Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala masih menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di
Amerika Serikat, meskipun sudah terjadi kemajuan dalam bidang ilmu kegawatdaruratan,
perawatan intensif, dan ilmu bedah saraf mengenai trauma. Adanya berbagai program
pencegahan seperti penggunaan peralatan keselamatan seperti sabuk pengaman, kantung
udara (airbag), penggunaan helm, dan batas kadar alkohol dalam darah yang diizinkan, telah
memberikan dampak yang positif pada epidemiologi cedera kepala berat. Hasil keluaran
dari pasien yang mengalami cedera kepala, kadang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
berada di luar kontrol para klinisi, seperti tingkat keseriusan dari cedera kepala yang
1-2
mendasari dan adanya cedera pada sistem organ utama yang lainnya. Cedera otak akibat
kecelakaan lalu lintas pada umumnya berupa multiple system disorders sehingga
penanganannya harus secara holistik. Terdapat kecenderungan peningkatan angka kematian
dan angka kesakitan akibat cedera otak dan hal ini akan membawa dampak yang besar pada
program kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

1.2. Insiden
Insiden cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar 200/100.000 orang setiap
tahun. Dari jumlah penduduk Amerika Serikat yaitu sekitar 250 juta jiwa, sekitar 500.000
orang mengalami cedera kepala setiap tahun yang cukup berat dan membutuhkan
pertolongan medis. Diantara mereka, sekitar 40.000-50.000 orang meninggal sebelum
sampai di rumah sakit. Di Amerika Serikat setiap tahun, sekitar 1 juta orang dirawat akibat
cedera kepala, dan sekitar 230.000 orang lainnya masuk ke rumah sakit akibat cedera
kepala. Di Amerika Serikat, sekitar 50% cedera kepala merupakan akibat dari kecelakaan
lalu lintas, dan sekitar 13-15% cedera kepala merupakan akibat dari luka tembak. Di
Amerika Serikat, lebih dari separuh kasus kecelakaan lalu-lintas mengakibatkan kematian
(15% dari semua kematian merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas) atau cedera kepala
berat. Diperkirakan sekitar 5,3 juta penduduk Amerika Serikat saat ini hidup dengan
disabilitas yang permanen akibat cedera otak traumatik. Penggunaan helm telah terbukti
dapat mengurangi kasus ini secara signifikan. Sedangkan di negara lainnya, didapatkan pola
kejadian cedera yang berbeda. Cedera kepala yang terjadi pada pejalan kaki, insidennya

1
tinggi di Nigeria dan beberapa tempat di Inggris. Di beberapa tempat di Afrika Selatan,
cedera otak akibat luka tusuk pisau merupakan hal yang sangat sering terjadi. Cedera otak
didapatkan pada setengah dari kematian akibat trauma, dan penggunaan alkohol serta obat-
obatan ditemukan pada setengah dari kasus tersebut. Para pengguna alkohol kronik
memiliki risiko yang lebih tinggi akibat tingginya frekuensi kejadian cedera kepala, atrofi
cerebral, dan koagulopati. Biaya finansial yang dibutuhkan sangat tinggi (lebih dari 4 milyar
dolar setiap tahun) tidak hanya untuk perawatan pada kasus akut tetapi juga untuk biaya
perawatan jangka panjang serta hilangnya kemampuan kerja akibat yang terkena cedera
kepala biasanya mereka yang tergolong umur produktif (umur rata-rata 30 tahun). 1, 4-7
Insiden puncak dari kejadian cedera kepala terjadi pada umur 15-24 tahun atau pada
dekade kedua sampai ketiga. Insiden puncak yang kedua terjadi pada bayi dan orang
berumur tua. Cedera kepala masih tetap merupakan penyebab kematian utama pada dewasa
muda dan 2 sampai 3 kali lebih sering terjadi pada laki-laki. Perbandingan antara laki-laki
dengan perempuan bervariasi antara 2:1 dan 3:1. Orang yang memiliki risiko tinggi untuk
terjadinya cedera otak traumatik adalah dewasa muda berumur 15-30 tahun, bayi umur 6
bulan sampai 2 tahun, anak umur sekolah, dan orang berumur tua. Bayi memiliki risiko
yang lebih tinggi karena ukuran dari kepala yang relatif lebih besar, dan kompresibilitas dari
tulang tengkorak. Orang berumur tua memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera
intrakranial, khususnya hematom subdural. Atrofi cerebral menyebabkan peregangan vena-
vena penghubung antara duramater dengan parenkim otak, dan membuat vena ini rawan
untuk mengalami robekan akibat kekuatan deselerasi. Cedera kepala traumatik ditemukan
paling sering pada orang kulit hitam dan keluarga berpenghasilan rendah. Pasien dengan
cedera kepala berat, atau mereka yang masuk rumah sakit dalam keadaan koma, merupakan
sebagian kecil dari pasien dengan cedera kepala, tetapi mereka memiliki tingkat morbiditas
dan mortalitas yang paling tinggi. 1, 3, 5, 6, 8

1.3. Etiologi
Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, akibat
peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat tindakan kekerasan.
Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup adalah kecelakaan lalu lintas,
dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada penumpang kendaraan bermotor, pejalan
kaki, pengendara motor, dan pengendara sepeda. Penyebab yang lainnya adalah akibat
terjatuh. Cedera akibat luka tembak merupakan penyebab utama dari cedera kepala
penetrasi di Amerika Serikat dan terhitung sebanyak 44% dari semua kasus cedera kepala.

2
Dewasa muda merupakan orang yang paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
(umur 5-64 tahun), tetapi populasi ini memiliki sedikit insiden dari lesi massa intrakranial.
Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun atau lebih) paling sering mengalami cedera akibat
terjatuh dan memiliki insiden yang tinggi dari lesi massa intrakranial. Intoksikasi alkohol
dan obat-obatan lainnya merupakan faktor yang signifikan sebagai penyebab cedera dan
tersebar hampir sama pada semua kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan
sangat tua. 3, 5, 8, 9

Pemahaman menyangkut variabilitas luaran cedera otak membutuhkan kajian yang


cermat dan mendalam untuk mengungkapkan hubungan antara beratnya cedera awal dan
luaran, serta pemahaman bahwa cedera otak merupakan awal dari suatu proses yang bersifat
dinamis.Kasus cedera kepala berat sering sekali disertai dengan edema otak. Edema otak
dapat terlokalisasi atau menyeluruh dan dapat terjadi secara primer maupun sekunder yang
menyebabkan terjadinya peningkatan volume intrakranial olehkarena meningkatnya jumlah
cairan pada jaringan otak dan menyebabkan kematian oleh karena kerusakan sekunder pada
batang otak.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Otak


Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan
bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari
luar, yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial.
Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau
berubahnya tingkat kesadaran . Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi
atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam ( penetrating head injury) .1

2.2 Patofisiologi Cedera Otak

Patofisiologi cedera otak ditinjau darisaat kejadiannya terdiri atas cedera


otak primer yaitu kerusakan jaringan otak langsung akibat trauma dan cedera otak
sekunder yaitu akibat perluasan kerusakan pada jaringan otak melalui proses
patologis yang berlanjut .2

2.2.1 Cedera Otak Primer

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik
yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan
perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan
seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau
deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek
pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan
lokal, multifokal ataupun difus

Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan / atau pembuluh darah.
Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau diffuse axonal injury (DAI),
sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural,
subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat Pada CT-scan.
Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan
DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskhemik baik fokal maupun global

4
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang
meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase
lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992;
Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
2. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan
3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah
(Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic
core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) (Andersson, 2003).3

2.2.2 Kontusio Serebri (memar otak)

Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling sering


terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami
kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan bahwa kasus kontusio
serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian dan cedera olahraga . 3,4
.Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan
deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan
mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio serebri terjadi
perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus
kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada
cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural,
perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid .1,2.5
Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa padadaerah
kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang
mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler
5
yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal
sebagai pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik
sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini disebabkan oleh kerusakan
autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga perfusi jaringan
akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau
peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2
hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi
kecacatan dan kejang di kemudian hari .1,5.6

Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Mesiano, 2010)


Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala

yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta


pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan
menyebabkan hiperekstensi kepala.Oleh karena itu, otak membentang batang otak
terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
6
asendens retikularisdifus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen
sehingga kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung 2

2.2.3 Diffuse Axonal Injury

Diffuse axonal injury merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan
merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih
dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan
cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten
pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu.
Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat
kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari
korteks serebri, korpus kallosum dan gray-white matter junction dari korteks
serebri.347

Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada
pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan
mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus.
Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari
otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas
dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey
matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi,
jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan
jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang
menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan
white matter(Smith et al, 1999).

Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera
primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson
terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi
perubahan biokimia yang mengakibatkan pembengkakan dan putusnya akson-
akson. Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang
juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan
7
aktifnya calsium- mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan kerusakan
dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang
membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan
ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi
intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state (Blumbergs, 2011).

2.2.4 Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang
dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui
mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi
generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid.
Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak sekunder adalah
adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat penurunan tekanan perfusi
otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, Tekanan Tinggi Intrakranial
(TTIK), demam, vasospasm, infeksi, dan kejang (Cohadon, 1995).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine
deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia,
gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea
(hiperventilasi), hipertermi (hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia,
hipoglikemia, hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon,
1995).Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya
mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).

2.2.5 Edema Serebri

Cedera kepala karena iskemia adalah keadaan lanjutan dari kontusio primer

jaringan otak. Iskemia dapat berlanjut menjadi edema vasogenik karena

terbukanya sawar darah otak (SDO) dan edema sitotoksik yang karena adanya

pembengkakan astrosit (Blumbergs, 2005). Efek dari sekuel cedera kepala ini

8
biasanya lebih besar dari pada cedera itu sendiri. Lebih dari itu, peningkatan

tekanan intrakranial yang terjadi merupakan penentu utama keadaan klinis

individu . 6.7,8

Cedera kepala dapat memicu terjadinya berbagai mekanisme

sehingga menyebabkan perlukaan sekunder yaitu edema serebri (Cooper,

1985). Edema serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak intraselular dan

atau ekstraselular (Klatzo, 1967). Keadaan ini ditandai dengan pembengkakan

jaringan otak sesuai dengan peningkatan progresif kadar cairan otak yang

dapat terjadi karena iskemia (Ribeiro et al., 2006), trauma (Zador et al., 2007),

tumor (Saadoun et al., 2002), dan inflamasi (Papadopoulos dan Verkman, 2005).

Terbatasnya rongga kranium dan pembengkakan progresif jaringan otak

mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK), penurunan aliran darah ke

otak, herniasi serebri, dan bahkan kematian. Berdasarkan mekanismenya,

Klatzo membagi edema serebri menjadi dua kategori, yaitu edema sitotoksik atau

intraselular dan edema vasogenik atau ekstraselular. Keduanya dapat diketahui

dengan rinci melalui studi mikroskopik dan ultrastruktural. Pengukuran kadar

cairan jaringan melalui pencitraan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat

membedakan edema sitotoksik dan edema vasogenik (Klatzo, 1967).

Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di kompartemen

intraselular (Klatzo, 1967) neuron, mikroglia, dan astrosit (Unterberg et al.,

2004). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa Na/K ATP-

dependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan asupan energi jaringan

otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat memengaruhi kinerja pompa

Na/K ATP-dependent. Keadaan ini berhubungan dengan terganggunya

pertukaran ion intrasel dan ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan

cairan akan masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel.
9
Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada keadaan

tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat terjadi ruptur

membran sel dan cairan keluar ke kompartemen ekstraselular (Marmarou et al.,

2000). Meskipun edema sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan dengan

edema vasogenik, pada akhirnya keduanya dapat meningkatkan TIK dan

berlanjutnya iskemia (Marmarou et al., 2006). Adakalanya edema

sitotoksik tidak menimbulkan peningkatan cairan jaringan otak atau

pembengkakan dan peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel yang

terjadi berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan Vink, 2010).

Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B),
Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010)

Edema vasogenik adalah peningkatan cairan esktrasel yang terjadi karena


kebocoran SDO. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan osmotik dan cairan ke luar
dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraselular.
Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau
tight junction yang bocor. Edema vasogenik sering disebut juga edema osmotik.
10
Kebocoran SDO dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala, tumor,
infeksi, perdarahan intraserebri, dan nflamasi. Oleh karena itu, edema vasogenik
sangat berhubungan dengan peningkatan kadar cairan otak, pembengkakan jaringan
otak, dan peningkatan TIK.
Pada keadaan tertentu dapat terjadi edema serebri yang didasari oleh kedua
mekanisme di atas, misalnya edema transependimal. Edema transependimal adalah
peningkatan cairan interstitial periventrikular karena kerusakan lapisan ependimal
dinding ventrikular. Hal ini biasanya terjadi pada hidrosefalus. Edema hidrostatik
adalah bagian dari edema vasogenik yang terjadi ketika tekanan perfusi serebral
meningkat. Keadaan ini biasanya terjadi pada ensefalopati hipertensi. Pada dasarnya,
baik edema sitotoksik maupun edema vasogenik terjadi ketika osmolalitas plasma
menurun sehingga terjadi pengeluaran cairan. Meskipun demikian, keduanya
dipisahkan menjadi dua klasifikasi yang berbeda. Beberapa keadaan klinik
berkembang menjadi edema serebri berdasarkan kombinasi mekanisme edema yang
berbeda. Ini bergantung pada gangguan yang timbul akibat penyakit dan waktu
perjalanan penyakit (Naget al., 2009).
Kerusakan SDO adalah salah satu peran utama dalam terjadinya edema
serebri. Kedua tipe edema, yaitu vasogenik dan sitotoksik mengakibatkan
peningkatan TIK, dan penurunan tekanan perfusi serebral (TPS), dan pada
akhirnya menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia berperan pada terjadinya
vasodilasi melalui mekanisme autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi
perfusi serebral. Vasodilasi yang terjadi akan meningkatkan volume darah
serebral, dan pada akhirnya juga meningkatkan TIK, menurunkan TPS, serta
memicu berlanjutnya iskemia (Rosner dan Rosner, 1995). Beberapa studi
eksperimental menyatakan bahwa beberapa neurotransmitter, seperti glutamat,
asetilkolin, dan senyawa vasoaktif, seperti serotonin, histamin, prostaglandin,
asam amino, asam laktat, dan lain-lain berperan dalam mediasi, inisiasi, dan
propagasi edema otak. Platelet adalah sumber utama senyawa-senyawa di atas
yang akan memproduksi neurotransmitter ketika melekat di pembuluh darah
kapiler (Baethmann et al., 1980; Baethmann et al., 1991; Hayes et al., 1991).
Prostaglandin berperan pada terjadinya edema serebri melalui mekanisme (1)
peningkatan permeabilitas kapiler serebral, (2) vasokonstriksi yang menyebabkan
iskemia (Yamamoto et al., 1972), dan (3) potensiasi dari senyawa lain seperti
serotonin dan katekolamin.

11
Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem SDO (sawar darah
otak) (Ke Ding., et al., 2014).

Proses terjadinya edema serebri diantarai oleh beberapa mediator di

antaranya adalah aquaporin (AQP) dan sitokin. Aquaporin adalah kunci utama

terjadinya edema serebri (Manley et al., 2000; Papadopoulos dan Verkman, 2008;

Taya et al., 2008). Beberapa studi mendapatkan peningkatan kadar AQP

pascacedera kepala dan peranannya pada kejadian edema serebri (Manley et al.,

2000) sehingga penggunaan agen penghambat AQP diduga berperan dalam

pengendalian edema serebri (Taya et al., 2008). Namun, beberapa studi lain

mendapatkan bahwa perubahan kadar AQP ini berhubungan dengan jenis edema

(Ghabriel et al., 2006; Papadopoulos et al., 2004, Sun et al., 2003). Penelitian

pada hewan coba dengan iskemia serebral mendapatkan, bahwa hambatan

ekspresi AQP berhubungan dengan penurunan tingkat edema dan luas area infark,

serta peningkatan status fungsional. Keadaan ini terjadi pada edema sitotoksik.

Hasil yang berbeda didapatkan pada edema vasogenik, yang luasnya edema

meningkat saat dihambatnya AQP. Hasil ini menunjukkan bahwa AQP bermanfaat

dalam menekan terjadinya edema vasogenik (Papadopoulos et al., 2004). Studi


12
eksperimental mendapatkan adanya peningkatan kadar AQP4 pada sel glia

dan penurunan kadar AQP4 perivaskular terhadap terjadinya edema vasogenik

(Ghabriel et al.,

2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema dan

perbaikan status fungsional berhubungan dengan kembalinya AQP4 ke dalam

keadaan normal. Kecepatan perbaikan kadar AQP4 setelah penatalaksanaan

mengindikasikan adanya modifikasi posttranslational yang berperan pada

sintesis protein (Taya et al., 2009). Peningkatan kadar cairan jaringan otak

ditunjukkan oleh komponen vaskular sebagai tempat pergeseran kompartemen

sitotoksik. Hambatan AQP channel berperan pada keadaan edema sitotoksik,

tetapi tidak pada edema vasogenik, karena AQP channel melekat pada dinding sel.

Selain AQP, terdapat matriks metalloproteinase (MMP) yang

berperan saat terjadinya edema serebri. Matriks metalloproteinase adalah enzim

endopeptidase zinc-dependent yang berperan dalam perbaikan jaringan pada

berbagai keadaan patologis. Regulasi MMP sangat kompleks dan

terkontrol. Hilangnya kontrol regulasi sangat berperan dalam patofisiologi

kerusakan sinaps dan SDO pada cedera kepala, stroke, dan neurodegenerasi

(Rosenberg dan Yang, 2007; Candelario-Jalil et al., 2009; Ding et al., 2009;

Rosenberg, 2009). Peran MMP dalam edema serebri adalah kemampuannya

dalam memecah berbagai jenis protein matriks ekstraselular termasuk protein

lamina basal neurovaskular dan protein tight junction SDO (Grossetete et al.,

2009; Hayashi et al., 2009; Vajtr et al., 2009). Kadar MMP terutama MMP2,

MMP3, dan MMP9 meningkat pada keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006;

Vilalta et al.,2008; Hayashi et al., 2009). Ketiganya menyebabkan kerusakan

akut SDO, edema vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar MMP9

yang terjadi secara temporer berhubungan dengan kebocoran SDO dan


13
terbentuknya edema (Gasche et al., 1999; Asahi et al., 2001). Sejalan dengan ini,

defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan efek protektif pada cedera

kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang et al., 2000; Asahi et al., 2001;

Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9 ini menurunkan kebocoran SDO dan

pembentukan edema, menurunkan respons inflamasi, serta meningkatkan

integritas membran sel dan status fungsional (Fujimoto et al., 2008; Vajtr et al.,

2009, Homsi et al., 2009; Tejima et al., 2009).

Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat vasoaktif dapat

meningkatkan permeabilitas SDO dan mengakibatkan edema serebri (Abbott,

2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat vasoaktif yang berperan tidak

hanya mediator inflamasi klasik, tetapi juga mediator inflamasi neurogenik. Salah

satu contoh zat inflamasi klasik adalah bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin

yang berperan penting pada terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001).

Bradikinin dibentuk dari pembelahan kininogen oleh kalikrein. Dengan bantuan

enzim peptida, bradikinin menghantarkan sinyalnya melalui dua subtipe reseptor

bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin meningkat maksimal pada

dua jam pertama pascatrauma dan kedua reseptornya meningkat signifikan pada

24 jam pertama pascatrauma. Meskipun kedua reseptor ini meningkat, hanya

supresi reseptor B2 saja yang secara bermakna mengurangi edema dan

meningkatkan status fungsional pascaedema (Trabold et al., 2010). Pemberian

antagonis reseptor B2 berperan dalam menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan

volume kontusio pada hewan coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger et al.,

2003; Zweckberger dan Plesnila, 2009; Su et al., 2009). Anggota lain dari

keluarga kinin adalah takikinin, yaitu sebuah mediator peptida yang berperan pada

inflamasi neurogenik.

14
Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi, ekstravasasi

plasma, dan hipersensitivitas neuronal yang disebabkan oleh penglepasan

neuropeptida dari neuron sensorik (Geppetti et al., 1995). Neuropeptida yang

telah teridentifikasi berperan pada inflamasi neurogenik adalah calcitonin gene-

related peptide (CGRP), CGRP ini berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya

meningkatkan ekstravasasi protein plasma (Nimmo et al., 2004).

Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan metabolisme

tubuh. Penurunan ADO berhubungan dengan hipoksia dan glikolisis anaerob.

Hipoksia dapat menimbulkan gangguan SDO melalui berbagai mekanisme yang

diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan

produksi Vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berakibat pada

peningkatan permeabilitas vaskular dan pembentukan edema. VEGF diketahui

berikatan dengan reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan

pada gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002).

Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan molekul- molekul

lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al., 1994). Produksi NO yang

berlebih dapat meningkatkan aliran darah dan permeabilitas SDO (Shukla et

al., 1996; Thiel dan Audus, 2001). Keadaan iskemia-hipoksia meningkatkan

produksi prostaglandin dan kinin. Kedua mediator ini selanjutnya menginisiasi

respon inflamasi yang dapat berakibat pada gangguan SDO (Zach et al., 1997;

Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004). Kemokin dan sitokin yang diproduksi oleh

sel glia dan endotel pada saat iskemia-hipoksia meningkatkan migrasi limfosit

melalui SDO dan juga permeabilitas pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et

al., 1998; Weiss et al., 1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat

mengaktivasi caspase, translokase, dan endonuklease yang dapat menginisiasi

perubahan membran dan nukleosom DNA secara progresif. Hipoksia juga


15
menyebabkan penglepasan beberapa neurotransmitter, seperti glutamat dan

aspartat. Neurotransmiter ini akan mengaktivasi reseptor ionotropik dan

metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion kalsium (Ca) dan ion natrium

(Na), serta efluks ion kalium (K). Influks ion Ca menimbulkan proses katabolisme

intraselular, aktivasi enzim lipid peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan

radikal bebas. Untuk glikolisis anaerob, keadaan ini menyebabkan deplesi

adenosin trifosfat (ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak.

Glikolisis anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat dan

peningkatan permeabilitas membran yang berakibat pada edema serebri.

Tujuan penatalaksanaan edema serebri adalah menjaga aliran darah otak

(ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak dan

mencegah cedera sekunder dari iskemia serebri.

2.2.6 Sel Mikroglia

Mikroglia dapat dianggap sebagai sel imun dari sistem saraf pusat, yang

berperan setara dengan sel fagosit mononuklear yang ada pada jaringan soma

(Gonzales-Scarano dan Baltuch, 1999), yakni immun surveillance dan pertahanan

tubuh terhadap invasi berbagai proses infeksi. Namun demikian, jika mikroglia

teraktivasi sebagai respon terjadinya proses inflamasi, mikroglia aktif akan

mengalami berbagai proses diferensiasi, proliferasi, dan menghasilkan berbagai

faktor proinflamasi.

