Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Proses penuaan adalah suatu proses fisiologis yang berjalan dengan


waktu, bersifat universal dan progresif yang bermanifestasi berupa penurunan
kapasitas fungsional, cadangan fisiologis serta kemampuan homeostasis.1

Dengan perbaikan pelayanan kesehatan baik dalam segi pencegahan


maupun pengobatan, harapan hidup manusia menjadi semakin panjang, sehingga
jumlah manusia berusia lanjut (manula) akan bertambah besar. Para manula ini
mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam hal pemberian obat
termasuk analgesia karena terdapat kemunduran sistem fisiologis dan
farmakologis sejalan dengan penambahan usia. Pada umumnya, kewaspadaan
pemberian obat harus mulai ditingkatkan pada pasien yang berumur 50-60 tahun.1

Sejalan dengan meningkatnya populasi lansia, maka meningkat pula jumlah


kasus nyeri terkait disabilitas dan perubahan degeneratif pada kelompok ini.2
Nyeri muskuloskeletal merupakan kelompok kasus nyeri yang paling sering
dialami oleh kelompok lansia di komunitas.3

Sebelum menentukan tatalaksana yang tepat, assessment yang komprehensif


harus dilakukan. Evaluasi klinis sindrom nyeri, termasuk anamnesis, pemeriksaan
fisik adekuat, pemeriksaan penunjang relevan perlu dilakukan sebelum
menentukan penatalaksanaan yang paling tepat. Riwayat penyakit penyerta,
seperti gangguan hati, ginjal, faktor risiko vaskuler, status fisik dan mental,
penting diperhatikan karena akan sangat berkaitan dengan pilihan analgetik.
Tulisan ini akan menitikberatkan mengenai pembahasan penatalaksanaan nyeri
pada lansia dari segi farmakologis.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. DEFINISI GERIATRI

Geriatri adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek klinis dan penyakit
yang berkaitan dengan orang tua. Dikatakan pasien geriatri apabila4 :
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya
usia.
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif.
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
 Ketergantungan pada orang lain.
 Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena
berbagai sebab.
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) yang
progresif.
Batasan lanjut usia menurut WHO adalah :4
1. Middle age (45-59 th)
2. Elder (60-64 th)
3. Old (65-90 th)
4. Very old (>90 th)

II. 2. PERUBAHAN FISIOLOGIS PADA LANSIA YANG MEMPENGARUHI


PILIHAN TERAPI OBAT

Secara fisiologis, fungsi organ tubuh pada lansia akan mengalami perubahan.
Hal ini penting dipertimbangkan sebelum menentukan pengobatan farmakologis yang
tepat. Perubahan farmakologis pada lansia yang dapat mempengaruhi pilihan terapi
obat dapat dilihat pada tabel 1.5
Perubahan Farmakologi

Perubahan Anatomi dan Fisiologi

Pada geriatri, massa otak menurun. Hasil bedah mayat pada geriatri
menunjukkan penurunan 15% massa otak pada penderita yang berumur 80 tahun.
Jumlah neuron dan serat saraf spinalis juga berkurang dengan bertambahnya umur.6,7

Penebalan pembuluh darah arteri otak, penebalan selaput otak dan fibrosis
jaringan menyebabkan CBF (cerebral blood flow) menurun, CVR (cerebro vascular
resisten) meningkat dan compliance intrakranial menurun.6,7

Enzim hidroksilase, dopa dekarboksilase, asetilkolintransferase menurun


sehingga sintesa neurotransmiter seperti dopamin, noradrenalin, tirosin dan serotonin
menurun.6,8

3
Neuron perifer mengalami degenerasi. Hal ini mengakibatkan konduksi saraf
menurun dan terjadi atrofi otot. Degenerasi saraf medula spinalis daerah servikal lebih
banyak dari daerah kaudal. Hal ini menyebabkan melemahnya otot terutama otot
lengan.8

Ambang nyeri pada geriatri meningkat, dibuktikan dengan berkurangnya nyeri


kepala pasca pungsi lumbal. Hal ini terjadi karena berkurangnya respon saraf yang
sensitif nyeri dan berkurangnya jumlah neuron.7

Sistem kardiovaskuler mengalami perubahan pada geriatri. Elastisitas


pembuluh darah berkurang karena proses arteriosklerosis dan fibrosis tunika media.
Hal ini menyebabkan compliance arteri menurun dan selanjutnya menyebabkan
tekanan darah sistolik meningkat, sedangkan tekanan darah diastolik tidak mengalami
perubahan bahkan bisa menurun.6,8,9 Curah jantung pada geriatri mengalami
penurunan. Penurunan terjadi sebanyak 1% setiap tahun mulai umur 40 tahun.7

Tonus vagal meningkat, sedangkan sensitivitas terhadap reseptor adrenal


menurun. Hal ini menyebabkan laju jantung menurun. Penurunan terjadi satu kali
per menit setiap tahun mulai umur 50 tahun. Kejadian disritmia pada geriatri
meningkat, hal ini disebabkan oleh berkurangnya sel sinoatrial dan adanya fibrosis
sistem konduksi nodus sinoatrial.6

