Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Data WHO menunjukkan 17 juta orang meninggal setiap tahunnya karena
penyakit jantung dan pembuluh darah di seluruh dunia. Terdapat 36 juta penduduk atau
sekitar 18% total penduduk Indonesia 80% diantaranya meninggal secara mendadak
setiap tahunnya dan 50% tidak menunjukkan gejala. Data di RS Jantung dan Pembuluh
Darah pasien penyakit jantung koroner baik rawat jalan maupun rawat inap mengalami
peningkatan 10% setiap tahunnya dan di AS 1,5 juta orang mengalami serangan jantung
dan 478.000 orang meninggal karena jantung koroner setiap tahunnya (Hediyani,
2012).
Sindrom koroner akut menurut Rokhaeni (2012) merupakan spektrum manifestasi
akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran. Sindrom koroner
akut meliputi berbagai kondisi patologi yang menghambat aliran darah dalam arteri
yang mensuplai jantung. Penyakit aterosklerosis koroner disebabkan kelainan
metabolisme lipid, koagulasi darah, keadaan biofisika, dan biokimia dinding arteri.
Sindrom koroner akut (SKA) meliputi spektrum penyakit dari infark miokard akut
(IMA) sampai angina tak stabil (unstable angina).
SKA membutuhkan penanganan awal yang cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan
untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Peran tenaga kesehatan khususnya
perawat adalah upaya pencegahan komplikasi maupun penanganan yang cepat untuk
melakukan penyelamatan jiwa melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif. Oleh sebab itu perawat perlu memahami dan mengetahui konsep teoritis
dan keterampilan profesional yang harus dimiliki dalam melaksanakan tugasnya,
sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit jantung,
khususnya SKA.

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi Sindrom Koroner Akut (SKA)
2. Mengetahui etiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
3. Mengetahui patofisiologi Sindrom Koroner Akut (SKA)
4. Mengetahui tanda dan gejala Sindrom Koroner Akut (SKA)
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang Sindrom Koroner Akut (SKA)
6. Mengetahui pengkajian primer dan sekunder Sindrom Koroner Akut (SKA)
7. Mengetahui diagnose yang muncul pada Sindrom Koroner Akut (SKA)
8. Mengetahui intervensi Sindrom Koroner Akut (SKA)
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Sindrom koroner akut (SKA) adalah sebuah kondisi yang melibatkan
ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya oksigen ke otot
jantung (miokardium). Sindrom koroner akut ini merupakan sekumpulan manifestasi
1
atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria. Sindrom koroner akut mencakup
penyakit jantung koroner yang bervariasi mulai dari angina pektoris tidak stabil dan
infark miokard tanpa ST-elevasi sampai infark miokard dengan ST-elevasi. (Ramrakha,
2013)
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup spektrum
kondisi klinis yang ditandai dengan iskemia miokard secara akut, diakibatkan karena
ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen dengan kebutuhannya. Berbeda dengan
angina stabil, ACS berasal dari berkurangnya aliran darah pada miokard akibat adanya
total oklusif atau subtotal oklusif trombus arteri koroner. ACS dapat diklasifikasikan
berdasarkan perubahan gambaran electrocardiographic (ECG) yaitu : (1) ST-segment-
elevation ACS (STE ACS atau STEMI) dan (2) Non-ST-segment-elevation ACS
(NSTE ACS), yang termasuk di dalamnya non-ST-segment-elevation myocardial
infraction (NSTE MI) dan unstable angina (UA) (Dipiro et al., 2009).
B. Etiologi
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
Penyebab paling sering adalah penurunan perfusi miokard oleh karena
penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada ada plak
aterosklerosis yang rupture dan biasanya tidak sampai menyumbat. Mikroemboli
(emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak yang
ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di distal, merupakan penyebab keluarnya
petanda kerusakan miokard pada banyak pasien
2. Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri koroner
epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos pembuluh darah dan/atau akibat adanya disfungsi endotel. Obstruksi
dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi abnormal pada pembuluh
darah yang lebih kecil
3. Obstruksi mekanik yang progresi
Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau trombus. Hal ini
terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis
ulang setelah intervensikoroner perkutan (PCI)
4. Inflamasi dan/atau infeksi
Inflamasi, disebabkan oleh/yang berhubungan dengan infeksi, yang
mungkin menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan
trombogenesis. Makrofag dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi
enzim seperti metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur
plak, sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA
5. Keadaan pencetus
Akibat sekunder dari kondisi pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini
ada penyebab dapat berupa penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan
terbatasnya perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang
kronik.
C. Tanda dan gejala
Manifestasi klinis sangat penting dalam penegakan diagnos SKA yang meliputi
anamnesa terhadap adanya nyeri dada, EKG, dan pertanda jantung (cardiac marker).
a. Nyeri dada
Nyeri dada terutama dirasakan di daerah sub sterna dan bisa menjalar ke
lengan kiri atau kanan, ke rahang, bahu. Keluhan biasanya berupa sensasi
terbakar, tertekan, terhimpit benda berat, sesak napas, seperti diremas, atau hanya
berupa keluhan tidak nyaman di dada. Keluhan sering disertai keringat dingin,
mual, muntah atau pingsan.
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke
leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pectoris pada sekitar 50%
pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari,
jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak
berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien
juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%)
IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien
dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut. (Sudoyo,
et al, 2010)
b. Elektrokardiogram
Hasil berupa perubahan segment ST baik ST elevasi maupun deprese atau
adanya inverse gelombang T dapat memberikan gambaran kejadian SKA.. Harus
dilengkapai dengan pemeriksaan cardiac marker.
c. Pertanda Jantung (Cardiac Marker)
Pemeriksaan enzyme jantung pada kejadian injury miokard akan
memberikan hasil yang signifiokan. Pemeriksaan enzyme jangtung ini juga harus
dilakukan secara serial periodic 4-6 jam karena enzyme jantung akan
terakumulasi dalam aliran darah apabila otot-otot jantung mengalami
kerusakan/infark.
Enzyme yang spesifik antaralain CKMB dan troponin T.
· CKMB meningkat pada 3-4 jam setelah infark
· Troponi T meningkat pada 3-4 jam setelah infark
D. Patofisiologi/Pathway
E. Komplikasi (Sudoyo, 2013)
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang
jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%) , sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

4. Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi
miokard
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah
aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel
F. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA:
1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedsidesederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6
II +S3 dan atau ronkhi basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok Kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressuse (PCWP)
Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
2
(L/min/m )
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

3) TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik
Faktor Risiko (Bobot) Skor Risiko/ mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0.8)
Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1.6)
Diabetes mellitus/ hipertensi atau 2 (2.2)
angina (1 poin)
Tekanan darah sistolik <100mmHg (2 3 (4.4)
poin)
Frekuensi jantugng >100 (2 poin) 4 (7.3)
Klasifikasi Kilip II-IV (2 poin) 5 (12.4)
Berat < 67kg (1 poin) 6 (16.1)
Elevasi ST anterior atau LBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi >4jam (1 poin) 8 (26.8)
Skor risiko = total poin >8 (35.9)

G. Terapi Reperfusi (Obat Fibrinolitik)


Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat
disfungsi dan dilatasi vetrikel,serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna
Sasaran terapi reperfusi adalah door to neddle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to ballon time untuk PCI dapat
dicapat dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor pentig terhadap
luas infar dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan
trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama
(terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurukan
angka kematian (Sudoyo, 2013)
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
neddle time <30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah
merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi
plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin. (Fauci, et..al. 2014)
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala kualitatif
sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
grading system:
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang terkena
infark
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik obstruksi
tetapi tanpa perfusi vaskular distal
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal
Indikasi terapi firinolitik (Sudoyo,2013):
 Kelas I
1) Terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI dengan onset
gejala <12 jam dan elevasi ST ?0,1 mV pada minimal 2 sandapan
prekordia atau 2 sandapan ekstremitas
2) Terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala
<12 jam dan LBBB baru atau diduga baru
 Kelas Iia
1) Di pertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan
terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala < 12 jam
dan EKG 12 sandapan konsisten dengan infark miokard
2) Di pertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset
mulai dari <12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemi
yang terus berlanjur dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya
2 sandapan ekstremitas
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST>50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik tidak
menunjukkan hasil pada graft vena.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik (Sudoyo, 2013):
 Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 b
 Kontraindikasi relatif
1) Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2) Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS >110 mmHg)
3) Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4) Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5) Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6) Fungsi vaskular yang tak terkompresi
7) Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat
8) Kehamilan
9) Ulkus peptikum aktif
10) Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdaraha
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapimempunyai beberapa risiko seperti perdarahan.
Perdarahan diklasifikasikan oleh American College of Surgeons' Advanced Trauma Life
Support (ATLS) menjadi: (Manning, 2014)
Kelas I Melibatkan hingga 15% dari volume darah, tidak ada
perubahan dalam tanda-tanda vital dan tidak diperlukan
esusitasi cairan
Kelas II Melibatka 15-30% dari volume darah total, ditandai dengan
takikardi (denyut jantung cepat) dan penyempitan perbedaan
antara tekanan darah sistolik dan diastolik. Transfusi darah
biasanya tidak diperlukan
Kelas III Melibatkan hilangnya 30-40% dari volume sirkulasi darah
yang ditandai penurunan tekanan darah pasien, peningkatan
denyut jantung, hipoperfusi perifer (syok). Resusitasi cairan
dengan kristaloid dan transfusi darah biasanya diperluka
Kelas IV Melibatkan hilangnya >40^% dari volume sirkulasi darah.
Batas kompensasi tubuh tercapai dan resusitasi agresif
diperlukan untuk mencegah kematian

