Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH SISTEM PENGHANTARAN OBAT BARU

DENGAN TARGET ORGAN KOLON

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata Kuliah Sistem Penghantaran Obat
Baru

Disusun oleh:

Tiffany Sabilla R 260110140086

Nurmalia Saraswati 260110140087

Mila Tri Cahyani 260110140088

Siti Rositah 260110140089

FAKUTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2017
1. ANATOMI DAN FISIOLOGI KOLON

A. KOLON

Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dari feses.Usus besar terdiri dari kolon asendens
(kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan
dengan rektum).Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi
mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.Bakteri di dalam
usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus.Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar.Akibatnya terjadi
iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare
(Standring, 2006).

B. ANATOMI

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5


kaki(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus
besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi
makin dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon,
dan rektum.Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum.Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar.Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum.Kolon dibagi lagi
menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid.Tempat dimana kolon
membentuk kelokan tajam, yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid dimulai dari krista
iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke
kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon
sigmoid sampai dengan anus.Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang
dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis
ani adalah 5,9 inci (Lindseth, 2005).

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, tunika serosa, muskularis, tunika
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-
gambaran yang khas berupa lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna,
tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid
distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut
membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra.Pada taenia melekat kantong-
kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices
epiploika.Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak
lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus. (Taylo,
2005) Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan
inferior.Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari
sekum dua pertiga proksimal kolon transversum).Arteri mesenterika superior
mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri
kolika media.Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian
kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian
proksimal).Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika
sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea.Vaskularisasi tambahan
daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan
media.Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika
superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal
yang mengalirkan darah ke hati.Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan
darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik.Ada anastomosis
antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan
portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid.Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi
preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior.Aliran balik pembuluh
limfe melalui sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena
subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma
gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran
balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah hemorroidalis
superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisiiliaka interna,
sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran
limfe inguinalis superficialis (Taylo, 2005).

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter
eksternus yang diatur secara volunter.Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars
torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis
preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama
dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (Meissner).
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang
berlawanan.Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan
interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya
tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai
fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus
aurbach dan meissner (Taylo, 2005).
Gambar 1. Organ kolon
Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :

1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal

2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3


pleksus tersebut (Akgur, 1992).

C. FISIOLOGI

Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan
(Guyton, 2008), kolon mengubah 1000-2000mL kimus isotonik yang masuk setiap
hari dari ileum menjadi tinja semipadat dengan volume sekitar 200-250mL (Ganong,
2008).

Sebagian besar absorpsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal
kolon, sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorpsi, sedangkan kolon bagian
distal pada prinsipnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu
yang tepat untuk ekskresi feses dan oleh karena itu disebut kolon
penyimpanan.Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal
pada kolon pengabsorpsi. Bakteri-bakteri ini mampu mencernakan sejumlah kecil
selulosa, dengan cara ini menyediakan beberapa kalori nutrisi tambahan untuk tubuh
(Guyton, 2008).

Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena
mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan vena hemoroidalis superior
(bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati).Vena hemoroidalis media dan
inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi
sistemik.Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan
inverior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya
aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid.(Sarhan, 2009).

Terdapat dua jenis peristaltik propulsif :(1) kontraksi lamban dan tidak teratur,
berasal dari segmen proksimal dan bergerak ke depan, menyumbat beberapa haustra;
dan (2) peistaltik massa, merupakan kontraksi yang melibatkan segmen kolon.
Gerakan peristaltik ini menggerakkan massa feses ke depan, akhirnya merangsang
defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai tiga kali sehari dan dirangang oleh reflek
gastrokolik setelah makan, terutama setelah makan yang pertama kali dimakan pada
hari itu (Sarhan, 2009).

Propulasi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensidinding


rektum dan merangsang refleks defekasi.Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani
eksterna dan interna.Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom,
sedangkan sfingter eksterna dikendalikan oleh sistem saraf voluntary. Refleks
defekasi terintegrasi pada medula spinalis segmen sakral kedua dan keempat.Serabut
parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan menyebabkan
terjadinya kontraksi rectum dan relaksasi sfingter interna. Pada waktu rektum yang
teregang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga menyebabkan sudut dan
anulus anorektal menghilang.Otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada
waktu anus tertarik keatas melebihi tinggi masa feses.Defekasi dipercepat dengan
tekanan intraabdomen yang meningkat akibat kontraksi voluntar otot dada dengan
glotis yang tertutup, dan kontraksi otot abdomen secara terus-menerus (maneuver dan
peregangan valsalva).Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi voluntar otot sfinfter
eksterna dan levator ani (Nayak, 2015).

Dinding rektum secara bertahap menjadi relaks, dan keinginan defekasi


menghilang.Rektum dan anus merupakan lokasi sebagian penyakit yang sering
ditemukan pada manusia.Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan pengosongan
rektum saat terjadi peristaltik masa.Bila defekasi tidak sempurna, rektum menjadi
relaks dan keinginan defekasi menghilang. Air tetap terus diabsorpsi dari massa feses,
sehingga feses menjadi keras, dan menyebabkan lebih sukarnya defekasi selanjutnya.
Bila massa feses yang keras ini terkumpul disatu tempat dan tidak dapat dikeluarkan,
maka disebut sebagai impaksi feses. Tekanan pada feses yang berlebihan
menyebabkan timbulnya kongesti vena hemoroidalis interna dan eksterna, dan hal ini
merupakan salah satu penyebab hemoroid (vena varikosa rektum). (Price, 2005)

1. Gerakan Mencampur
Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm
otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat
yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi
gabungan tadi menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar
(haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik,
kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan
kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu
bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan
feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan
serta zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang
dikeluarkan tiap hari (Mishra, 2014).
Kontraksi bergerak lambat terutama pada sekum dan kolon asenden.

Timbul dorongan isi kolon ke depan

Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustrae baru pada daerah lain yang
brdekatan
Bahan feses secara lambat dalam usus besar diaduk dan diputar

sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus
besar

cairan& zat-zat terlarut secara progresif dabsorpsi

Hingga hanya terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan setiap hari (Choudhury,
2012).

2. Gerakan Mendorong

Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang
lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat.
Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan
untuk beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan (Reddy,
2013).

Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak bervili menghasilkan
mukus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat
yang diatur oleh rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf
setempat terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla
spinalis yang membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga
bagian distal kolon.Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap
ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan
bahan feses.Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang
berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida
sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam
feses.Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100
ml/hari).Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare
berat (Reddy, 2013).
Rangkaian pergerakan massa biasanya menetap selama 10 sampai 30 menit

Lalu mereda dan mungkin timbul kembali setengah hari kemudian

Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum

Keinginan untuk defekasi
Timbulnya gerakan massa dipermudah oleh refleks
gastrokolikdanduodenokolik, refleks-refleks tersebut disebabkan oleh distensi
lambung dan duodenum (Reddy, 2013).
3. Absorbsi dalam Usus Besar

Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar
air dan elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml
diekskresikan bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal
(kolon pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan feses
sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon penyimpanan) (Mishra,
2014).

4. Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air

Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi
aktif natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di
usus besar lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion
tersebut, apalagi ketika aldosteron teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida
menciptakan gradien osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian
menyebabkan absorbsi air (Mohapatra, 2012).

Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti
penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri
didalam usus besar (Mohapatra, 2012).
5. Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar

Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari
sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi
usus besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare (Mohapatra, 2012).

6. Kerja Bakteri dalam kolon

Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada
kolon pengabsorpsi.Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan
nutrisi), vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan
flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄) (Mohapatra, 2012).
7. Komposisi feses

Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-
20% anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering
dari pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas).Warna coklat dari feses
disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang merupakan
hasil kerja bakteri.Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja menjadi putih
(tinja akolik).Asam organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh bakteri merupakan
penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0). Bau feses disebabkan produk kerja
bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja relatif tidak
terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses
bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan
jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna (Mishra, 2014).

8. Defekasi

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter
yang lemah ±20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta
sudut tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan
massa ke rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan
defekasi. Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik
dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani eksternus (Behin, 2013).

Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan


rectum mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani
internus dan eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks
defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding
rectum (Behin, 2013).

Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen
menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic
dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus.Ketika
gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal
penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar
berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi.Jadi sfingter melemas sewaktu
rectum teregang (Gurpreet, 2013).

Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi


volunter dapat dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan
mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi
merupakan suatu reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga
agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan
megontraksikan otot abdomen (Gurpreet, 2013).

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks


defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis
(segmen sacral medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal
akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon
descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus.
Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi
sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses
defekasi yang kuat. Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain,
seperti mengambil napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen
mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis
mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus mengeluarkan feses (Behin,
2013).

Sewaktu gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rektum


Terjadi peregangan rektum

Merangsang reseptor regang di dinding rektum memicu refleks defekasi

Sfingter anus internus (terdiri dari otot polos) untuk melemas
& rektum serta kolon sigmoid berkontraksi kuat
Sfingter anus eksternus (terdiri dari otot rangka) juga melemas

Defekasi
(Defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melbatkan
kontraksi simultan otot-otot abdomen & ekspirasi paksa dengan glotis
tertutup.Manuver ini menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang
membantu pengeluaran feses) (Behin, 2013).

2. MEKANISME PENYERAPAN OBAT DI KOLON

Sistem pemberian obat spesifik usus besar (CDDS) harus mampu melindungi
obat dalam perjalanan ke usus besar.Pelepasan dan penyerapan obat sebaiknya tidak
terjadi di lambung maupun usus kecil, namun agen bioaktif tersebut harus
terdegradasi dan diserap saat mencapai sistem kolon. Pengiriman obat yang
ditargetkan ke usus besar sangat diinginkan untuk pengobatan lokal berbagai penyakit
usus seperti kolitis ulserativa, penyakit Crohn, amebiosis, kanker kolon, pengobatan
lokal kolon patologi, dan pengiriman protein dan obat peptida sistemik. Rute oral
merupakan rute yang paling mudah dan lebih disukai, namun rute lain untuk CDDS
dapat pula digunakan. rute rektal menawarkan rute terpendek untuk menargetkan obat
ke usus besar.

Preparasi obat untuk rute intrarektal diberikan dalam bentuk larutan, busa, dan
supositoria.Rute intrarektal ini digunakan untuk efek sistemik maupun local di usus
besar.Obat kortikosteroid seperti hidrokortison dan prednisolon diberikan melalui
rektum untuk pengobatan kolitis ulserativa.Meskipun obat ini diserap dari usus besar,
umumnya diyakini bahwa khasiatnya terutama disebabkan oleh aplikasi topikal.
Konsentrasi obat yang mencapai usus besar tergantung pada faktor formulasi, tingkat
penyebaran retrograde dan waktu retensi. Busa dan supositoria telah terbukti
dipertahankan terutama di kolon rektum dan sigmoid sementara larutan enema
memiliki kapasitas penyebaran yang besar.

Kriteria Pemilihan Obat untuk CDDS

Kandidat terbaik untuk CDDS adalah obat yang menunjukkan penyerapan yang
buruk di lambung atau usus termasuk peptida.Obat yang digunakan dalam
pengobatan IBD, kolitis ulserativa, diare, dan kanker usus besar adalah kandidat ideal
untuk pemberian colon lokal.Kriteria pemilihan obat untuk CDDS dirangkum dalam
Tabel di bawah ini.

Tabel 1. Kriteria Pemilihan Obat untuk CDDS

Kriteria Kelas Obat Non-Peptida Obat Peptida


Farmakologi
Obat efek lokal Obat anti-inflamasi Oksiprenolol, Amilin,
untuk penyakit Metoprolol, oligonukleotida
GIT Nifedipin Antisens
Obat yang Antihipertensi dan Ibuprofen, Siklosporin,
diabsorpsi buruk antianginal Isosorbida, teofilin Desmopressin
di GIT atas
Obat untuk Obat Pseudoefedrin Epoetin,
Kanker Kolon Antinkoplastis Glukagon
Obat Protein dan Peptida Bromofenaramin, Gonadoelin,
terdegradasi di 5-florourasil, insulin interferon.
lambung dan doksorubisin
usus halus
Obat yang Nitrogliserin dan Bleomisin, Protirelin
mengalami first kortikosteroid nikotinq sermorelin,
pass metabolism saloatonin
Obat untuk Antiartritis dan Prednisolone, Somatropin
penargetan antiastamatik hidrokortison, 5- urotoilitin
amino-asam
salisilat

Pembawa obat adalah faktor lain yang mempengaruhi CDDS. Pemilihan zat
pembawa untuk obat tertentu bergantung pada sifat fisiokimia obat dan juga penyakit
di mana sistem tersebut digunakan.Faktor-faktor seperti sifat kimia, stabilitas dan
koefisien partisi obat dan jenis peningkat absorpsi yang dipilih mempengaruhi
pemilihan zat pembawa.Selain itu, pilihan pembawa obat tergantung pada kelompok
fungsional molekul obat.

Beberapa pendekatan digunakan untuk penghantaran obat spesifik


lokasi.Beberapa pendekatan utama untuk CDDS adalah sebagai berikut.