Sistem respirasi mengalami perubahan pada geriatri, otot respirasi terutama


otot interkostal elastisitasnya berkurang, sehingga dinding dada kaku dan berbentuk
emfisematous. Hal ini menyebabkan penurunan tekanan oksigen arteri. Penurunan
tekanan oksigen arteri terjadi sebanyak 0,35 mmHg pertahun.6,8

Pertukaran gas pada paru menurun akibat elastisitas paru berkurang,


kalsifikasi kostokondrial dan berkurangnya permukaan alveoli yang ikut dalam
pertukaran gas. Secara klinis bisa dilihat terjadi penurunan tidal volume. Vital
capacity menurun sebanyak 20 ml pertahun, pada umur 70 tahun menjadi 70%.6,8,9

Resiko aspirasi pada geriatri lebih besar, karena reflek batuk dan reflek
protektif laring melemah. Reflek nafas dalam juga menurun, sehingga resiko hipoksia
menjadi lebih besar .6,7

4
Sistem gastrointestinal dan hati mengalami perubahan pada geriatri, pH cairan
lambung cenderung menurun, pengosongan lambung lambat, hampir 50% dari
dewasa muda.

Absorpsi usus kecil menurun karena mukosa usus atrofi, sel penyangga
jumlahnya menurun, jaringan penyangga meningkat, adanya kelainan seperti
divertikulitis. Aliran darah ke limpa menurun 30-40% dibanding dewasa muda, hal
ini berpengaruh terhadap absorpsi, terutama lemak dan obat-obat yang larut dalam
lemak

Jumlah sel hati pada geriatri menurun, hal ini menyebabkan aliran darah ke
hati menurun sebanyak 40-50%. Produksi albumin dan kolinestrase plasma menurun.
Protein plasma menurun 15-20% dibanding dewasa muda.6,8

Ginjal mengalami perubahan dengan meningkatnya umur. Mulai umur 40


tahun terjadi penurunan berat ginjal. Pada umur 80 tahun berat ginjal menjadi 70-
80%. Fungsi ginjal meliputi glomerulo filtration rate dan creatinin clerance menurun
1% tiap tahun mulai umur 40 tahun .

BUN (Blood Urea Nitrogen) terjadi peningkatan sebanyak 0,2 mg tiap tahun,
sedangkan serum kreatinin tidak mengalami perubahan karena massa otot juga ikut
berkurang pada geriatri.

Total cairan tubuh berkurang pada geriatri, jumlah cairan tubuh menjadi 45-55
%. Pengurangan cairan tubuh terutama terjadi pada intraseluler, akibatnya cairan
ekstraseluler menjadi relatif lebih banyak.6,7

Homeostasis terhadap cairan menurun, sehingga pada geriatri mudah terjadi


dehidrasi atau kelebihan cairan. Kemampuan untuk mengkompensasi asidosis
metabolik atau alkalosis metabolik berkurang. Respon renin juga menurun pada
geriatrik.7,9
Sistem muskuloskeletal mengalami perubahan pada geriatri, ditandai dengan
mengecil dan melemahnya otot. Hal ini disebabkan oleh kurangnya impuls dari upper
motor neuron dan degenerasi neuromuscular junction.6

Pengapuran pada persendian tulang belakang, menyebabkan terbatasnya fleksi


tulang belakang, sehingga menimbulkan kesulitan pada anestesi spinal.6

5
Regulasi pengaturan suhu menurun. Faktor yang berpengaruh terhadap
regulasi suhu tubuh adalah penurunan jumlah lemak di bawah kulit, penurunan fungsi
kelenjar keringat, penurunan kapiler sehingga pengaturan vasokontriksi dan
vasodilatasi terganggu. Sehingga suhu tubuh pada geriatri tergantung dari suhu
lingkungan.6

II. 3. ANALGESIA

Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Obat
analgetik dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu obat golongan opioid dan NSAID
(non-opioid). Golongan opioid bekerja pada sistem saraf pusat, sedangkan golongan
NSAID (non-opioid) bekerja di reseptor saraf perifer dan sistem saraf pusat.6

Analgesik berarti bebas dari nyeri. Hal ini menunjukkan dua makna. Pertama,
untuk menunjukkan proses penderita bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar dalam kaitannya dengan istilah anestesi
lokal atau regional.6

Analgesik opioid digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai berat


dengan efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, retensi urin, sedasi, dan
depresi pernapasan. Golongan opioid dibedakan menjadi opioid lemah (kodein,
tramadol) dan opioid kuat (morfin, fentanil). Kodein biasa digunakan pada step 2
analgetic ladder dari WHO dan seringkali digunakan bersama parasetamol. Berbeda
halnya dengan obat golongan opioid, obat golongan non opioid seperti parasetamol
dan NSAID hanya dapat mengurangi nyeri pascaoperasi yang bersifat ringan sampai
sedang. Golongan anelgesik non opioid ini dapat juga digunakan sebagai tambahan
penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa
depresi napas.7

6
Gambar 1. WHO Three Step Analgetic Ladder

II. 4. PERTIMBANGAN PEMILIHAN ANALGETIK PADA LANSIA


Prinsip penanganan nyeri adalah mengidentifikasi dan mengeliminasi kausa


yang mendasari nyeri, misalnya tumor, infeksi, dan lain-lain. Hal ini tidak selalu
dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pilihan masuk akal yang biasa dilakukan
oleh klinisi adalah menangani keluhan/gejala dengan tujuan mengurangi nyeri.
Meskipun nyeri tidak dapat dihilangkan, tetapi usaha maksimal dapat dilakukan
dengan penilaian yang teliti tanpa melupakan evaluasi respons terapi.

