PENDAHULUAN
1.2. Insiden
Insiden cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar 200/100.000
orang setiap tahun. Dari jumlah penduduk Amerika Serikat yaitu sekitar 250 juta
jiwa, sekitar 500.000 orang mengalami cedera kepala setiap tahun yang cukup
berat dan membutuhkan pertolongan medis. Diantara mereka, sekitar 40.000-
50.000 orang meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Di Amerika Serikat
setiap tahun, sekitar 1 juta orang dirawat akibat cedera kepala, dan sekitar 230.000
orang lainnya masuk ke rumah sakit akibat cedera kepala. Di Amerika Serikat,
sekitar 50% cedera kepala merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas, dan
sekitar 13-15% cedera kepala merupakan akibat dari luka tembak. Di Amerika
Serikat, lebih dari separuh kasus kecelakaan lalu-lintas mengakibatkan kematian
(15% dari semua kematian merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas) atau
1
cedera kepala berat. Diperkirakan sekitar 5,3 juta penduduk Amerika Serikat saat
ini hidup dengan disabilitas yang permanen akibat cedera otak traumatik.
Penggunaan helm telah terbukti dapat mengurangi kasus ini secara signifikan.
Sedangkan di negara lainnya, didapatkan pola kejadian cedera yang berbeda.
Cedera kepala yang terjadi pada pejalan kaki, insidennya tinggi di Nigeria dan
beberapa tempat di Inggris. Di beberapa tempat di Afrika Selatan, cedera otak
akibat luka tusuk pisau merupakan hal yang sangat sering terjadi. Cedera otak
didapatkan pada setengah dari kematian akibat trauma, dan penggunaan alkohol
serta obat-obatan ditemukan pada setengah dari kasus tersebut. Para pengguna
alkohol kronik memiliki risiko yang lebih tinggi akibat tingginya frekuensi
kejadian cedera kepala, atrofi cerebral, dan koagulopati. Biaya finansial yang
dibutuhkan sangat tinggi (lebih dari 4 milyar dolar setiap tahun) tidak hanya untuk
perawatan pada kasus akut tetapi juga untuk biaya perawatan jangka panjang serta
hilangnya kemampuan kerja akibat yang terkena cedera kepala biasanya mereka
yang tergolong umur produktif (umur rata-rata 30 tahun). 1, 4-7
Insiden puncak dari kejadian cedera kepala terjadi pada umur 15-24 tahun
atau pada dekade kedua sampai ketiga. Insiden puncak yang kedua terjadi pada
bayi dan orang berumur tua. Cedera kepala masih tetap merupakan penyebab
kematian utama pada dewasa muda dan 2 sampai 3 kali lebih sering terjadi pada
laki-laki. Perbandingan antara laki-laki dengan perempuan bervariasi antara 2:1
dan 3:1. Orang yang memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera otak traumatik
adalah dewasa muda berumur 15-30 tahun, bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun,
anak umur sekolah, dan orang berumur tua. Bayi memiliki risiko yang lebih tinggi
karena ukuran dari kepala yang relatif lebih besar, dan kompresibilitas dari tulang
tengkorak. Orang berumur tua memiliki risiko tinggi untuk terjadinya cedera
intrakranial, khususnya hematom subdural. Atrofi cerebral menyebabkan
peregangan vena-vena penghubung antara duramater dengan parenkim otak, dan
membuat vena ini rawan untuk mengalami robekan akibat kekuatan deselerasi.
Cedera kepala traumatik ditemukan paling sering pada orang kulit hitam dan
keluarga berpenghasilan rendah. Pasien dengan cedera kepala berat, atau mereka
yang masuk rumah sakit dalam keadaan koma, merupakan sebagian kecil dari
2
pasien dengan cedera kepala, tetapi mereka memiliki tingkat morbiditas dan
mortalitas yang paling tinggi. 1, 3, 5, 6, 8
1.3. Etiologi
Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas, akibat peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat
tindakan kekerasan. Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup
adalah kecelakaan lalu lintas, dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada
penumpang kendaraan bermotor, pejalan kaki, pengendara motor, dan pengendara
sepeda. Penyebab yang lainnya adalah akibat terjatuh. Cedera akibat luka tembak
merupakan penyebab utama dari cedera kepala penetrasi di Amerika Serikat dan
terhitung sebanyak 44% dari semua kasus cedera kepala. Dewasa muda
merupakan orang yang paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas (umur 5-
64 tahun), tetapi populasi ini memiliki sedikit insiden dari lesi massa intrakranial.