Mikroglia yang aktif akan mensekresi berbagai faktor proinflamasi dan

neuroinflamasi yang bersifat neurotoksik. Faktor-faktor ini bila tidak dikendalikan

maka akan menimbulkan kerusakan yang luas (Liu dan Hong, 2002). Proses

aktivasi mikroglia diawali oleh inflamasi sel dan jaringan akibat adanya lesi

dan/atau iskemia. Mikroglia aktif akan melepaskan glial derived neurotrophic


16
factor, TNFα, IL-1β, IL-6, NO, superoxide, eikosanoid, asam kuinolat,

plasminogen, dan nuclear factor (NF)κB (Shigemoto-Mogami et al., 2001; Suzuki

et al., 2004). Nuclear factor (NF)κB adalah suatu faktor transkripsi yang bila

teraktivasi akan mengaktifkan TNFα. TNFα aktif akan meningkatkan ekspresi

sitokin proinflamasi lain, seperti IL-1β, IL-6, dan IL-8. Hasilnya dapat

dipahami jika aktivasi mikroglia tidak terkendali, dapat menimbulkan kerusakan

jaringan otak yang luas.

Ada berbagai metode dalam mengendalikan aktivasi mikroglia seperti

mekanisme cell adhesion molecules (CAM) oleh neuron (McMillian et al., 1994),

penggunaan reseptor antagonis opioid dan golongan steroid (Kong et al.,1997),

mekanisme vasoactive intestinal peptide (VIP), dan aktivasi sitokin antiinflamasi,

seperti TGF β dan IL-10 melalui mekanisme mikroglia-deactivating factor

(Delgado dan Ganea, 2003).

2.3 Konsep Neuroproteksi pada Penumbra Traumatik

Konsep ini dikemukakan oleh Symon yang mendukung gagasan bahwa,


pada dasarnya ada peluang untuk penyelamatan neuron dan memperkecil lesi
permanen.Konsep neuroproteksi timbul dari hasil penelitian patologi dan
patofisiologi cedera otak iskemik. Penghentian pemberian oksigen dan glukosa
yang tiba-tiba ke jaringan otak akan menghasilkan serangkaian reaksi beruntun
atau cascade patologis (pathological cascades) (Jain, 2011).
Ada tiga komponen yang aktif pada proses patofisiologis gangguan otak,
yaitu eksitotoksisitas, kerusakan oksidatif dan apoptosis.Ketiga komponen ini
selain sebagai denominator juga menunjukkan adanya keterkaitan antara faktor
dan jalur-jalur penghantaran sinyal yang ditempuh melalui reaksi
molekuler.Neuroproteksi terhadap terjadinya apoptosis dilakukan dengan cara
menghambat jalur-jalur apoptotik dan/atau merangsang jalur-jalur survival(Jain,
2011).
17
Dari sekian banyak jalur yang telah diidentifikasi, jelas bahwa keadaan
kritis terdapat pada :
− aktivasi yang berlebihan reseptor glutamat,
− akumulasi ion Ca++ didalam sel,
− peran abnormal sel peradangan,
− produksi senyawa radikal bebas yang berlebihan sebagai proses
hulu,dan terpicunya apoptosis secara patologis sebagai proses hilir.

a) Eksitotoksisitas

Dengan teknik microdialisis diketahui bahwa faktor signifikan yang dapat


menyebabkan cedera otak sekunder adalah asam amino eksitotoksik yang
keluar berlebihan, seperti glutamate dan aspartate, dan juga neurotoxin lain yang
terjadi saat cedera otak primer (Gibbons, 1993). Pada trauma, glutamate yang
berlebihan dapat berasal dari sel-sel yang rusak, bocor, atau karena gangguan
reuptake dari Glutamat. Signaling dari glutamate adalah vital. Aktivasi yang
berlebihan dari reseptor glutamate merupakan awal dari kematian sel yang disebut
excitotoxicity (Hetman dan Kharebava, 2006).
Glutamate sebagai neurotoxin, pertama digambarkan oleh Lucas dan
Newhouse pada 1957.Excitotoxic cell death yang kemudian dijumpai umumnya
terjadi pada semua neuron dengan reseptor glutamate (Olney,1969). Signal
glutamate dihantarkan melalui dua macam reseptor, yaitu reseptorionotropic
yang kerjanya cepat dan reseptor metabotropic yang kerjanya lambat. Reseptor
ionotropik yangutama bertanggung jawab terhadap excitotoxicity adalah N-
methyl- D-aspartate (NMDA). Reseptor yang tergabung dengan saluran ion ini
akan membuka saluran ionnya sehingga permiabilitas dinding sel akan
meninggi yang mengakibatkan meningginya aliran kalsium (konsentrasi Ca++
diluar dan didalam sel berbanding 10.000:1) dan sodium kedalam sel
serta aktivasi dari calcineurin dan calmodulin. Ini cenderung menyebabkan
destruksi axon (Lieberman, 2001 dan Masel, 2004).

Potasium juga keluar dari sel dan diabsorbsi oleh astrosit.Timbul gangguan
keseimbangan ion yang berakibat depolarisasi membrane sel dan influx cairan
yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema yang akhirnya dapat
18
menyebabkan kematian sel neuron.Glutamat juga toksik terhadap sel-sel glial,
termasuk astrosit dan oligodendroglia.(Yoshioka, 1995). Astrosit memunyai
kapasitas buffer dan terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular.
Berkurangnya energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi glutamat
rusak (Chen dan Swanson, 2003).
b) Kalsium
Proses homeostasis kalsium dalam sel sangat penting. Kadar yang
meninggi setelah cedera kepala merupakan awal dari proses kematian sel,
dimana Ca++ merupakan suatu second messenger dan
signaltransducerpencetus reseptor. Jumlah influks Ca++ bergantung dari sifat
cedera mekanik. Pada cedera kepala yang uniaxial, kadar Ca++ intrasellular
segera meningkat. Namun kadar Ca++ meningkat paling banyak pada cedera
biaxial. Hal ini disebabkan oleh adanya kanal antagonis yang menghambat
peningkatan kalsium pada cedera uniaxial tetapi tidak pada cedera biaxial.
Ini adalah menunjukkan betapa pentingnya sifat benturan terhadap respon
jaringan (Geddes-Klein, 2006).

Kumpulan Ca++ yang bersifat toksik maupun non-toksik jalurmasuknya


melalui NMDAR yaitu suatu Ligand Gated Anion Channel atau L-type voltage
sensitive channel disebut juga Voltage Gated Anion
Channel yang terpicu oleh perbedaan potensial pada membran sel berupa
depolarisasi (Tymianski & Charltonet al. 1993). Ca++ intrasellular yang
meningkat akan memicu pelepasan lebih lanjut Ca++ dari sumber internal seperti
retikulum endoplasmic. Kadar kalsium yang tinggi pada sitoplasma akan memicu
penumpukkan kalsium dalam matriks mitokondria. Mitokondria dapat mengisolasi
Ca++ melalui mekanisme electrochemical gradient generatedpotential dan rantai
transportasi elektron dengan akibat akan terjadi pengurangan sintesa ATP.
Kerusakan rantai transportasi elektron cenderung menghasilkan reactive oxygen
species (ROS) secara berlebihan, sedangkan pada saat yang bersamaan, terdapat
peningkatan kebutuhan ATP untuk mengeluarkan Ca++ melalui plasma
membrane pump (Schinder, 1996; Robertson, 2004).
Kalsium dapat mengaktivasi beberapa enzim seperti lipase, kinase,
phosphatase, dan protease. Calpain adalah enzim protease intrasellular yang dapat
mengurangi kadar protein neuronal. Aktivasi Calpain yang berlebihan sangat
19
berperan dalam kaskade neurodegeneratif pada cedera kepala, yaitu memicu
kerusakan cytoskeleton dan kematian sel neuronal serta merusak fungsi
neurobiologis (Kampfl, 1997).

c) Radikal Bebas

Meningginya kadar Ca++ sebagai pencetus aktivasi enzim terlibat dalam


produksi radikal bebas. Pada keadaan normal, oxidative mitochondrialmetabolism
memproduksi sejumlah kecil radikal bebas.Pada trauma, radikal bebas yang
timbul berlebihan diproduksioleh enzimnitric oxide synthase yang timbul akibat
trauma (iNOS) ini dibedakan dengan eNOS (endothelial NOS yang sifatnya
protektif) dan nNOS (neuronal NOS yang sifatnya konstitutif).Phospholipase, dan
xanthine oxidase yang aktif bersamaan dengan aktivasi jalur Ca++ berpengaruh
terhadap kerusakan rantai transpor elektron mitokondria.Timbulnya asidosis
menyebabkan lepasnya ferrum dari transferrin dan ferritin. Radikal bebas
menambah permiabilitas sel-sel membran melalui peroxidasi lipid yang merusak
komponen phospholipid membran.Superoxide anion dan hydroksil anion
membentuk peroksinitrit (yang lebih reaktif) dengan NO yang dibentuk iNOS.
Penggabungan dengan ion Fe tadi akan membuat proses peroksidasi lipid pada
membran meluas secara geometris. (White, 2000). Kerusakan DNA akibat radikal
bebas akan mengaktivasi Poly ADP Ribose Polymerase (PARP) suatu enzim untuk
perbaikan (repair) kerusakan DNA. Aktivasi PARP akan memicu enzim
perbaikkan DNA. Aktivitas berlebihan dari PARP akan mengurangi cadangan
energi sel yaitu cadangan NAD+ dan ATP. Kerusakan besar pada DNA akan
menguras energi atau ATP sehingga sel yang dalam proses apoptosis kehabisan
energi dan mati melalui proses nekrosis yang dalam hal ini disebut nekrosis
sekunder (Zhang, 2005). Caspase 3 yang menginaktivasi PARP berperan dalam
proses apoptosis (Isabelle et al, 2010).

d) Inflamasi

Cascade yang kompleks dari respon inflamasi sellular pada TBI dapat
memperbesar kerusakan otak sekunder. Proses inflamasi ini mulai beberapa jam
sampai dengan beberapa hari bertambah terus menerus pada cedera otak sekunder.
Respon inflamasi akibat TBI akut tidak hanya terbatas pada otak dan sering

20
tampak pada disfungsi organ lain. Molekul utama pada otak yang melibatkan
cascade ini adalah growth factors, catecholamine, neurokinin, sitokinase,
danchemokines. (Agha et al. 2004).
Trauma dapat menyebabkan gangguan BBB yang memisah darah dari
cairan interstitial dari parenkim dan merusak barrier yang normal. Air dan zat
yang dapat larut dapat bebas masuk ke otak dan cenderung menyebabkan edema
vasogenik sedangkan edema sitotoksik, atau sel yang bengkak terjadi karena
perubahan di sekitarnya atau stress terhadap sel. Chemotaxis, diapedesis, dan
gangguan BBB dapat membuka jalur baru ke dalam otak. Infiltrasi makrofag dari
sirkulasi yang berfungsi membuang debris setelah cedera, bersama dengan
neuron-neuron dan sel-sel glial, akan menyekresi sitokin pro dan antiinflamasi.
Pada TBI, proinflamasi sitokin interleukin IL-1, IL-6 dan TNF-α akan
meninggi(Hans & Kossmann et al, 1999). TNF-α sebagai pemicu awal respon
inflamasi merangsang produksi sitokin lain dan molekul adhesi (ICAM dan
VCAM). (Lenzlinger, 2001). TNF-α dapat memperburuk cedera otak
dan mengubah sitoskeleton sel endotel sehingga timbul kebocoran, namun TNF-
α perannya dualistik karena dapat juga berperan neuroprotective bersamaan
dengan IL-1β yang berfungsi untuk menambah expresi Nerve Growth Factor
(NGF). Peran TNF-α penting dalam tingkat akut inflamasi dan juga bermanfaat
pada regenerasi dan/atau perbaikan. Mirip dengan TNF-α, IL-1β juga terlibat
dalam fase akut dan dapat menambah permiabilitas endotel yang mengakibatkan
edema (Holmin dan Mathiesen,2000).

