Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik merupakan masalah yang besar bagi wanita yang

sedang dalam usia reproduktif. Hal ini merupakan hasil dari kesalahan dalam

fisiologi reproduksi manusia yang membiarkan hasil konseptus untuk

berimplantasi dan matang diluar kavitas endometrium, yang secara langsung akan

berakhir pada kematian fetus. Tanpa diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat,

kehamilan ektopik ini dapat menjadi keadaan yang membahayakan jiwa.

Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan

peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.1

Kehamilan ektopik menjadi penyebab utama kematian yang berhubungan

dengan kehamilan dalam trimester pertama kehamilan di Amerika Serikat.

Dengan terjadinya keadaan sakit yang tiba-tiba akibat kehamilan ektopik, masa

depan kemampuan wanita untuk hamil kembali dapat terpengaruh menjadi buruk.

Kehamilan ektopik juga dipengaruhi oleh meningkatnya kejadian infeksi

panggul dan penggunaan KB seperti IUD. Meski merupakan entitas yang relatif

umum, perawatan kehamilan ektopik masih menghadirkan tantangan.

Penatalaksanaan Kehamilan ektopik telah berpindah dari yang hanya

mengutamakan pendekatan secara bedah, saat ini, kebanyakan wanita dengan

kehamilan ektopik yang tidak terganggu diobati dengan medis. Namun, beberapa

wanita menjalani terapi bedah karena kemauan sendiri atau karena kebutuhan, jika

mereka bukan kandidat yang baik untuk terapi medis.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Kehamilan ektopik adalah semua kehamilan dimana sel telur yang dibuahi

oleh spermatozoa berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uterus.

Sedangkan Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang

mengalami abortus atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi

kapasitas ruang implantasi misalnya tuba.3

Berdasarkan tempat implantasinnya, kehamilan ektopik dapat dibagi

dalam beberapa golongan:4

 Tuba Fallopii

 Uterus (diluar endometrium kavum uterus)

 Ovarium

 Intraligamenter

 Abdominal

 Kombinasi kehamilan didalam dan diluar uterus

Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering

terjadi di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di

isthmus, dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal,

dan intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus.5

2
Gambar 1 : Lokasi terjadinya kehamilan ektopik

Ada beberapa pendapat yang menggolongkan kehamilan ektrauterin,

namun pendapat ini tidaklah tepat karena kehamilan di kornu, servik uterus

termasuk dalam kehamilan ektopik.4

2. 2 EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia, kehamilan ektopik tetap menjadi penyebab utama

kematian ibu pada trimester pertama.6 Angka terbaru untuk tingkat Kehamilan

Ektopik di Irlandia adalah 14,8 per 1.000 bersalin.7

Di Irlandia, seperti di sebagian besar negara maju, telah terjadi penurunan

angka kematian dari kehamilan ektopik yang menandakan suksesnya manajemen

di era modern ini. Suatu keadaan darurat operasi yang mengancam jiwa pada

seorang wanita dengan tes kehamilan positif dan syok hemodinamik telah diubah

menjadi kondisi medis yang tidak mendesak dalam banyak kasus. Di Amerika

Serikat dari tahun 1970 sampai 1992, tingkat kematian menurun 90% meskipun

terjadi peningkatan kejadian MS secara bersamaan 6 kali lipat. Angka kematian

akibat kehamilan ektopik di Inggris hampir separuh dari perkiraan 31,2 per

3
100.000 diperkirakan kehamilan ektopik untuk 2003-05-16,9 untuk tahun 2006-

08.8

Secara keseluruhan, kejadia kehamilan ektopik sekitar 2% dari seluruh

kehamilan.9 Pada perkembangan terbaru, di Inggris Raya, kehamilan ektopik

masih mehrupakan penyebab terbesar pada kematian ibu hamil trimester pertama.

1 dari 90 kehamilan didapatkan kehamilan ektopik. Hampir 32.000 kehamilan

ektopik terjadi yang tercatat setiap tahunnya di Inggris Raya. Di Amerika Serikat,