Pendekatan primer untuk CDDS

a. Polimer bergantung pH untuk penghantaran obat ke kolon

PH di kolon transversal adalah 6,6 dan 7,0 pada kolon desendens. Penggunaan
polimer bergantung pH didasarkan pada perbedaan tingkat pH ini.Polimer ini
digambarkan sebagai bergantung pH pada pemberian obat spesifik kolon yang tidak
larut pada tingkat pH rendah namun menjadi semakin larut saat pH meningkat.
Meskipun polimer yang bergantung pH ini dapat melindungi formulasi di lambung,
dan usus halus proksimal, ia mungkin mulai larut di usus halus bagian bawah, dan
spesifisitas formulasi lokasi bisa buruk. Penurunan pH dari ujung usus halus ke usus
besar juga dapat menyebabkan masalah, waktu jeda yang lama di persimpangan ileo-
sekal atau transit cepat melalui kolon asendens yang juga dapat mengakibatkan -
spesifisitas yang buruk dari formulasi unit satuan-salut enterik.
Gambar 2. Desain Tablet salut Enterik-Waktu terkontrol

b. Sistem Penghantaran Obat dengan Waktu terkontrol

Sistem pelepasan yang dikendalikan dengan waktu seperti bentuk sediaan


sustained release atau delayed release juga merupakan sistem pelepasan obat yang
sangat menjanjikan. Namun, karena variasi waktu pengosongan lambung yang sangat
besar dari bentuk sediaan pada manusia, dalam pendekatan ini, kedatangan bentuk
sediaan obat di kolon tidak dapat diperkirakan secara akurat, sehingga
mengakibatkan ketersediaan koloni yang buruk. Bentuk sediaan juga dapat diterapkan
dengan memperpanjang jeda waktu sekitar 5 sampai 6 jam.

c. Mikrobial Memicu Penghantaran Obat ke Kolon

Untuk fermentasi ini, mikroflora menghasilkan sejumlah besar enzim seperti


glucoronidase, xylosidase, arabinosidase, galactosidase, nitroreductase,
azareducatase, deaminase, dan urea dehidroksilase.Karena adanya enzim
biodegradable hanya di usus besar, penggunaan polimer biodegradable untuk
pemberian obat spesifik usus besar tampaknya merupakan pendekatan yang lebih
spesifik lokasi dibandingkan dengan pendekatan lainnya.Polimer ini melindungi obat
dari lingkungan perut dan usus halus, dan mampu mengantarkan obat ke usus
besar.Saat mencapai usus besar, mereka menjalani asimilasi oleh mikroorganisme,
atau degradasi oleh enzim atau pemecahan tulang belakang polimer yang mengarah
ke penurunan berat molekul berikutnya dan dengan demikian kehilangan kekuatan
mekanis.
3. JENIS-JENIS SEDIAAN KOLON
a. CDDS tergantung pada waktu transit

CDDS yang bergantung pada waktu transit seperti bentuk sediaan sustain atau
lepas lambat adalah satu sistem pelepasan obat yang penting. Namun, karena variasi
pengosongan lambung yang berpotensi besar pada bentuk sediaan untuk manusia,
dalam hal pendekatan ini, waktu kedatangan bentuk sediaan di kolon tidak bisa
diprediksi secara akurat, berakibat buruk ketersediaan koloni. Bentuk sediaannya juga
mungkin berlaku sebagai bentuk dosis penargetan kolon dengan memperpanjang jeda
waktu sekitar 5 sampai 6 jam. Namun, ini merupakan kelemahan dari area sistem ini.
Waktu pengosongan lambung sangat bervariasi antara subjek atau dengan cara yang
tergantung pada jenis dan jumlah asupan makanan. Gerakan gastrointestinal, terutama
gerak peristaltic atau kontraksi di perut akan mengakibatkan perubahan transit
gastrointestinal obat.

b. CDDS tergantung pada pH

CTDDS yang bergantung pH mengeksploitasi umumnya diterima bahwa pH


GIT manusia meningkat secara progresif dari lambung (pH 1-2 yang meningkat
menjadi 4 selama pencernaan), usus kecil (pH 6-7) di tempat pencernaan meningkat
menjadi 7-8 pada ileum distal. Lapisan polimer (coating) melindungi tablet, kapsul
atau pelet yang sensitif terhadap pH membuat sediaan lepas lambat dan melindungi
zat aktif dari cairan lambung. Polimer yang digunakan untuk penargetan kolon,
bagaimanapun, harus bisa menahan nilai pH yang lebih rendah dari lambung dan
bagian proksimal usus kecil dan juga bisa terpecah pada sedikit pH netral basa dari
ileum terminal dan lebih disukai di persimpangan ile-ocecal. Proses ini
mendistribusikan obat ke seluruh usus besar dan meningkatkan potensi usus besar
yang ditargetkan sistem penghantaran. Sementara itu pola pelepasan ini bisa jadi diuji
in-vitro, tidak ada pengganti nyata mengkonfirmasikan kinerja yang andal secara in
vivo pada manusia. Teknik gamma scintigrafi telah menjadi metode yang paling
populer untuk menyelidiki kinerja gastrointestinal bentuk sediaan farmasi. Rentang
pH umumnya digunakan polimer sensitif pH.

Tabel: pH optimal polimer yang umum digunakan.

c. CDDS tergantung pada waktu dan pH

Waktu transit melalui usus kecil ini bebas dari formulasi. Tapi, waktu formulasi
diambil untuk meninggalkan lambung sangat bervariasi. Maka dari itu, saat
kedatangan formulasi di usus besar tidak bisa akurat diprediksi. Namun, efek variasi
dalam waktu tinggal lambung dapat diminimalisir menggunakan sistem yang
mencegah pelepasan obat sampai 3-4 jam setelah meninggalkan lambung. Beberapa
bentuk sediaan oral salut yang terdiri dari inti disalut dengan tiga lapisan polimer
telah berkembang. Sebuah kebaruan sistem pelepasan obat berbasis oral waktu
pelepasan obat untuk kolon dengan penghatantaran yang spesifik.

Sistem yang dirancang untuk mengeksploitasi waktu transit usus halus relatif
konstan dari bentuk terdiri dari inti yang mengandung obat yang dilapisi dengan tiga
lapisan polimer. Lapisan luar larut pada pH> 5, kemudian zat antara Lapisan
swellable, terbuat dari bahan enterik. Sistem ini diharapkan menyediakan pla lepas
lambat, seperti juga ditunjukkan oleh awal pada studi in vivo pada tikus. Beberapa
sistem penghantaran obat berkembang dengan mengandalkan waktu transit relatif dari
usus halus. Sebuah sistem pengiriman baru dikembangkan untuk mengantarkan obat
ke usus besar dengan memilih polimetakrilat dengan pH yang sesuai karakteristik
pembubaran untuk ujung distal usus halus. Pelet disiapkan dengan bubuk lapisan 5-
ASA pada nonparesil (0,5-0,6 mm) di coating pan konvensional. Obat berlapis pelet
dilapisi dengan lapisan dalam sebuah kombinasi dua polimer bebas-pH Eudragit RL
dan RS (2: 8), dan lapisan luar polimer yang bergantung pH, Eudragit® FS.

Pada metode lain, asam organik (asam suksinat) dimasukkan ke dalam tubuh
gelatin kapsul keras sebagai zat pengatur pH bersama dengan zat obat. Gabungan
kapsul itu disegel menggunakan larutan etanol dari etil selulosa. Kapsul ini pertama
kali dilapisi dengan polimer larut asam (Eudragit E), lalu dengan polimer hidrofilik
HPMC dan akhirnya secara enteris dilapisi dengan Eudragit L. Setelah menelan
kapsul, lapisan enterik terluar mencegah pelepasan obat di lambung. Lapisan enterik
dan lapisan hidrofilik segera larut setelah pengosongan lambung dan air mulai
memasuki kapsul. Ketika pH lingkungan di dalam kapsul menurun dengan pelarutan
asam organik, lapisan yang larut asam akan terlarut dan obat cepat dilepaskan. Oleh
karena itu, waktu onset pelepasan obat di dalam usus dapat dikendalikan oleh
ketebalan lapisan terlarut asam.
Penargetan obat ke usus besar akan terbukti bermanfaat dimana penyerapan
obat lepas lambat mencapai efek terapeutik.Pengobatan penyakit sirkadian yang
memiliki gejala puncak di pagi hari seperti nocturnal asma, angina pectoris dan
rheumatoid arthritis. Sistem penghantaran obat spesifik usus sedang meningkat
pentingnya baik efek sistemik maupun efek lokal. Sistem pemberian obat spesifik
usus adalah populer untuk perawatan usus inflamasi penyakit (IBD), pemberian
protein dan obat-obatan peptida.

d. CDDS tergantung pada enzim bakteri

Mikro Flora usus besar berada di kisaran 1011-1012 Cfu/ml terutama terdiri
dari bakteri anaerob, misalnya Bakteroida Bifid bakteri, Eubacteria, Clostridia,
Enterococci, Enterobacteria dan Ruminococcus dll. Mikroflora ini memenuhi
kebutuhan energinya dengan melakukan fermentasi berbagai jenis substrat yang
dimilikinya telah ditinggalkan dicerna di usus halus, seperti di- dan trisakarida,
polisakarida dll. Pada fermentasi ini, flora mikro menghasilkan jumlah enzim yang
banyak seperti glucoronidase, xilosidase, arabinosidase, galaktosidase, nitroreductase,
azareducatase, deaminase, dan urea dehydroxylase. Karena adanya enzim
biodegradable hanya terdapat di usus besar, penggunaan polimer biodegradable untuk
colon-specific penghantaran obat nampaknya lebih bersifat spesifik dibandingkan
dengan pendekatan lainnya. Polimer ini melindungi obat dari lingkungan lambung
dan usus halus, dan mampu mengantarkan obat ke usus besar. Pada saat mencapai
usus besar, obat menjalani asimilasi oleh mikroorganisme, atau degradasi oleh enzim
atau memecah polimer yang utama untuk penurunan berat molekul dengan demikian
kehilangan kekuatan mekanik. Mereka kemudian tidak dapat menahan obat tersebut
entitas lagi.

 Prodrug
Prodrug secara farmakologis adalah turunan dari molekul induk tidak aktif
yang membutuhkan beberapa bentuk transformasi in vivo untuk melepaskan obat
aktif di lokasi target. Pendekatan ini melibatkan hubungan kovalen antara obat dan
pembawanya sedemikian rupa sehingga secara administrasi oral bagian tetap utuh
di perut dan usus halus. Jenis keterkaitan yang terbentuk antara obat dan pembawa
akan memutuskan mekanisme pemicu untuk pelepasan obat di usus besar.
Biotransformasi ini dilakukan dengan variasi dari enzim, terutama bakteri
asal, sekarang di usus besar Enzim yang terutama ditargetkan untuk penghantaran
obat bius termasuk azoreducatase-galaktosidase, β- xylosidase, nitroreductase,
glikosidase deaminase, dll.
Umumnya, sebuah prodrug berhasil sebagai pembawa obat jika bersifat
hidrofilik dan besar, untuk meminimalkan penyerapan dari saluran pencernaan
bagian atas dan sekali di usus besar, itu diubah menjadi lebih banyak lagi molekul
obat lipofilik yang saat itu tersedia untuk penyerapan. Merusak aksi glikosidase,
melepaskan bagian obat bentuk gula. Aktivitas Glikosidase di Saluran GI ini
berasal dari mikroflora anaerob di Sel besar atau sel terkelupas usus halus. Saat
pemberian steroid bebas diberikan secara oral, mereka hampir terserap dalam usus
halus dalam jumlah kurang dari 1% dosis oral yang mencapai kolon.

 Prodrug Azo
Keterkaitan azo menunjukkan berbagai macam thermal, kimia, fotokimia
dan sifat farmasetik. Senyawa azo banyak dimetabolisme oleh bakteri intestinal,
keduanya oleh komponen enzimatik intraseluler dan pengurangan ekstraselular.
Penggunaan senyawa azo ini untuk penargetan kolon telah ada bentuk hidrogel
sebagai bahan pelapis melapisi inti obat, dan sebagai prodrug. Sulphasalazine,
yang digunakan untuk pengobatan dari rheumatoid arthritis, kemudian diketahui
memiliki potensi dalam pengobatan inflamasi penyakit usus (IBD). Senyawa ini
memiliki ikatan azo antara 5-ASA dan sulphapyridine.

 Prodrug polimer/sakarida
Penggunaan polisakarida alami menarik banyak perhatian untuk obat yang
menargetkan usus besar karena polimer monosakarida ini ditemukan dalam jumlah
melimpah, memiliki banyak ketersediaan, murah dan tersedia secara bervariasi.
Polisakarida dapat dengan mudah dimodifikasi secara kimiawi, biokimia, dan
sangat stabil, aman, tidak beracun, hidrofilik dan pembentuk gel dan selain itu
juga bersifat biodegradable. Polimer ini termasuk polisakarida alami diperoleh
dari tanaman (guar gum, inulin), hewan (chitosan, chondrotin sulfat), alga (alginat)
atau berasal dari mikroba (dekstran). Polisakarida bisa dipecah oleh koloni
mikroflora menjadi sakarida sederhana. Karena itu, termasuk dalam kategori
"umumnya dianggap aman "(GRAS). Chitosan adalah molekul tinggi berat
polisakarida kationik, poli (Nglucosamine), berasal dari chitin dalam kepiting dan
kulit udang dengan deasetilasi. Hal ini dirusak oleh mikroflora kolon. Chitosan
telah dievaluasi untuk pemberian obat spesifik kolon terutama dalam bentuk bahan
pembentuk kapsul. Pektin adalah polisakarida linier non-pati lainnya dengan
terutama asam Dgalakturonat (1-) residu terganggu oleh 1, 2-linked Lrhamnose.

Polimerik Prodrugs

Produser berkapasitas Azo-linked dari 5-ASA disiapkan dan dievaluasi dalam


simulasi manusia ekosistem mikroba usus. Poliamida berisi kelompok azo di tulang
punggung itu disiapkan dan diuji secara in vitro dalam buffer reduktif atau di media
bioreaktor. Hal itu ditunjukkan bahwa untuk polimer hidrofobik, proses reduksi
berhenti pada tahap hidrazin sedangkan untuk reduksi analog hidrofilik dengan
formasi amina terjadi Jumlah obatnya dilepaskan tergantung pada sifat polimer dan
dapat mendekati prodrug dengan berat molekul rendah.

Tabel: Polisakarida yang diteliti untuk obat spesifik usus besar pengiriman.
 Prodrug asam amino
Sifat hidrofilik gugus polar seperti -NH2 dan -COOH, yang ada dalam
protein dan unit dasarnya (yaitu asam amino), keduanya mengurangi permeabilitas
membran amino asam dan protein. Berbagai prodrug telah disiapkan oleh
konjugasi molekul obat ke kutub asam amino. Asam amino non esensial seperti
tirosin, glisin, metionin dan asam glutamate dikonjugasikan ke SA. Prodrug itu
diserap ke dalam sirkulasi sistemik dari GIT atas dan karenanya terbukti tidak
sesuai untuk pengiriman obat ke usus besar. Dengan bertambah hidrofilisitas dan
panjang rantai pembawa asam amino dan penurunan membrane permeabilitas
konjugat Nakamura dkk. siapkan asam salisilat glutamat. Konjugasi ini
menunjukkan hasil yang bagus dengan minimal penyerapan dan degradasi di GIT
atas dan terbukti cocok untuk pengiriman yang ditargetkan marka SA. Konjugat
asam glisin dan glutamate asam salisilat. (a) asam salicyluric. (b) Asam salisilat
glutamat konjugat.

e. CDDS tergantung pada pH dan enzim bakteri (CODES SYSTEM)

CODES SYSTEM adalah teknologi CTDDS yang unik yang dirancang untuk
menghindari masalah inheren yang terkait dengan pH atau tergantung waktu sistem.
CODES SYSTEM adalah kombinasi pendekatan yang bergantung pH dan CDDM
yang dipicu secara mikro. Sistem ini telah dikembangkan dengan memanfaatkan
mekanisme unik yang melibatkan laktulosa, yang berperan sebagai pemicu pelepasan
obat spesifik berlokasi di usus besar. Sistem terdiri dari sebuah inti tablet tradisional
mengandung laktulosa, yang dilapisi dengan dan asam larut material, Eudragit E, dan
kemudian kemudian dilapisi dengan enteric material, Eudragit L. Premis dari
teknologinya adalah bahwa lapisan enteric melindungi tablet saat berada di lambung
dan kemudian larut dengan cepat setelah pengosongan lambung. Bahan lapisan yang
larut asam itu kemudian melindungi persiapan saat melewati pH alkalin dari usus
halus. Ketika tablet tiba di usus besar, bakteri secara enzimatik menurunkan
polisakarida (laktulosa) menjadi asam organik. Hal ini menurunkan pH yang
mengelilingi sistem yang cukup untuk mempengaruhi pemecahan dari lapisan larut
asam dan selanjutnya terjadi pelepasan obat.

f. Sistem penghantaran obat terkontrol yang menekan kolon

Akibat peristaltik, tekanan lebih tinggi ditemui di usus besar daripada di usus
halus. Dikembangkan penghantaran obat kapsul dengan tekanan terkontrol pada
kolon yang disiapkan menggunakan etilselulosa, yang tidak larut dalam air. Dalam
sistem seperti itu, pelepasan obat terjadi setelah disintegrasi air yang tidak larut
kapsul polimer karena tekanan di lumen usus besar. Ketebalan membran etilselulosa
paling banyak faktor penting untuk disintegrasi formulasi. Sistem juga muncul
tergantung ukuran kapsul dan densitasnya. Karena reabsorpsi air dari usus besar,
viskositas kandungan luminal lebih tinggi di usus besar daripada di usus halus. Oleh
karena dapat disimpulkan bahwa pemecahan obat di usus besar bisa menimbulkan
masalah hubungannya dengan sistem pengiriman obat oral spesifik usus besar. Dalam
tekanan terkontrol kapsul unit etilselulosa obat dalam cairan. Lag kali tiga sampai
lima jam dalam kaitannya dengan penyerapan obat dicatat saat pressure-controlled
kapsul diberikan kepada manusia.

g. CDDS pada tekanan osmotik terkontrol


 Pompa Osmet (ALZET)
ALZET® Osmotic Pumps adalah miniatur, pompa infuse untuk dosis tak
terkendali terus menerus hewan laboratorium sekecil tikus dan tikus muda.
Minipumps ini memberikan peneliti dengan nyaman, handal, dan hemat
biaya pengiriman agen yang terkontrol. ALZET Pompa miniosmotik tidak
memerlukan koneksi eksternal atau intervensi peneliti selama seluruh periode
pengiriman. Desain unik mereka membantu peneliti menghemat waktu kritis
menghilangkan kebutuhan akan penanganan hewan yang sering dan jadwal
injeksi berulang. Sistem pengiriman obat yang dapat diandalkan ini pastikan
tingkat senyawa konstan dipertahankan pada tingkat terapeutik menghindari sisi
yang berpotensi beracun atau efek menyesatkan. Beragam ukuran, laju alir dan
durasinya tersedia untuk memenuhi variasi kebutuhan penelitian. Pompa
ALZET tunggal menyediakan infusi sampai 6 minggu berturut-turut.
 OROS CT
OROS-CT dapat digunakan untuk menargetkan obat lokal ke usus besar
untuk pengobatan penyakit atau untuk mencapai penyerapan sistemik yang
sebaliknya tak terjangkau Sistem OROS-CT bisa jadi unit osmotik tunggal atau
mungkin menggabungkan sebanyak mungkin seperti unit pull-pull 5-6, masing-
masing berdiameter 4mm, dienkapsulasi dalam kapsul gelatin keras. Setiap Unit
pull pull bilayer berisi dorongan osmotik lapisan dan lapisan obat, keduanya
dikelilingi oleh a membran semipermeabel Sebuah lubang dibor melalui selaput
di samping lapisan obat.
Segera setelah OROS-CT ditelan, kapsul gelatin yang mengandung unit
push-pull terlarut. Karena obatnya yang kedap air dilapisi enterik, setiap unit
push-pull dicegah dari menyerap air dalam lingkungan cairan asam lambung
dan karenanya tidak ada obat dihantarkan. Saat unit memasuki usus halus,
lapisan larut dalam pH lingkungan yang lebih tinggi ini (pH> 7), air memasuki
unit, menyebabkan kompartemen terjadi osmotik dan mengembang sehingga
secara bersamaan menciptakan gel yang dapat mengalir di kompartemen obat.
Pembengkakan dorongan osmotic kompartemen memaksa gel obat keluar dari
lubang di tingkat yang tepat dikendalikan oleh laju air transportasi melalui
membran semipermeabel. Untuk mengobati kolitis ulserativa, masing-masing
mendorong tarikan. Unit ini dirancang dengan 3-4 jam pasca penundaan
lambung untuk mencegah pemberian obat dalam usus halus. Pelepasan obat
dimulai saat unit mencapai kolon. OROS-CT dapat mempertahankan tingkat
pelepasan konstan hingga 24 jam di usus besar atau dapat memberikan obat
melalui internal sesingkat 4 jam.

4. FORMULASI SEDIAAN

Contoh Formulasi Sediaan CDDS

Levetiracetam, obat antiepilepsi yang digunakan untuk pengobatan epilepsi


dipilih sebagai model obat.Tujuannya adalah untuk mempersiapkan obat kolon,
levetiracetam yang menggunakan pektin sebagai polimer matriks yang melindungi
obat ketika melewati lambung.

Tablet matriks Levetiracetam-pectin dibuat dengan teknik granulasi basah


menggunakan pasta pati 10% b / v. Komposisi formulasi tablet matriks yang berbeda
yang digunakan dalam penelitian yang mengandung LEV ditunjukkan pada Tabel 1.
Kompresi dilakukan dengan menggunakan pektin sebagai pembawa
mukopolisakarida.Pektin dimasukkan dalam formulasi dalam berbagai proporsi
setelah pengayakan (saringan no 60) secara terpisah dan dicampur dengan LEV
(saringan no 100) dan HPMC K 100M (ayakan nomor 60). Serbuk (F1-F4) dicampur
dan digranulasi dengan pasta pati 10% b / v. Massa basah yang diperoleh melewati
saringan nomor 16 (ukuran mesh: 1000 μm) dan granul dikeringkan pada suhu 50ºC
selama 2 jam. Butiran kering dilewati saringan no. 25 (ukuran mesh: 650 μm) dan
ditambahkan talk dan magnesium stearat dalam proporsi tertentu. Lubrikan granul
dikompres menggunakan 10 stasions Cadmach Mini Rotary Tablet Press (Cadmach
Machinary Co Pvt Ltd) (Liu et al., 2003).

Polimer

Polisakarida alami banyak digunakan untuk pengembangan bentuk sediaan oral


dalam penghantaran obat kolon. Polimer biodegradable umumnya bersifat hidrofilik
dan memiliki karakteristik limited swelling pada pH asam. Berbagai bakteri yang ada
di usus besar mengeluarkan banyak enzim yang dapat menyebabkan pemutusan
hidrolitik pada ikatan glikosida seperti, β-D-galaktosidase, amilase, pektinase, β-D-
glukosidase, dekstranase, α-D-xilosidase. Polimer ini murah dan tersedia dalam
berbagai struktur. Polisakarida ini akan stabil di perut dan usus halus namun bakteri
kolon manusia mendegradasinya sehingga bermanfaat dalam sistem penghantaran
obat yang ditargetkan ke kolon (Rajpurohit et.al. 2010).

a. Guar Gum

Guar gum berasal dari biji cyomopsis tetragonolobus (Fam Leguminosae).


Secara kimia, guar gum merupakan polisakarida yang terdiri dari gula galaktosa dan
mannosa. Kerangkanya merupakan rantai linier dari residu β 1,4-linked mannose
dimana residu galaktosa 1,6 terhubung pada setiap mannose kedua, membentuk
cabang samping pendek. Guar gum digunakan dalam sistem penhantaran obat yang
ditargetkan di kolon karena pelepasan obatnya memperlambat sifat dan kerentanan
terhadap degradasi mikroba di usus besar.
Wong dkk. mempelajari disolusi dexamethasone dan budesonide dari formulasi
berbasis guar gum menggunakan alat disolusi silinder reciprocating (USP Dissolution
Apparatus III) dan mengamati bahwa pelepasan obat dalam cairan kolon meningkat
tajam pada konsentrasi galaktomannanase > 0,01 mg / ml (Wong et al., 1997).

Krishnaiah dkk.melakukan penelitian gamma scintigraphic pada tablet matriks


guar gum menggunakan teknesium-99m-DTPA sebagai tracer pada sukarelawan
manusia. Scintigraphs menunjukkan bahwa sejumlah tracer muncul di permukaan
tablet yang dilepaskan di perut dan usus halus dan sebagian besar tracer muncul di
massa tablet yang dihantarkan ke usus besar. Hasil ini menunjukkan bahwa guar gum,
dalam bentuk tablet matriks yang dikompres secara langsung, merupakan pembawa
potensial untuk pemberian obat spesifik usus besar.

Krishnaiah dkk.dalam penelitian mereka, melakukan evaluasi farmakokinetik


dari tablet mebendazol berbasis guar gum dengan sistem immediate release di enam
sukarelawan manusia yang sehat. Tablet yang ditargetkan ke usus besar menunjukkan
tmax tertunda (9,4 ± 1,7 jam) dan waktu penyerapan, dan penurunan Cmax (25,7 ±
2,6 μg / ml) dan konstanta laju absorpsi bila dibandingkan dengan tablet pelepas
segera. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tablet mebendazole berbasis guar gum
yang berbasis usus besar tidak melepaskan obat di perut dan usus kecil, namun
mengantarkan obat ke usus besar yang mengakibatkan penyerapan obat yang lambat
dan membuat obat tersedia untuk aksi lokal di usus besar (Krishnaiah, 2003).

b. Pektin

Pektin adalah polisakarida heterogen linier terdiri dari asam galakturonat dan
metil esternya. Pektin merupakan polimer dari residu asam D-galakturonat (1 → 4)
yang diputus oleh residu L-rhamnose 1,2-linked dengan beberapa ratus sampai sekitar
seribu building blocks per molekul.
Pektin ditambahkan untuk formulasi obat baru sebagai carrier dan diltiazem
hydrochloride dan indomethacin sebagai obat telah dikembangkan.Studi in vitro
menunjukkan bahwa bentuk sediaannya memiliki pelepasan obat yang terbatas pada
perut dan usus halus, namun jumlah obat maksimum di usus besar. Studi tersebut
mengungkapkan bahwa pektin dapat digunakan secara efektif untuk penargetan usus
besar dari kedua obat yang larut dalam air dan tidak larut (Ravi et.al, 2008).

c. Chondroitin sulfate

Chondroitin sulfate adalah soluble mucopolysaccharide yang digunakan sebagai


substrat oleh spesies Bacteroides di usus besar terutama oleh B. thetaiotaomicron dan
B. ovatus. Kondroitin sulfat terdiri dari asam β-1,3-D-glukuronat yang terikat dengan
N-asetil-D-galaktosamid. Kondroitin sulfat terdegradasi oleh bakteri anaerob dari
usus besar terutama oleh Bacteroids thetaiotaoimicron dan B. Ovatus.

Amrutkar dkk telah menyiapkan tablet matriks untuk pengiriman spesifik klon
indometasin dengan chondroitin sulfate dan chitosan sebagai carrier dan binder.
Kondroitin sulfat digunakan untuk membentuk kompleks polielektrolit (PEC) dengan
chitosan, dan potensinya sebagai pembawa obat yang ditargetkan secara kolon
diselidiki. Studi tersebut mengkonfirmasikan bahwa pengiriman obat secara selektif
ke usus besar dapat dicapai dengan menggunakan polisakarida chitosan dan
chondroitin sulfate cross-linked (Amrutkar et.al, 2009).

d. Dextran

Dextran adalah polisakarida yang terdiri dari α-1,6 D-glukosa dan rantai
samping unit α-1,3 D-glukosa. Polimer-polimer yang larut dalam air ini tersedia
secara komersial sebagai berat molekul yang berbeda dengan distribusi berat molekul
yang relatif sempit.Dextran mengandung sejumlah besar gugus hidroksil, yang dapat
dikonjugasikan dengan mudah menjadi obat dan protein.Dextran terdegradasi oleh
enzim dekstranase mikroba, yang ditemukan di usus besar.Secara farmakodinamik,
konjugasi dengan dekstran telah menghasilkan perpanjangan efek, perubahan profil
toksisitas, dan pengurangan imunogenisitas obat (Krishnaiah, 2003).

e. Chitosan

Kitosan adalah polimer linier fungsional yang diperoleh dari deasetilasi


alkalitas kitin. Chitosan terdiri dari unit berulang (2-amino-2-deoxy-D-gluco-
pyranose) yang dihubungkan oleh (1-4) ikatan β .Chitosan adalah polimer bioaktif
yang tidak beracun, biodegradable, biokompatibel dan bioaktif.Chitosan digunakan
sebagai eksipien dan pembawa obat dalam sistem pengiriman obat. Kitosan
digunakan untuk penghantaran obat yang ditargetkan oleh usus buntu karena
memiliki kecenderungan untuk larut dalam pH asam dalam perut namun
membengkak pada pH usus (Jain et.al., 2007).

f. Inulin

Inulin adalah glukofruken alami dan terdiri dari molekul β 2-1 D-fruktosa yang
memiliki unit glikosul pada ujung pereduksi. Struktru tersebut dapat terjadi hidrolisis
di saluran cerna bagian atas.Inulin bisa difermentasi dengan mikroflora
kolon.Vervoort dkk.mengembangkan hidrogel inulin untuk penghantaran obat-obatan
kolon dan sifat swelling pada hidrogel ini. Pengaruh berbagai parameter seperti
tingkat substitusi, konsentrasi yang bervariasi dari inisiator reaksi polimerisasi,
pengaruh pH, kekuatan ion terhadap sifat pembengkakan hidrogel dipelajari. Dalam
studi lain, Vervoort dan Rombaut menyelidiki enzymatic digestibility in vitro dari
hidrogel inulin dengan menggunakan preparasi inulinase yang berasal dari
Aspergillus niger. Disimpulkan bahwa enzim inulinase dapat berdifusi ke dalam
hidrogel sehingga terjadi degradasi hidrogel (Vervoort et.al., 1998).

5. Evaluasi Sediaan CDS (Patel et. al., Singh et.al., Sowmya et.al.)

Pelepasan obat di usus besar dari sistem pengiriman obat kolon yang berbeda
dievaluasi dengan metode in vitro dan in vivo yang berbeda.

a. Uji disolusi in vitro

Disolusi dari formulasi pelepasan obat terkontrol yang digunakan untuk


pemberian obat spesifik untuk kolon biasanya rumit, dan metode disolusi yang
diuraikan di USP tidak dapat sepenuhnya meniru vivoconditions seperti pH,
lingkungan bakteri dan daya pencampur. Uji disolusi yang berkaitan dengan CDDS
dapat dilakukan dengan menggunakan metode conventional basket. Studi disolusi
paralel pada berbagai buffer dapat dilakukan untuk mengkarakterisasi karakteristik
formulasi pada tingkat pH yang berbeda.

Uji disolusi dari obat yang ditargetkan untuk usus besar, divariasikan medianya,
seperti kondisi pH dan waktu yang mungkin ditemui di berbagai lokasi di saluran
cerna. Media yang dipilih adalah, misalnya, pH 1,2 untuk mensimulasikan cairan
lambung, pH 6,8 untuk mensimulasikan daerah jejunum usus kecil, dan pH 7,2 untuk
mensimulasikan segmen ileal. Kapsul berlapis enterik untuk CDDS telah diteliti
dalam studi disolusi gradien dalam tiga buffer. Studi pelepasan obat dalam 0,1 N HCl
selama 2 jam (berarti waktu pengosongan lambung). Studi pelepasan obat dalam
buffer fosfat selama 3 jam (rata-rata waktu transit usus kecil).

b. Uji Enzimatik In Vitro

Terdapat 2 pengujian, yaitu:


1) Sistem obat pembawa diinkubasi dalam fermentasi yang mengandung media
yang sesuai untuk bakteri (Streptococcus facciumor B.ovatus). Jumlah obat yang
dilepaskan pada interval waktu yang berbeda ditentukan.

2) Studi pelepasan obat dilakukan pada media buffer yang mengandung enzim
(enzim pektinase, dekstranase), atau tikus atau kelinci percobaan atau kandungan
cecal kelinci. Jumlah obat yang dilepaskan pada waktu tertentu ditentukan, yang
berbanding lurus dengan laju degradasi pembawa polimer.

b. Evaluasi Vivo

Sejumlah hewan seperti tikus dan kelinci percobaan digunakan untuk


mengevaluasi penghantaran obat ke usus besar karena menyerupai kondisi anatomis
dan fisiologis serta mikroflora GIT manusia.Misalnya.Babi Guinea biasanya
digunakan untuk model IBD eksperimental.

d. Evaluasi klinis

Penyerapan obat dari usus besar dipantau dengan kolonoskopi dan intubasi.Saat
ini skintigrafi gamma dan kapsul frekuensi tinggi adalah teknik yang paling disukai
yang digunakan untuk mengevaluasi CDSS.

1) Kapsul frekuensi tinggi

Kapsul plastik halus mengandung balon lateks kecil, obat dan radiotracer
diambil secara oral.Generator frekuensi tinggi bertindak sebagai pemicu
sistem.Pelepasan obat & radiotracer dipicu oleh impuls dan pelepasan dipantau di
berbagai bagian GIT oleh lokalisasi radiologis.Ini mengevaluasi penyerapan obat di
usus besar.
2) Gamma scintigraphy

Dengan studi gammascintigraphic imaging, informasi yang berkaitan dengan


waktu sampainya colon-specific drug delivery system di usus besar, waktu transit
melalui perut dan usus kecil, dan disintegrasinya.Studi gammascintigraphic juga
dapat memberikan informasi tentang permeabilitas regional di usus besar. Informasi
tentang transit gastrointestinal dan pelepasan bentuk sediaan dapat diperoleh dengan
menggabungkan studi farmakokinetik dan studi gammascintigraphic.
DAFTAR PUSTAKA

Amrutkar JR, Gattani SG. 2009. Chitosan–Chondroitin Sulfate Based Matrix Tablets
for Colon Specific Delivery of Indomethacin. AAPS PharmSciTech. Vol.
10:670–7.
Behin S.R, Punitha I.S, Prabhakaran P, Kundaria J. 2013. A Research article on
Design and Evaluation of coated microsphere of antiprotozoal drug for colon
specific delivery.American journal of pharmatech Research.3(4).
Choudhury P.K*, Murthy P.M, Tripathy N.K, Patra B.S. 2012.A research article on
Formulation and Development of Enteric Coated Matrix Tablets for Colon Drug
Delivery of Ornidazole.Asian journal of pharmaceutica and clinical research.3
(5).
Chourasia M.K.; Jan S.K. 2003. Pharmaceutical approaches to colon targeted drug
delivery systems. J.Pharm Sci. 6 (1) : 33-66.
Ganong W. F. 19..Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17.Jakarta : EGC.
Gurpreet Kaur*, Maninderjit kaur, Harpreet kaur, Saurav Sharma: Colon Specific
Drug Delivery System:A Review on different approaches to treat colon disease.
International journal of Pharmaceutical Research and development. 0974 –
9446.
Guyton A. C. Hall J. E. 2008.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta : EGC.
Jain A, Gupta Y, Jain SK. 2007. Perspectives of biodegradable natural
polysaccharides for site specific delivery to the colon. J Pharm Pharm Sci. Vol.
10:86–128.
Johnson dan Taylor. 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan.Jakarta: EGC.
Krishnaiah YS, Rajua PV, Kumarb BD, Satyanarayanaa V, Karthikeyana RS,
Bhaskara P. 2003. Pharmacokinetic evaluation of guar gum-based colon-
targeted drug delivery systems of mebendazole in healthy volunteers.J Control
Release. Vol. 88:95–103.
Lindseth, G.N., 2005. Gangguan Usus Besar. In: Huriawati, H., Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 456-468.
Liu L, Fishman ML, Kost J, Hick KB. Chondroitin sulphate based systems for colon–
specific drug delivery via oral route. Biomaterials 2003; 246: 3333-43.
Mishra J, Kalia A. 2014. A Research article on “Indomethacin Granules for Colon
specific drug delivery system”.International journal of Pharmaceutical and
Chemical Science.Vol. 3 (1).
Mohapatra D.K, Sawagatik M. 2012. A research Article on “5-Fluoro Uracil for
colon specific drug delivery of a Poly (CarboxyMethyl Cellulose-co-Acryl
Amide)/MBA Nano Sized Hydrogel”.International Journal of Pharmaceutial
and Chemical Science.Vol. 1 (1).
Nayak BS, Shetty SD, Kumar N, Aithal PA. 2015. Presence of a Splenicocolic
Ligament and an Unusual Vascular Peritoneal Fold Close To Spleen and
Splenic Flexure of Colon – A Case Report. Anat Physiol 5: 179.
Patel A, Bhatt N, Patel KR, Patel NM, Patel MR. Colon Targeted Drug Delivery
System: A Review System. Journal of Pharmaceutical and Bioscientific
Research, 2011; 1(1): 37, 44 and 45.
Price and Wilson.2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta
: EGC.
Rajpurohit et.al. 2010. Polymers for Colon Targeted Drug Delivery. Indian J Pharm
Sci. 72(6): 689–696.
Ravi V, Kumar TM, Siddaramaiah. 2008. Novel colon targeted drug delivery system
using natural polymers. Indian J Pharm Sci. Vol. 70:111–3.
Reddy R V* and Niranjan M.B 2013. .A research article on Formulation and in vitro
evaluation ornidazole film coated tablets for colon drug delivery.International
journal of pharmaceutical research in nano Sciences. 2(6)
Sarhan M, Ramcharan A, Ponnapalli S. 2009. Splenic injury after elective
colonoscopy. JSLS 13: 616-619.
Singh G, Kumar D, Singh M, Sharma D, Kaur S. Emerging Techniques and
Challenges in Colon Drug Delivery Systems. Journal of Applied
Pharmaceutical Science, 2012; 2(3): 142-145.
Sowmya C, Reddy CS, Priya NV, Sandhya R, Keerthi K. Colon Specific Drug
Delivery Systems: A Review on Pharmaceutical Approaches with Current
Trends. International Research Journal oh Pharmacy, 2012; 3(7): 50.
Standring S. 2006. Gray’s Anatomy.The Anatomical Basis of Clinical Practice. 39th
ed. Edinburg, Churchill Livingstone- Elsevier: 1239-40.
Threveen C, Vina Y V., Krishna V.A. 2011. Colon specific drug delivery systems: a
review on primary and novel approaches. IJPSRR, article-031.
Vervoort L, Mooter GV, Augustijns P, Kinget R. Inulin hydrogels. I. 1998. Dynamic
and equilibrium swelling properties. Int J Pharm. Vol. 172:127–35.
Wong D, Larrabee S, Clifford K, Tremblay J, Friend DR. 1997. USP Dissolution
Apparatus III (reciprocating cylinder) for screening of guar-based colonic
delivery formulations. J Control Release. Vol. 47:173–9.Akgür FM, Tanyel FC,
Büyükpamukçu N, Hiçsönmez A. 1992. Anomalous congenital bandscausing
intestinal obstruction in children.J Pediatr Surg 27: 471-473.

Anda mungkin juga menyukai