PENDAHULUAN
Cedera kepala masih menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di
Amerika Serikat, meskipun sudah terjadi kemajuan dalam bidang ilmu kegawatdaruratan,
perawatan intensif, dan ilmu bedah saraf mengenai trauma. Adanya berbagai program
pencegahan seperti penggunaan peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman, kantung
udara (airbag), penggunaan helm, dan batas kadar alkohol dalam darah yang diizinkan, telah
memberikan dampak yang positif pada epidemiologi cedera kepala berat. Hasil keluaran
dari pasien yang mengalami cedera kepala, kadang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berada di luar kontrol para klinisi, seperti tingkat keseriusan dari cedera kepala yang
1-2
mendasari dan adanya cedera pada sistem organ utama yang lainnya. Cedera otak akibat
kecelakaan lalu lintas pada umumnya berupa multiple system disorders sehingga
penanganannya harus secara holistik. Terdapat kecenderungan peningkatan angka kematian
dan angka kesakitan akibat cedera otak dan hal ini akan membawa dampak yang besar pada
program kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
1.2. Insiden
Insiden cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar 200/100.000 orang setiap
tahun. Dari jumlah penduduk Amerika Serikat yaitu sekitar 250 juta jiwa, sekitar 500.000
orang mengalami cedera kepala setiap tahun yang cukup berat dan membutuhkan
pertolongan medis. Diantara mereka, sekitar 40.000-50.000 orang meninggal sebelum
sampai di rumah sakit. Di Amerika Serikat setiap tahun, sekitar 1 juta orang dirawat akibat
cedera kepala, dan sekitar 230.000 orang lainnya masuk ke rumah sakit akibat cedera
kepala. Di Amerika Serikat, sekitar 50% cedera kepala merupakan akibat dari kecelakaan
lalu lintas, dan sekitar 13-15% cedera kepala merupakan akibat dari luka tembak. Di
Amerika Serikat, lebih dari separuh kasus kecelakaan lalu-lintas mengakibatkan kematian
(15% dari semua kematian merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas) atau cedera kepala
berat. Diperkirakan sekitar 5,3 juta penduduk Amerika Serikat saat ini hidup dengan
disabilitas yang permanen akibat cedera otak traumatik. Penggunaan helm telah terbukti
dapat mengurangi kasus ini secara signifikan. Sedangkan di negara lainnya, didapatkan pola
kejadian cedera yang berbeda. Cedera kepala yang terjadi pada pejalan kaki, insidennya
1
tinggi di Nigeria dan beberapa tempat di Inggris. Di beberapa tempat di Afrika Selatan,
cedera otak akibat luka tusuk pisau merupakan hal yang sangat sering terjadi. Cedera otak
didapatkan pada setengah dari kematian akibat trauma, dan penggunaan alkohol serta obat-
obatan ditemukan pada setengah dari kasus tersebut. Para pengguna alkohol kronik
memiliki risiko yang lebih tinggi akibat tingginya frekuensi kejadian cedera kepala, atrofi
cerebral, dan koagulopati. Biaya finansial yang dibutuhkan sangat tinggi (lebih dari 4 milyar
dolar setiap tahun) tidak hanya untuk perawatan pada kasus akut tetapi juga untuk biaya
perawatan jangka panjang serta hilangnya kemampuan kerja akibat yang terkena cedera
kepala biasanya mereka yang tergolong umur produktif (umur rata-rata 30 tahun). 1, 4-7
Insiden puncak dari kejadian cedera kepala terjadi pada umur 15-24 tahun atau pada
dekade kedua sampai ketiga. Insiden puncak yang kedua terjadi pada bayi dan orang
berumur tua. Cedera kepala masih tetap merupakan penyebab kematian utama pada dewasa
muda dan 2 sampai 3 kali lebih sering terjadi pada laki-laki. Perbandingan antara laki-laki
dengan perempuan bervariasi antara 2:1 dan 3:1. Orang yang memiliki risiko tinggi untuk
terjadinya cedera otak traumatik adalah dewasa muda berumur 15-30 tahun, bayi umur 6
bulan sampai 2 tahun, anak umur sekolah, dan orang berumur tua. Bayi memiliki risiko
yang lebih tinggi karena ukuran dari kepala yang relatif lebih besar, dan kompresibilitas dari
tulang tengkorak. Orang berumur tua memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera
intrakranial, khususnya hematom subdural. Atrofi cerebral menyebabkan peregangan vena-
vena penghubung antara duramater dengan parenkim otak, dan membuat vena ini rawan
untuk mengalami robekan akibat kekuatan deselerasi. Cedera kepala traumatik ditemukan
paling sering pada orang kulit hitam dan keluarga berpenghasilan rendah. Pasien dengan
cedera kepala berat, atau mereka yang masuk rumah sakit dalam keadaan koma, merupakan
sebagian kecil dari pasien dengan cedera kepala, tetapi mereka memiliki tingkat morbiditas
dan mortalitas yang paling tinggi. 1, 3, 5, 6, 8
1.3. Etiologi
Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, akibat
peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat tindakan kekerasan.
Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup adalah kecelakaan lalu lintas,
dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada penumpang kendaraan bermotor, pejalan
kaki, pengendara motor, dan pengendara sepeda. Penyebab yang lainnya adalah akibat
terjatuh. Cedera akibat luka tembak merupakan penyebab utama dari cedera kepala
penetrasi di Amerika Serikat dan terhitung sebanyak 44% dari semua kasus cedera kepala.
2
Dewasa muda merupakan orang yang paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
(umur 5-64 tahun), tetapi populasi ini memiliki sedikit insiden dari lesi massa intrakranial.
Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun atau lebih) paling sering mengalami cedera akibat
terjatuh dan memiliki insiden yang tinggi dari lesi massa intrakranial. Intoksikasi alkohol
dan obat-obatan lainnya merupakan faktor yang signifikan sebagai penyebab cedera dan
tersebar hampir sama pada semua kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan
sangat tua. 3, 5, 8, 9
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah.
Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat Pada CT-scan.
Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan
DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global
4
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase
lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992;
Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
2. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan
3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah
(Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).3
Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan
merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih
dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan
cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten
pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu.
Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat
kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari
korteks serebri, korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks
serebri.347
Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada
pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan
mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus.
Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari
otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas
dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey
matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi,
jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan
jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang
menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan
white matter(Smith et al, 1999).
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera
primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson
terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi
perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-
akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang
juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan
7
aktifnya calsium- mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan
dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang
membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan
ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi
intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state (Blumbergs, 2011).
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang
dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui
mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi
generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid.
Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder adalah
adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan tekanan perfusi
otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi Intrakranial
(TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang (Cohadon, 1995).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine
deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia,
gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea
(hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon,
1995).Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya
mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
Cedera kepala karena iskemia adalah keadaan lanjutan dari kontusio primer
terbukanya sawar darah otak (SDO) dan edema sitotoksik yang karena adanya
pembengkakan astrosit (Blumbergs, 2005). Efek dari sekuel cedera kepala ini
8
biasanya lebih besar dari pada cedera itu sendiri. Lebih dari itu, peningkatan
individu . 6.7,8
1985). Edema serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak intraselular dan
jaringan otak sesuai dengan peningkatan progresif kadar cairan otak yang
dapat terjadi karena iskemia (Ribeiro et al., 2006), trauma (Zador et al., 2007),
tumor (Saadoun et al., 2002), dan inflamasi (Papadopoulos dan Verkman, 2005).
Klatzo membagi edema serebri menjadi dua kategori, yaitu edema sitotoksik atau
otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat memengaruhi kinerja pompa
pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan
cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel.
9
Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan
tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi ruptur
pembengkakan dan peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel yang
terjadi berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan Vink, 2010).
Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B),
Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010)
11
Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem SDO (sawar darah
otak) (Ke Ding., et al., 2014).
antaranya adalah aquaporin (AQP) dan sitokin. Aquaporin adalah kunci utama
terjadinya edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan Verkman, 2008;
pascacedera kepala dan peranannya pada kejadian edema serebri (Manley et al.,
pengendalian edema serebri (Taya et al., 2008). Namun, beberapa studi lain
mendapatkan bahwa perubahan kadar AQP ini berhubungan dengan jenis edema
(Ghabriel et al., 2006; Papadopoulos et al., 2004, Sun et al., 2003). Penelitian
ekspresi AQP berhubungan dengan penurunan tingkat edema dan luas area infark,
serta peningkatan status fungsional. Keadaan ini terjadi pada edema sitotoksik.
Hasil yang berbeda didapatkan pada edema vasogenik, yang luasnya edema
meningkat saat dihambatnya AQP. Hasil ini menunjukkan bahwa AQP bermanfaat
(Ghabriel et al.,
2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema dan
sintesis protein (Taya et al., 2009). Peningkatan kadar cairan jaringan otak
tetapi tidak pada edema vasogenik, karena AQP channel melekat pada dinding sel.
kerusakan sinaps dan SDO pada cedera kepala, stroke, dan neurodegenerasi
(Rosenberg dan Yang, 2007; Candelario-Jalil et al., 2009; Ding et al., 2009;
lamina basal neurovaskular dan protein tight junction SDO (Grossetete et al.,
2009; Hayashi et al., 2009; Vajtr et al., 2009). Kadar MMP terutama MMP2,
MMP3, dan MMP9 meningkat pada keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006;
akut SDO, edema vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar MMP9
defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan efek protektif pada cedera
kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang et al., 2000; Asahi et al., 2001;
Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9 ini menurunkan kebocoran SDO dan
integritas membran sel dan status fungsional (Fujimoto et al., 2008; Vajtr et al.,
Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat vasoaktif dapat
2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat vasoaktif yang berperan tidak
hanya mediator inflamasi klasik, tetapi juga mediator inflamasi neurogenik. Salah
satu contoh zat inflamasi klasik adalah bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin
yang berperan penting pada terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001).
bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin meningkat maksimal pada
dua jam pertama pascatrauma dan kedua reseptornya meningkat signifikan pada
volume kontusio pada hewan coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger et al.,
2003; Zweckberger dan Plesnila, 2009; Su et al., 2009). Anggota lain dari
keluarga kinin adalah takikinin, yaitu sebuah mediator peptida yang berperan pada
inflamasi neurogenik.
14
Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi, ekstravasasi
related peptide (CGRP), CGRP ini berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya
Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan metabolisme
diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan
berikatan dengan reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan
pada gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002).
Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan molekul- molekul
lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al., 1994). Produksi NO yang
respon inflamasi yang dapat berakibat pada gangguan SDO (Zach et al., 1997;
Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004). Kemokin dan sitokin yang diproduksi oleh
sel glia dan endotel pada saat iskemia-hipoksia meningkatkan migrasi limfosit
melalui SDO dan juga permeabilitas pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et
al., 1998; Weiss et al., 1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat
metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion kalsium (Ca) dan ion natrium
(Na), serta efluks ion kalium (K). Influks ion Ca menimbulkan proses katabolisme
intraselular, aktivasi enzim lipid peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan
adenosin trifosfat (ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak.