jumlah kejadian setiap tahunnya menurun dari 58.178 pada tahun 1992 menjadi

35.382 pada tahun 1999. Di Norwegia, diperkirakan angka kejadian ini menurun

seiring dengan menurunnya angka kejadian Pelvic Inflammatory Disease (PID).10

Di Indonesia, berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan

diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan

menderita kehamilan ektopik atau 0,02%. (BPS Kesehatan, 2007). Di Rumah

Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2007 terdapat 153 kehamilan

ektopik diantara 4007 persalinan, atau 1 diantara 26 persalinan.11

2.3 ETIOLOGI

Fertilisasi yakni penyatuan ovum dengan spermatozoa terjadi di ampula

tuba. Dari sini ovum yang telah dibuahi digerakkan ke kavum uteri dan di tempat

yang akhir ini mengadakan omplantasi di endometrium. Keadaan pada tuba yang

menghambat atau mengalami gerakan ini, dapat menjadi sebab bahwa implantasi

terjadi pada endosalphing, selanjutnya ada kemungkinan pula bahwa kelainan

pada ovum yang dibuahi memberi predisposisi untuk implantasi di luar kavum

uteri, akan tetapi hal ini kiranya tidak banyak terjadi. 3

4
Penyebab kehamilan ektopik ada yang diketahui ada yang tidak atau

belum diketahui. Beberapa faktor yang menghambat perjalanan ovum ke uterus

sehingga blastokista mengadakan implantasi di tuba adalah:4,12

1. Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang

dibuahi ke dalam kavum uteri.

 Salpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia lipatan mukosa

tuba dengan dengan penyempitan saluran. Berkurangnya silia

mukosa tuba akibat infeksi jyga menyebabkan implantasi hasil

zigot pada tuba fallopi

 Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/infeksi pasca

nifas, apendisitis atau endometriosis yang menyebabkan

tertekuknya tuba atau penyempitan lumen.13

 Kelainan pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium

asesorius dan hipoplasia. Namun ini jarang terjadi

 Bekas operasi tuba

 Tumor yang dapat merubah bentuk tuba seperti mioma uteri

dan adanya benjolan pada adneksa

 Penggunaan IUD (Intrauterine Device)

Resiko terjadinya kenhamilan ektopik ini meningkat dengan adanya beberapa

faktor lain yaitu:

 Riwayat operasi tuba (termasuk sterilisasi pada wanita) dan operasi

panggul termasuk Sectio Caesarea dan kistektomi ovarium

 Adanya infeksi genital dan PID (Pelvic Inflammatory Disease)

yang biasanya disebabkan oleh infeksi chlamydia.14

5
 Infertility

 Endometriosis

 Kegagalan kontrasepsi

 Progestogen-only contraception

 Merokok.

 Usia > 35 tahun

 Riwayat Kehamilan ektopik

 penggunaan IUD 15,16

Normalnya, sel telur dibuahi di tuba fallopii dan berjalan kedalam tuba

ketempat implantasi. Mekanisme apapun yang mengganggu fungsi normal dari

tuba fallopii selama proses ini meningkatkan resiko terjadinya kehamilan

ektopik.17

2.4 KLASIFIKASI

Menurut lokasinya, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi bebrapa golongan :

1. Tuba Fallopi

a. Pars Interstitial

b. Isthmus

Dinding tuba di sini lebih tipis, biasanya pecah pada kehamilan 2-3

bulan

c. Ampulla

Dapat terjadi abortus atau ruptur pada kehamilan 1-2 bulan

d. Infundibulum

e. Fimbriae

6
2. Kehamilan Non-tubal

a. Interstitial

b. Servix

Implantasi terjadi pada kanalis servikalis. Faktor predisposisi

tersering adalah karena kuretase, operasi sesar, atau operasi daerah

serviks. Biasanya keluhan pertama adalah perdarahan pervaginam

tanpa rasa sakit dan pada pemeriksaan spekulum, terlihat serviks

yang terbuka dan adanya masa seperti daging yang menonjol.18

c. Kehamilan Kornu

Ini adalah kehamilan dimana zigot tertanam pada tanduk

rudimenter kontralateral dari uterus unicornus.19

d. Kehamilan pada bekas sesar

Implantasi biasanya terjadi di luar kavum endometrium dan

terselubung sepenuhnya oleh myometrium dan jaringan parut.20

e. Kehamilan ovarium

Gejala klinis menyerupai kehamilan ektopik pada tuba. Biasanya

disebabkan karena penggunaan IUD.21

2.5 PATOFISIOLOGI

Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat

yang paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian

berturut-turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah

intersisial tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan

ektopik non tuba sangat jarang.3. Kehamilan pada daerah intersisial sering

7
berhubungan dengan kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang

muncul lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya

menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi rupture.3

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya

sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau

interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot

endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya

vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara

interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi

tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang

menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan

desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan

mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot

tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin

selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya

dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat

pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada

endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan

intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma

sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis.

Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.4

8
2.6 GAMBARAN KLINIK

Pada wanita dengan faktor resiko untuk kehamilan ektopik, dengan

penggunaan tes hormonal awal dan sonografi vagina, sekarang dimungkinkan

untuk menegakkan diagnosis dari kehamilan ektopik sebelum keluar gejala.

Namun, bila umur gestasi sudah meningkat dan perdarahan intraperitoneal muncul

karena keluarnya dari dari fimbriae atau ruptur, maka dapat timbul gejala. Bila

memang terjadi kehamilan ektopik namun belum muncul gejala, maka kita sebut

kehamilan ektopik belum terganggu.4

Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri

abdomen, amenore, dan perdarahan pervaginam. Gambaran tersebut menjadi

sangat penting dalam memikirkan diagnosis pada pasien yang datang dengan

kehamilan di trimester pertama. Namun sayangnya, hanya 50% pasien dengan

kehamilan ektopik ini yang menampilkan gejala-gejala tersebut secara khas.

Pasien yang lain mungkin muncul gejala-gejala yang umumnya terjadi pada masa

kehamilan awal termasuk mual, lelah, nyeri abdomen ringan, nyeri bahu, dan

riwayat disparenu baru-baru ini. Sedangkan gejala dan tanda kehamilan ektopik

terganggu, seperti tersebut diatas, dapat berbeda-beda, dari yang khas sampai

tidak khas sehingga sukar untuk mendiagnosisnya.22

Kecurigaan klinis adalah kunci untuk mengidentifikasi wanita yang

membutuhkan evaluasi segera dan cermat. Risiko Kehamilan ektopik meningkat 2

kali lipat pada wanita yang mengalami infertilitas, 3 kali lipat untuk kelainan

patologi tuba dan 4 kali lipat untuk salpingitigai. Sepertiga dari kehamilan pada

wanita yang telah disterilkan. Risiko kekambuhan sekitar 10% untuk wanita

dengan satu riwayat kehamilan ektopik sebelumnya dan setidaknya 25% untuk

9
wanita yang memiliki dua atau lebih riwayat kehamilan ektopik sebelumnya.

(NICE, 2012).23

Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan pada tanda vital dan pemeriksaan

abdomen dan pelvik. Hipotensi dan takikardi yang dapat terjadi akibat perdarahan

banyak akibat ruptur tuba tidak dapat memperkirakan adanya kehamilan ektopik

walau tanda itu menunjukkan perlunya resusitasi segera, bahkan faktanya kedua

hal tersebut lebih khas pada komplikasi kehamilan intrauterin. Lebih jauh lagi,

tanda vital yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya kehamilan ektopik.

Pada pemeriksaan dalam, dapat teraba kavum douglas yang menonjol dan terdapat

nyeri gerakan serviks. Adanya tanda-tanda peritoneal, nyeri gerakan serviks, dan

nyeri lateral atau bilateral abdomen atau nyeri pelvik meningkatkan kecurigaan

akan kehamilan ektopik dan merupakan temuan yang bermakna. Disisi yang lain,

ketidakadaan tanda dan gejala ini tidak menyingkirkan kehamilan ektopik.

Terabanya massa adneksa juga tidak dapat memperkirakan kehamilan ektopik

secara tepat..4

2.7 DIAGNOSIS

Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik yang

belum terganggu sangat besar, sehingga pasien harus mengalami rupture atau

abortus dahulu sehingga menimbulkan gejala. Dalam menegakkan diagnosis,

dengan anamnesis yang teliti dapat dipikirkan kemungkinan adanya kehamilan

ektopik, namun untuk menegakkan diagnosis pasti harus dibantu dengan

pemeriksaan fisik yang cermat dan dibantu dengan alat bantu diagnostik.

Sekarang ini, peran alat bantu diagnostik sangatlah penting, dan sudah merupakan

10
sesuatu yang harus dilakukan,apabila memang tersedia, untuk menentukan

diagnosis.4

Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan terlambat haid untuk

beberapa waktu dan kadang-kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda.

Terdapat nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, dan kadang-kadang tenesmus.

Perdarahan pervaginam dapat terjadi, dan biasanya terjadi setelah muncul keluhan

nyeri perut bagian bawah, berapa jumlah perdarahannya, warna dari darahnya,

apakah mengalir seperti air atau hanya seperti tetesan saja, dan apakah keluar

gumpalan-gumpalan. Ditanyakan juga riwayat kehamilan sebelumnya, bila sudah

pernah hamil, riwayat menstruasinya.24,4

Pada pemeriksaan umum, penderita dapat tampak pucat dan kesakitan.