Sedangkan pasien berumur tua (65 tahun atau lebih) paling sering mengalami
cedera akibat terjatuh dan memiliki insiden yang tinggi dari lesi massa
intrakranial. Intoksikasi alkohol dan obat-obatan lainnya merupakan faktor yang
signifikan sebagai penyebab cedera dan tersebar hampir sama pada semua
kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan sangat tua. 3, 5, 8, 9
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure
(ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan
mikrovaskularpada fase lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme
(Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera
kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
2. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan
3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran
darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional
Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti
iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap
bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).3
2.2.2 Kontusio Serebri (memar otak)
Kontusio serebri merupakan cedera fokal kepala yang paling
sering terjadi.Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem
mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982).Depreitere et al melaporkan
bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga . 3,4
.Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi
dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan
perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak.Pada kontusio
serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan
jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat
berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat,
kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham
epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid .1,2.5
Freytag dan Lindenberg (1957) mengemukakan bahwa
padadaerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu
5
daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang
mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema
sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai
pericontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik
sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hail ini disebabkan oleh
kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone
sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean
arterial pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses
pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang
mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang
di kemudian hari .1,5.6
6
itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama
blockade reversible berlangsung (Liau et al, 1996).
7
Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada
cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer
robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada
fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan
pembengkakan dan putusnya akson-akson. Perubahan biokimia yang
terjadi yaitu peningkatan influks natrium yang juga memicu influks
kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan menyebabkan aktifnya
calsium- mediated proteolysis. Kerusakan akson menyebabkan
kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam
akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan
menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat
menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang
paling berat adalah vegetative state (Blumbergs, 2011).
2.2.4 Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak
primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia,
pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis
dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar
Ca++ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan
peroxidasi lipid.
Faktor intrakranial (lokal) yang memengaruhi cedera otak
sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemia otak akibat
penurunan tekanan perfusi otak, herniasi, penurunan tekanan arterial
otak, Tekanan Tinggi Intrakranial (TTIK), demam, vasospasm, infeksi,
dan kejang (Cohadon, 1995).
Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan
istilah nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi
(hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi
nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi
(hipermetabolisme/respon stres), hiperglikemia, hipoglikemia,
hiponatremia, hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon,
8
1995).Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap
beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).
9
Edema sitotoksik adalah akumulasi cairan di
kompartemen intraselular (Klatzo, 1967) neuron, mikroglia, dan astrosit
(Unterberg et al.,
2004). Edema sitotoksik berhubungan dengan kegagalan pompa
Na/K ATP-dependent yang berhubungan dengan energi. Kegagalan
asupan energi jaringan otak yang terjadi pada keadaan iskemia dapat
memengaruhi kinerja pompa Na/K ATP-dependent. Keadaan
ini berhubungan dengan terganggunya pertukaran ion intrasel dan
ekstrasel, sehingga osmolalitas intrasel meningkat dan cairan akan
masuk ke dalam sel dan kemudian menimbulkan gangguan intrasel.
Oleh karena itu, edema sitotoksik disebut juga edema ionik. Pada
keadaan tertentu, bila cairan yang terakumulasi sangat banyak, dapat
terjadi ruptur membran sel dan cairan keluar ke kompartemen
ekstraselular (Marmarou et al., 2000). Meskipun edema sitotoksik lebih
sering terjadi dibandingkan dengan edema vasogenik, pada akhirnya
keduanya dapat meningkatkan TIK dan berlanjutnya iskemia
(Marmarou et al., 2006). Adakalanya edema sitotoksik tidak
menimbulkan peningkatan cairan jaringan otak atau pembengkakan dan
peningkatan TIK, tetapi kerusakan dan kematian sel yang terjadi
berhubungan dengan kerusakan jaringan otak (Donkin dan Vink, 2010).