Glikolisis anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat dan
(ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak dan
Mikroglia dapat dianggap sebagai sel imun dari sistem saraf pusat, yang
berperan setara dengan sel fagosit mononuklear yang ada pada jaringan soma
tubuh terhadap invasi berbagai proses infeksi. Namun demikian, jika mikroglia
faktor proinflamasi.
maka akan menimbulkan kerusakan yang luas (Liu dan Hong, 2002). Proses
aktivasi mikroglia diawali oleh inflamasi sel dan jaringan akibat adanya lesi
et al., 2004). Nuclear factor (NF)κB adalah suatu faktor transkripsi yang bila
sitokin proinflamasi lain, seperti IL-1β, IL-6, dan IL-8. Hasilnya dapat
mekanisme cell adhesion molecules (CAM) oleh neuron (McMillian et al., 1994),
a) Eksitotoksisitas
Potasium juga keluar dari sel dan diabsorbsi oleh astrosit.Timbul gangguan
keseimbangan ion yang berakibat depolarisasi membrane sel dan influx cairan
yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema yang akhirnya dapat
18
menyebabkan kematian sel neuron.Glutamat juga toksik terhadap sel-sel glial,
termasuk astrosit dan oligodendroglia.(Yoshioka, 1995). Astrosit memunyai
kapasitas buffer dan terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular.
Berkurangnya energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi glutamat
rusak (Chen dan Swanson, 2003).
b) Kalsium
Proses homeostasis kalsium dalam sel sangat penting. Kadar yang
meninggi setelah cedera kepala merupakan awal dari proses kematian sel,
dimana Ca++ merupakan suatu second messenger dan
signaltransducerpencetus reseptor. Jumlah influks Ca++ bergantung dari sifat
cedera mekanik. Pada cedera kepala yang uniaxial, kadar Ca++ intrasellular
segera meningkat. Namun kadar Ca++ meningkat paling banyak pada cedera
biaxial. Hal ini disebabkan oleh adanya kanal antagonis yang menghambat
peningkatan kalsium pada cedera uniaxial tetapi tidak pada cedera biaxial.
Ini adalah menunjukkan betapa pentingnya sifat benturan terhadap respon
jaringan (Geddes-Klein, 2006).
c) Radikal Bebas
d) Inflamasi
Cascade yang kompleks dari respon inflamasi sellular pada TBI dapat
memperbesar kerusakan otak sekunder. Proses inflamasi ini mulai beberapa jam
sampai dengan beberapa hari bertambah terus menerus pada cedera otak sekunder.
Respon inflamasi akibat TBI akut tidak hanya terbatas pada otak dan sering
20
tampak pada disfungsi organ lain. Molekul utama pada otak yang melibatkan
cascade ini adalah growth factors, catecholamine, neurokinin, sitokinase,
danchemokines. (Agha et al. 2004).
Trauma dapat menyebabkan gangguan BBB yang memisah darah dari
cairan interstitial dari parenkim dan merusak barrier yang normal. Air dan zat
yang dapat larut dapat bebas masuk ke otak dan cenderung menyebabkan edema
vasogenik sedangkan edema sitotoksik, atau sel yang bengkak terjadi karena
perubahan di sekitarnya atau stress terhadap sel. Chemotaxis, diapedesis, dan
gangguan BBB dapat membuka jalur baru ke dalam otak. Infiltrasi makrofag dari
sirkulasi yang berfungsi membuang debris setelah cedera, bersama dengan
neuron-neuron dan sel-sel glial, akan menyekresi sitokin pro dan antiinflamasi.
Pada TBI, proinflamasi sitokin interleukin IL-1, IL-6 dan TNF-α akan
meninggi(Hans & Kossmann et al, 1999). TNF-α sebagai pemicu awal respon
inflamasi merangsang produksi sitokin lain dan molekul adhesi (ICAM dan
VCAM). (Lenzlinger, 2001). TNF-α dapat memperburuk cedera otak
dan mengubah sitoskeleton sel endotel sehingga timbul kebocoran, namun TNF-
α perannya dualistik karena dapat juga berperan neuroprotective bersamaan
dengan IL-1β yang berfungsi untuk menambah expresi Nerve Growth Factor
(NGF). Peran TNF-α penting dalam tingkat akut inflamasi dan juga bermanfaat
pada regenerasi dan/atau perbaikan. Mirip dengan TNF-α, IL-1β juga terlibat
dalam fase akut dan dapat menambah permiabilitas endotel yang mengakibatkan
edema (Holmin dan Mathiesen,2000).
21
Trauma otak memberi risiko terhadap berkembangnya penyakit
neurodegenerative di kemudian hari. Setelah cedera, protein precursor β–amyloid
yang terlibat dalam penyakit Alzheimer’s akan meninggi. Hal ini berhubungan
dengan suatu respon immune terhadap suatu inflamasi akut yang menjadi kronis
(Holmin dan Mathiesen, 1999).
Cedera kepala dapat menyebabkan atropi otak sesuai dengan derajat cedera
(Yount et al, 2002). Pada cedera kepala sedang sampai berat terdapat insiden
atropi hippocampus yang tinggi.Ini merupakan predisposisi untuk terjadinya
penurunan kognitif. Proses inflamasi dan immunitas menghasilkan endapan
amyloid protein dan amyloid protein- like-protein. Kedua jenis protein ini
menyebabkan degenerasi striatum dan corpus callosum. Degenerasi ini
menyebabkan atropi otak progresif dan kalsifikasi (Pierce, 1998; Hopkins, 2005).