Pada perdarahan dalam rongga perut aktif dapat ditemukan tanda-tanda syok dan

pasien merasakan nyeri perut yang mendadak. Pada jenis yang tidak mendadak,

mungkin hanya terlihat perut bagian bawah yang sedikit menggembung dan nyeri

tekan.24,4.

Pada pemeriksaan dalam mungkin ditemukan tanda-tanda kehamilan

muda. Perabaan serviks dan gerakkannya menyebabkan nyeri. Bila uterus dapat

diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor

disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas juga

teraba menonjol dan nyeri raba yang menunjukkan adanya hematokel retrouterina.

Kadang terdapat suhu yang naik, sehingga menyulitkan perbedaan dengan infeksi

pelvik.4

11
Para dokter di ruang gawat darurat biasanya menggunakan beta-human

chorionic gonadotropin (β-hCG) untuk mendiagnosis kehamilan, dan untuk

membantu menentukan potensi pasien mengalami kehamilan ektopik. β-hCG

diproduksi oleh trofoblas dan dapat dideteksi dalam serum pada kira-kira 1

minggu sebelum haid berikutnya. Jika serum β-hCG negative, kemungkinan besar

tidak terjadi kehamilan. Hanya ada sedikit sekali kasus yang dilaporkan pasien

dengan tes serum β-hCG negative dengan kehamilan ektopik. Dinamika normal

kenaikan kadar β-hCG dua kali lipat kira-kira setiap 1,4 sampai 2,1 hari sampai

mencapai puncaknya 100.000 IU/ml. kenaikan ini akan melambat bila sudah

mencapai nilai puncaknya, dan pada saat itu sudah harus dilakukan diagnosis

dengan USG. Pemeriksaan tunggal tes β-hCG kuantitatif ini berguna untuk

mendiagnosis kehamilan, namun tidak dapat membedakan antara kehamilan

ektopik atau kehamilan intrauterine. Pemeriksaan laboratorium umum lainnya

adalah pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar hemoglobin yang dapat

rendah bila terjadi perdarahan yang sudah lama. Juga dinilai kadar leukosit untuk

membedakan apakah terjadi infeksi yang bisa disebabkan oleh kehamilan ektopik

ini atau dugaan adanya infeksi pelvik. Pada infeksi pelvik biasanya lebih tinggi

hingga dapat lebih dari 20.000. 25

12
ALAT-ALAT BANTU DIAGNOSTIK

Beberapa prosedur yang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis

kehamilan ektopik adalah berikut ini :

 Kuldosentesis

Sebelum adanya perkembangan dari sonografi pelvis, terutama

transvaginal, kuldosentesis merupakan salah satu alat bantu diagnosis

yang penting untuk mengenali kehamilan ektopik. Penemuan hasil darah

yang tidak membeku pada kuldosentesis dan terutama bila hematokrit

lebih dari 15 % adalah bantuan yang amat berguna.24

 Laparaskopi

Dalam kasus dimana kehamilan ektopik dicurigai dan USG tidak dapat

diandalkan, diperlukan laparoskopi diagnostik. Hal ini diyakini sebagai

Gold Standar pada kehamilan ektopik. Memang keengganan atau

keterlambatan dalam melakukan laparoskopi diagnostik telah disorot

sebagai faktor dalam kasus-kasus yang fatal.30 Akan tetapi, beberapa

kehamilan ektopik kecil mungkin terlewatkan pada saat laparoskopi atau

laparotomi. Dalam sebuah penelitian, 2 dari 44 (4.5%) wanita yang

dilaporkan tidak memiliki bukti kehamilan ektopik, terdiagnosis

mempunyai kehamilan ektopik setelah dilakukan laparoskopi.26

 Progesteron

Karena pemeriksaan kadar hCG secara tunggal tidak dapat memberikan

informasi untuk mendiagnosis kehamilan ektopik, sehingga

membutuhkan beberapa hari untuk melakukan serial tes, maka

pengukuran kadar progesterone serum tunggal oleh beberapa kelompok

13
dapat dipakai untuk membedakan kehamilan ektopik dengan kehamilan

normal intrauterin. Pengukuran progesteron serum satu kali sudah dapat

digunakan untuk menetapan bahwa kehamilan berkembang normal

dengan tingkat kepercayaan tinggi. Nilai yang melebihi 25 ng/mL

menyingkirkan kehamilan ektopik dengan sensitivitas 92,5 %.