Penanganan nyeri pada lansia, sebagaimana penanganan nyeri pada umumnya,


sebaiknya berdasarkan tipe, sifat, dan keparahan nyeri. Terapi farmakologis tetap
memainkan peranan penting untuk mengatasi nyeri pada lansia. Penting untuk diingat
bahwa pada lansia terdapat peningkatan sensitivitas terhadap kerja obat. Oleh karena
itu, setiap pilihan analgetik perlu dimulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap
sesuai dengan toleransi pasien dan sasaran terapi. Titrasi dosis sering tidak mengikuti
ketentuan umum, karena pada umumnya lansia akan berespons berbeda dibanding
populasi dewasa pada umumnya. Sedapat mungkin, pilihan analgetik didasari oleh
mekanisme terjadinya nyeri. Sebagai contoh, nyeri inflamasi sebaiknya diterapi
dengan anti inflamasi dan nyeri neuropatik diterapi dengan menggunakan analgetik

7
adjuvan. Hal ini untuk menjaga agar terapi tepat sasaran. Kombinasi analgetik tidak
diharamkan selama perhitungan efektivitas dan efek samping dilakukan dengan
seksama. Sebagai contoh, pasien dapat diterapi dengan analgetik non- opioid, opioid,
dan adjuvan selama memang dibutuhkan. Hindari kombinasi analgetik yang berasal
dari golongan yang sama.4,5,6

Modifikasi WHO Step Ladder pada Lansia

Dengan mempertimbangkan perubahan fisiologis pada lansia, maka WHO


Step Ladder juga perlu disesuaikan.

Penggunaan WHO analgesics step ladder pada awalnya dikhususkan untuk


pendekatan tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini, pendekatan ini juga dapat
diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker dengan perhatian khusus.
Modifikasi WHO analgesics step ladder pada lansia menunjukkan bahwa OAINS
non-spesifik, termasuk aspirin dan propoksifen sebaiknya dihindari.

Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk


tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa penggunaannya
sebaiknya diminimalisir karena efek samping kerusakan hati. Penggunaan
asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka panjang berhubungan dengan
kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai rekomendasi Food and Drugs
Administration USA (FDA-USA), penggunaan asetaminofen untuk kasus nyeri kronis

8
pada lansia sebaiknya dibatasi sampai 2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS,
maka pilihan utama adalah OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena
efek gastrointestinal yang minimal.

ANALGETIK SISTEMIK ORAL


Sebisa mungkin sebaiknya digunakan obat analgetik per-oral karena obat ini
relatif lebih aman dibandingkan dengan obat-obatan parenteral dan modalitas lain
yang lebih invasif. Kelemahan pemberian secara per-oral meliputi tidak cukupnya
analgesia untuk nyeri berat, adanya ileus pasca bedah dan iritasi saluran cerna. Obat-
obatan per-oral dianggap sebagai terapi tahap pertama (firstline therapy) untuk
prosedur operasi superfisial dan perifer yang diperkirakan akan menimbulkan nyeri
dengan intensitas yang ringan sampai sedang.

Opioid
Oleh karena obat ini mampu menghilangkan nyeri sedang sampai yang berat,
maka opioid lazim dipakai untuk mengatasi nyeri pasca bedah. (1,3) Namun pemberian
secara per-oral tak dapat diberikan jika dilakukan intubasi pasca bedah atau karena
adanya ileus. Untuk bedah mayor, opioid per-oral mulai diberikan setelah lewat
beberapa hari yaitu saat kita mengganti regimen analgesia dari teknik parenteral
menjadi teknik regional kontinyu.5

Obat-obat anti inflamasi non steroid


NSAID merupakan anti inflamasi dan juga sebagai antipiretik. Efektif
menghasilkan analgesia terhadap mediator inflamasi seperti prostaglandin. NSAID
berintervensi dengan memblok biosintesa prostaglandin dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase (COX).1

Obat-obat AINS (anti inflamasi non steroid) merupakan analgesik non


narkotik efektif yang dapat diberikan pasca bedah untuk nyeri sedang atau
dikombinasikan dengan obat narkotik untuk meminimalkan efek sampingnya. Obat
AINS perlu dimasukkan dalam regimen analgesik bila nyerinya berhubungan dengan
proses inflamasi seperti yang lazim dijumpai pada pasien geriatri yang menderita
penyakit sendi inflamasi. Selain efek analgesik, efek anti inflamasi terbukti juga
mampu mengurangi komplikasi pembentukan tulang heterotopik pasca pengantian
tulang panggul total dan sekaligus juga insiden operasi ulang. Sodium diklofenak

9
terbukti efektif mengurangi dan memperpendek respon inflamasi pasca operasi pada
tindakan ekstraksi katarak.9