IL-1β mempunyai hubungan dengan banyaknya edema di sekitar lesi dan


mortalitas (Elovic , 2003 ; Bruns & Hauser , 2003). IL-6 dan 10 akan meninggi
pada anak-anak dengan TBI. Meningginya IL-10 yang sifatnya anti-inflamasidapat
menurunkan angka mortalitas pada TBI (Kraus et al.1984 ). Meningginya
sitokine (seperti IL-6) TBI merupakan suatu double edged sword karena
menyebabkan baik neurotoxicity maupun neuroproteksi. Inflamasi sitokine dapat
menyebabkan neurotoxicity melalui dorongan excitotoxicity dan respon inflamasi.
Namun, secara bersamaan inflamasi sitokin dapat mempermudah mekanisme
neurotropic dan induksi sel-sel menyekresikan faktor pertumbuhan yang
merupakan neuroproteksi.

21
Trauma otak memberi risiko terhadap berkembangnya penyakit
neurodegenerative di kemudian hari. Setelah cedera, protein precursor β–amyloid
yang terlibat dalam penyakit Alzheimer’s akan meninggi. Hal ini berhubungan
dengan suatu respon immune terhadap suatu inflamasi akut yang menjadi kronis
(Holmin dan Mathiesen, 1999).
Cedera kepala dapat menyebabkan atropi otak sesuai dengan derajat cedera
(Yount et al, 2002). Pada cedera kepala sedang sampai berat terdapat insiden
atropi hippocampus yang tinggi.Ini merupakan predisposisi untuk terjadinya
penurunan kognitif. Proses inflamasi dan immunitas menghasilkan endapan
amyloid protein dan amyloid protein- like-protein. Kedua jenis protein ini
menyebabkan degenerasi striatum dan corpus callosum. Degenerasi ini
menyebabkan atropi otak progresif dan kalsifikasi (Pierce, 1998; Hopkins, 2005).
Pada reperfusi terjadi reaksi inflamasi akibat produksi berlebihan dari
radikal bebas yaitu ROS (Reaxtive Oxygen Species). Radikal bebas ini akan
menyebabkan kerusakan peroksidatif pada membran sel, mitokondria,
makromolekul protein, dan DNA. Semuanya ini akan mengakibatkan kematian
neuron. Kejadian ini dikenal sebagai Reperfusion Injury yang merupakan
komponen penting terhadap terjadinya cedera sekunder yang disebut Delayed
Neuronal Death (White,2000).

2.4 Kematian Neuron

Kematian sel secara garis besar dibedakan atas dua mekanisme, yaitu
kematian yang tidak terprogram (nekrosis) dan kematian sel terprogram, yaitu
tipe I (apoptosis) dan tipe II (autofagi). Apoptosis, autofagi, dan nekrosis
merupakan mekanisme yang berbeda, tetapi timbul oleh rangsangan yang sama,
yaitu influks Ca++ ke dalam sitoplasma sel melalui saluran-saluran ion dengan
reseptor ryanodine (RYRs) dan reseptor inositol-1,4,5 triphosphate
(Ins(1,4,5)P3) (Lee et al, 1998).

Iskemia otak akan berlanjut menjadi nekrosis dan apoptosis dengan


ditentukan oleh beberapa faktor berikut:
− beratnya iskemia

22
− tingkat maturitas neuronal (sangat penting dalam menentukan
mekanisme kematian sel)
− mudah dicapainya support trophic
− kalsium intrasel
− level sitokin

Gambar 2. Perbedaan Nekrosis dan Apoptosis (Kumar et al, 2008)

Ada perbedaan nekrosis dan apoptosis seperti yang ditampilkan pada


gambar 2. Pada nekrosis, tahapan proses kematian dimulai dari pembengkakkan
retikulum endoplasma dan mitokondria. Kemudian, timbul bleb pada permukaan
sel dan diakhiri dengan pecahnya membran plasma, organela, dan isi sel.
Sebaliknya, pada apoptosis, proses kematian sel dimulai dari kondensasi
kromatin (sel mengecil), terbentuknya bleb membran, dan diakhiri dengan
fragmentasi dari sel dimana masing-masing fragmen berisi organelle dan
terbungkus oleh membrane yang utuh dan akan difagositosis oleh sel sekitarnya
atau macrophage (Kumar et al, 2008).
23
Saraf simpatis yang masih muda sangat bergantung pada trophic support
dibandingkan dengan saraf simpatis dewasa.Trophic support yang optimal dicapai
apabila kadar kalsium intrasellular rendah.
Kalsium homeostasis memunyai sistem modulasi yang kuat :
− bila kadar kalsium intrasellular meninggi, neuron memunyai
risiko apoptosis dan sangat bergantung pada trophic support;
− apabila kadar kalsium intrasellular intermediate maka kondisi sel untuk
bertahan hidup menjadi optimal dan kebutuhan sel untuk trophic
support menjadi minimal;
− apabila kadar kalsium intrasellular rendah maka neuron
mempunyai resiko terjadi sitotoksisitas dan nekrosis.
Efek neuroproteksi dapat terjadi apabila voltage dependent anion channels
dihambat, sehingga tidak terjadi penumpukan kalsium intrasellular (Gibbsons,
1993).

Gambar 3. Beberapa Cara Kematian Sel (Fink & Cookson, 2005) Apoptosis
Apoptosis juga berhubungan dengan kadar kalium di dalam sel.

Pada awal proses apoptosis terjadi peningkatan effluks kalium dari dalam sel.
Apabila kadar ion potassium dalam sel lebih rendah dari kadar fisiologis, maka
akan terjadi aktivasi caspase-3 yang akan menyebabkan apoptosis dimana
intensitas transformasi ini bergantung dari pada kadar kalium (Lee, 1998).

24
Ekspresi yang berlebihan dari Bcl-2 mencegah apoptosis dan nekrosis yang
berhubungan dengan proses perbaikan akibat kerusakan tanpa memperhatikan
mekanisme kerusakannya (Gibbsons, 1993).
Jaras antiapoptosis diaktivasi oleh:
- faktor neurotropik,
- beberapa sitokines, dan
- beberapa faktor stress.
Jaras proteksi ini antara lain adalah:
− aktivasi faktor transkripsi (seperti NF-κβ) yang menyebabkan
ekspresi stress protein, enzim antioksidan , inhibitor of apoptosis
proteins (IAPs)
− aktivasi ekstrasellular signal-regulated kinase (ERK)
− modulasi phosphorylation dari kanal-kanal ion dan transporter
membran
− perubahan sitoskeletal melalui modulasi kalsium
− modulasi protein yang menstabilasi fungsi mitochondria
(seperti.Bcl-2).

Telah diketahui bahwa sel dapat berkomunikasi satu dengan yang lain
secara transmisi sinyal melalui molekul sinyal (signaling molecule), yaitu
kelompok neurotransmitter dan neuropeptida yang mentransduksi sinyal ke dalam
sel melalui reseptor-reseptor pada membran sel. Jalur melalui sinyal yang berakhir
dengan apoptosis dikenal sebagai Death Pathways (Sugawara, 2004).
Manusia juga memiliki mekanisme untuk menjaga kelangsungan hidup sel
yang disebut mekanisme pertahanan endogen (endogenous defense mechanisms).
Mekanisme ini merupakan survival pathways untuk mempertahankan
kelangsungan hidup neuron ataupun sel-sel pada organ lain (Sugawara, 2004).
Rangkaian proses biokimiawi patologis terdiri atas:
− yang terpicu serentak (simultaneously),
− yang berurutan (sequential),
− yang saling berkaitan atau memengaruhi (cross-talk antar
sel/jalur),
− yang saling memperkuat dan membentuk positive feed back loop.

25
Semua proses ini walaupun berjalan secara individual, tetapmasing-
masing dapat berakibat fatal pada neuron (Blaine et al.2000).
Meningkatnya growth factor diperkirakan dapat mengaktifkan mekanisme
pertahanan endogen yang disertai dengan meningkatnya jumlah makrofag untuk
menfagositosis sel debris atau apoptotic bodies yang dihasilkan dari proses
apoptosis. Kematian sel akibat apoptosis tidak disertai dengan lisisnya sel
membran dan keluarnya isi sel sehingga tidak terjadi proses inflamasi. Jadi, hal ini
berbeda dengan kematian sel karena proses nekrosis (Gibbsons, 1993).
Dengan menggunakan metode terminal deoxynucleotidyl transferase -
mediated biotinylated deoxyuridine triphosphate nick end labeling (TUNEL),
berbagai sel dengan fragmentasi DNA yang luas terdeteksi pada daerah yang
berbeda di dalam otak (Katja et al, 2001). Ditemukan 2 tipe TUNEL-positif sel
yang tampak pada mikroskop electron, yaitu
− tipe I yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari necrotic cell
death
− tipe II yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi apoptotic cell
death yang klasik.
TUNEL-positif sel terdeteksi dalam 72 jam setelah cedera awal. Gel
electrophoresis dari ekstrak DNA pada daerah yang mengalami cedera berisi tipe I
dan tipe II. Gel tersebut dapat memperlihatkan fragmen internucleosomal dengan
interval 180-200 base pair,yaitu suatu ciri khas dari apoptotic cell death yang
sering disebut DNA laddering. Hal ini memberi kesan bahwa apoptosis dengan
necrotic cell death terjadi setelah cedera kepala, dan fragmentasi
internucleosomal DNA juga dapat berhubungan dengan beberapa tipe necrotic cell
death (Blaine, 2000).
Rendahnya pH saat induksi apoptosis cenderung menyebabkan
berkurangnya kematian sel akibat apoptosis.Neuron-neuron diproteksi pada pH
6.0-6.8.Terrlalu rendahnya pH (pH < 6,0) berhubungan dengan kejadian hipoksia
sehingga kematian sel yang seharusnya diakibatkan oleh apoptosis berubah
menjadi nekrosis.Sebaliknya, pH intermediate sekitar 6.8 cenderung
mengakibatkan berkurangnya apoptosis tanpa disertai nekrosis. Proapoptotik
protein seperti Bax meningkat pada gangguan transpor elektron, mitochondrial
permeability transitions (MPT), dan lepasnya sitokrom c dari mitokondria. Anti
apoptotik protein Bcl-2 berperan mencegah kematian sel dengan cara melindungi

26
fungsi dan struktur mitokondria. Sementara itu, pemberian inhibitor kaspase
tidak memberikan efek perlindungan jangka panjang pada sel parenkim
parenkim otak akibat cedera kepala (Blaine, 2000).

2.5 Apoptosis

Istilah apoptosis diperkenalkan oleh ilmuwan inggris Kerr, Wyllie, dan


Currie pada tahun 1972. Apoptosis berasal dari bahasa “Greek” yang artinya
falling off,seperti “gugurnya daun”, yaitu kematian sel yang terjadi melalui
fragmentasi menjadi apoptotic bodies yang kemudian difagositose oleh sel
phagocyte yang berdekatan. Pada tahun1964, Lokshin dan William
mempelajari proses kematian sel dan mengusulkan istilah programmed cell death
(PCD) (Alberts, 2002).
Pada tahun 1966, programmed cell death dinyatakan memerlukan sintesa
protein dari sel itu sendiri untuk proses kematiannya. Proses kematian sel akibat
apoptosis memunyai ciri khas berupa perubahan morfologi sel. Perubahan ini
termasuk sel yang mengisut, kondensasi kromatin, dan membran sel yang
membentuk tonjolan-tonjolan. Kemudian, sel tersebut akan mengalami
fragmentasi yang membentuk pecahan- pecahan sel atau apoptotic bodies yang
berada di sekitar sel tersebut. Fragmen-fragmen sel tersebut akan cepat
difagositosis oleh makrofag sebelum sel pecah dan menyebabkan kerusakan
pada jaringan (Alberts,2002).

Fragmen sel terbungkus oleh membran sel dan berisi organela yang
masih utuh. Sel akan kehilangan kontak interseluler yang normal. Jadi sel tidak
mengalami proses inflamasi karena tidak adanya bahan- bahan sitosolik yang
dilepas ke ruang interseluler. Proses ini memerlukan energi dalam bentuk ATP
(Hetts, 1997).
Sel apoptotik yang berlawanan dengan sel nekrosis tidak dijumpai
berdekatan satu dengan yang lain, tetapi tersendiri atau membuat satu kelompok-
kelompok sel yang kecil dan tersebar di seluruh jaringan yang terkena.
Karena apoptosis membutuhkan energi, maka bila dijumpai defisit energi
prosesnya akan beralih menjadi nekrosis (secondary necrosis). Sel- sel yang mati
dibuang dari jaringan melalui fagositosis yang terjadi pada jam jam pertama

27
setelah kematian. Jika kapasitas fagositosis terbatas sehingga sel apoptosis masih
terdapat dalam jaringan selama satu atau dua hari, maka membrannya akan
mengalami disintegrasi dan terjadi nekrosis sekunder (Yakolev, 2004).
Fragmentasi DNA terjadi sebagai hasil dari calcium-magnesium-
dependent endonuclease action. Endonuclease menyebabkan DNA terbelah
menjadi fragmen-fragmen dengan panjang rantai dari 50 sampai dengan 300 bp.
(Yakolev, 2004).
Teknik yang baik untuk menegaskan adanya apoptosis adalah
histochemical technique. Teknik ini tidak hanya mendata fragmentasi DNA,
tetapi juga mengidentifikasikan apoptosis bodies(Yakolev, 2004).
Apoptosis dapat terjadi tanpa sintesa protein. Pada cedera kepala terdapat
dua perbedaan tipe sel, yaitu:
− Sel-sel tipe 1 memperlihatkan susunan klasik nekrosis ( ini
terjadi pada cedera otak primer) ,dan
− Sel-sel tipe 2 memperlihatkan apoptosis klasik. (Rink A et al.1995;
Clark RS et al. 2000).

Mekanisme apoptosis terjadi melalui dua jalur, yaitu caspase- dependent


dan caspase-independent. Caspase-dependent pathway dapat melalui jalur
intrinsik yang dipicu oleh kegagalan metabolik mitokondria atau jalur ekstrinsik
yang dipicu oleh “reseptor kematian”, yaitu kelompok TNF reseptor. Caspase-
independent pathway dipicu oleh protein mitokondria seperti Apoptosis Inducing
Factor (AIF) yang keluar dari membran mitokondria akibat depolarisasi membran
luar mitokondria (Van Cruchten, 2002).
Sepertiga kematian sel berhubungan dengan caspase dependent apoptosis,
sepertiga yang lain caspase independen, dan sepertiga sisanya berhubungan
dengan nekrosis. Famili Bcl-2 mengatur kematian sel atau survival melalui
pengaturan permiabilitas membran luar mitokondria dan pembentukan membran
permeability transition protein (PTP). Sinyal apoptotik ditransduksi oleh reseptor-
reseptor ke dalam sel dan berjalan melalui jalur yang mengarah kepada proses
kematian sel yang disebut jalur kematian (death pathway). Di samping itu, ada
jalur yang berfungsi untuk mempertahankan hidup sel yang disebut survival
pathway (Van Cruchten, 2002).

28
2.5.1 Caspase-Dependent Apoptosis

Capase-Dependent apoptosis ini berjalan melalui jaras intrinsik dan


ekstrinsik.
a) Jalur Intrinsik
Pemicu apoptosis melalui jalur intrinsik adalah cell-stress yang merusak
fungsi mitokondria dan retikulum endoplasmik. Membran mitokondria
mengalami depolarisasi dan sitokrom c suatu enzim yang terletak di antara
membran dalam dan luar mitokondria akan keluar ke sitoplasma melalui suatu pori
yang disebut Mitochondrial Permeability Transition Pore (MPTP) (Dumas, 2001).
Selain cell stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan, infeksi
virus, dan hypoxia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang sehat dijumpai
ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar mitochondria. Bcl-2
mengelilingi/berbatasan dengan protein Apoptotic Protease Activating Factor-1
(APAF-1). Kerusakan dalam sel menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan
selanjutnya membuka MPTP yang melepaskan sitokrom c ke dalam cytosol.
Sitokrom c dan Apaf-1 akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks
sitokrom c, Apaf-1, caspase-9, dan ATP disebut apoptosome (Liu et al. 1996).

Gambar 4. Aktivasi Apoptosis dari Dalam Sel (Intrinsic Pathway) (Hillet al.2003)

Apoptosome mengaktifkan caspase 3. Rangkaian aktivasi dari caspase ini


akan membuat protein dalam sitoplasma dan DNA kromosom mengalami
degradasi (Fiskum, 2000; Kluck, 1997; Yang, 1997).

29
b) Extrinsic Pathway

Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu reseptor yang
tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor. Ligand yang dapat memicu
adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan TRAIL. Reseptor tersebut memunyai
bagian yang disebut:
− Fas Associated Death Domain (FADD),
− TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau
− Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)
− Receptor Interacting Protein (RIP).
Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang kemudian
merekrut pro-caspase 8 (precursor caspase 8) dan menjadikannya caspase 8 yang
aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan caspase 3 untuk mengeksekusi proses
selanjutnya. Caspase 8 dan 9 disebut initiator caspases atau upstream caspases
dan caspase 3, 6, dan 7 disebut executioner caspases atau down stream caspases
(Katja, 2001).

Reseptor Fas berikatan dengan Fas ligand (FasL), yaitu suatu protein
transmembran. Interaksi antara reseptor Fas dan FasL membentuk death-inducing
signaling complex (DISC) yang berisi FADD, caspase-8, dan caspase-10. Dalam
interaksi tersebut terdapat dua tipe aktivasi kaskade caspase, yaitu tipe I dan tipe
II. Tipe I yaitu dengan pengaktifan caspase-8 maka akan terjadi aktivasi
anggota lain dari caspase family yang berperan sebagai pencetus apoptosis. Tipe
II, yaitu ikatan Fas-DISC akan membentuk feedback loop untuk menambah
lepasnya faktor pro- apoptosis dari mitochondria dan memperkuat aktivasi
caspase-8. Fas diketahui memunyai dua jaras apoptosis.Daxx adalah suatu Fas
yang mampu menghambat Bcl-2. Jaras Fas yang lain adalah melalui ikatan FADD,
yang tidak menghambat Bcl-2 (Yang, 1997).

30
Gambar 5. Aktivasi Apoptosis dari Luar Sel (Extrinsic Pathway)
(Demedtset al, 2006).
Gambar 5 menunjukkan bahwa sinyal faktor ekstrasellular seperti hormon,
growth factor, nitric oxide, atau sitokin mengaktivasi apoptosis melalui jaras
ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah atau menghambat proses apoptosis.
(Mohamadet al, 2005). TNF adalah suatu sitokin utama yang diproduksi oleh
makrofag aktif dan merupakan mediator ekstrinsik

31
utama dari apoptosis.Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia memunyai dua
reseptor untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2.Ikatan terhadap reseptor TNF-R1
secara tidak langsung dapat mengaktivasi faktor transkripsi yang terlibat dengan
cell survival.

Gambar 6. Jaras Apoptosis Intrinsik dan Ekstrinsik (Crighton et al, 2004).

Gambar 6 menjelaskan mengenai hubungan jalur intrinsik dengan jalur


ekstrinsik. Homodimer pro-apoptotic Bax yang dibentuk pada membran luar
mitokondria diperlukan untuk membentuk saluran yang meningkatkan
permeabilitas membran mitochondria dan melepaskan aktivator caspase, seperti
cytochroma c dan SMAC (Secondary Mitochondrial Activator of Caspase).

c) Cross-talk

Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul kerjasama, misalnya


caspase 8 dapat membelah anggota famili Bcl-2 protein yang pro- apoptotik, yaitu
Bid. Bid yang terbelah ini (truncated Bid) bertranslokasi ke mitokondria dan

32
menyebabkan pelepasan sitokrom c dari mitokondria serta menimbulkan
perobahan konformasi pada Bax dan Bak (menyebabkan homo atau
heterodimerisasi) yang hasilnya juga dapat membocorkan sitokrom c. (Desagher et
al, 1999).
Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase lain
seperti caspase 2,6,8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9 menjadi caspase 9
yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur apoptotik melalui suatu positive
feed-back loop.

2.5.2 Caspase-Independent Apoptosis

Jalur ini tidak membutuhkan perantara caspase. Jalur ini


mempunyai mekanisme tersendiri menuju kematian sel. Yang berperan di sini
adalah molekul protein mitokondria, yaitu apoptosis inducing factor (AIF) dan
Endonuclease G.
Mitokondria masih memiliki beberapa jenis protein lainnya untuk
mencetuskan apoptosis antara lain HtrA2/Omi dan second mitochondrial activator
of caspases (Smac). Mitokondria juga memunyai senjata untuk mendukung
pengaruh faktor survival yang berfungsi menghentikan proses apoptotik, yaitu
inhibitors of Apoptosis Protein (IAP seperti celluar IAP-1,cIAP-2, X-
chromosome-linked IAP (XIAP) (Ulrich et al, 1999). HtrA2/Omi dan Smac
menghentikan aktifitas IAP dan mendukung terjadinya apoptosis. Bcl-2
dan Bcl-xL adalah oncoprotein yang bersifat antiapoptotik. Bcl-2 mampu
memblokir mobilisasi AIF melalui membran mitokondria dan juga berperan besar
pada jalur-jalur ekstrinsik dan intrinsik. Smac dan Htr2A/Omi memblokir kerja
IAP menghambat kerja XIAP sehingga mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini
menunjukkan bahwa mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel.

33
Gambar 7. Jaras Caspase Independent Apoptosis (Hoh et al, 2010)

Pada gambar 7, ditunjukkan jalur apoptosis yang caspase independen. Bila


sel mendapat rangsangan apoptotik (inhibisi proteinkinase, ekspresi berlebihan
oncoprotein yang pro-apoptotik atau obat sitostatika pada kemoterapi), AIF
bertranslokasi dari mitokondria ke nukleus dan mengakibatkan fragmentasi
nuclear DNA (Polster et al,2005).

Bcl-2 menghambat permiabilitas membran mitokondria. Apabila Bcl-2


diinhibisi maka, pori membran mitokoondria akan terbuka dan AIF bisa keluar ke
cytosol. (Van Cruchten, 2002).

2.6 Bcl-2 Family Protein

34
Bcl-2 family protein memiliki Bcl-2 homology (BH) domain. Pada struktur
protein ini anggotanya ada yang anti-apoptotik, yaitu Bcl-2, Bcl- xL, Bcl-W,
Mcl-1, dan A1 (memiliki domain BH1, BH2, BH3, dan BH4) dan yang pro-
apoptotik, yaitu Bax, Bak, dan Bok (memiliki domain BH1, BH2, dan BH3) ; serta
Bad, Bid, Bim, dan Bik (hanya memiliki BH3 domain saja) yang disebut : BH3-
only proteins. Kompleks dari domain BH3 seperti Bax, Bid (tBid), dan Bad
menfasilitasi pelepasan sitokrom c melalui kapasitas pembentukan pori oleh
BH3-only proteins yang berdimerisasi. Protein- protein pro-survival seperti
Bcl-2, Bcl-xl, dan mcl-1 mampu mencegah keluarnya protein mitokondria,
seperti sitokrom c, endonuclease G, dan AIF melalui pori tersebut

Gambar 8. Famili Bcl-2 yang Anti-apoptotik dan Pro-apoptotik

Sebagai contoh, bila tidak ada faktor survival, maka BH3-only protein
akan mengikat dan menggeser Bcl-2 dan/atau Bcl-xl pada membran luar
mitokondria. Dengan adanya faktor survival maka terjadi aktivasi seri kinase.
Kemudian BAD mengalami phosphorilasi dan memisahkan diri dari Bcl-2
dan/atau Bcl-xl yang memberikan survival (Van Cruchtenet al, 2002; Zha et al,
1996). Heterodimerisasi dari kelompok protein BH3 (Chittenden et al, 1995)
tidak diperlukan untuk pro-survival, tetapi diperlukan untuk pro apoptosis.
Domain transmembran (Tm) dari protein Bcl-2 family terlibat dalam survival dan
35
kematian sel yang diperantarai mitochondria (Graham et al, 2000). Semua anggota
Bcl-2 family memunyai domain Tm kecuali Bid.
Aktivasi famili Bcl-2 protein terjadi melalui carboxy terminal hydrophobic
domain yang melekat pada membran luar mitochondria. Dari membran luar ke
dalam, terdapat lobang Permiabilitas Transisi (PT). Lobang PT memunyai mega
channels dengan diameter <2nm yang dapat dilewatiion-ion Reactive Oxygen
Species (ROS), tetapi bukan molekul besar (sitokrom c, ATP, AIF) yang
diperlukan untuk induksi apoptosis (Wagner, 2005).