Pada reperfusi terjadi reaksi inflamasi akibat produksi berlebihan dari
radikal bebas yaitu ROS (Reaxtive Oxygen Species). Radikal bebas ini akan
menyebabkan kerusakan peroksidatif pada membran sel, mitokondria,
makromolekul protein, dan DNA. Semuanya ini akan mengakibatkan kematian
neuron. Kejadian ini dikenal sebagai Reperfusion Injury yang merupakan
komponen penting terhadap terjadinya cedera sekunder yang disebut Delayed
Neuronal Death (White,2000).
Kematian sel secara garis besar dibedakan atas dua mekanisme, yaitu
kematian yang tidak terprogram (nekrosis) dan kematian sel terprogram, yaitu
tipe I (apoptosis) dan tipe II (autofagi). Apoptosis, autofagi, dan nekrosis
merupakan mekanisme yang berbeda, tetapi timbul oleh rangsangan yang sama,
yaitu influks Ca++ ke dalam sitoplasma sel melalui saluran-saluran ion dengan
reseptor ryanodine (RYRs) dan reseptor inositol-1,4,5 triphosphate
(Ins(1,4,5)P3) (Lee et al, 1998).
22
− tingkat maturitas neuronal (sangat penting dalam menentukan
mekanisme kematian sel)
− mudah dicapainya support trophic
− kalsium intrasel
− level sitokin
Gambar 3. Beberapa Cara Kematian Sel (Fink & Cookson, 2005) Apoptosis
Apoptosis juga berhubungan dengan kadar kalium di dalam sel.
Pada awal proses apoptosis terjadi peningkatan effluks kalium dari dalam sel.
Apabila kadar ion potassium dalam sel lebih rendah dari kadar fisiologis, maka
akan terjadi aktivasi caspase-3 yang akan menyebabkan apoptosis dimana
intensitas transformasi ini bergantung dari pada kadar kalium (Lee, 1998).
24
Ekspresi yang berlebihan dari Bcl-2 mencegah apoptosis dan nekrosis yang
berhubungan dengan proses perbaikan akibat kerusakan tanpa memperhatikan
mekanisme kerusakannya (Gibbsons, 1993).
Jaras antiapoptosis diaktivasi oleh:
- faktor neurotropik,
- beberapa sitokines, dan
- beberapa faktor stress.
Jaras proteksi ini antara lain adalah:
− aktivasi faktor transkripsi (seperti NF-κβ) yang menyebabkan
ekspresi stress protein, enzim antioksidan , inhibitor of apoptosis
proteins (IAPs)
− aktivasi ekstrasellular signal-regulated kinase (ERK)
− modulasi phosphorylation dari kanal-kanal ion dan transporter
membran
− perubahan sitoskeletal melalui modulasi kalsium
− modulasi protein yang menstabilasi fungsi mitochondria
(seperti.Bcl-2).
Telah diketahui bahwa sel dapat berkomunikasi satu dengan yang lain
secara transmisi sinyal melalui molekul sinyal (signaling molecule), yaitu
kelompok neurotransmitter dan neuropeptida yang mentransduksi sinyal ke dalam
sel melalui reseptor-reseptor pada membran sel. Jalur melalui sinyal yang berakhir
dengan apoptosis dikenal sebagai Death Pathways (Sugawara, 2004).
Manusia juga memiliki mekanisme untuk menjaga kelangsungan hidup sel
yang disebut mekanisme pertahanan endogen (endogenous defense mechanisms).
Mekanisme ini merupakan survival pathways untuk mempertahankan
kelangsungan hidup neuron ataupun sel-sel pada organ lain (Sugawara, 2004).
Rangkaian proses biokimiawi patologis terdiri atas:
− yang terpicu serentak (simultaneously),
− yang berurutan (sequential),
− yang saling berkaitan atau memengaruhi (cross-talk antar
sel/jalur),
− yang saling memperkuat dan membentuk positive feed back loop.
25
Semua proses ini walaupun berjalan secara individual, tetapmasing-
masing dapat berakibat fatal pada neuron (Blaine et al.2000).
Meningkatnya growth factor diperkirakan dapat mengaktifkan mekanisme
pertahanan endogen yang disertai dengan meningkatnya jumlah makrofag untuk
menfagositosis sel debris atau apoptotic bodies yang dihasilkan dari proses
apoptosis. Kematian sel akibat apoptosis tidak disertai dengan lisisnya sel
membran dan keluarnya isi sel sehingga tidak terjadi proses inflamasi. Jadi, hal ini
berbeda dengan kematian sel karena proses nekrosis (Gibbsons, 1993).
Dengan menggunakan metode terminal deoxynucleotidyl transferase -
mediated biotinylated deoxyuridine triphosphate nick end labeling (TUNEL),
berbagai sel dengan fragmentasi DNA yang luas terdeteksi pada daerah yang
berbeda di dalam otak (Katja et al, 2001). Ditemukan 2 tipe TUNEL-positif sel
yang tampak pada mikroskop electron, yaitu
− tipe I yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari necrotic cell
death
− tipe II yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi apoptotic cell
death yang klasik.
TUNEL-positif sel terdeteksi dalam 72 jam setelah cedera awal. Gel
electrophoresis dari ekstrak DNA pada daerah yang mengalami cedera berisi tipe I
dan tipe II. Gel tersebut dapat memperlihatkan fragmen internucleosomal dengan
interval 180-200 base pair,yaitu suatu ciri khas dari apoptotic cell death yang
sering disebut DNA laddering. Hal ini memberi kesan bahwa apoptosis dengan
necrotic cell death terjadi setelah cedera kepala, dan fragmentasi
internucleosomal DNA juga dapat berhubungan dengan beberapa tipe necrotic cell
death (Blaine, 2000).