Efek samping obat AINS patut diperhatikan. Masalah yang dapat timbul
mencakup iritasi dan perdarahan saluran cerna serta insufisiensi ginjal. Reaksi saluran
cerna kadang ringan seperti rasa kembung atau dapat pula cukup serius misalnya
perdarahan atau perforasi. Faktor resiko timbulnya kelainan saluran cerna tidak hanya
meliputi riwayat pernah menggunakan obat tersebut (khususnya selama 3 bulan
pertama terapi), riwayat pernah menderita masalah pada saluran cerna dan pemakaian
kortikosteroid, namun juga faktor usia yang diatas 60 tahun. Pasien geriatri yang
menggunakan AINS memiliki resiko yang besarnya 10 kali lipat untuk pembedahan
saluran cerna. Sementara berkaitan dengan obat yang dipakai, piroksikam, termasuk
yang beresiko paling tinggi. Indometasin dan aspirin beresiko sangat rendah dan
naproksen serta ibuprofen memiliki resiko yang paling rendah. Meskipun penurunan
fungsi platelet bersifat reversibel namun pada pemakaian obat AINS perdarahan
masih sering terjadi. AINS hanya dapat diberikan perioperatif bila akan dipakai dalam
jangka pendek serta tidak ada faktor lain yang dapat memperburuk fungsi ginjal
penderita. OAINS berhubungan dengan per- burukan derajat gagal ginjal, oleh karena
itu tidak dianjurkan pada pasien lansia dengan gagal ginjal.

Ketorolak atau NSAID kombinasi dengan opioid dapat mengurangi kebutuhan


(1,12)
opioid dan mengurangi efek samping opioid . NSAID tidak digunakan sebagai
analgetik inti. NSAID dapat lebih menurunkan jumlah opioid kuat yang dibutuhkan
atau memperkuat modalitas analgesia lain (14).

Asetaminofen
Asetaminofen adalah salah satu obat per-oral yang paling banyak dipakai
khususnya untuk nyeri ringan. Obat ini kadang dikombinasikan dengan opioid untuk
mengatasi nyeri pasca bedah dengan intensitas sedang. Walau efek anti inflamasinya
minimal namun obat ini memiliki efek antipiretik. Untuk pemberian pasca bedah
asetaminofen harus diberikan dengan hati-hati karena obat ini dapat menutupi gejala
demam yang timbul akibat adanya infeksi.

Respon demam pada pasien geriatri sedikit melemah sehingga penggunaan


asetaminofen yang memiliki efek antipiretik dapat menghambat kita dalam
menegakkan diagnosa infeksi yang berat (1).

10
ANALGETIK SISTEMIK PARENTERAL
Pemberian secara parenteral biasanya dapat berupa injeksi IM, infus IV, atau
kadang berupa injeksi kutan atau subkutan atau pemberian transdermal. Absorbsi
injeksi IM sulit diperkirakan terutama pada pasien obese atau penderita muscle –
wasted atau bila suhu tubuh pasien rendah, hal ini merupakan masalah yang lazim
dijumpai pada pasien geriatri saat periode pasca bedah. Selain itu pemberian secara
IM juga terasa sakit, rasa sakit akan bertambah bila dibutuhkan beberapa kali
suntikan. Infus kontinyu merupakan cara yang ideal karena dapat mempertahankan
kadar obat yang konstan dalam plasma darah.

Non narkotik : ketorolak


Ketorolak merupakan salah satu obat analgetik dari golongan NSAID yang
merupakan suatu grup yang terdiri dari berbagai struktur kimia yang memiliki potensi
sebagai antiinflamasi, antipiretik dan analgetik. Obat dengan golongan jenis ini
bekerja melalui jalur siklooksigenase yang berdampak pada terjadinya pencegahan
12
sensitisasi nosiseptor perifer karena terjadinya hambatan biosintesis prostaglandin.

Ketorolak dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena.


Pemberian secara intratekal dan epidural tidak dianjurkan. Obat ini memiliki potensi
yang besar dalam menanggulangi nyeri berat akut, namun memiliki aktifitas anti
inflamasi yang sedang bila diberikan secara intra muscular dan intra vena. Ketorolak
dapat diberikan sebagai analgesik pasca operatif atau sebagai kombinasi bersama
12
opioid.

Cara kerja ketorolak adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin


secara reversibel di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid pada sistem pusat.
Ketorolak akan menghambat nyeri dan reaksi inflamasi, sehingga akan mempercepat
proses penyembuhan luka. Obat ini juga memiliki potensi untuk menghambat
produksi tromboksan platelet dan agregasi platelet. Ketorolak secara kompetitif
menghambat kedua isoenzim COX, COX-1 dan COX-2 dengan potensi yang berbeda,
2,4,5
untuk menghasilkan efek farmakologis antiinflamasi, analgesi, dan antipiretik.

Keuntungan dari penggunaan analgesik ketorolak adalah obat ini tidak

11
menyebabkan depresi ventilasi atau kardiovaskular. Selain itu, ketorolak hanya
memiliki sedikit atau tidak ada efek pada dinamika saluran empedu, menjadikan obat
12
ini lebih berguna sebagai analgesik pada pasien spasme gangguan empedu.

Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak yang


sama dengan 12 mg morfin atau 100 mg petidin. Sifat antipiretik pada ketorolak
13
tergolong rendah.

