PENDAHULUAN
Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber
penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak
dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa,
hak pakai, daln lain sebagainya.
Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau
berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-
kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan
yang kosong atau terlantar.
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu
peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk
menjamin tata tertibdalam masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa hukum
yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-
Konflik Agraria | 1
tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk meminimalisasi
konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilatar belakangi
oleh sengketa tanah.
Konflik Agraria | 2
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik Agraria | 3
2.2 Pengertian sengketa tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih
atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek
yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti
air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa
tanah antara lain :
1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang
sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak.
4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan
tanah.
Konflik Agraria | 4
pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis
merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum
tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi
tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah
ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan
tanah dikelompokkan yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek
perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
Konflik Agraria | 5
ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti
untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun
pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak
bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-
konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab
terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan
persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan
tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk
dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang
bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari
penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan
berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk
kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas
tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah
pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah.
Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-
hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi
dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc,
inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan
tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya
merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak
berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan
diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara
undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan
Konflik Agraria | 6
interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut
tidak integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya
sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan
masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan
menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas negara
maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga
dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah
memakai tanah tersebut.
Konflik Agraria | 7
Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok
Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk
pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut.
Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi,
warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah
sengketa itu obyekland reform dengan verponding (tanda hak milik zaman
Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa
ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah
Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan
negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang
dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan
negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah
merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang
meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan
pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002
tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai
komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam
pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional
Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung
adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan
dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber
daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya
buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum
optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta
Konflik Agraria | 8
ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak
masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang
diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-
pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan
satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada
pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang
mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua
belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan
masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI
terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas
tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah
TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang
digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu
antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar
yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang
diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun
sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu
yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah
yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di
Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam
liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa
menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan
mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung
di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang
pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek
Konflik Agraria | 9
lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian
tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka
fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau
kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-
batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu
melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi
pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak
teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu
juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan
alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk
selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi
para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan
sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas
negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah
dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari
TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa
tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh
TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak
menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma,
Konflik Agraria | 10
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal
itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas
tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan
yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan
sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan
mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.
Konflik Agraria | 11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan
pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk
hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena
memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pada masing-masing Hak
Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini
jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak
milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh
mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh
mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah
oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam
setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim
memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang
melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002
tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen
utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan
bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak
merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga
dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum
itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk
kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.
Konflik Agraria | 12
DAFTAR PUSTAKA
Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005
Konflik Agraria | 13