Rendahnya pH saat induksi apoptosis cenderung menyebabkan
berkurangnya kematian sel akibat apoptosis.Neuron-neuron diproteksi pada pH
6.0-6.8.Terrlalu rendahnya pH (pH < 6,0) berhubungan dengan kejadian hipoksia
sehingga kematian sel yang seharusnya diakibatkan oleh apoptosis berubah
menjadi nekrosis.Sebaliknya, pH intermediate sekitar 6.8 cenderung
mengakibatkan berkurangnya apoptosis tanpa disertai nekrosis. Proapoptotik
protein seperti Bax meningkat pada gangguan transpor elektron, mitochondrial
permeability transitions (MPT), dan lepasnya sitokrom c dari mitokondria. Anti
apoptotik protein Bcl-2 berperan mencegah kematian sel dengan cara melindungi
26
fungsi dan struktur mitokondria. Sementara itu, pemberian inhibitor kaspase
tidak memberikan efek perlindungan jangka panjang pada sel parenkim
parenkim otak akibat cedera kepala (Blaine, 2000).
2.5 Apoptosis
Fragmen sel terbungkus oleh membran sel dan berisi organela yang
masih utuh. Sel akan kehilangan kontak interseluler yang normal. Jadi sel tidak
mengalami proses inflamasi karena tidak adanya bahan- bahan sitosolik yang
dilepas ke ruang interseluler. Proses ini memerlukan energi dalam bentuk ATP
(Hetts, 1997).
Sel apoptotik yang berlawanan dengan sel nekrosis tidak dijumpai
berdekatan satu dengan yang lain, tetapi tersendiri atau membuat satu kelompok-
kelompok sel yang kecil dan tersebar di seluruh jaringan yang terkena.
Karena apoptosis membutuhkan energi, maka bila dijumpai defisit energi
prosesnya akan beralih menjadi nekrosis (secondary necrosis). Sel- sel yang mati
dibuang dari jaringan melalui fagositosis yang terjadi pada jam jam pertama
27
setelah kematian. Jika kapasitas fagositosis terbatas sehingga sel apoptosis masih
terdapat dalam jaringan selama satu atau dua hari, maka membrannya akan
mengalami disintegrasi dan terjadi nekrosis sekunder (Yakolev, 2004).
Fragmentasi DNA terjadi sebagai hasil dari calcium-magnesium-
dependent endonuclease action. Endonuclease menyebabkan DNA terbelah
menjadi fragmen-fragmen dengan panjang rantai dari 50 sampai dengan 300 bp.
(Yakolev, 2004).
Teknik yang baik untuk menegaskan adanya apoptosis adalah
histochemical technique. Teknik ini tidak hanya mendata fragmentasi DNA,
tetapi juga mengidentifikasikan apoptosis bodies(Yakolev, 2004).
Apoptosis dapat terjadi tanpa sintesa protein. Pada cedera kepala terdapat
dua perbedaan tipe sel, yaitu:
− Sel-sel tipe 1 memperlihatkan susunan klasik nekrosis ( ini
terjadi pada cedera otak primer) ,dan
− Sel-sel tipe 2 memperlihatkan apoptosis klasik. (Rink A et al.1995;
Clark RS et al. 2000).
28
2.5.1 Caspase-Dependent Apoptosis
Gambar 4. Aktivasi Apoptosis dari Dalam Sel (Intrinsic Pathway) (Hillet al.2003)
29
b) Extrinsic Pathway
Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu reseptor yang
tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor. Ligand yang dapat memicu
adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan TRAIL. Reseptor tersebut memunyai
bagian yang disebut:
− Fas Associated Death Domain (FADD),
− TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau
− Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)
− Receptor Interacting Protein (RIP).
Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang kemudian
merekrut pro-caspase 8 (precursor caspase 8) dan menjadikannya caspase 8 yang
aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan caspase 3 untuk mengeksekusi proses
selanjutnya. Caspase 8 dan 9 disebut initiator caspases atau upstream caspases
dan caspase 3, 6, dan 7 disebut executioner caspases atau down stream caspases
(Katja, 2001).
Reseptor Fas berikatan dengan Fas ligand (FasL), yaitu suatu protein
transmembran. Interaksi antara reseptor Fas dan FasL membentuk death-inducing
signaling complex (DISC) yang berisi FADD, caspase-8, dan caspase-10. Dalam
interaksi tersebut terdapat dua tipe aktivasi kaskade caspase, yaitu tipe I dan tipe
II. Tipe I yaitu dengan pengaktifan caspase-8 maka akan terjadi aktivasi
anggota lain dari caspase family yang berperan sebagai pencetus apoptosis. Tipe
II, yaitu ikatan Fas-DISC akan membentuk feedback loop untuk menambah
lepasnya faktor pro- apoptosis dari mitochondria dan memperkuat aktivasi
caspase-8. Fas diketahui memunyai dua jaras apoptosis.Daxx adalah suatu Fas
yang mampu menghambat Bcl-2. Jaras Fas yang lain adalah melalui ikatan FADD,
yang tidak menghambat Bcl-2 (Yang, 1997).
30
Gambar 5. Aktivasi Apoptosis dari Luar Sel (Extrinsic Pathway)
(Demedtset al, 2006).
Gambar 5 menunjukkan bahwa sinyal faktor ekstrasellular seperti hormon,
growth factor, nitric oxide, atau sitokin mengaktivasi apoptosis melalui jaras
ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah atau menghambat proses apoptosis.
(Mohamadet al, 2005). TNF adalah suatu sitokin utama yang diproduksi oleh
makrofag aktif dan merupakan mediator ekstrinsik
31
utama dari apoptosis.Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia memunyai dua
reseptor untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2.Ikatan terhadap reseptor TNF-R1
secara tidak langsung dapat mengaktivasi faktor transkripsi yang terlibat dengan
cell survival.
c) Cross-talk
32
menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria serta menimbulkan
perobahan konformasi pada Bax dan Bak (menyebabkan homo atau
heterodimerisasi) yang hasilnya juga dapat membocorkan sitokrom c. (Desagher et
al, 1999).
Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase lain
seperti caspase 2,6,8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9 menjadi caspase 9
yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur apoptotik melalui suatu positive
feed-back loop.
33
Gambar 7. Jaras Caspase Independent Apoptosis (Hoh et al, 2010)
34
Bcl-2 family protein memiliki Bcl-2 homology (BH) domain. Pada struktur
protein ini anggotanya ada yang anti-apoptotik, yaitu Bcl-2, Bcl- xL, Bcl-W,
Mcl-1, dan A1 (memiliki domain BH1, BH2, BH3, dan BH4) dan yang pro-
apoptotik, yaitu Bax, Bak, dan Bok (memiliki domain BH1, BH2, dan BH3) ; serta
Bad, Bid, Bim, dan Bik (hanya memiliki BH3 domain saja) yang disebut : BH3-
only proteins. Kompleks dari domain BH3 seperti Bax, Bid (tBid), dan Bad
menfasilitasi pelepasan sitokrom c melalui kapasitas pembentukan pori oleh
BH3-only proteins yang berdimerisasi. Protein- protein pro-survival seperti
Bcl-2, Bcl-xl, dan mcl-1 mampu mencegah keluarnya protein mitokondria,
seperti sitokrom c, endonuclease G, dan AIF melalui pori tersebut
Sebagai contoh, bila tidak ada faktor survival, maka BH3-only protein
akan mengikat dan menggeser Bcl-2 dan/atau Bcl-xl pada membran luar
mitokondria. Dengan adanya faktor survival maka terjadi aktivasi seri kinase.
Kemudian BAD mengalami phosphorilasi dan memisahkan diri dari Bcl-2
dan/atau Bcl-xl yang memberikan survival (Van Cruchtenet al, 2002; Zha et al,
1996). Heterodimerisasi dari kelompok protein BH3 (Chittenden et al, 1995)
tidak diperlukan untuk pro-survival, tetapi diperlukan untuk pro apoptosis.
Domain transmembran (Tm) dari protein Bcl-2 family terlibat dalam survival dan
35
kematian sel yang diperantarai mitochondria (Graham et al, 2000). Semua anggota
Bcl-2 family memunyai domain Tm kecuali Bid.
Aktivasi famili Bcl-2 protein terjadi melalui carboxy terminal hydrophobic
domain yang melekat pada membran luar mitochondria. Dari membran luar ke
dalam, terdapat lobang Permiabilitas Transisi (PT). Lobang PT memunyai mega
channels dengan diameter <2nm yang dapat dilewatiion-ion Reactive Oxygen
Species (ROS), tetapi bukan molekul besar (sitokrom c, ATP, AIF) yang
diperlukan untuk induksi apoptosis (Wagner, 2005).
memeriksa hubungan antara variasi genetik pada gen Bcl-2 dengan hasil akhir
cedera kepala, ternyata terdapat hubungan antara genotip Bcl-2dan fungsi global
Berdasarkan data Hapmap dijumpai 20 tSNP untuk gen Bcl-2dengan minor allele
frequency (MAF) ≥
38
2010).
signifikan berpengaruh pada hasil akhir klinis setelah cedera kepala, yaitu
rs949037) dengan Glasgow Outcomes Scale (GOS) dan Disability Rating Scale
cedera kepala berat yang dianalisis pada bulan ke 3, 6, 12 dan 24 (Hoh et al,
2010).Dari hasil penelitian diperoleh bahwa alell variant untuk rs17759659 dan
rs1801018 berhungan dengan hasil yang lebih jelek (GOS dan DRS), tingkat
kematian yang lebih tinggi, dan NRS-R yang jelek. Sebaliknya, homozigot alell
dengan hasil yang lebih baik (GOS dan DRS). Hasil data ini mendukung
Pada manusia gen BDNF terletak pada kromosom 11. Allel Val66Met
menyebabkan adenine dan guanine allel. Hasil dalam variasi antara valine dan
Polimorfisme genetik dapat disebabkan oleh faktor kebetulan (mutasi) atau faktor
akibat variasi pada urutan basa nitrogen. Variasi tersebut merupakan akibat
peristiwa mutasi yang diikuti oleh aksi evolusi, seperti seleksi alam atau drift yang
dalam suatu populasi. Sebuah definisi yang praktis dan berguna menyebutkan
bahwa lokus polimorfik adalah suatu keadaan ketika ada dua atau lebih alelle
yang membentuk populasi yang sama dan alelle yang paling umum memiliki
Individu dengan alelle yang sama pada suatu lokus akan disebut genotipe
Alelle dengan frekuensi yang kurang dari 1% disebut sebagai varian langka dan
alelle yang memiliki frekuensi varian yang lebih tinggi disebut polimorfik. Hal ini
menunjukkan bahwa sekitar 2% dari populasi akan menjadi heterozigot pada lokus
Selain itu, telah diketahui bahwa kurang dari 5% dari genom manusia
merupakan coding DNA dan sebagian besar polimorfisme genetik terjadi pada
area non-coding DNA yang merupakan area yang relatif tidak memiliki
2.9 Autofagositosis
Istilah autofagi yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti to eat oneself
ini telah dievaluasi dengan menggunakan sel-sel dan organisme yang defisiensi
(Todde, 2009).
dinamik intrasel yang mendaur ulang protein dan organella yang tua (Todde,
associated protein light chain-3 (MAP-LC3/Atg 8), Atg12, dan Atg5 (Klionky,
2008).