Opioid
Opioid lazim dipakai secara IM atau lewat IV untuk mengatasi nyeri pasca
bedah yang sedang sampai berat. Analgesia juga dapat diperoleh dengan sistem
transdermal menggunakan fentanil sehingga didapat kadar darah yang konstan namun
dengan hasil yang berbeda dari yang diperoleh melalui infus kontinyu. Alat ini akan
melepas obat secara lambat ke dalam kulit dan obat selanjutnya diabsorbsi ke dalam
sirkulasi. Bahkan setelah dilepas sekalipun, kulit dapat tetap berperan sebagai
simpanan obat sehingga obat dapat terus diabsorbsi dan analgesia dapat berlangsung
selama 12 sampai 24 jam dengan efektif. Alat ini sebaiknya ditempel (di dada sebelah
atas) sekurangnya 12 jam sebelum operasi selesai sehingga efek latensi obat dapat
efektif. Melalui cara ini akan akan tercapai konsentrasi obat dalam darah yang
adekuat setelah operasi. Kadang kita perlu memberikan tambahan obat narkotik
terutama dalam 12 dalam 24 jam pertama pasca bedah. Untuk operasi daerah
abdomen dosis obat yang direkomendasikan yaitu sebesar 50-75 g / jam. Dosis obat
dapat dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan kecukupan analgesia atau ada tidaknya
efek samping obat. Alat ini dilepas pada hari ke 3 pasca bedah. Efek samping rasa
mual sering timbul, walaupun biasanya efek samping ini berhubungan dengan nyeri
yang disebabkan karena kita memasangnya kurang awal. Sama seperti infus kontinyu,
masih ada kemungkinan timbulnya depresi nafas.

Opioid dosis besar menghambat respon stres neuroendokrin terhadap operasi,


konsentrasi katekolamin, kortisol, ADH, glukosa, insulin, hormon pertumbuhan dapat
dipertahankan pada level normal. Respon stres endokrin terhadap kardiovaskuler
tidak sepenuhnya dapat dikontrol. Berguna mengurangi respon hyperdinamik
kardiovaskuler terhadap stimulasi bedah. Pada EEG penting diperhatikan akibat
opioid secara bolus disaat kritis adanya gelombang lambat akibat iskemik serebral.

12
Hilangnya kesadaran pada pasien dewasa muda dengan menggunakan hilangnya
respon perintah verbal dan respon nasophringeal airway dipakai sebagai tolok ukur
hilangnya kesadaran.12

Opioid  agonis menyebabkan depresi pernafasan tergantung dosis yang


diberikan. Ventilasi semenit volume tidal saat istirahat menurun laju respirasi
menurun, mempengaruhi irama pernafasan normal menyebabkab nafas iregiler dan
interval apnu. Sufentanil menyebabkan depresi nafas lebih kecil dari fentanil. Pasien
yang menerima opioid untuk nalagesia pasca bedah dapat mengalami epidode depresi
nafas dan hipoksemia.12

Stimulasi pembebasan histamin oleh morfin atau petidin dan bukan karena
analog fentanil, dapat menimbulkan hipotensi dan takikardi. Peningkatan histamin
plasma berkorelasi dengan penurunan tekanan darah, peningkatan laju jantung dan
adrenalin sirkulasi (epinephrine). Pemberian lambat morfin < 5 mg / menit dapat
mengurangi pembebasan histamin. Petidin diperkirakan 200 kali lebih kuat
menyebabkan depresi myocard dibanding morfin dan fentanil. Bukti morfin dan
petidin lebih nyata menyebabkan problem kardiovaskuler daripada analog fentanil.
Kekakuan otot, otot dada , seluruh otot tubuh sering terjadi selama induksi dengan
opioid dosis besar adalah sentral. Kekakuan gangliabasalis. Dimulai tubuh bagian atas
( sternocleidomastoid, biseps dan lengan ), fleksi leher, dagu, dada, abdomen, dinding
dada. Kekakuan dapat terjadi setelah sadar 3 – 5 jam pasca bedah. Pemberian naloxon
dapat membebaskan kasus tersebut. N-demetilasi dari petidin menyebabkan eksitasi
SSP, kejang umum yang tidak terantagonis oleh naloxon. Opioid tidak menyebabkan
perubahan atau penurunan aliran darah otak dan konsumsi O2. Motilitas usus
berkurang menimbulkan konstipasi, peningkatan tonus sfingter oddi, spasme.
Analgesia epidural untuk partus dengan kombinasi larutan anastesi lokal dan opioid
menyebabkan analgesia yang sama dengan blok motorik, lebih sedikit dibanding
dengan larutan anastesi lokal dengan konsentrasi lebih besar tanpa opioid.12

Sawar otak mengandung membran lipid yang bermakna untuk opioid.


