Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

LARINGITIS

PEMBIMBING :

dr. Susilaningrum, Sp.THT-KL

PENYUSUN :

Nurul Dwi Lestari FK UPN


Agnes FK UKRIDA
Rayka Christin FK UKRIDA

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RSPAD GATOT SOEBROTO
JAKARTA
PERIODE 20 NOVEMBER – 23 DESEMBER 2017
KAT A PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “LARINGITIS” ini. Referat ini
dibuat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Departemen Telinga Hidung Tenggorokan.Referat ini
terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna perbaikan yang
lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun bagi
semua pembaca.

Jakarta, Desember 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Laringitis merupakan peradangan yang terjadi pada pita suara (vocal cord) yang dapat
menyebabkan suara parau hingga hilangnya suara dan salah satu penyakit yang sering
dijumpai pada daerah laring. Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan
menebal, kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi skuamosa. Pita
suara (vocal cord) adalahsuatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot dan membran
mukosa yang membentuk pintu masuk dari batang tenggorok (trakea). Di dalam kotak suara
terdapat pita suara dua buah membran mukosa yang terlipat dua membungkus otot dan tulang
rawan.

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi baik akut
maupun kronik.1Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun
waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. 1,2
Penyebab dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa disebabkan karena
kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi virus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Embriologi3

Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya terbentuk alur
faring median yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernafasan dan benih laring.
Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan
alur ke kaudal merupakan primaordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung
dan kemudian menjadi dua lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian yang paling proksimal dari
tuba akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali pada hari
ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam 3-4 minggu
berikutnya.

Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal. Banyak
struktur merupakan derivat aparatus brankialis.

B. Anatomi Laring3

Laring berada di depan dan sejajar dengan vertebre cervical 4 sampai 6, bagian
atasnya yang akan melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian
bawahnya yang akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular. Laring dibentuk oleh
sebuah tulang yaitu tulang hioid di bagian atas dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid
berbentuk seperti huruf ‘U’, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula,
dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid
dan M.Tirohioid) ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam,
maka otot-otot ini bekerja untuk membantu menggerakan lidah.

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid,
kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan tulang rawan laring yang
terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah
belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan
membentuk “adam’s apple” dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita suara, dihubungkan
dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid.

Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah kartilago
tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid terletak setinggi
dengan vertebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vetebra C3 sampai C4. Kartilago
aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab untuk membuka dan
menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat
permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, sendi ini disebut
artikulasi krikoaritenoid.

Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada
kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik. Sepasang
kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg terdapat di dalam lipatan
ariepiglotik , kartilago kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan
ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral.

Gambar 1. Anatomi laring

Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang
dasar lidah. Epiglotis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea. Plica
aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglotis menuju cartilago arytenoidea,
membentuk batas jalan masuk laring.

Membrana mukosa di Laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri
dari sel-sel silinder yang bersilia. Plica vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa.
Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di atas
ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago thyroidea
di bagian depan dan kartilago arytenoidea di bagian belakang. Plica vocalis palsu adalah dua
lipatan membrana mukosa tepat di atas plica vocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn
produksi suara.

C. Rongga Laring4

Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah
bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan
belakang epiglotis, tuberkulum epiglotis, ligamentum tiroepiglotis, sudut antara kedua belah
lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran
kuadranagularis, kartilago aritenoid, konus elasticus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan
batas belakangnya ialah M.aritenoid transverses dan lamina kartilago krikoid.

Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vocale dan ligamentum ventrikulare,
maka terbentuklah plika vocalis (pita suara asli) dan plica ventrikularis (pita suara palsu).

Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut rima glottis, sedangkan antara kedua plica
ventrikularis disebut rima vestibuli.

Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring , glotis dan subglotis.

Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat diatas plica ventrikularis. Daerah
ini disebut supraglotis. Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada tiap sisinya disebut
ventriculus laring morgagni.

Rima glotis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan terletak
dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago
aritenoid, dan terletak di bagian posterioir. Daerah subglotic adalah rongga laring yang
terletak di bawah pita suara (plicavocalis).
D. Persyarafan4

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan
laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laryngeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan
sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak diatas
m.konstriktor faring medial, disebelah medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu
mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus.

Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan
menuju ke m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak
disebelah medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan
a.laringeus superior menuju ke mukosa laring.

Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan
dari n.vagus.

Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan dibawahnya, sedangkan


n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan diantara cabang-cabang
arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada
permukaan medial m.krikofaring. Disebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini
bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan
n.laringitis superior ramus internus.
Gambar 2. Persarafan laring(14)

E. Pendarahan4

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringitis superior dan a.laringitis
inferior.

Arteri laryngeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laryngitis
superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama
dengan cabang internus dari n.laringis superior kemudian menembus membran ini untuk
berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk
memperdarahi mukosa dan otot-otot laring.

Arteri laringeus interior merupakan cabang dari a.tiriod inferior dan bersama-sama
dengan n.laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui daerah
pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Didalam arteri itu bercabang-cabang
memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.laringis superior.

Gambar 3. Perdarahan Laring


Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang
yang berjalan mendatar sepanjang membrane itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang
arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan
anastomosis dengan a.laringeus superior.

Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis
superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior.

F. Pembuluh Limfe4

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Disini
mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan vocal
pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior.

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan
a.laringeus inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa dintaranya
menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular.

Gambar 4. Pembuluh Limfe


G. Fisiologi Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi disamping
beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:1,2,5,6

1. Fungsi Fonasi

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara


dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.

2. Fungsi Proteksi

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga


dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO 2
dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima
glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara
reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan
menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah
berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian


tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.

5. Fungsi Fiksasi

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,


misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat


berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah
(M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah
dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan
menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus


laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus
laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,


sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.

8. Fungsi Ekspektorasi

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.

9. Fungsi Emosi

Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada


waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
BAB III

KELAINAN PADA LARING

A. Laringitis Akut
1. Definisi 1

Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik
secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam
kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan
laringitis kronis. Pada umumnya laringitis akut disebabkan oleh infeksi virus influenza (tipe
A dan B), parainfluenza (tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus.

Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis akut
(common cold). Disebabkan biasanya oleh bakteri, yang menyebabkan radang lokal atau
virus yang menyebabkan peradangan sistemik.

2. Etiologi 1

Penyebab radang ini ialah bakteri yang menyebabkan radang lokal atau virus yang
menyebabkan peradangan sistemik.

- Laryngitis akut ini dapat terjadi dari kelanjutan infeksi saluran nafas seperti
influenza atau common cold. Infeksi virus influenza (tipe A dan B), parainfluenza
(tipe 1,2,3), rhinovirus dan adenovirus. Penyebab lain adalah Haemofilus influenza,
Branhamella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumonia
- Gastro esofageal reflux disease (GERD)
- Penyakit ini dapat terjadi karena perubahan musim / cuaca
- Pemakaian suara yang berlebihan (vocal trauma)
- Environmental insults (polusi)
- Trauma
- Bahan kimia
- Merokok dan minum-minum alkohol
- Alergi

3. Epidemiologi
Dari penelitian di Seattle – Amerika (Foy dkk, 1973), didapatkan angka serangan
croup pada bayi usia 0-5 bulan didapatkan 5.2 dari 1000 anak per tahun, pada bayi usia 6-12
bulan didapatkan 11 dari 1000 anak per tahun, pada anak usia 1 tahun didapatkan 14.9 dari
1000 anak per tahun, pada anak usia 2-3 tahun didapatkan 7.5 dari 1000 anak per tahun, dan
pada anak usia 4-5 tahun didapatkan 3.1 dari 1000 anak per tahun. Dari penelitian di Chapel
Hill – NC (Danny dkk, 1983) didapatkan data-data perbandingannya yaitu 24.3, 39.7, 47,
31.2, dan 14.5, dan dari data-data tersebut didapatkan 1.26% membutuhkan perawatan di
rumah sakit. Di Tuscon – AZ didapatkan angka serangan croup selama tahun pertama
kehidupan 107 kasus dari 961 anak. Laringitis atau croup mempunyai puncak insidensi pada
usia 1-2 tahun. Sebelum usia 6 tahun laki-laki lebih mudah terserang dibandingkan
perempuan, dengan perbandingan laki-laki/perempuan 1.43:1 (Denny dkk, 1993). Banyak
dari kasus-kasus croup timbul pada musim gugur dimana kasus akibat virus parainfluenza
lebih banyak timbul. Pada literatur lain disebutkan croup banyak timbul pada musim dingin,
tetapi dapat timbul sepanjang tahun. Kurang lebih 15% dari para penderita mempunyai
riwayat croup pada keluarganya.