10
Gambar 2.1 Ilustrasi keadaan Sel Normal (A); Edema Sitotoksik (B),
Edema Vasogenik (C) (Donkin dan Vink, 2010)
11
yang terjadi ketika tekanan perfusi serebral meningkat. Keadaan ini
biasanya terjadi pada ensefalopati hipertensi. Pada dasarnya, baik edema
sitotoksik maupun edema vasogenik terjadi ketika osmolalitas plasma
menurun sehingga terjadi pengeluaran cairan. Meskipun demikian,
keduanya dipisahkan menjadi dua klasifikasi yang berbeda. Beberapa
keadaan klinik berkembang menjadi edema serebri berdasarkan kombinasi
mekanisme edema yang berbeda. Ini bergantung pada gangguan yang timbul
akibat penyakit dan waktu perjalanan penyakit (Naget al., 2009).
Kerusakan SDO adalah salah satu peran utama dalam terjadinya
edema serebri. Kedua tipe edema, yaitu vasogenik dan sitotoksik
mengakibatkan peningkatan TIK, dan penurunan tekanan perfusi
serebral (TPS), dan pada akhirnya menimbulkan iskemia
jaringan. Iskemia berperan pada terjadinya vasodilasi melalui
mekanisme autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi perfusi
serebral. Vasodilasi yang terjadi akan meningkatkan volume darah
serebral, dan pada akhirnya juga meningkatkan TIK, menurunkan
TPS, serta memicu berlanjutnya iskemia (Rosner dan Rosner, 1995).
Beberapa studi eksperimental menyatakan bahwa beberapa
neurotransmitter, seperti glutamat, asetilkolin, dan senyawa vasoaktif,
seperti serotonin, histamin, prostaglandin, asam amino, asam laktat,
dan lain-lain berperan dalam mediasi, inisiasi, dan propagasi edema
otak. Platelet adalah sumber utama senyawa-senyawa di atas yang akan
memproduksi neurotransmitter ketika melekat di pembuluh darah
kapiler (Baethmann et al., 1980; Baethmann et al., 1991; Hayes et al.,
1991). Prostaglandin berperan pada terjadinya edema serebri melalui
mekanisme (1) peningkatan permeabilitas kapiler serebral, (2)
vasokonstriksi yang menyebabkan iskemia (Yamamoto et al., 1972), dan
(3) potensiasi dari senyawa lain seperti serotonin dan katekolamin.
12
Gambar 2.2 Pelepasan MPO oleh Sel-sel Imunokompeten pada sistem SDO
(sawar darah otak) (Ke Ding., et al., 2014).
13
et al., 2004). Studi eksperimental mendapatkan adanya peningkatan
kadar AQP4 pada sel glia dan penurunan kadar AQP4 perivaskular
terhadap terjadinya edema vasogenik (Ghabriel et al.,
2006). Yang patut menjadi perhatian adalah penurunan gejala edema
dan perbaikan status fungsional berhubungan dengan kembalinya AQP4
ke dalam keadaan normal. Kecepatan perbaikan kadar AQP4 setelah
penatalaksanaan mengindikasikan adanya modifikasi
posttranslational yang berperan pada sintesis protein (Taya et al.,
2009). Peningkatan kadar cairan jaringan otak ditunjukkan oleh
komponen vaskular sebagai tempat pergeseran kompartemen sitotoksik.
Hambatan AQP channel berperan pada keadaan edema sitotoksik, tetapi
tidak pada edema vasogenik, karena AQP channel melekat pada dinding
sel.