Sebaliknya, nilai yang kurang dari 5 ng/mL menandakan kehamilan

intrauterus dengan janin meninggal atau suatu kehamilan ektopik. Karena

pada sebagian besar kehamilan ektopik kadar progesteron bervariasi

antara 10 dan 25 ng/mL maka pemakaian klinis pemeriksaan ini

terbatas.27

 Ultrasonography

Adanya kantung gestasi intrauterine yang mengandung yolk sac (dari 5,5

minggu) atau janin (dari 6 minggu) bisa disebut kehamilan positif.25

Aktivitas jantung janin mungkin terlihat dari 6,5 minggu. Bila tidak ada

kehamilan yang terlihat di TVS, pemeriksaan hati-hati pada adneksa dan

cul-de-sac harus dilakukan. Sekitar 60% KE terlihat sebagai massa

nonhomogen yang berdekatan dengan ovarium, 20% muncul sebagai

cincin hiperekoik (tanda bagel) dan 13% memiliki kantung gestasi yang

jelas dengan fetal pole. Kegagalan untuk mendeteksi kehamilan intra atau

ekstrauterin dengan pemindaian pada wanita dengan tes kehamilan positif

disebut PUL atau pregnancy of unknown location yang merupakan

diagnosis sementara yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut.28

14
Gambar 5 : Contoh gambaran USG kehamilan ektopik

 Dilatasi kuretase

Saat serum kadar hCG lebih dari 1500 mIU/ml, usia gestasi lebih dari 38

hari, atau serum kadar progesterone kurang dari 5 ng/ml dan tidak ada

kantong gestasi interauterin yang terlihat denga transvaginal USG,

kuretase kavum endometrial dengan pemeriksaan histologi pada jaringan

yang dikerok, dengan potong beku bila mau, dapat dikerjakan untuk

menentukan apakah ada jaringan gestasi. Spandorfer dkk. melaporkan

bahwa potong beku 93 % akurat dalam mengenali villi koriales. Jika

tidak ada jaringan villi koriales yang terlihat pada jaringan yang diangkat,

maka diagnosis kehamilan ektopik dapat dibuat dan dilakukan tindakan.

15
2.8 PENATALAKSANAAN

Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik,

yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya

bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti

adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien

harus bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan

perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila

terjadi rupture harus dioperasi.

TERAPI BEDAH

Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan

tindakan bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif

( biasanya salpingostomi ) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi

atau laparatomi. Laparoskopi adalah terapi bedah yang dianjurkan untuk

kehamilan ektopik, namun laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila

pasien secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan

laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau

ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi.29

Pada pasien dengan tuba fallopi kontralateral yang masih baik, biasanya

dilakukan salpingektomi, dimana keseluruhan tuba fallopi maupun segmen yang

berisi jaringan kehamilan ektopik diangkat.30 Salpingostomi biasa digunakan

untuk mengangkat kehamilan kecil yang panjangnya biasanya kurang dari 2 cm

dan terletak di sepertiga distal tiba uterina. Salpingostomi adalah tindakan beda

dimana tuba fallopi dibuka dan isi kehamilan ektopik diangkat tidak dengan

tubanya sehingga fertilitas pasien tetap terjaga. Pada banyak kasus, pasien-pasien

16
membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa

kasus saja salpingostomi dapat dilakukan.31

2 trial yang telah dilakukan secara random telah menemukan bahwa tidak

ada perbedaan fertilitas antara wanita yang dilakukan salpingektomi ataupun

salpingostomi, namun kejadian trofoblas persisten meningkat pada wanita yang

mendapatkan terapi bedah salpingotomi.32,33

Gambar 6 : Terapi bedah menggunakan tehnik laparatomi pada kehamilan ektopik

Gambar 8 : Kehamilan ektopik tuba kanan yang terlihat pada laparaskopi.

Tuba kanan yang membesar karena terdapat kehamilan ektopik ada disebelah kanan di E.

