Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah


Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut kesejahteraan
umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk peraturan-peraturan
tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk seseorang sejahtera
hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di Indonesia.
Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti ada beberapa
kepentingan-kepentingan yang menyangkut didalamnya seperti kepentingan
negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum bisa dikatakan sebagai alat atau
sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan
sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.
Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya bisa
mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal tersebut
diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum di dalamnya. Seseorang yang
sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih mudah dalam melakukan
lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya dalam kepemilikan
tanah.

Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber
penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu pajak
dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya sewa,
hak pakai, daln lain sebagainya.

Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik atau
berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi lama-
kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada lahan
yang kosong atau terlantar.

Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum yaitu
peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk
menjamin tata tertibdalam masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa hukum
yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-

Konflik Agraria | 1
tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk meminimalisasi
konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang dilatar belakangi
oleh sengketa tanah.

1.2 Rumusan Masalah


Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk
kelengkapan suatu tulisan yang dibuat oleh penulis.
1. Pengertian dari Hukum Agraria,
2. Pengertian dari sengketa tanah,
3. Contoh dalam masyarakat secara nyata

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan suatu ilmu
yang berharga untuk pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi di
masyarakat. Dengan makalah ini lah penulis bisa lebih mengerti akan suatu hal
yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa tanah dengan
pihak pemerintah atau lembaga negara. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi,
maupun langkah hukum yang dilakukan akan dibahas di makalah ini.

Konflik Agraria | 2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Agraria


Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin agre
berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan, perladangan,
pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti urusan
pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam bahasa
inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian, sedang
dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam
batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.
Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang
mengatur mengenai hak-hak penguasaan tanah.
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang
masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam
tertentu yang meliputi;
 Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas
tanah(permukaan bumi),
 Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air,
 Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan
atas bahan-bahan galian,
 Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
hutan dan hasil hutan,
 Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
 Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu
bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa.

Konflik Agraria | 3
2.2 Pengertian sengketa tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih
atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek
yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti
air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa
tanah antara lain :
1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang
sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.

2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak.

3. Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang


kurang atau tidak benar.

4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya


bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila
dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik
pertanahan adalah :
1. Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;

2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;

3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;

4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);

5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan
tanah.

Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras


dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam
kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya
perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data
atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau
perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur

Konflik Agraria | 4
pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis
merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum
tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi
tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah
ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan
tanah dikelompokkan yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek
perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.

2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform

3. Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah

5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.

Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan


akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah
yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap
sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan
prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu
keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri
yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan
istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya.
Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa
Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas,
perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun
waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960,
masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini

Konflik Agraria | 5
ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti
untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun
pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak
bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-
konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab
terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan
persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan
tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk
dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang
bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari
penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan
berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk
kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas
tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah
pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah.
Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-
hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi
dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc,
inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan
tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya
merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak
berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan
diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara
undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan

Konflik Agraria | 6
interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut
tidak integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu misalnya
sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya antara TNI dan
masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan dan
menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas negara
maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga
dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah
memakai tanah tersebut.

2.3 Contoh Dalam Masyarakat Tentang Sengketa Tanah Yang Terjadi


Yang pertaman yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini,
terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang
melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan
anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat
Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa
Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian.
Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara TNI
menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi
korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34
tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi
sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik
Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan
seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan
masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi
menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur.
Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini
digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat
Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan

Konflik Agraria | 7
Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok
Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk
pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut.
Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi,
warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah
sengketa itu obyekland reform dengan verponding (tanda hak milik zaman
Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa
ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah
Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan
negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang
dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam
bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan
negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah
merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang
meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan
pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002
tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai
komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam
pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional
Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.
Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah
disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung
adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan
dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber
daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya
buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum
optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta

Konflik Agraria | 8
ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak
masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang
diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-
pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan
satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada
pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang
mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua
belah pihak. Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan
masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI
terlebih dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas
tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah
TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang
digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas yaitu
antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah seluas 30,2 hektar
yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati ujang
diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan dibangun
sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang memiliki lebih dahulu
yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta terdapat beberapa patok tanah
yang masih menancap milik Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di
Kalimantan itu kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam
liar yang tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa
menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan
mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara langsung
di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah ini yaitu tentang
pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak serta merta mengecek

Konflik Agraria | 9
lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara langsung. Dengan kelalaian
tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka
fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau
kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-
batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar yaitu
melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat tetapi
pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam pembuatan serta tidak
teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada yang punya atau belum, begitu
juga pihak lanud yang tidak serta merta dengan merawat tanah tersebut dan
alasannya yaitu mereka memiliki tanah yang sangat luas dan belum mampu untuk
selalu merawat tanahnya. Tetapi sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi
para prajurit TNI AU yang bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan
sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan tugas
negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena merupakan amanah
dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari
TNI menggugat di pengadilan untuk memperkarakan secara hukum sengketa
tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh
TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hak
menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara
atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma,

Konflik Agraria | 10
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
 Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yang berwenang.
 Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal
itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
 TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan, hak atas
tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah ditentukan
yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan memelihara bentuk dan
sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai sendiri benda itu dan
mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar buat keperluan sendiri.

Konflik Agraria | 11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan
pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah tersebut termasuk
hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena
memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda pada masing-masing Hak
Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di
Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini
jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak
milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh
mempunyai hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh
mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah
oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam
setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim
memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut yang
melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002
tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen
utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan
bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak
merugikan para pihak yang bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga
dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi hukum
itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk
kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.

Konflik Agraria | 12
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2009
H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2004
Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan, 2005
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986
Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada; 1994
Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012
Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009
Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara, 1970
Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005

Konflik Agraria | 13

Anda mungkin juga menyukai