Sufentanil lebih larut lemak, morfin kurang larut lemak. Morfin kurang menembus
SSP, fentanil dan sufentanil lebih mudah menembus SSP. Setelah menembus sawar
otak, obat berdifusi kereseptor. Difusi ke meningen spinal yaitu regio lipofilik dan
lipofobik. Morfin onset kerjanya lambat mungkin karena tingkat kelarutannya dalam

13
lemak yang jelek. Morfin–6–glukoronida aktif secara farmakologi, kemungkinan
memperlama durasi kerja, potensi 45 kali lebih besar dari morfin, melewati sawar
otak lebih lambat, dieliminasi dari LCS lebih lambat, bentuk aktif ini diklirens oleh
ginjal, gagal ginjal menyebabkan akumulasi dan memperpanjang kerja.12

Volume distribusi relatif lebih besar, oleh karena itu konsentrasi plasmanya
turun dengan cepat setelah bolus IV, karena obat berdifusi dari sirkulasi ke jaringan.
Jika konsentrasi plasma turun dibawah nilai ambang efek farmakologi selama fase
distribusi, seperti dengan dosis yang relatif kecil, durasi kerjanya pendek karena
distribusinya cepat. Sufentanil volume distribusinya lebih besar dari alfentanil.
Volume distribusi fentanil lebih kecil. Durasi kerja obat terpengaruh oleh distribusi
kinetiknya. Absorbsi morfin secara sistemik setelah pemberian intrathekal atau
epidural sangat lambat, menyebabkan durasi analgesia yang panjang dan konsentrasi
plasmanya rendah. Opioid yang larut lemak tinggi seperti analog fentanil lebih cepat
diabsorbsi ke sirkulasi, menyebabkan durasi kerja relatif singkat. Opioid yang larut
lemak kemungkinan menyebabkan analgesia spinal yang selektif untuk periode waktu
yang lama dan menguntungkan dalam keadaan yang khusus.12 Fentanil dan sufentanil
mempunyai rasio ekstraksi hepatik mendekati satu, kapasitas intrinsik hati
memetabolisir obat ( klirens intrnsik ) sangat besar sehingga darah yang melalui hati
hampir lengkap dibersihkan dari obat ini. Ikatan protein plasma tidak mempengaruhi
klirens, karena hati menarik obat dari ikatan plasma protein. Klirens akan berkurang
bila aliran darah hati berkurang, tetapi tidak berubah karena aktifitas enzim2 hati.
Klirens fentanil dan sufentanil tidak terpengaruh pada sirosis hati.5 Rasio ekstraksi
hati alfentanil intermedium, ikatan protein plasma tinggi, Klirens alfentanil ditentukan
oleh klirens intrinsik, ikatan protein plasma dan aliran darah hati. Klirens alfentanil
menurun pada sirosis hati, dan disfungsi hati. Perlu naloxon untuk mengembalikan
ventilasi spontan .10,11,12

PCA intravena merupakan cara pemberian rute parenteral yang lebih disukai
karena efektif dan mudah pemberiannya. PCA umumnya menggunakan obat opioid
dalam jumlah kecil sehingga insiden nausea yang ditimbulkannya juga lebih rendah.
Tingkat kepuasan pasien jauh lebih tinggi dibanding teknik lain karena dengannya
pasien merasa mampu turut serta dalam menentukan perawatan yang dia jalani serta
tidak timbul kecemasan sehubungan dengan keterlambatan efek pereda nyeri. Selain
itu kebutuhan keperawatan juga lebih sedikit sehingga layanan keperawatan otomatis

14
akan meningkat. Sebagian besar pompa dapat diatur dalam tiga pilihan: dosis
kebutuhan atau bolus, pemberian obat dalam periode tertentu ( menit ) dan dosis
maksimal per-unit waktu. Kita dapat juga memprogram infus pendukung pada alat itu
sekaligus. Manfaat pemberian infus diluar dosis kebutuhan PCA masih diperdebatkan.
Cara ini berpotensi bisa mengurangi kebutuhan obat terutama dalam beberapa jam
pertama pasca bedah hingga dapat menghasilkan analgesia yang lebih baik selama
periode tersebut. Analgesia juga dapat mencapai tingkat yang adekuat pada pasien
yang mendapatkan obat pada dosis yang lebih rendah akibat kurangnya pemahaman
atau karena takut overdosis atau ketagihan obat tersebut. Dapat timbul efek samping
yang sedasi yang berlebihan, mual dan depresi nafas bila infus pendukung tak
dititrasi secara cermat. 1,12,13

Morfin dan meperidin merupakan obat narkotik PCA yang paling sering
dipakai, selain itu kita juga dapat menggunakan fentanil. Bila dipakai fentanil
menggunakan PCA ditambah infus pendukung maka usia pasien bukan merupakan
faktor penentu kebutuhan dosis pasien. Menurut lokasi operasinya, operasi-operasi
daerah abdomen membutuhkan dosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan prosedur
vaskuler perifer.1

Masalah yang timbul pada pemakaian PCA biasanya disebabkan karena


adanya kesalahan pemrograman atau kesalahpahaman mengenai pemakaiannya.
Dapat terjadi depresi napas dan geriatri yang biasanya timbul karena pemberian batas
atau loading dose yang besar yang sebenarnya dapat diprogram pada sebagian besar
pompa. Pertama kali pasien harus diajari dan diberitahu berulangkali sehingga
akhirnya tahu menggunakan alat secara tepat. Pasien sering kali mengatur program
hingga dosis yang didapat kurang karena takut timbul efek samping atau
ketergantungan pada obat tersebut. Anggota keluarga dan teman penderita harus
diberitahu bahwa hanya pasienlah yang diperbolehkan untuk memijat tombol
(demand button). Rasa sayang yang berlebihan kadang menimbulkan kondisi
overdosis karena orang itu akan mengaktifkan PCA saat pasien tertidur nyenyak.1