Tuba kiri yang tersumbat terlihat pada L- wanita ini pernah dilakukan ligasi tuba

17
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit

waktu yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau

total salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat

penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk

kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan

ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak

komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi sebagai

profilaksis para pasien resiko tinggi.33

TERAPI FARMAKOLOGI

METHOTREXATE

Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi

pemakaian methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting dan

direkomendasikan bahwa methotrexate tidak digunakan pada massa kehamilan itu

lebih dari 4 cm. Keberhasilannya baik bila usia gestasi kurang dari 6 minggu,

massa tuba kurang dari 3,5 cm diameter, janin sudah mati, dan β-hCG kurang dari

15.00 mIU. Menurut American College of Obstetricians and Gynaecologist

(1998), kontraindikasi lainnya termasuk menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme,

hipoplasia susmsum tulang, leukopenia, trombositopenia, atau anemia yang

signifikan. Selain itu juga penyakit infeksi akut atau kronik seperti TB, penyakit

hati atau ginjal, penyakit paru aktif, dan ulkus peptikum maupun ulkus pada

kavitas oris.34,35

Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai

antagonis asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas. Pasien

18
yang akan diberikan methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika yang stabil

dengan hasil laboratorium darah yang normal dan tidak ada gangguan fungsi

ginjal dan hati karena metotrexat bersifat hepatotoksik dan dikeluarkan memalui

ginjal. Bagi wanita dengan suspek penyakit hepar atau ginjal, maka sebelumnya

harus dilakukan skrining pada hasil tes fungsi liver dan serum kreatininnya.35

Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal 50 mg/m2 intramuskular bila

menggunakan area permukaan tubuh (Body surface area) atau 1 mg/KgBB bila

menggunakan berat badan sebagai perhitungannya. Pada umumnya, selain

ketindaknyamanan abdomen 1-3 hari dan perut kembung setelah medikasi, efek

samping lainnya jarang terjadi dan bisa pulih kembali seperti normal lebih cepat

dibanding setelah tindakan bedah. Efek samping serius seperti hepatotoksisitas,

toksisitas pada sumsum tulang, atau alopesia jarang terjadi. Pasien harus

dilakukan monitoring kadar β-hCG setiap 4-7 hari sampai kadarnya < 5 IU/l.36

Apabila penurunan kadar hCG kurang dari 15%, maka dosis MTX dapat

diulang kemudian ukur kadar hCG kebali tiap minggu hingga mencapai kadar

normal. Setidaknya ada 15 % wanita yang membutuhkan dosis kedua MTX.

Tindakan bedah diindikasikan apabila ada kegagalan pada penurunan kadar hCG/

hampir 75% wanita mengalami nyeri abdomen saat pengobatan.37

Cara kedua pemberian metotrexat adalah dengan menggunakan dosis

variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke 1,3,5,7 ditambah Leukoverin 0,1 mg/kgBB

IM pada hari ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian methotrexate yang berhasil, β-hCG

biasanya menghilang dari plasma dalam rata-rata antara 14 dan 21 hari.

Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-hCG, kemungkinan ada massa

ektopik persisten atau ada perdarahan intraperitoneal.16

19
Kriteria inklusi untuk terapi medis kehamilan ektopik dengan metrotexat

adalah:

Karakteristik pasien

o Lebih memilih pilihan medis

o Bersedia mengikuti follow-up hingga 6 minggu

o Bersedia menjauhi alcohol selama 7 hari setelah terapi

o Tidak menysui atau bersedia untuk berhenti□

Penemuan klinis

 Hemodinamik stabil

 Nyeri perut minimal

USG

 Tidak ada kegagalan aktivitas jantung atau kantong yolk di adnexa

 Cairan bebas sedikit

 Tidak cenderung menjadi kehamilan awal yang gagal

Konsentrasi serum Beta-human chorionic gonadotrophin

 Biasanya <3000 IU/l

Riwayat medis

 Tidak ada ulkus peptikum aktif

 Tidak ada kondisi medis serius seperti penyakit ginjal, hepar, anemia

berat, leucopenia atau trombositopenia

Tidak sedang menjalani pengobatan

 NSAID, aspirin, penisilin, sulfonamide, trimetoprim, tetrasiklin,

diuretic, fenitoin, antimalaria, siklosporin, retinoid, probenesid, asam

20
folat, hipoglikemi, vaksin hidup, obat-obat hepatotoksik atau

nefrotoksik16

2.9. KOMPLIKASI

Kehamilan ektopik terganggu dapat menyebabkan beberapa komplikasi

yaitu:

 Pada pengobatan konservatif, yaitu bila ruptur telah lama berlangsung (4-

6 minggu), terjadi perdarahan ulang (recurrent bleeding), > 0,1%

mengakibatkan kematian ibu. Ini merupakan indikasi operasi

 Infeksi

 Sterilitas atau gagal reproduksi lainnya (30-50% pasien yang menjalani

operasi pengangkatan tuba karena kehamilan ektopik)

 Trofoblas persisten.16

2.10 PROGNOSIS

Kematian ibu karena kehamilan ektopik terganggu cenderung menurun

dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Namun bila pertolongan

terlambat, maka angka kematian akan meningkat. Sedangkan janin pada

kehamilan ektopik biasanya akan mati dan tidak dapat dipertahankan karena tidak

berada pada tempat dimana ia seharusnya tumbuh.

Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat bilateral.

Sebagian wanita dapat menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik atau

dapat mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan

ektopik yang berulang dilaporkan antara 0-14,6 %.Kehamilan ektopik

21
bertanggung jawab atas 6% kematian pada ibu yang pada umumnya terjadi setelah

timbulnya gejala akut.8

22
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

1. Kehamilan Ektopik ialah kehamilan dimana sel telur setelah dibuahi (fertilisasi)
berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.
2. Kehamilan Ektopik Terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami abortus
atau ruptur apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang
implantasi misalnya tuba.
3. Berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik Kesehatan diketahui bahwa pada
tahun 2007 terdapat 20 kasus setiap 1.000 kehamilan menderita kehamilan
ektopik atau 0,02%.
4. Gambaran klinik klasik untuk kehamilan ektopik adalah trias nyeri abdomen,
amenore, dan perdarahan pervaginam.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rashmi A Gaddagi, A P Chandrashekar, A Clinical Study of Ectopic

Pregnancy. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2012. June

Vol 6(5);867-9

2. Ayaz, A., Emam, S. and Farooq, M.U. (2013) Clinical Course of

Ectopic Pregnancy: ASingle-Center Experience. Journal of Human

Reproductive Science, 6, 70-73

3. Sepilian, Vicken; Ellen W. Ectopic Pregnancy.


www.emedicine.com/health/topic3212.html
4. Wiknjosastro, Hanifa. Kehamilan Ektopik. Ilmu Kebidanan edisi
ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Jakarta.2005.hal 323-338.
5. Alkatout I, Honemeyer U, Strauss A, et al. clinical diagnosis and
treatment of ectopic pregnancy Obstet Gynecol Surv 2013;68:571
6. Autry AM. Medical treatment of ectopic pregnancy: is there
something new? Obstetrics & Gynecology. 2013;122(4):733-4
7. Hospital Inpatient Enquiry (HIPE) Ireland (2012). Healthcare Pricing
Office (HPO) Portal Data.
8. Centre for Maternal and Child Enquiries, CMACE (2011). Saving

Mothers’Lives: reviewing maternal deaths to make motherhood

safer, 2006–08: the eighth report on confidential enquiries into

maternal deaths in the United Kingdom. British Journal Obstetrics &

Gynaecology, 118 ( S1), 1–203.

9. Omokanye, L.O., Balogun, O.R., Salaudeen, A.G., Olatinwo, A.W.

R. (2013) Ectopic Pregnancy in Ilorin, Nigeria: A Four year review.

Nigerian Postgraduate Medical Journal, 20, 341-345

10. Royal college and obstetricians & Gynecologist

24
11. Depkes RI, 2007. Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta

12. Attar, Erkut. Endocrinology of Ectopic Pregnancy. Obstetric and

Gynecology Clinics. Volume 31 number 4. W.B Saunders Company.

December 2004.

13. Risk factors for ectopic pregnancy: a case-control study. Karaer A,

Avsar FA, Batioglu S, Aust N Z J Obstet Gynaecol. 2006 Dec;

46(6):521-7.

14. Shaw JL, Wills GS, Lee KF, et al. Chlamydia trachomatis infection

increases fallopian tube PROKR2 via TLR2 and NF?B activation

resulting in a microenvironment predisposed to ectopic pregnancy.

Am J Pathol. 2011;178:253–260

15. Shaw JL, Dey SK, Critchley HO, et al. Current knowledge of the

aetiology of human tubal ectopic pregnancy. Hum Reprod Update.

2010;16:432–444

16. Sivalingam VN, Duncan WC, Krik E, Shephard LA, and Horne AW.

Diagnosis and management of ectopic pregnancy. J Fam Plann

Reprod Health Care. 2011 Oct; 37(4): 231–240.

17. Attar, Erkut. Endocrinology of Ectopic Pregnancy. Obstetric and

Gynecology Clinics. Volume 31 number 4. W.B Saunders Company.

December 2004Della-Guistina, David; Mark Denny. Ectopic

Pregnancy. Emergency Medicine Clinics of North America. Volume

21 number 3. W.B Saunders Company. August 2003.