4. Patofisiologi 2

Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang
berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak
dari laringitis, masuk melalui inflamasi dan menginfeksi sel dari epithelium saluran nafas
lokal yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia,
diikuti dengan infiltrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit
polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang
terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea di bawah pita suara. Karena
trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen
saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah.

Daerah glotis dan subglotis pada bayi normalnya sempit, dan pengecilan sedikit saja
dari diameternya akan berakibat peningkatan hambatan saluran nafas yang besar dan
penurunan aliran udara. Seiring dengan membesarnya diameter saluran nafas sesuai dengan
pertumbuhan maka akibat dari penyempitan saluran nafas atas akan berakibat terjadinya
stridor dan kesulitan bernafas yang menuju pada hipoksia ketika sumbatan yang terjadi berat.
Hipoksia dengan sumbatan yang ringan menandakan keterlibatan saluran nafas bawah dan
ketidak seimbangan ventilasi dan perfusi akibat sumbatan dari saluran nafas bawah atau
infeksi parenkim paru atau bahkan adanya cairan.

5. Gejala Klinis 1
- Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang
kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara
yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjadi
parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni)
- Sesak nafas dan stridor
- Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara
- Gejala radang umum seperti demam, malaise
- Batuk kering yang lama-kelamaan disertai dahak kental
- Gejala common cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
temperature yang tidak mengalami peningkatan dari 38˚C
- Gejala influenza seperti bersin-bersin , nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan
peningkatan suhu yang sangat berarti yakni lebih dari 38˚C, dan adanya rasa lemah,
lemas yang disertai dengan nyeri di seluruh tubuh
- Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak
terutama di bagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang akut
di hidung atau sinus paranasal atau paru
- Obstruksi jalan nafas apabila ada oedem laring diikuti oedem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan
ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan keadaan
darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak.

6. Diagnosis
- Pemeriksaan Fisik 7
Pemeriksaan fisik untuk mendukung diagnosa :
 Laringoskopi indirek  ditemukan mukosa laring yang sangat sembab, hiperemis
dan tanpa membran serta tampak pembengkakan subglotis yaitu pembengkakan
jaringan ikat pada konus elastikus yang akan tampak di bawah pita suara.
 Ditemukan tanda radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru.
- Pemeriksaan Penunjang 7
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa
 Foto Rontgen leher AP : bisa tampak pembengkakan jaringan subglotis (Steeple
sign).
 Pemeriksaan laboratorium : gambaran darah dapat normal. Jika disertai infeksi
sekunder, lekositosis ringan dan limfositosis.
 Pemeriksaan kultur : bila didapatkan eksudat di orofaring atau plika suara, dapat
dilakukan untuk mengetahui penyebab infeksi. Dari darah dapat didapatkan dan
limfositosis.
7. Diagnosa Banding7
Diagnosa banding yang dapat diperkirakan dalam penentuan diagnosa laringitis akut,
antara lain:
- Benda asing pada laring
- Faringitis
- Bronkiolitis
- Bronkitis
- Pnemonia
- Laringitis kronik atau Alergi
- Reflux Laryngitis
- Spasmodic Dysphonia

8. Penatalaksanaan7
- Indikasi Rawat Rumah Sakit :
Pasien dinyatakan perlu untuk rawat rumah sakit jika dalam kondisi
 Usia penderita dibawah 3 tahun
 Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
 Diagnosis penderita masih belum jelas
 Perawatan dirumah kurang memadai

- Terapi Umum :
Pengobatan edukatif (non-medikamentosa) yang dapat diberikan kepada pasien :
 Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari.
 Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 L/ menit.
 Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada
muncul sumbatan di hidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9
%) yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray.
 Mengindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas atau
minum es.