1(Atg6) yang melalui domain BH-3nya berinteraksi dengan Bcl-2 dan kemudian
LC3(Atg 8) dan LC3 lipidation/LC3 shift juga terlibat pada cedera otak (Kuono
et al, 2005).
dari awal periode, sedangkan organella tetap baik sampai proses akhir. Sebaliknya,
pada autophagi terdapat degradasi organel pada awal proses, elemen sitoskeletal
41
tetap baik sampai akhir periode. Baik apoptosis maupun autofagi adalah proses
Seperti pada gambar 12, autofagi dan apoptosis memiliki morfologi yang
autofagi yaitu dengan aktivasi RNA interference. RNA interference (RNAi) yang
aktif akan menghambat 3 gen autofagi yaitu atg5, atg7, dan becline 1 (Mills et
al, 2004).
Seperti yang ditunjuk pada gambar 13, terdapat peranan autofagi dalam
kontusio serebri, yaitu proses degradasi protein oleh proteosom. Antara autofagi
2.10 Nekrosis
dalam hal ini adalah kematian sel yang dini akibat dari faktor eksternal, seperti
trauma, toxin, atau infeksi. Proses apoptosis yang terjadi mempunyai manfaat
pecah dan isi sel tumpah) dan fungsi suatu jaringan (Van Cruchten, 2002).
nya. Sel-sel nekrotik akan mengalami pembengkakan sel yang kemudian lisis dan
terjadinya proses inflamasi. Nekrosis tidak terlihat pada perkembangan sel normal,
43
Nitic Oxide Synyhase) bereaksi dengan radikal bebas yang dilepas Mitochondria dan
Endoplasmic Reticulum akibat terpicu influx Ca++ akan membentuk peroxynitrit,
radikal bebas yang daya rusaknya sangat besar, bila peroxynitrit bertemu dengan ion
Fe dari ferritin, peroksidasi akan berlipat ganda (White, 2000) Endonuclease G akan
menimbulkan kerusakan DNA pada inti sel dan memicu apoptosis. Walaupun
prosesnya sama-sama dipicu kalsium, proses nekrosis terjadi dalam beberapa menit,
sedangkan apoptosis baru terjadi setelah beberapa jam dan bisa
berlangsungberharihari hingga beberapa minggu (Haque, 2004; White,
2000; Ulrich, 1999).
berikatan secara nonkovalen terhadap subunit yang berukuran 13,5 kDa, yang
berikatan dengan nerve growth factor. BDNF dihasilkan oleh sel glia pada
neuron pada otak orang dewasa.BDNF juga terlibat dalam plastisitas sinaps,
diferensiasi neuron dan daya tahan neuron.BDNF juga diekspresikan pada hati,
dalam darah terutama disimpan dalam trombosit dan hanya fraksi kecil saja
yang tersimpan di dalam plasma. Kadar BDNF dalam serum dapat ditentukan
44
Gambar 14. Struktur Brain-derived Neurotrophic factor (Robinson et al,
1999)
Namun, sejauh ini belum ada studi langsung yang membandingkan kadar BDNF
yang berhubungan dengan NGF. Dalam otak, BDNF aktif pada hippocampus,
cortex, dan basal forebrain yaitu daerah vital untuk memori, belajar serta untuk
berpikir lebih tinggi. BDNF sendiri penting untuk penyimpanan ingatan jangka
jaringan dan sel, yaitu pada retina, CNS, neuron motor, ginjal, dan prostat, serta
2009).
menumbuhkan neuron baru dari stem cells neural dimana proses ini dikenal
menderita defek perkembangan otak dan sistem sel saraf sensori. Biasanya tikus
dilepas oleh neuron atau sel pendukung, seperti astrosit dan berikatan dengan
et al,
1997).
46
BDNF berikatan dengan dua reseptor yang terletak pada
permukaan sel. TrkB (“Tyrosine kinase B”) dan p75 yang merupakan Low- affinity
nicotine receptor. TrkB adalah suatu reseptor tyrosine kinase yang dapat
NT-4, TrkA mengikat NGF, dan TrkC mengikat NT-3. NT-3 dapat berikatan
Reseptor BDNF yang lain, yaitu p75 memiliki peranyang kini masih
sebagai suatu sink untuk neurotrophin. Sel-sel yang mengekspresi p75NTR dan
apoptosis apabila sel tersebut tidak memiliki reseptor Trk. BDNF diproduksi
neural dan plastisitas. Terdapat beberapa polimorfisme SNPs di- dalam gen BDNF
rs908867. Salah satunya SNPs yaitu rs6265 yang berhubungan dengan kognisi
47
setelah cedera kepala. Berdasarkan penelitian, rs6265 memperlambat proses
berkontribusi dalam fungsi memori setelah cedera kepala. Terdapat 2 SNP yaitu
al, 2011).
pada beberapa tahun pertama kehidupan. Plastisitas ini juga lebih tinggi pada
beberapa bagian otak dibandingkan dengan bagian otak yang lain. Hal ini
menjelaskan bahwa anak mampu pulih dari cedera kepala jauh lebih cepat dan
lebih baik.Plastisitas otak tidak terbatas pada keadaan yang tidak direncanakan,
seperti kecelakaan, trauma otak, dan kasus penting lain yang memerlukan rewiring
2.14 Neuroproteksi
48
Secara historis konsep neuroproteksi sudah dikenal dan dipakai oleh
mengobati cedera otak dan stroke. Hipotermia kembali berperan seiring dengan
kemajuan pada bidang bedah saraf sejak tahun 1960. Penelitian tahun 1990
dan patofisiologi cedera otak iskemi (Cheng, 2004), yaitu bila terjadi penghentian
pasokan oksigen dan glukosa yang tiba-tiba ke jaringan otak, maka akan
infark otak. Neuroproteksi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu neuroproteksi
pada awal kejadian cedera kepala sehingga pemberian neuroproteksi primer harus
pada tiga jam pertama setelah kejadian cedera kepala. Beberapa senyawa yang
dan Polyamines.