Gambar 9. The Intrinsic Mitochondrial Apoptosis Pathway (Serotech)

Melalui gambar 9 ditampilkan jalur apoptosis melalui mitokondria dengan


pelepasan sitokrom C yang melalui serangkaian reaksi membentuk
apoptosome yang akan mengaktifkan caspase 3.
Posisi normal kromosom Bcl-2 adalah pada 18q21 (Tsujimoto,1984).
Bcl-2 di encode oleh suatu gen 230kb yang menghasilkan protein22-26 kDa. Bcl-2
memunyai sekitar 239 asam amino. Gen Bcl-2 memunyai tiga exon dimana yang
pertama tidak ditranslasikan. Gen Bcl-2 mempunyai 2 regio promotor yang potensial
yaitu P1 yang kaya GC dengan SP1 multipel (suatu sekuensi spesifik dengan protein
36
pengikat DNA yang penting pada fase transkripsi) dan lebih dominan digunakan.
Sedangkan P2 yang memiliki TATA dan CAAT-box yang klasik dan motif SV40
decamer/Ig octamer yang penggunaan ini lebih minimal.Bcl-2 family memunyai
struktur umum yang terdiri atas suatu hydrophobic helix yang dikelilingi oleh tujuh
amphipathic helices (Duan et al, 2005).

Gambar 10. Struktur Bcl-2 (Riley, 2009)

Pada gambar 10 ditunjukkan gambaran 3 dimensi Bcl-2.Bad diaktifkan


oleh Calcineurin yang terpicu oleh konsentrasi Ca++ intraseluler yang
meningkat (kaitan dengan eksitotoksisitas). Bad akan berikatan dengan Bcl-2
dan Bcl-xL dan menyebabkan inhibisi terhadap efek anti-apoptosis IAP, dua
protein proapoptotik lainnya yaitu Bax dan Bak dapat aktif dan menyebabkan
pelepasan sitokrom c dari mitokondria. Melalui mekanisme inilah Bad dapat
memicu terjadinya apoptosis yaitu dengan menghambat efek perlindungan dari
Bcl-2 dan Bcl-cL. Bad yang bebas dapat dinonaktifkan melalui proses fosforilasi.
Bad yang telah difosforilasi akan diikat oleh chaperone protein dimana salah
satunya adalah protein 14-3-3 (Desagher et al, 2000).
Konsentrasi Bcl-2 (U/mL) telah dianalisis pada cedera otak. Dengan
pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) diperoleh bahwa
puncak konsentrasi Bcl-2 adalah pada hari ke-3 dan ke-4 setelah trauma (Lee et al,
2004; Xiong et al, 2001).
Konsentrasi Bcl-2 lebih tinggi pada wanita daripada laki-laki karena
pengaruh estrogen (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000 ; Zhang et al,2004)
dan Bcl-2 lebih berperan sebagai neuroprotektor pada wanita. Estrogen juga
terdapat pada laki-laki sebagai testosteron yang dirubah menjadi estradiol pada
37
otak. Estrogen memunyai efek neuroproteksi dengan cara mempertahankan CBF,
memiliki sifat antioxidant, menghalangi cedera excitotoxic, dan mempromosikan
produksi growth factor (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000).

2.7 Polimorfisme Gen Bcl-2

Berdasarkan penelitian dari Hoh dan kawan-kawan (2010), yang

memeriksa hubungan antara variasi genetik pada gen Bcl-2 dengan hasil akhir

cedera kepala, ternyata terdapat hubungan antara genotip Bcl-2dan fungsi global

setelah cedera kepala. Penggunaan tagging single nucleotide polymorphisms

(tSNP) untuk Bcl-2menunjukan karakteristik seluruh variasi genetik di dalam dan

sekeliling gen serta kumpulan polimorfisme di dalam gen secara efisien.

Berdasarkan data Hapmap dijumpai 20 tSNP untuk gen Bcl-2dengan minor allele

frequency (MAF) ≥

30% dan r2 ≥ 0,8 yaitu rs1026825, rs12454712, rs12968517, rs1381548,

rs1481031, rs17756073, rs17759659, rs1801018, rs1944419, rs3810027,

rs4456611, rs4941185, rs7230970, rs7236090, rs8083946, rs899968,

rs949037, rs7231914, rs8089538, dan rs2850762 (gambar 23).

Gambar 11. Gen Bcl-2dengan tSNP pada Kromosom 18q21(Hoh et al,

38
2010).

Berdasarkan analisis multivariat diperoleh bahwa ada empat tSNP yang

signifikan berpengaruh pada hasil akhir klinis setelah cedera kepala, yaitu

rs17759659, rs1801018, rs7236090 dan rs949037.Pada penelitian ini dicari

hubungan antara polimorfism gen Bcl-2(rs17759659, rs1801018, rs7236090 dan

rs949037) dengan Glasgow Outcomes Scale (GOS) dan Disability Rating Scale

(DRS). Kematian dan Neurobehavioral Rating Scale-Revised (NRS-R) pada

cedera kepala berat yang dianalisis pada bulan ke 3, 6, 12 dan 24 (Hoh et al,

2010).Dari hasil penelitian diperoleh bahwa alell variant untuk rs17759659 dan

rs1801018 berhungan dengan hasil yang lebih jelek (GOS dan DRS), tingkat

kematian yang lebih tinggi, dan NRS-R yang jelek. Sebaliknya, homozigot alell

wild-type untuk rs7236090 dan varian homozigot dari rs949037 berhubungan

dengan hasil yang lebih baik (GOS dan DRS). Hasil data ini mendukung

kemungkinan bahwa polimorfisme genetik pada gen Bcl-2memengaruhi hasil

akhir setelah cedera kepala berat (Hoh et al, 2010).

2.8 Polimorfisme Genetik

Pada manusia gen BDNF terletak pada kromosom 11. Allel Val66Met

(rs6265) adalah suatu single polymorphism nucleotide dalam gen yang

menyebabkan adenine dan guanine allel. Hasil dalam variasi antara valine dan

methionine ada pada codon 66 (Bath et al,2006).

Polimorfisme genetik adalah perbedaan dalam urutan DNA di antara

individu, kelompok, dan populasi. Akibat dari Single Nucleotide

Polymorphisms (SNPs), pengulangan urutan, insersi, delesi, dan rekombinasi.

Polimorfisme genetik dapat disebabkan oleh faktor kebetulan (mutasi) atau faktor

eksternal (seperti virus atau radiasi) (Purohit, 2009).


39
Dalam Mendel’s Principles of Heredity karangan William Bateson (1902),

digunakan istilah allelomorph untuk menggambarkan adanya alelleyang terbentuk

akibat variasi pada urutan basa nitrogen. Variasi tersebut merupakan akibat

peristiwa mutasi yang diikuti oleh aksi evolusi, seperti seleksi alam atau drift yang

akan menyebarkan alelle mutan ke dalam populasi. Lokus telah dideskripsikan

menjadi polimorfik dan monomorfik dengan memperhatikan adanya variasi alelle

dalam suatu populasi. Sebuah definisi yang praktis dan berguna menyebutkan

bahwa lokus polimorfik adalah suatu keadaan ketika ada dua atau lebih alelle

yang membentuk populasi yang sama dan alelle yang paling umum memiliki

frekuensi kesamaan sekitar 99% atau kurang (Harris, 1980).

Individu dengan alelle yang sama pada suatu lokus akan disebut genotipe

homozigot, yang berbeda disebut genotipe heterozigot. Fenotipe yang

diekspresikan menimbulkan perbedaan klinis antar-individu dalam suatu populasi.

Alelle dengan frekuensi yang kurang dari 1% disebut sebagai varian langka dan

alelle yang memiliki frekuensi varian yang lebih tinggi disebut polimorfik. Hal ini

menunjukkan bahwa sekitar 2% dari populasi akan menjadi heterozigot pada lokus

polimorfik (Harris, 1980; Fisher, 1930).

Selain itu, telah diketahui bahwa kurang dari 5% dari genom manusia

merupakan coding DNA dan sebagian besar polimorfisme genetik terjadi pada

area non-coding DNA yang merupakan area yang relatif tidak memiliki

kemaknaan klinis (Fisher, 1930).

2.9 Autofagositosis

Istilah autofagi yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti to eat oneself

merupakan proses self-cannibalization melalui jaras degradasi lysosomal. Konsep

ini telah dievaluasi dengan menggunakan sel-sel dan organisme yang defisiensi

gen autofagi, dimana hasilnya menunjukkan bahwa sel-sel dengan apoptotic


40
machinery dan mekanisme autofagi yang intak lebih mampu bertahan hidup

(Todde, 2009).

Secara umum, terdapat hubungan antara autofagi dengan apoptosis

secara tidak langsung. Autofagi merupakan regulasi homeostasis, yaitu proses

dinamik intrasel yang mendaur ulang protein dan organella yang tua (Todde,

2009; Singh et al, 2009).

Rangsangan klasik autofagi adalah kelaparan atau kekurangan nutrisi.

Protein-protein yang meregulasi dan menginduksi autofagi antara lain adalah

autophagyassociated protein 4 (Atg4), Beclin-1 (Atg6), Atg7, microtubule-

associated protein light chain-3 (MAP-LC3/Atg 8), Atg12, dan Atg5 (Klionky,

2008).

Laporan pertama kali yang disampaikan oleh Diskin et al pada tahun

2005 menyatakan bahwa cedera otak mungkin menstimulasi autofagi. Protein-

protein yang terlibat pada cedera otak adalah Beclin-

1(Atg6) yang melalui domain BH-3nya berinteraksi dengan Bcl-2 dan kemudian

dapat menyebabkan lebih banyak Beclin-1 bebas yang menstimulasi terjadinya

autofagi. Pada keadaan homeostasis interaksi Beclin-1(Atg6) dan Bcl-2 berguna

untuk memperbaiki sel dan mengurangi komponen dalam sel yang

mengalami kerusakan (Diskin et al, 2005).Selain Beclin-1, protein MAP-

LC3(Atg 8) dan LC3 lipidation/LC3 shift juga terlibat pada cedera otak (Kuono

et al, 2005).

Pada apoptosis klasik terjadi pengerutan elemen sitoskeletal dimulai

dari awal periode, sedangkan organella tetap baik sampai proses akhir. Sebaliknya,

pada autophagi terdapat degradasi organel pada awal proses, elemen sitoskeletal

41
tetap baik sampai akhir periode. Baik apoptosis maupun autofagi adalah proses

kematian sel yang tidak disertai reaksi inflamasi (Schweichel, 1973)

Gambar 12 : Perbedaan Kematian Sel Apoptosis dan Autofagi (Levine,


2005).

Seperti pada gambar 12, autofagi dan apoptosis memiliki morfologi yang

berbeda dalam proses kematian. Mekanisme penghambatan kematian sel melaui

autofagi yaitu dengan aktivasi RNA interference. RNA interference (RNAi) yang

aktif akan menghambat 3 gen autofagi yaitu atg5, atg7, dan becline 1 (Mills et

al, 2004).