- Terapi Tambahan
Tindak lanjut penatalaksanaan dalam kondisi yang sudah cukup berat :
 Pengisapan lendir dari tenggorok atau laring.
 Bila penatalaksanaan ini tidak berhasil maka dapat dilakukan endotrakeal atau
trakeostomi bila sudah terjadi obstruksi jalan nafas.
- Terapi Medikamentosa
Terapi obat-obatan untuk menunjang proses perlawanan terhadap infeksi :
 Demam : Parasetamol atau ibuprofen / antipiretik.
 Hidung tersumbat : dekongestan nasal seperti fenilpropanolamin (PPA), efedrin,
pseudoefedrin, napasolin dapat diberikan dalam bentuk oral ataupun spray.
 Antibiotika yang adekuat apabila peradangan berasal dari paru
 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari, IV, terbagi 4 dosis
 Kloramfenikol :50 mg/kgBB/hari, IV, terbagi dalam 4 dosis
 Sefalosporin generasi 3 (cefotaksim atau ceftriakson)
 Kortikosteroid IV : deksametason 0,5mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis,
diberikan selama 1-2 hari.

B. Laringitis Kronis
1. Etiologi

Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis kronis. Infeksi bakteri seperti difteri
juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi. Laringitis dapat juga terjadi saat
menderita suatu penyakit atau setelah sembuh dari suatu penyakit, seperti salesma, flu atau
radang paru-paru (pnemonia).8

Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi yang terus
menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan, banyak merokok atau asam dari
perut yang mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan tenggorokan, suatu kondisi yang
disebut gastroeosophageal reflex disease (GERD). Tanpa mengkesampingkan bakteri sebagai
penyebabnya.8

Tabel Perbedaan Etiologi Yang Mendasari Terjadinya Laringitis Akut Dan Kronis 9

Common Causes of Type of Laryngitis


Laryngitis Acute (Short-lived) Chronic (longer term)

Infectious
Bacterial X
Viral X
Fungal X X
Contact
Reflux X X
Pollutants X X
Smoking X
Inhaled Medications X
Caustic Ingestions X X
Medical
Vocal misuse X X
Vocal abuse X
Trauma X X
Allergic
Allergies X X
Dryness (Laryngitis Sicca)
Dehydration X X
Dry Atmosphere X X
Mouth Breathing X X
Medications X X
Thermal
Closed-Space Fire X X
Crack Pipe X X

2. Non-Spesifik laringitis kronis

Sering merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada saluran
pernapasan, seperti selesma, influenza,bronkhitis atau sinusitis. Akibat paparan zat-zat yang
membuat iritasi,seperti asap rokok, alkohol yang berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia
yang terdapat pada tempat kerja.Terlalu banyak menggunakan suara, dengan terlalu banyak
bicara, berbicara terlalu keras atau menyanyi (vocal abuse). Pada peradangan ini seluruh
mukosa laring hiperemis, permukaan yang tidak rata dan menebal.10

Gejala klinis yang sering timbul adalah berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
Selain itu ada juga suara serak, Perubahan pada suara dapat berfariasi tergantung pada tingkat
infeksi atau iritasi, bisa hanya sedikit serak hingga suara yang hilang total, rasa gatal dan
kasar di tenggorokan, sakit tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit waktu
menelan. Gejala berlangsung beberapa minggu sampai bulan.10

Pada pemeriksaan ditemukan mukosa yang menebal, permukaannya tidak rata dan
hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dilakukan
biopsi.10
Pengobatan yang dilakukan tergantung pada penyebab terjadinya laryngitis dan
simtomatis. Pengobatan terbaik untuk langiritis yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang
umum, seperti virus, adalah dengan mengistirahatkan suara sebanyak mungkin dan tidak
membersihkan tenggorokan dengan berdehem. Bila penyebabnya adalah zat yang dihirup,
maka hindari zat penyebab iritasi tersebut. Dengan menghirup uap hangat dari baskom yang
diisi air panas mungkin bisa membantu. Bila anak yang masih berusia batita atau balita
mengalami langiritis yang berindikasi karahcroup, bisa digunakan kortikosteroid seperti
dexamethasone. Untuk laringitis kronis yang juga berhubungan dengan kondisi lain seperti
rasa terbakardi uluh hati, merokok atau alkoholik, harus dihentikan.11

Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara :8-11


- Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok tidak
langsung. Rokok akan membuat tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada
pita suara.
- Minum banyak air . Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat
tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.
- Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering . Bila
mengalami langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.
- Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan berakibat
baik, karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi abnormal peda pita
suara dan meningkatkan pembengkakan . Berdehem juga akan menyebabkan
tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir dan merasa lebih iritasi , membuat
ingin berdehem lagi.

Pada laringitis kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset bertahap dengan
gejala yang ringan. Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi mukus berlebih dalam
laring. Dalam pemeriksaan laringoskopi biasa dijumpai sekresi mukus endolaringeal tebal
dalam kadar ringan hingga sedang, eritema dan edema lipatan pita suara serta inkompetensi
glotis episodik selama fase fonasi.8,9

Pada kasus laringitis kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada pasien untuk
menghindari faktor pemicu. Medikasi antihistamin loratadine atau fexofenadine dipilih
karena tidak memiliki efek samping dehidrasi. Sekresi mukus yang tebal dan lengket dapat di
atasi dengan pemberian guaifenesin. 10,11
3. Laringitis Kronis Spesifik

Laringitis Tuberkulosa

Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat dari tuberkulosis paru. Sering kali setelah
diberikan pengobatan, tuberkulosisnya sembuh tetapi laringitis tuberkulosanya menetap. Hal
ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi
yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih
lama. Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernafasan, sputum yang
mengandung kuman, atau penyebaran melalui aliran darah atau limfe. Tuberkulosis dapat
menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema dapat timbul di fossa inter aritenoid, kemudian ke
aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglotis, serta subglotik.12,13

Secara klinis, laringitis tuberkulosis terbagi menjadi 4 stadium yaitu : 12


 Stadium infiltrasi. Mukosa laring posterior mengalami pembengkakan dan
hiperemis, kadang pita suara terkena juga, pada stadium ini mukosa laring tampak
pucat. Kemudian di daerah sub mukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa
tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan. Tuberkel itu makin
besar, serta beberapa tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa
diatasnya meregang. Pada suatu saat, karena sangat meregang, maka akan pecah
dan timbul ulkus. Pada stadium ini pasien dapat merasakan adanya rasa kering
ditenggorokan, panas dan tertekan di daerah laring, selain itu juga terdapat suara
parau.
 Stadium ulcesari. Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar.
Ulkus ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan, serta dirasakan nyeri waktu
menelan yang hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena radang (khas), dapat
juga terjadi hemoptisis.
 Stadium perikondritis. Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring,
dan yang paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis. Dengan
demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah yang berbau,
proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini pasien dapat
terjadi afoni dan keadaan umum sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila
pasien dapat bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk dalam stadium
fibrotuberkulosis.
 Stadium fibrotuberkulosa. Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada
dinding posterior, pita suara dan subglotik.
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan THT termasuk
pemeriksaan laring tak langsung untuk melihat laring melalui kaca laring, maupun
pemeriksaan laring langsung dengan laringoskopi. Pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium dapat di temukannya tes BTA positif, dan patologi anatomi.5,13

Penatalaksanaannya berupa pembeian obat antituberkulosis primer dan sekunder.


Selain itu pasien juga harus mengistirahatkan suaranya. Beberapa macam dan cara pemberian
obat antituberkulosa :14

 Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.


Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat
ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
 Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin.


Laringitis Luetika5,8

Disebabkan oleh kuman treponema palidum, sudah sangat jarang dijumpai pada bayi
ataupun orang dewasa. laring tidak pernah terinfeksi pada stadium pertama sifilis. Pada
stadium kedua, laring terinfeksi dengan tanda-tanda adanya edema yang hebat dan lesi
mukosa berwarna keabu-abuan. Sumbatan jalan nafas dapat terjadi karena adanya
pembengkakan mukosa. Pada stadium ketiga, terbentuknya guma yang nanti akan pecah dan
menimbulkan ulcerasi, perikondritis dan fibrosis.

Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis. Disfagia
timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini, pasien tidak
merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang saraf-saraf di perifer.

Pada pemeriksaan, bila gumma pecah, maka ditemukan ulkus yang sangat dalam,
bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang
berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan menjalar sagat cepat, sehingga
bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan FTA-ABS) dan
biopsi.
Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan penicilin dosis tinggi,
pengengkatan sekuester, bila terdapat sumbatan laring karena stenosis dapat dilakukan
trakeostomi dan operasi rekonstruksi.13

Prognosis pada penyakit ini kurang bagus pada gumma yang sudah pecah, karena
menyebabkan destruksi pada kartilago dan bersifat permanen.
BAB IV

KESIMPULAN

Infeksi pada laring dapat dibagi menjadi laringitis akut dan laringitis kronis, infeksi
maupun non infeksi, inflamasi lokal maupun sistemik yang melibatkan laring.Laringitis akut
biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 3 minggu dan
biasanya muncul dengan gejala yang lebih dominan seperti gangguan pernafasan dan demam.
Laringitis kronis biasanya terjadi bertahap dan telah bermanifestasi beberapa minggu sebelum
pasien datang ke dokter dengan keluhan gangguan pernafasan dan nyeri.

Penyebab tersering dari laringitis akut ini adalah virus parainfluenza. Gejala yang
terjadi pada laringitis akut ini adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi
dan sesak nafas, dapat juga disertai dengan demam. Pasien biasanya datang dengan keluhan
satu gejala atau lebih seperti rasa tidak nyaman pada tenggorok, batuk, perubahan kualitas
suara atau disfonia, odinofonia, disfagia, odinofagia, batuk, dispneu atau stridor.Manifestasi
laringitis kronis terutama pada laringitis kronis iritasi yang paling berat adalah terjadinya
ulserasi epitelium laring dengan granulasi.

Diagnosis laringitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari.
Laringitis akut umunya bersifat self limited. Jika terapi dilakukan dengan baik maka
prognosisnya sangat baik. Pada laringitis kronis prognosis bergantung kepada penyebab dari
laringitis kronis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Disfonia. 6th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2008.p. 231-34.
2. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT.6th Ed. Jakarta: EGC;
1999. p. 369-77.
3. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376
4. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. Laryngitis. 4th Ed. Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006. p.
831-32.
5. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery
. 8th Ed. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. p. 724-36, 747, 755-60.
6. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and
Neck Surgery-Otolaryngology. 3rd Ed. Vol: 1. Philadelphia: Lippincot Williams and
Wilkins; 2001. p. 479-86.
7. Harms, Roger W, et all. 2012. Laringitis. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/laryngitis/DS00366/DSECTION. Access at :
December 06th, 2017.
8. Berlliti S, Omidi M. Chronic Laryngitis, Infectious or Allergic. Didapatkan dari url :
http://www.emedicine.com/ent/topics354.htm . Diunduh pada tanggal 06 Desember
2017
9. Di unduh pada tanggal 06 Desember 2017 dari :
http://www.beliefnet.com/healthandhealing/getcontent.aspx?cid=11713
10. Banovetz JD. Gangguan Laring Jinak. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 378-396
11. Lalwani AK : Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology – Head & Neck
Surgery, 2nd Edition. New York:The McGraw-Hill.2007.
12. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring.Dalam: Soepardi
EA. Buku Ajar llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Edisi ke-
6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI . 2007.h. 237-242
13. Dhillon, R.S. ,East C.A.. Ear, Nose, and Throat and Head and Neck Surgery. 2nd
Edition. Churcill Livingstone. 2000. Hal. 56-68
14. Brandwein-Gensler, Majorie. Laryngeal Pathology. In:Van De Water Thomas R. ,
Staecker H. Otolaryngology Clinical review. New York:Thieme. 2008. Hal. 574-591

Anda mungkin juga menyukai