil :
mengidentifikasi nyeri untuk
1. Dibuktikan dengan memilih intervensi yang tepat.
skala nyeri dalam 2. Anjurkan untuk beristirahat
batas normal (0-2) Rasional : Menurunkan stimulasi
2. klien dapat yang berlebihan yang dapat
melaporkan nyeri mengurangi sakit kepala.
pada petugas, 3. Berikan kompres dingin pada
frekuensi nyeri, bagian yang nyeri.
ekspresi wajah, dan
Rasional : Meningkatkan rasa
menyatakan
nyaman dengan menurunkan
kenyamanan fisik
vasodilatasi.
dan psikologis,
3. Tanda-tanda vital 4. Ajarkan teknik relaksasi dengan
dalam rentang distraksi dan napas dalam.

normal Rasional : Membantu


. mengendalikan nyeri dan
mengalihkan perhatian dari rasa
nyeri.
5. Kolaborasi medis, berikan
analgesik untuk mengurangi
nyeri.
Rasional : Analgesik mampu
menekan saraf nyeri.

2 Ketidakseimbangan Tujuan : 1. Kaji pola makan klien


nutrisi kurang dari Setelah dilakukan Rasional:Mengidentifikasi
kebutuhan tubuh tindakan asuhan defisiensi nutrisi.
berhubungan keperawatan selama 2. Identifikasi pasien yang
dengan 3×24 jam klien mengalami mual/muntah yang
ketidakmampuan menunjukan status diantisipasi.
pemasukan nutrisi nutrisi adekuat Rasional : Mual/muntah
ditandai dengan psikogenik terjadi sebelum
Kriteria Hasil :
penurunan berat kemoterapi, mual secara umum
badan 1. Dibuktikan dengan tidak berespons terhadap obat
BB stabil antiemetik.
2. tidak terjadi mal 3. Kolaborasi medis dengan
nutrisi ataupun mual pemberian aniemetik pada
muntah jadwal reguler sebelum atau
3. Peningkatan nafsu selama dan setelah pemberian
makan agen antineoplastik dengan
sesuai.
Rasional : Mual/muntah paling
menurunkan kemampuan dan
efek samping psikologis
kemoterapi yang menimbulkan
stress.
4. Dorong pasien untuk makan
sedikit tapi sering.
Rasional : Kebutuhan sehari-hari
dapat terpenuhi dengan baik.
3 Risiko infeksi Tujuan : 1. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
berhubungan Setelah dilakukan Rasional : Untuk memudahkan
dengan tindakan tindakan asuhan memberikan intervensi kepada
infasive, imunitas keperawatan selama 3 x pasien.
tubuh menurun 24 jam tidak terdapat 2. Monitor tanda-tanda vital.
gejala gejala infeksi Rasional : Merupakan tanda

Kriteria Hasil : adanya infeksi apabila terjadi


peradangan.
1. klien bebas dari
3. Kolaborasi medis dengan
tanda dan gejala
pemberian antibiotik.
infeksi
Rasional : Antibiotik dapat
2. Menunjukkan
mencegah sekaligus membunuh
perilaku hidup sehat
kuman penyakit untuk
3. Jumlah leukosit
berkembang biak
dalam batas normal
4. Menunjukkan 4. Memantau hasil lab leukosit

perilaku hidup sehat Rasional : mengetahui kadar


leukosit

4. Gangguan Tujuan : 1. Beri posisi semi fowler


pertukaran gas Setelah dilakukan Rasional : memudahkan untuk
berhubungan tindakan keperawatan bernafas
dengan infeksi selama 3x24 jam, nafas 2. Ajarkan teknik relaksasi
pada nasofaring mulai efektif dengan distraksi dan napas
ditandai dengan dalam
Kriteria Hasil :
sesak napas Rasional : mampu bernafas
1. Tanda-tanda vital dengan mudah
dalam rentang 3. Berikan alat bantu pernafasan
normal Rasional : memudahkan untuk
2. Mendemonstrasikan bernafas
peningkatan ventilasi 4. Pantau dan ukur tanda-tanda
dan oksigenasi yang vital
adekuat Rasional: mengetahui keadaan
3. Mampu bernafas umum klien
dengan mudah
VI. Implementasi
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari
masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik. Implementasi akan
dilaksanakan sesuai perencanaan dan didokumentasikan sesuai urutan jam pelaksanaan serta
sesuai sop dan bagaimana respon klien.

VII. Evaluasi
merupakan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan
keperawatan pasien yang telah diterapkan dengan respon perilaku klien yang tampil. Evalauasi
ada dua macam yaitu
1. Evaluasi formatif
adalah hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada saat/setelah
dilakukan tindakan keperawatan
2. Evaluasi Sumatif
adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu
pada tujuan
DAFTAR PUSTAKA

Arima, C. 2006. Paralisis Saraf Kranial Multipel pada Karsinoma Nasofaring.

Arisandi, D. 2008. Asuhan Perawatan Pada Klien Dengan Kanker Nasofaring.

Arsyad Efiaty, Iskandar Nurbaiti. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Jakarta : FKUI.

Bernand. 2006. Nasopharyngeal Carcinoma Review in Orphanet Journal in Rare Disease. Biomed
Central.

Dharishini, P. 2010. Gambaran Karateristik Penderita Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2009. Karya Tulis Ilmiah.
Diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Doenges, M. G. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Fuda Cancer Hospital Guangzhou. 2002. Nasopharynx Carcinoma Therapy After The Failure of
Coventional Therapy.

Huda, Amin Nurarif. 2015. NANDA NIC NOC. Jogjakarta : Mediaction Publishing

Krishnakat & Samir. 2002. Pharyngeal Tumors. In: A Short Textbook Of Ear,Nose And Throat
Disease For Students And Practioners. Edition 5, Mumbai:Usha Publications, 307-310.

Maitra, dkk. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Disunting oleh Vinay Kumar Ramzi S Cotran, dan
Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.

Maqbook, M. 2000. Tumours Of Nasopharynx. In: Textbook Of Ear, Nose And Throat Disease.
Edition 9, Srinagar: Jay Pee Brothers, 250-253.

Nasir, N. 2009. Karsinoma Nasofaring; Kedokteran Islam.

National Cancer Institute. 2009. Nasopharyngeal Cancer Treatment.

Nurlita, N. 2009. Karsinoma Nasofaring. Ilmu Keperawatan.

Nutrisno, Achadi. 1988. Karsinoma Nasofaring Di Rumah Sakit Dr.Kariadi Semarang. Cermin Dunia
Kedokteran.
Pandi, Purnama S. 1983. Aspek Klinik Tumor Ganas Telinga-Hidung-Tenggorok. In :Himawan,
Sutisna. Tumor Kepala dan Leher : Diagnosis dan Terapi. Jakarta : FKUI. pp: 65-71.

Punagi. 2007. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor Receptor (VEGFR) dan Latent
Membrane Protein (LMP-1) pada Karsinoma Nasofaring. Otorhinolaryngologica Indonesia,
Vol. XXXVII (4): 31-6.

Roezin, A. dan Anida, S. 2007. Karsinoma Nasofaring. Disunting oleh Efiaty Arsyad Soepardi dan
Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher,
Edisi Keenam. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai