BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Posterior : M. palatofaringeus
Superior : Palatum mole
Inferior : Tonsil lingual
4
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu
membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar
anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan
bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian
tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah
tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur
normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan
cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris
interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis
dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub
bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi
oleh A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah
dan pleksus faringeal.
5
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf
glosofaringeus.
6
Gambar 4. Persarafan Tonsil
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks
yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs
(antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik.
Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2)
sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.4
7
a. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.4
Gambar 5. Adenoid
8
Gambar 6. Ukuran Tonsil
9
2.3 Tonsilitis Difteri
2.3.1 Definisi
Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa
faring yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita
penyakit ini. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius
bagian ats dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal.6
2.3.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun
(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap
epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan
difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di
kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan
memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya
terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.7
2.3.3 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil
gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan
berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan
pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni
Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.8
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas
10
yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai
pada tes Schick.8
2.3.4 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein
dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2
fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal)
yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk
melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang
sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke
dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada
sel.8
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul
dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara
endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel.
11
Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan
mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke
cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel.8
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang
diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama
dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah
dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung.
selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel
epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya
membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan. Kadang-kadang
terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes).
Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring
atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh
bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal.8
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke
dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang
bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi
setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis
dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada
jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot
12
dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia,
kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada
ginjal.8
13
Gambar 8. Pseudomembran yang mudah berdarah
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.
14
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan
bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.8
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler
dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes
Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih
memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.8
2.3.7 Penatalaksanaan
a. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut
setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-
tindakan berikut terlaksana:8
Biakan hidung dan tenggorok
Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid
diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid
(imunisasiaktif).
15
b. Pengobatan
16
serum anti diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar
antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40
mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap
6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
c. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria
dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin
oral 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari
atau suntikan selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/ adenoidektomi.9,10,11
d. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina
17
dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal.8
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi
tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi
saluran napas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy
of Otolaryngology Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995
indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
o Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas
atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal
o Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan
medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
o Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
o Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun
tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon
terhadap pengobatan medik.
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus
yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman
resisten terhadap β-laktamase.
3. Kontraindikasi
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
18
Asma
Tonus otot yang lemah
Sinusitis
Albuminuria
Hipertensi
Rinitis alergika
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah
sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada
tonsilektomi terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi
difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan
pasca operatif serta durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan
peralatan baaru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil
secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine
digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil.
Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau
timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel
dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan
menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle
knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
19
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan
dengan anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang
ditimbulkan merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan
anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status
kesehatan pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi
dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah
kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah
operasi atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada
1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena
perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi
darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa
dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme
otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri
berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-
21 hari setelah operasi
20
3. Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap
suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia.
2.3.8 Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar
ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat
timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot
faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari
komplikasi ke ginjal.6
2.3.9 Prognosis
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
3. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994:
p321
6. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam. Balai
Penerbit FKUI. 2007: 222
8. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.
11. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness Information.
Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at: http://www.rxmed.com
23
12. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on
Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006.
24
25