H. Pemeriksaan penunjang
Diagnosa SKA umumnya diangkat berdasarkan tanda dan gejala, EKG 12 lead,
tes laboratorium yang kemudian dapat dijadikan data untuk menentukan apakah pasien
termasuk UAP, NSTEMI atau STEMI. Prognosis tergantung dari seberapa berat
obstruksi arteri koroner dan seberapa kerusakan yang terjadi pada miokardium.
1. EKG
Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting, normal EKG tidak
menyingkirkan tidak adanya iskemik miokard atau memulangkan pasien,
pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara berkala.
a. NSTEMI : depresi ST segmen >0,5 mm pada sandapan yang berdekatan atau
inversi gelombang T >2 mm yang dinamik memberikan kecurigaan adanya
suatu sindrom koroner akur non ST elevasi.
b. STEMI: ST elevasi >1 mm pada 2 atau lebih sandapan yang berdekatan pada
limb lead dan atau segment elevasi > 2 mm pada 2 sadapan chest lead, atau
gambaran LBBB baru yang menunjukan adanya suatu sindrom koroner akut
dengan elevasi ST/infark transmural. Gelombang T iskemik biasanya
terbalik, dalam dan simetris. Gelombang Q merupakan tanda kemungkinan
terdapat jaringan yang mati.

Penentuan lokasi infark berdasarkan hasil perekaman EKG (Dharma, Surya,


2009) adalah:
1) Anterior : V3, V4
2) Anteroseptal : V1, V2, V3, V4
3) Antero ekstensif : I, AVL, V2 sampai V6
4) Anterolateral : I, aVL, V3, V4, V5, V6
5) Inferior : II, III, aVF
6) Lateral : I, aVL, V5, V6
7) Septum : V1, V2
8) Posterior : V7, V8, V9
2. Foto thoraks
Foto thoraks biasanya normal pada pasien dengan angina. Pembesaran jantung
atau peningkatan tekanan vena dapat menandakan adanya infark miokard atau
disfungsi ventrikel kiri, namun temuan ini kadang tidak dapat diandalkan.
3. Enzim jantung
Sel otot jantung yang mati akan mengeluarkan enzim, dan enzim tersebut dapat
membantu dalam menegakkan infark miokard.
a. Creatinin Kinase (CK, CKMB) mulai naik dalam 6 jam, memuncak dalam
12-16 jam, normal kembali antara 3-4 hari tanpa terjadi nekrosis baru.
Enzim CKMB sering dijadikan indikator MCI sebab hanya terjadi saat
kerusakan jaringan miokard. Nilai referensi CKMB 0-24 u/l. Kuantitatif
Troponin T sebagai kriteria diagnostik untuk infark miokard akut, baru–
baru ini didefinisikan kembali berdasarkan pengukuran troponin < 0.03 =
negative. 0.03 – 0,1 = low. 0,1 – 2 = MCI. > 2 = massive MCI.
b. LDH: Dapat dideteksi 24-48 jam pasca infark, mencapai puncaknya setelah
3-6 hari, normal setelah mencapai 8-14 hari.
c. Elektrolit: ketidakseimbangan elektrolit dalam darah dapat mempengaruhi
konduksi dan kontraktilitas jantung, misalnya: hipokalemia, hiperkalemia.
d. Sel darah putih: kadar leukosit biasanya tampak mengalami peningkatan
pada hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi.
e. Kecepatan sedimentasi meningkat pada hari ke-2 dan ke-3 setelah IMA
menunjukkan inflamasi.
f. AGD: dapat menunjukan hipoksia atau proses penyakit paru akut maupun
kronis.
g. Kolesterol atau trigliserida serum meningkat, menunjukan arteriosklerosis
sebagai penyebab IMA.

4. Echocardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi ruang jantung, gerakan katup atau dinding
ventrikel dan konfigurasi atau fungsi katup.
5. Pemeriksaan Pencitraan Nuklir
a) Talium : mengevaluasi aliran darah miokard dan status sel miokard
misalnya lokasi atau luasnya AMI.
b) Technetium : terkumpul dalam sel iskemik disekitar area nekrotik.
6. Pencitraan darah jantung (MUGA)
Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan umum, gerakan dinding regional
dan fraksi ejeksi (aliran darah).
7. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner, biasanya dilakukan
untuk mengukur tekanan ruang jantung dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase AMI kecuali mendekati bedah
jantung angioplasty atau bersifat darurat.
8. Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, ruang jantung atau katup ventrikel, lesi
vaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.

I. Pengkajian Primer
 Airway
Sumbatan atau penumpukan sekret, wheezing crackles
 Breathing
Sesak dengan aktivitas ringan atau istirahat, RR lebih dari 24 kali/menit, irama
irreguler dangkal, ronchi, crakcles, ekspansi dada tidak penuh, penggunaan otot
bantu nafas
 Circullation
Nadi lemah, tidak teratur, takikardia, Tekanan darah menurun, edema, gelisah,
akral dingin, kulit pucat, sianosis, urine output menurun
J. Pengkajian sekunder
S : Sign and Symptom.
Tanda gejala terjadinya
A: Allergies
Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-obatan
ataupun kebutuhan akan makan/minum.
M: Medications
Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan klien
dan tidak menimbulkan reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan
riwayat pengobatan klien.
P: Previous medical/surgical history.
Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.
L: Last meal (Time)
Waktu klien terakhir makan atau minum.
E: Events
Riwayat kesehatan sekarang

K. Diagnosa yang mungkin muncul


1. Nyeri akut b/d infark miokard akibat sumbatan arteri koroner.
2. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan
kebutuhan tubuh.
3. Penurunan curah jantung b/d perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik
jantung; penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik;
infark/diskinetik miokard, kerusakan struktuaral seperti aneurisma ventrikel dan
kerusakan septum.
4. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan/sumbatan aliran darah koroner.
5. Kelebihan volume cairan b/d penurunan perfusi ginjal; peningkatan
natrium/retensi air; peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein
plasma.
6. Kurang pengetahuan (tentang kondisi dan kebutuhan terapi) b/d kurang terpajan
atau salah interpretasi terhadap informasi tentang fungsi jantung/implikasi
penyakit jantung dan perubahan status kesehatan yang akan datang.

L. Intervensi keperawatan
1. Nyeri akut b/d infark miokard akibat sumbatan arteri koroner.
 Kaji nyeri: (karakteristik, lokasi, intensitas, durasi), catat setiap respon
verbal/non verbal, perubahan hemo-dinamik
 Berikan lingkungan yang tenang dan tunjukkan perhatian yang tulus kepada
klien.
 Berikan lingkungan yang tenang dan tunjukkan perhatian yang tulus kepada
klien.
 Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan, distraksi,
visualisasi, bimbingan imajinasi)
 Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
2. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan
kebutuhan tubuh.
 Pantau HR, irama, dan perubahan TD sebelum, selama dan sesudah
aktivitas sesuai indikasi.
 Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas
 Anjurkan klien untuk menghindari peningkatan tekanan abdominal.
3. Penurunan curah jantung b/d perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik
jantung; penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik;
infark/diskinetik miokard, kerusakan struktuaral seperti aneurisma ventrikel dan
kerusakan septum.
 Pantau TD, HR dan DN, periksa dalam keadaan baring, duduk dan berdiri
(bila memungkinkan)
 Auskultasi adanya S3, S4 dan adanya murmur.
 Auskultasi bunyi napas.
 Berikan makanan dalam porsi kecil dan mudah dikunyah.
 Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan klien

Hediyani, Novie. 2012. Penyakit Jantung Koroner. www.dokterku-online. Jakarta. Diambil


pada tanggal 19 Januari 2013 jam 11.00 WIB.
Rokhaeni, Heni dkk. 2012. Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Edisi I. Jakarta: Bidang
Pelatihan dan Pelatihan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007
Sudoyo AW, Setiyohadi B, AlwiI, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V.
Jakarta: Interna Publishing; 2013
st
Ramrakha P, Hill J. (2013). Oxford handbook of cardiology: coronary artery disease. 1 ed.
Oxford: Oxford University Press.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 17th Edition Harrison’s Principles of Internal
Medicine. New South Wales : McGraw Hill; 2010

Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. JE
Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York.2014. p.227

Anda mungkin juga menyukai