Gambar 13: Peranan Autofagi setelah TBI (Mills et al, 2004)

Seperti yang ditunjuk pada gambar 13, terdapat peranan autofagi dalam

kontusio serebri, yaitu proses degradasi protein oleh proteosom. Antara autofagi

dan apoptosis terdapat cross-talkmelalui ekstrinsik apoptosis pathway dan Tumor


42
necrosis factor Related Apoptosis-Inducing Ligand (TRAIL) (Jia et al, 1997; Mills

et al, 2004; Thorburn et al, 2005; Prins, 1998).

2.10 Nekrosis

Nekrosis berasal dari bahasa Yunani yang artinya mati.Pengertian nekrosis

dalam hal ini adalah kematian sel yang dini akibat dari faktor eksternal, seperti

trauma, toxin, atau infeksi. Proses apoptosis yang terjadi mempunyai manfaat

terhadap organisme. Sebaliknya, proses nekrosis merusak struktur (membran sel

pecah dan isi sel tumpah) dan fungsi suatu jaringan (Van Cruchten, 2002).

Nekrosis terjadi dalam kondisi akut akibat lesi non-fisiologik, misalnya di

daerah inti-nekrotik, daerah yang mengalami toksisitas, akibat gangguan

metabolisme seluler sehingga sel tidak dapat mempertahankan homeostatik ion-

nya. Sel-sel nekrotik akan mengalami pembengkakan sel yang kemudian lisis dan

melepaskan isi sitoplasma ke dalam ruang interseluler dan selanjutnya merangsang

terjadinya proses inflamasi. Nekrosis tidak terlihat pada perkembangan sel normal,

tetapi sebagai respon terhadap trauma atau toksin.Proses nekrosis tidak

membutuhkan energi dalam bentuk ATP (Van Cruchten, 2002).

Nekrosis hanya bisa dicegah dengan menyingkirkan factor patogenik.


++
Nekrosis didahului oleh gangguan homeostasis ion seperti a.l Ca ,Na+dan K+,
dimana defisit energi menyebabkan gagalnya ion exchanger dan ion pumps,
Na+ masuk kedalam sel dan K+ keluar dari sel, terjadi depolarisasi membrane sel
dan aktifasi Voltage Dependent Anion Channels (VDAC), Ca++ masuk dalam
jumlah besar, air akan ikut Na+masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan
akhirnya pecah. Adanya defisit energi dan gangguan autolisis akan menyebabkan
pecahnya membran sel. Isi sel yang berisi enzim dan organela akan masuk ke
ruang ekstraseluler dan menimbulkan reaksi inflamasi. Influx Ca++ yang besar akan
memicu enzim lipase, protease dan endonuclease dan menimbulkan peroksidasi
lipid pada dinding sel dan kerusakan membrane. NO yang dibentuk iNOS (inducible

43
Nitic Oxide Synyhase) bereaksi dengan radikal bebas yang dilepas Mitochondria dan
Endoplasmic Reticulum akibat terpicu influx Ca++ akan membentuk peroxynitrit,
radikal bebas yang daya rusaknya sangat besar, bila peroxynitrit bertemu dengan ion
Fe dari ferritin, peroksidasi akan berlipat ganda (White, 2000) Endonuclease G akan
menimbulkan kerusakan DNA pada inti sel dan memicu apoptosis. Walaupun
prosesnya sama-sama dipicu kalsium, proses nekrosis terjadi dalam beberapa menit,
sedangkan apoptosis baru terjadi setelah beberapa jam dan bisa
berlangsungberharihari hingga beberapa minggu (Haque, 2004; White,
2000; Ulrich, 1999).

2.11 Struktur BDNF

BDNF merupakan suatu protein dasar yang berukuran 27 kDa yang

berikatan secara nonkovalen terhadap subunit yang berukuran 13,5 kDa, yang

berikatan dengan nerve growth factor. BDNF dihasilkan oleh sel glia pada

susunan saraf pusat (Robinson et al, 1999).

BDNF merupakan neurotropin yang terbanyak pada otak dan sangat

penting dalam kelangsungan hidup neuron selama perkembangan dan integrasi

neuron pada otak orang dewasa.BDNF juga terlibat dalam plastisitas sinaps,

diferensiasi neuron dan daya tahan neuron.BDNF juga diekspresikan pada hati,

otot skeletal, dan berperan pada perkembangan sistem kardiovaskular.BDNF

dalam darah terutama disimpan dalam trombosit dan hanya fraksi kecil saja

yang tersimpan di dalam plasma. Kadar BDNF dalam serum dapat ditentukan

dengan menggunakan ELISA (Klein, 2011).

44
Gambar 14. Struktur Brain-derived Neurotrophic factor (Robinson et al,

1999)

Observasi dari penurunan kadar BDNF pada pasien dengan gangguan

neuropsikiatri telah menjadikan BDNF sebagai suatu biomarker yang potensial.

Namun, sejauh ini belum ada studi langsung yang membandingkan kadar BDNF

dalam serum dengan kadar BDNF pada otak (Klein, 2011).

BDNF merupakan anggota dari neurotrophin family dari growth factor,

yang berhubungan dengan NGF. Dalam otak, BDNF aktif pada hippocampus,

cortex, dan basal forebrain yaitu daerah vital untuk memori, belajar serta untuk

berpikir lebih tinggi. BDNF sendiri penting untuk penyimpanan ingatan jangka

panjang (Bekinschtein et al, 2008). BDNF sebenarnya terdapat dalam berbagai

jaringan dan sel, yaitu pada retina, CNS, neuron motor, ginjal, dan prostat, serta

saliva manusia. Konsentrasi BDNF paling tinggi pada hippocampus

dankorteks serebral (Mandel,

2009).

BDNF merupakan faktor neurotropik spesifik kedua setelah NGF.

Walaupun mayoritas utama dari neuron otak mammalian dibentuk

prenatal, tetapi sebagian otak dewasa menyimpan kemampuan untuk

menumbuhkan neuron baru dari stem cells neural dimana proses ini dikenal

sebagai neurogenesis. Neurotrophin merupakan senyawa kimia yang merangsang

dan mengontrol neurogenesis. BDNF merupakan salah satu dari neurotrophin


45
yang aktif. Tikus yang baru lahir tanpa kemampuan membentuk BDNF akan

menderita defek perkembangan otak dan sistem sel saraf sensori. Biasanya tikus

tersebut akan mati segera setelah lahir.

Gambar 15. Proses Signaling dalam Persarafan (Choi-Lundberg et al,1997)


Gambar 15 menunjukkan perkembangan dalam otak.Faktor neurotrophik

dilepas oleh neuron atau sel pendukung, seperti astrosit dan berikatan dengan

reseptor neuron yang di dekatnya.Ikatan ini menghasilkan sinyal yang dikirim ke

nukleus dari neuron yang menerimanya.Hasilnya yaitu terjadi peningkatan sintesa

protein yang berhubungan dengan survival dan fungsi neuron. (Choi-Lundberg

et al,

1997).

46
BDNF berikatan dengan dua reseptor yang terletak pada

permukaan sel. TrkB (“Tyrosine kinase B”) dan p75 yang merupakan Low- affinity

nerve growth factor receptor (LNGFR) untuk BDNF.BDNF juga dapat

memodulasi aktivitas dari berbagai reseptor neurotransmitter, termasuk alpha-7

nicotine receptor. TrkB adalah suatu reseptor tyrosine kinase yang dapat

memfosforilasi tyrosine dalam sel dan mengaktifkan sinyalintra-sellular. Faktor

neurotropik lain yang berhubungan dengan BDNF, adalah NGF, NT-3

(neurotrophin-3), dan NT-4 (neurotrophin-4). TrkB memediasi efek BDNF dan

NT-4, TrkA mengikat NGF, dan TrkC mengikat NT-3. NT-3 dapat berikatan

dengan TrkA dan TrkB, walaupun afinitasnya rendah (Patapoutian, 2001).

Reseptor BDNF yang lain, yaitu p75 memiliki peranyang kini masih

kurang jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa p75NTR berfungsi

sebagai suatu sink untuk neurotrophin. Sel-sel yang mengekspresi p75NTR dan

reseptor Trk memunyai aktivitas yang lebih besar karena memunyai

microkonsentrasi neuroptrophin yang lebih besar. P75NTR dapat memicu

apoptosis apabila sel tersebut tidak memiliki reseptor Trk. BDNF diproduksi

di endoplasmic reticulum dan diekspresikan melalui dense-core vesicle setelah

berikatan dengan reseptor carboxypeptidase E (CPE). Kerusakan ikatan ini dapat

menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk mengekspresikan BDNF melalui

dense-core vesicle (Fernandes, 2008).

2.12 Polimorfisme Gen BDNF

BDNF memiliki peranan penting pada kognisi, terutama harapan hidup

neural dan plastisitas. Terdapat beberapa polimorfisme SNPs di- dalam gen BDNF

yaitu rs1519480, rs7124442, rs6265, rs7934165, rs11030121, rs12273363 dan

rs908867. Salah satunya SNPs yaitu rs6265 yang berhubungan dengan kognisi
47
setelah cedera kepala. Berdasarkan penelitian, rs6265 memperlambat proses

perbaikkan kognitif. Selain rs6265 terdapat juga polimorfisme lain yang

berkontribusi dalam fungsi memori setelah cedera kepala. Terdapat 2 SNP yaitu

rs1519480 dan rs7124442yang secara signifikan berhubungan dengan perbaikan

fungsi kongnitif setelah cedera kepala yaitu menginduksi plastisitas (Rostami et

al, 2011).

2.13 Plastisitas Otak

Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak untuk melakukan

reorganisasi dalam bentuk interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan

kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional.

Mekanisme ini termasuk proses neurogenesis angiogenesis, gliagenesis and

synaptogenesis, dan melibatkan perubahan kimia saraf (neurochemical),

penerimaan saraf (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi

otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan

sistem saraf (Ganong, 2002).

Plastisitas otak berlangsung seumur hidup dengan kecepatan maksimal

pada beberapa tahun pertama kehidupan. Plastisitas ini juga lebih tinggi pada

beberapa bagian otak dibandingkan dengan bagian otak yang lain. Hal ini

menjelaskan bahwa anak mampu pulih dari cedera kepala jauh lebih cepat dan

lebih baik.Plastisitas otak tidak terbatas pada keadaan yang tidak direncanakan,

seperti kecelakaan, trauma otak, dan kasus penting lain yang memerlukan rewiring

untuk membangun kembali hubungan fungsional (Ganong, 2002).

2.14 Neuroproteksi

48
Secara historis konsep neuroproteksi sudah dikenal dan dipakai oleh

praktisi kedokteran Yunani kuno dengan menggunakan ”pendinginan” untuk

mengobati cedera otak dan stroke. Hipotermia kembali berperan seiring dengan

kemajuan pada bidang bedah saraf sejak tahun 1960. Penelitian tahun 1990

menunjukkan hasil percobaan preklinis yang mengesankan dimana kerusakan

jaringan otak dapat dikurangi secara bermakna.

Neuroproteksi bertujuan menyelamatkan sebanyak mungkin

neuron akibat cedera kepala, meminimalkan defisit neurologis dan

tentunya selain menyelamatkan nyawa pasien juga memaksimalkan

kwalitas hidupnya pasca cedera.

Konsep neuroproteksi terutama didukung dan lahir dari penelitian patologi

dan patofisiologi cedera otak iskemi (Cheng, 2004), yaitu bila terjadi penghentian

pasokan oksigen dan glukosa yang tiba-tiba ke jaringan otak, maka akan

terjadi serangkaian reaksi beruntun atau cascade patologis. Jenis neuroproteksi

yang digunakan berdasarkan mekanisme kerja obat tersebut dalam mencegah

infark otak. Neuroproteksi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu neuroproteksi

primer dan neuroproteksi sekunder .