Sesuai dengan farmakokinetika opioid pada geriatri, kelompok pasien ini lebih
sensitif terhadap obat tersebut ketimbang kelompok usia yang lebih muda. Hal ini
berhubungan dengan kadar plasma yang lebih tinggi karena telah menurunnya cardiac
output (khususnya morfin) dan menurunnya klirens pada pasien geriatri yang akan

15
mengakibatkan memanjangnya eliminasi obat (fentanil). Pada fentanil dan alfentanil
perlu dilakukan penurunan dosis sesuai dengan usia pasien sehingga dihasilkan
pergeseran gambaran EEG. Fakta ini tidak sejalan dengan hasil penelitian terhadap
kedua obat itu yang menunjukkan bahwa tidak ada perubahan kebutuhan dosis obat
sesuai dengan usia penderita. Oleh karena itu pengelolaan harus dilakukan per
individu (bukan untuk rata-rata pasien) dan obat analgesik juga harus dititrasi secara
cermat, terutama obat-obat opioid.1

Tramadol merupakan analgetik yang bekerja di sentral yang memiliki afinitas


sedang pada reseptor mu(μ) dan afinitasnya lemah pada reseptor kappa dan delta
opioid. Obat golongan opioid sendiri telah banyak digunakan sebagai obat anti nyeri
kronis dan nyeri non-maligna.

Tramadol tergolong dalam opioid sintetik lemah, sehingga dapat berikatan


dengan reseptor morfin pada tubuh manusia. Obat ini memiliki efektifitas yang sama
1,5
dengan morfin atau miperidin walaupun reseptor tramadol berjumlah lebih sedikit.
Tramadol mengikat reseptor μ-opiod, sehingga menyebabkan potensi kerja tramadol
menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan morfin. Reseptor opioid akan
diaktifkan oleh peptide endogen dan juga eksogen ligand. Reseptor-reseptor ini
terdapat pada banyak organ, seperti thalamus, amygdala dan juga ganglia dorsalis.
Melalui pengikatan dengan neuron dopaminergik maka akan memodulasi terjadinya
1,6
hiperkarbia, hipoksemia, miosis dan juga pengurangan motilitas pada saluran cerna.
Di hati, obat ini akan mengalami konversi menjadi O-dysmetil tramadol, yang
merupakan metabolit aktif yang memiliki pontensi kerja yang lebih besar
1,7
dibandingkan dengan tramadol. Obat ini dieksresi melalui ginjal. Tramadol
13
berwarna putih, pahit, berbentuk kristal dan tidak berbau.

Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis 50-100 mg
13
dan dapat diulang setiap 6-7 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari. Kadar
terapeutik dalam darah berkisar antara 100-300 ng/ml. Obat ini dapat melakukan
penetrasi pada sawar darah dengan baik, sehingga konsentrasi tramadol dapat dihitung
pada cairan serebrospinal.1,10

16
Tramadol 3mg/kg yang diberikan secara oral, i.m. atau i.v. efektif pada
pengobatan nyeri sedang hingga berat. Penurunan yang nyata keadaan menggigil
setelah operasi yang telah tercatat pada pasien yang ditangani dengan obat ini dan
efek depresi pernafasan yang minimal merupakan keuntungan dari obat ini. Tramadol
memperlambat pengosongan lambung, meskipun efeknya kecil dibandingkan dengan
opioid lain.13 Selain itu, tramadol juga dapat menyebabkan sensasi berputar,
konstipasi, pusing, dan penurunan kesadaran. Penggunaan tramadol sebaiknya
dihentikan bila didapatkan gejala seperti kejang, nadi lemah, dan kesulitan bernafas.12

Dibandingan dengan analgesik NSAID, Tramadol lebih aman untuk


digunakan karena tidak memiliki efek yang serius terhadap pencernaan, sistem
koagulasi, dan ginjal. Obat ini bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat
ini tidak menyebabkan toleransi atau adiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas
organ utama atau efek sedatif yang signifikan. Obat ini juga bermanfaat pada pasien
yang mengalami intoleransi pada obat anti inflamasi non steroid. Kerugian tramadol
antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin dan kejadian kejang. Oleh
karena itu pada pasien epilepsi, penggunaan tramadol sebaiknya dihindari.
Selanjutnya efek samping tramadol yang paling sering terjadi adalah meningkatnya
insidensi mual dan muntah pada pasien perioperatif. Odansetron dapat mengganggu
komponen analgesik pada tramadol karena efek pada reuptake dan pelepasan 5-
hydroxytryptamine.10,12

Kodein dapat digunakan pada nyeri ringan. Untuk nyeri sedang dan berat
dapat digunakan morfin, hidromorfon, oksikodon, bahkan fentanil. Morfin terutama
dikeluarkan melalui ginjal, sehingga perlu hati-hati pada pasien lansia dengan
gangguan fungsi ginjal. Hidromorfon, oksikodon, dan fentanil lebih aman pada
kondisi ini. Meskipun demikian, potensi sedasi, dizziness, gangguan gait, risiko jatuh,
dan gangguan motilitas usus perlu dipertimbangkan setiap kali memberikan opioid
pada lansia. Efek samping tersebut akan hilang bersamaan dengan timbulnya toleransi
terhadap opioid, kecuali gangguan motilitas usus. Pemberian laksansia harus selalu
dipertimbangkan bersamaan dengan opioid.