25
18. Fylstra DL (2012). Ectopic pregnancy not within the (distal)

fallopian tube: etiology, diagnosis and treatment. American Journal

Obstetrics & Gynecology, 206(4), 289-299.

19. Mavrelos D, Sawyer E, Helmy S, Holland TK, Ben-Nagi J and

Jurkovic D. Ultrasound diagnosis of ectopic pregnancy in the non-

communicating horn of a unicornuate uterus (cornual pregnancy).

Ultrasound Obstetrics & Gynecology. 2007;30(5):765-70.

20. Ash A, Smith A and Maxwell D. Caesarean scar pregnancy.

Obstetrics & Gynaecology, ACOG Practice Bulletin. 2007;114:253-

263

21. Odejinmi F, Sangrithi M and Olowu, O (2011). Operative

laparoscopy as the mainstay method in management of

hemodynamically unstable patients with ectopic pregnancy. Journal

Minimal Invasive Gynecology,18 (2), 179-183.

22. Crochet JR, Bastian LA, Chireau MV. Does this woman have an

ectopic pregnancy?: the rational clinical examination systematic

review. JAMA. 2013 Apr 24;309(16):1722-9.

23. National Institute for Clinical Excellence, NICE (2012). Ectopic

pregnancy and miscarriage: diagnosis and initial management in

early pregnancy of ectopic pregnancy and miscarriage. Clinical

Guideline No. 154. Manchester: NICE.

24. Cunningham FG, Kenneth JL, Bloom SL, et al. Obstetri Williams

Edisi 23. Jakarta. 2015. Penerbit Buku Kedokteran. EGC

26
25. Barnhart KT (2009). Ectopic pregnancy. New England Journal

Medicine,361, 379-387.

26. Placental growth factor: a promising diagnostic biomarker for tubal

ectopic pregnancy.Horne AW, Shaw JL, Murdoch A, McDonald SE,

Williams AR, Jabbour HN, Duncan WC, Critchley HO. J Clin

Endocrinol Metab. 2011 Jan; 96(1):E104-8.

27. American College of Obsetricians and Gynecologists: Medical

management of Ectopic Pregnancy. Practice Bulletin No. 94, June

2008

28. Barnhart KB, van Mello NM, Bourne T, Kirk E, Van Calster B,

Bottomley C, et al. (2011). Pregnancy of unknown location: a consensus

statement of nomenclature, definitions, and outcome. Fertility &

Sterility,95 (3), 857-866

29. Hajenius PJ, Mol F, Mol BW, et al. Intervention for tubal ectopic

pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 24:CD000324, 2007

30. Current management of ectopic pregnancy.Mukul LV, Teal SB

Obstet Gynecol Clin North Am. 2007 Sep; 34(3):403-19, x.

31. Al-Sunaidi M, Tulandi T,. Surgical treatment of ectopic pregnancy.

Semin Reprod Med. 2007;25(2):117

32. Fernandez H, Capmas P, Lucot JP, Resch B, Panel P and Bouyer J

for the GROG (Research Group in Obstetrics & Gynaecology)

(2013). Fertility after ectopic pregnancy: the DEMETER randomized

trial. Human Reproduction,28 (5), 1247-1253

33. Mol F, van Mello NM, Strandell A, Strandell K, Jurkovic D and Ross

J for the European Surgery in Ectopic Pregnancy (ESEP) study group

27
(2014). Salpingotomy versus salpingectomy in women with tubal

pregnancy (ESEP study): an open-label,multicentre, randomized

controlled trial. Lancet, 383, 1483-1489.

34. American Society for Reproductive Medicine, ASRM (2008).

Medical treatment of ectopic pregnancy. Fertility and Sterility,90,

S206-212.

35. Clark LE, Bhagavath B, Wheeler CA, Frishman GN and Carson SC

(2012). Role of routine monitoring of liver and renal function during

treatment of ectopic pregnancies with single-dose MTX protocol.

Fertility & Sterility,98 (1), 84-88

36. Kirk E, Condous G, Van Calster B, Haider Z, Van Huffel S,

Timmerman D and Bourne T (2007). A validation of the most

commonly used protocol to predict the success of single-dose MTX

in the treatment of early pregnancy. Human Reproduction, 22 (3),

858-863.

37. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, RCOG (2010).

The management of tubal pregnancy. Clinical Guideline No. 21

(revised). London: RCOG Press

28

Anda mungkin juga menyukai