Neuroproteksi primer bertujuan untuk mencegah kematian sel nekrotik

pada awal kejadian cedera kepala sehingga pemberian neuroproteksi primer harus

pada tiga jam pertama setelah kejadian cedera kepala. Beberapa senyawa yang

berperan dalam neuroproteksi primer adalah potential-dependent calcium-channel

antagonists, inhibitors of synthesis and presynaptic release of Glutamate, GABA

antagonists, dan golongan glycine serta glutamate receptor antagonists seperti

NMDA receptor antagonist non-competitive, NMDA receptor antagonist selective,

dan Polyamines.

49
Neuroproteksi sekunder bertujuan menghambat pro-inflammatory

cytokines, adhesi sel, pro-oxidant enzymes, menambah trophic support, dan

mencegah apoptosis, dimana ini mulai diberikan dalam 3-6 jam pertama dan

dilanjutkan selama 7 hari. Senyawa-senyawa yang merupakan neuroproteksi

sekunder adalah free radical scavenger, NO-synthese blockers, inhibitors of

local inflammation, statin, estrogens, neurotrophic factors, neuropeptide:

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10., regulators of receptors structure .

2.14.1. Neuropeptida

Neuromodulator yang telah digunakan secara klinis dengan efek

neuroprotektif yang terdokumentasi adalah senyawa ACTH 4-10 Pro8-Gly9- Pro10.

Setelah pemberian intranasal, 60-70% ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 akan

diabsorpsi secara cepat melalui membran mukosa nasofaring dan masuk ke dalam

sistem sirkulasi dalam waktu 1-5 menit. Konsentrasi puncaknya dicapai setelah 60

menit pemberian. Biotransformasi dilakukan oleh aminopeptidase dan angiotensin

converting enzyme. Waktu paruh obat ini dalam tubuh manusia hanya beberapa

menit, tetapi efek terapi dapat bertahan selama 20-24 jam. Hal ini disebabkan oleh

senyawa yang terbentuk setelah degradasi MEHFPGP, yaitu EHFPGP (Glu-His-

Phe-Pro- Gly-Pro) dan HFPGP (His-Phe-Pro-Gly-Pro), juga merupakan

neuropeptida yang stabil yang dapat memodulasi neurotransmitter cholinergic dan

membentuk NO secara independen. Senyawa ini diekskresikan melalui ginjal dan

dibuang melalui urin (Gusev dan Skvortsova,2003; Husada, 2006; Bashkatova,

2001)
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat melindungi sel-sel neuron dengan

menghambat apoptosis melalui mekanisme penghambatan produksi NO yang

berlebihan oleh iNOSdan pembentukan SOD yang berfungsi mencegah efek

50
merusak dari ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu radikal bebas oksigen,

menghambat runtun reaksi kaspase dengan meningkatkan protein ant-apoptotik

Bcl-2 dan meningkatkan kadar NGF dan BDNF di serum maupun CSF.

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ini telah terbukti mampu memicu secara cepat

produksi mRNA growth factors yang bersifat melindungi sel otak, antara lain

Nerve Growth Factor (NGF) dan BDNF (Shadrina M, 2000).ACTH 4-10

Pro8-Gly9-Pro10juga dapat menurunkan High Mobility Group Box-1 (HMGB-1)

(Fink, 2007).

Pada sel-sel yang mengalami iskemia ataupun nekrosis, HMGBI akan

terekspresi dan merangsang ekskresi IL-1, IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α atau

lipopolisakarida (LPS). Sitokin-sitokin tersebut dapat merangsang kembali

produksi HMGBI. ACTH4-10Pro8-Gly9-Pro10 memunyai kerja multipotensial

dan bekerja melalui reseptor melanocortin (MC4) untuk menjalankan fungsi

modulatorisnya (Fink, 2007; Jung BK, 2006).

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ini dapat meregulasi aktivasi dan inhibisi

reseptor NMDA (glutamat, aspartat, glisin dan taurin) yang ada pada sistem

saraf sentral dan saraf perifer. Senyawa ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ditemukan

juga memiliki potensi untuk memelihara keseimbangan dinamis antara kadar

serotonin dan dopamin pada satu sisi dan kadar dopamin dan asetilkolin pada

sisi yang lain, sehingga dapat memperbaiki kondisi gangguan psikis, emosional,

kognitif, dan gangguan vegetatif. Substansi ini juga dapat meregulasi kardiak

output dan laju respirasi serta dapat mempercepat proses adaptasi yang dapat

meningkatkan daya tahan tubuh. ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat menurunkan

51
sitokin proinflamasi, seperti IL-8, IL1β, dan apoptosis (Fink, 2007; Jung BK,

2006).

Uji klinis double blind, placebo-controlledterhadap 160 pasien

dengan stroke iskemia carotid akut denganACTH 4-10 Pro8-Gly9-

Pro10menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 76,6% pada cedera kepala

sedang dan ringan serta 77,3% pada cedera kepala berat. Setelah pemberian

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 terjadi peningkatan Bcl-2 sebanyak dua puluh kali

lipat dalam CSF pada hari ketiga dan serum pada hari ketujuh. Pada hari

ketiga TGF-1β meningkat sebesar 30%, NGF naik 18,2%, dan BDNF naik

50%. Kadar SOD (Superoxide Dismutase) naik 100% dan IL-10 (antiinflamasi)

meningkat 60% yang diikuti dengan penurunan IL-8 dan IL-1β (proinflamasi)

masing-masing sebesar 62% dan 25%. Dari data-data di atas tampak bahwa

ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 bekerja melalui modulasi positif mekanisme

Survival Pathways dan modulasi negative Death Pathways secara serentak

(Gusev dan Skvortsova, 2003; Husada, 2006).

52
BAB III
KESIMPULAN

Pada cedera kepala akan terjadi kerusakan sel (sel debris). Adanya kerusakan sel
tersebut akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag yang memfagositosis sel debris
tersebut akan menjadi aktif dan melepaskan beberapa sitokin antara lain: IL-6, TNF-α, IL-
8, IL-1. IL-6 dan TNF-α, dan akan menginduksi sumsum tulang untuk pembentukan
leukosit (eukositosis), sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrophil chemotactic factor
(NCF), sehingga neutrofil migrasi ke perifer. Selain itu, TNF-α menginduksi endotel untuk
mengeskpresikan E-selektin, yaitu dalam molekul adesi terhadap eosinofil. Sedangkan IL-1
berperan untuk menginduksi endotel dan mengekspresikan VCAM yang merupakan
molekul adesi terhadap monosit. Adanya kedua molekul tersebut mengakibatkan neutrofil
dan monosit menempel pada permukaan endotel. Selanjutnya, sel tersebut melepaskan suatu
enzim yaitu myeloperoksidase, yang menginduksi pelepasan ROS/MDA. Adanya trombosis
dan ROS/MDA tersebut mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler pada otak dan akhirnya
mengakibatkan terjadinya iskemia. Iskemia tersebut akan mengakibatkan gangguan pompa
sodium pada astrosit, sehingga astrosit mengalami swelling (pembengkakan). Selanjutnya,
peran IL-1 pada inflamasi (cedera kepala), selain menginduksi endotel pada vaskuler untuk
mengekspresikan E-selektin juga menginduksi endotel untuk mengekresikan VEGF, yang
menginduksi astrosit untuk mensekresi AQP-4. Aquaporin ini berperan untuk menginduksi
dinding vaskuler dan untuk memfasilitasi air masuk ke area interstitial pada jaringan otak
sehingga terjadi peningkatan kadar air padaarea interstitial.
Adanya swelling (pembengkakan) sel-sel pada otak akibat iskemia dan peningkatan
kadar air pada area interstitial maka terjadilah perluasan volume otak yang kemudian
dikenal sebagai edema otak. Adanya edema otak akan mengakibatkan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang sangat berbahaya bagi penderita. Untuk mengatasi hal te rsebut
dilakukan dengan pemberian Melatonin. Melatonin ini bekerja menghambat
myeloperoksidase. Bila enzim ini dihambat, maka tidak akan terjadi pembentukan
ROS/MDA sehingga kerusakan jaringan pun tidak terjadi. Oleh karena itu, iskemik dapat
dikurangi. Bila iskemik tidak terjadi,pompa sodium dapat berjalan dengan baik sehingga
astrosit tidak mengalami pembengkakan. Selain menghambat myeloperoksidase, Melatonin
juga bekerja menghambat VEGF. Adanya hambatan VEGF tersebut maka astrosit tidak
terinduksi untuk melepaskan AQP-4 sehingga H2O tidak masuk ke cairan interstitial dan
akhirnya edema otak dapat diatasi.

53
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhimarta Willy, Islam A. Inflammation Process And Glukoneogenesis Process


At Severe Head Injury. The Indonesian Journal of Medical Science. VOL 1 ;
2009
2. Mayer, Cynthia L., Bertrand R. Huber, and Elaine Peskind. “Traumatic Brain
Injury, Neuroinflammation, and Post-Traumatic Headaches.” Headache 53.9
(2013): 1523–1530. PMC. Web. 8 Dec. 2017.
3. Whalen MJ. “Molecular Biology of Brain Injury.” London : Springger. 2009
4. Islam, O., Gong, X., Rose-John, S., and Heese, K.. Interleukin-6 and neural
stemcells: more than gliogenesis. Mol. Biol. Cell 20, 188–199. 2009
5. Marmarou, A.; Foda, M.A.; van den Brink, W.; Campbell, J.; Kita, H.;
Demetriadou, K. A new model of diffuse brain injury in rats. Part I:
Pathophysiology and biomechanics. J. Neurosurg. 1994, 80, 291–300.
[CrossRef] [PubMed]
6. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Neurotrauma; neurophatology of
head injury, emergency room management of the head injured patient. USA: Mc
Graw Hill;1996.
7. Ganong WF. Fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC; 2002
8. Arent AM. Perspectives on Molecular Biomarkers of Oxidative Stress and
Antioxidant Strategies in Traumatic Brain Injury. Volume x; 1-18 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2014/723060 Hindawi Publishing Corporation BioMed
Research International. 2014
9. Veenith T, Goon S, Burnstein R, et al. Molecular mechanisms of traumatic
brain injury. 4:7 doi:10.1186/1749-7922-4-7. World Journal of Emergency
Surgery. 2009
10. Nizamutdinov Damir, Shapiro Lee A. Overview of Traumatic Brain Injury:An
Immunological Context. Brain Sci. 7, 11; doi:10.3390.
11. Setti RS, Richard EG. Principle of neurosur gery: increase intracranial ressure,
cerebral edema, and brain herniation. Edisi ke-2. Philadelphia USA:Elsevier
Mosby; 2005.
12. Julian YR. Neurol ogical sur gery: intracranial pressure. Edisi ke-4. Volume 1.
California USA: W.B. Sounders company;1996.
13. Benjamini E. Elements of innate and acquired immunity. In Immunology a short
course. Second Edition, New York. WileyLiss,1991:17-36.
14. Young B, Ott L, Dempsey R. Relationship between admission hyperglycemia
and neurologic Outcome of severely braininjured patient. Division of
Neurosurgery,University of Kent ucky Medical Center.1989: 466-72.
15. Tisdall MM, Smith M. Multimodal monitoring in traumatic brain injury: current
status and future directions. British Journal of Anaesthesia 2007; 99 (1): 61-7.
16. Royo NC, Shimi zu S, Schout en JW.Pharmacology of traumatic brain
Injury.Current Opinion in Pharmacology 2003; 2732.
17. Schmidt OI, Infanger M, Heyde, CE. The role of neuroinflammation in
traumatic brain injury, Eur J Trauma 2004; 30:135-49.
18. Harrison MJG. Head injury in contemporary neurology. Butterwoths, London,
1984: 453462.

54
55

Anda mungkin juga menyukai