49
Neuroproteksi sekunder bertujuan menghambat pro-inflammatory
mencegah apoptosis, dimana ini mulai diberikan dalam 3-6 jam pertama dan
2.14.1. Neuropeptida
diabsorpsi secara cepat melalui membran mukosa nasofaring dan masuk ke dalam
sistem sirkulasi dalam waktu 1-5 menit. Konsentrasi puncaknya dicapai setelah 60
converting enzyme. Waktu paruh obat ini dalam tubuh manusia hanya beberapa
menit, tetapi efek terapi dapat bertahan selama 20-24 jam. Hal ini disebabkan oleh
2001)
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat melindungi sel-sel neuron dengan
50
merusak dari ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu radikal bebas oksigen,
Bcl-2 dan meningkatkan kadar NGF dan BDNF di serum maupun CSF.
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ini telah terbukti mampu memicu secara cepat
produksi mRNA growth factors yang bersifat melindungi sel otak, antara lain
(Fink, 2007).
terekspresi dan merangsang ekskresi IL-1, IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α atau
reseptor NMDA (glutamat, aspartat, glisin dan taurin) yang ada pada sistem
saraf sentral dan saraf perifer. Senyawa ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ditemukan
serotonin dan dopamin pada satu sisi dan kadar dopamin dan asetilkolin pada
sisi yang lain, sehingga dapat memperbaiki kondisi gangguan psikis, emosional,
kognitif, dan gangguan vegetatif. Substansi ini juga dapat meregulasi kardiak
output dan laju respirasi serta dapat mempercepat proses adaptasi yang dapat
51
sitokin proinflamasi, seperti IL-8, IL1β, dan apoptosis (Fink, 2007; Jung BK,
2006).
sedang dan ringan serta 77,3% pada cedera kepala berat. Setelah pemberian
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 terjadi peningkatan Bcl-2 sebanyak dua puluh kali
lipat dalam CSF pada hari ketiga dan serum pada hari ketujuh. Pada hari
ketiga TGF-1β meningkat sebesar 30%, NGF naik 18,2%, dan BDNF naik
50%. Kadar SOD (Superoxide Dismutase) naik 100% dan IL-10 (antiinflamasi)
meningkat 60% yang diikuti dengan penurunan IL-8 dan IL-1β (proinflamasi)
masing-masing sebesar 62% dan 25%. Dari data-data di atas tampak bahwa
52
BAB III
KESIMPULAN
Pada cedera kepala akan terjadi kerusakan sel (sel debris). Adanya kerusakan sel
tersebut akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag yang memfagositosis sel debris
tersebut akan menjadi aktif dan melepaskan beberapa sitokin antara lain: IL-6, TNF-α, IL-
8, IL-1. IL-6 dan TNF-α, dan akan menginduksi sumsum tulang untuk pembentukan
leukosit (eukositosis), sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrophil chemotactic factor
(NCF), sehingga neutrofil migrasi ke perifer. Selain itu, TNF-α menginduksi endotel untuk
mengeskpresikan E-selektin, yaitu dalam molekul adesi terhadap eosinofil. Sedangkan IL-1
berperan untuk menginduksi endotel dan mengekspresikan VCAM yang merupakan
molekul adesi terhadap monosit. Adanya kedua molekul tersebut mengakibatkan neutrofil
dan monosit menempel pada permukaan endotel. Selanjutnya, sel tersebut melepaskan suatu
enzim yaitu myeloperoksidase, yang menginduksi pelepasan ROS/MDA. Adanya trombosis
dan ROS/MDA tersebut mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler pada otak dan akhirnya
mengakibatkan terjadinya iskemia. Iskemia tersebut akan mengakibatkan gangguan pompa
sodium pada astrosit, sehingga astrosit mengalami swelling (pembengkakan). Selanjutnya,
peran IL-1 pada inflamasi (cedera kepala), selain menginduksi endotel pada vaskuler untuk
mengekspresikan E-selektin juga menginduksi endotel untuk mengekresikan VEGF, yang
menginduksi astrosit untuk mensekresi AQP-4. Aquaporin ini berperan untuk menginduksi
dinding vaskuler dan untuk memfasilitasi air masuk ke area interstitial pada jaringan otak
sehingga terjadi peningkatan kadar air padaarea interstitial.
Adanya swelling (pembengkakan) sel-sel pada otak akibat iskemia dan peningkatan
kadar air pada area interstitial maka terjadilah perluasan volume otak yang kemudian
dikenal sebagai edema otak. Adanya edema otak akan mengakibatkan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang sangat berbahaya bagi penderita. Untuk mengatasi hal te rsebut
dilakukan dengan pemberian Melatonin. Melatonin ini bekerja menghambat
myeloperoksidase. Bila enzim ini dihambat, maka tidak akan terjadi pembentukan
ROS/MDA sehingga kerusakan jaringan pun tidak terjadi. Oleh karena itu, iskemik dapat
dikurangi. Bila iskemik tidak terjadi,pompa sodium dapat berjalan dengan baik sehingga
astrosit tidak mengalami pembengkakan. Selain menghambat myeloperoksidase, Melatonin
juga bekerja menghambat VEGF. Adanya hambatan VEGF tersebut maka astrosit tidak
terinduksi untuk melepaskan AQP-4 sehingga H2O tidak masuk ke cairan interstitial dan
akhirnya edema otak dapat diatasi.
53
DAFTAR PUSTAKA
54
55