Obat golongan opioid yang sebaiknya dihindari pada lansia adalah:


17
• Propoksifen, karena efek gangguan susunan saraf pusat

• Metadon, karena efek long acting sehingga respons pada lansia sulit diperkirakan

• Meperidine, karena efek gangguan susunan saraf pusat, bahkan banyak referensi
menganggapnya tidak efektif sebagai analgetik

• Penggunaan fentanil patch diutamakan pada nyeri stabil, tanpa eksaserbasi atau
breakthrough (pada nyeri kanker). Penggunaan pada lansia perlu pemantauan khusus,
karena absorbsinya terlalu bervariasi, dan saat dilepaskan dari kulit efek terapeutiknya
tidak langsung berhenti. Selain itu, obat ini membutuhkan lebih kurang 48 jam untuk
mencapai efek terapeutik maksimal setelah ditempelkan di kulit. Fentanil patch tidak
dianjurkan pada pasien yang opioid naïve.

• Tramadol dapat memicu kejang pada pasien epilepsi, karena menurunkan ambang
batas kejang. Efek ini akan minimal jika kejang sudah terkontrol baik.9

18
BAB III

KESIMPULAN

Analgesia pada pasien geriatri membutuhkan perhatian tersendiri yang khusus


karena telah terjadi perubahan sesuai dengan usia yaitu dalam hal fisiologi dan
penyakit yang telah ada sebelumnya maka analgesia harus diberikan secermat
mungkin sehingga didapatkan outcome yang memuaskan serta memperkecil
kemungkinan terjadinya efek samping obat (terutama depresi nafas dan sedasi).

Tujuan analgesia yang aman dan berkualitas dicapai dengan 3 kunci berikut
ini : dosis efektif terendah, durasi terpanjang dan efek samping paling minimal. Dari
berbagai segi makin nyata bahwa cara terbaik untuk mencapai tujuan ini yaitu melalui
terapi kombinasi. Bila kita mengendalikan berbagai komponen nyeri dengan memakai
modalitas yang khusus untuk tiap komponen itu maka akan dibutuhkan dosis yang
lebih kecil sehingga dapat meminimalkan efek samping obat. Penerapan teknik
kontinyu dan PCA akan menghasilkan durasi analgesia yang lebih lama disamping
juga dapat mengoptimalkan kenyamanan dan kepuasan pasien.

Pengelolaan nyeri pada pasien geriatri perlu memerhatikan hal berikut :

 Pilih obat yang tepat berdasarkan tipe nyeri, intensitas, umur penderita dan
lamanya terpapar opioid.
 Mengetahui farmakologi obat, efek durasi analgesia, farmakokinetik, dosis
analgesia.
 Administer analgesic on a reguler basis after initial titration
 Gunakan kombinasi untuk menghindari ketergantungan analgesia dan mengurangi
efek samping ( Opioid + non opioid, opioid + hidroksin, opioid + amitriptilin)
 Hindari kombinasi obat yang menambah sedasi tanpa mengurangi analgesia.
 Memperhatikan efek samping; depresi pernafasan, sedasi, mual muntah,
konstipasi, multifokal mioklonus dan kejang.
 Mengetahui perbedaan antara toleransi, ketergantungan fisik, ketergantungan
psikologik.
Penentuan nyeri sulit dilakukan karena merupakan sensasi yang subyektif.
Meskipun demikian sangat penting untuk menentukan tipe nyeri bila obat analgetik
diperlukan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Geriatric Anesthesia. Dalam: Clinical
Anesthesiology, 5th Edition. Philadelphia, 2013. Lange Medical Books/ McGraw-
Hill, hal: 951-8
2. Bruckenthal P. Assessment of pain in the elderly adult. Clin Geriatr Med.
2008;24:213-36. 

3. Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffin J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on
the management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57.
4. Darmojo B. Geriatri ed 4. Jakarta; Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal 3-4; 56-66.
5. Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffin J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on
the management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57. 

6. Muravchick S. Anesthesia for ederly. In Miller RD ed. Anesthesia. 5th ed.
Philadelphia : Churchill - Livingstone, 2000 : 2140 – 56.
7. Morgan GE, Mikhael MS. Geriatric anesthesia. In : Clinical Anesthesiology. 2nd
ed. London : Appleton – Lange, 1996 : 743 – 8.
8. Hazard WR, Blass JP, et al. Principles of Geriatric Medicine and Gerontolology.
4th ed. New York : Mc Graw – Hill, 2000 : 365 – 89.
9. Harwood T. Geriatrics. In : Stone DJ ed. Perioperative Care Anesthesia, medicine
and surgery. 1st ed. Toronto : Mosby Company, 1998 : 433 – 59.
10. Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi,
2008. Hal:39 – 49
11. Jin F, Chung F. minimizing perioperative adverse events in the elderly. Brit J
Anaesth. 2001; 87 (4): 608-24
12. Priebe HJ. The aged cardiovascular risk patient. British Journal of Anaesthesia 85
(5): 763±78 (2000) Available from:
http://www.bja.oxfordjournals.org/content/85/5/763.long
13. Kanonidou Z, Krystianou G. Anesthesia for Elderly. Hippokratia 2007, 11, 4:
175-177.] Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC255979/

20

Anda mungkin juga menyukai