Selain AQP, terdapat matriks metalloproteinase (MMP)
yang berperan saat terjadinya edema serebri. Matriks metalloproteinase
adalah enzim endopeptidase zinc-dependent yang berperan dalam
perbaikan jaringan pada berbagai keadaan patologis. Regulasi
MMP sangat kompleks dan terkontrol. Hilangnya kontrol regulasi
sangat berperan dalam patofisiologi kerusakan sinaps dan SDO pada
cedera kepala, stroke, dan neurodegenerasi (Rosenberg dan Yang, 2007;
Candelario-Jalil et al., 2009; Ding et al., 2009; Rosenberg, 2009).
Peran MMP dalam edema serebri adalah kemampuannya dalam
memecah berbagai jenis protein matriks ekstraselular termasuk protein
lamina basal neurovaskular dan protein tight junction SDO
(Grossetete et al., 2009; Hayashi et al., 2009; Vajtr et al., 2009).
Kadar MMP terutama MMP2, MMP3, dan MMP9 meningkat pada
keadaan cedera kepala (Falo et al., 2006; Vilalta et al.,2008; Hayashi
et al., 2009). Ketiganya menyebabkan kerusakan akut SDO, edema
vasogenik, dan bahkan kematian sel. Peningkatan kadar MMP9 yang
terjadi secara temporer berhubungan dengan kebocoran SDO dan
terbentuknya edema (Gasche et al., 1999; Asahi et al., 2001). Sejalan
dengan ini, defisiensi gen MMP9 pada hewan coba menunjukkan efek
14
protektif pada cedera kepala dengan iskemia fokal dan global (Wang et
al., 2000; Asahi et al., 2001; Gidday et al., 2005). Defisiensi gen MMP9
ini menurunkan kebocoran SDO dan pembentukan edema, menurunkan
respons inflamasi, serta meningkatkan integritas membran sel dan status
fungsional (Fujimoto et al., 2008; Vajtr et al., 2009, Homsi et al., 2009;
Tejima et al., 2009).
Mediator lain untuk edema serebri adalah zat vasoaktif. Zat
vasoaktif dapat meningkatkan permeabilitas SDO dan mengakibatkan
edema serebri (Abbott, 2000). Studi terbaru menyatakan bahwa zat
vasoaktif yang berperan tidak hanya mediator inflamasi klasik, tetapi
juga mediator inflamasi neurogenik. Salah satu contoh zat inflamasi
klasik adalah bradikinin, yaitu anggota kelompok kinin yang berperan
penting pada terjadinya edema serebri (Plesnila et al., 2001). Bradikinin
dibentuk dari pembelahan kininogen oleh kalikrein. Dengan bantuan
enzim peptida, bradikinin menghantarkan sinyalnya melalui dua subtipe
reseptor bradikinin, yaitu reseptor B1 dan B2. Kadar bradikinin
meningkat maksimal pada dua jam pertama pascatrauma dan kedua
reseptornya meningkat signifikan pada 24 jam pertama pascatrauma.
Meskipun kedua reseptor ini meningkat, hanya supresi reseptor B2 saja
yang secara bermakna mengurangi edema dan meningkatkan status
fungsional pascaedema (Trabold et al., 2010). Pemberian antagonis
reseptor B2 berperan dalam menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan
volume kontusio pada hewan coba (Plesnila et al., 2001; Zausinger
et al., 2003; Zweckberger dan Plesnila, 2009; Su et al., 2009).
Anggota lain dari keluarga kinin adalah takikinin, yaitu sebuah mediator
peptida yang berperan pada inflamasi neurogenik.
Inflamasi neurogenik adalah proses yang terdiri atas vasodilasi,
ekstravasasi plasma, dan hipersensitivitas neuronal yang disebabkan
oleh penglepasan neuropeptida dari neuron sensorik (Geppetti et al.,
1995). Neuropeptida yang telah teridentifikasi berperan pada
inflamasi neurogenik adalah calcitonin gene-related peptide (CGRP),
15
CGRP ini berperan pada vasodilasi yang senyawa P-nya meningkatkan
ekstravasasi protein plasma (Nimmo et al., 2004).
Ada keterkaitan langsung antara aliran darah otak (ADO) dan
metabolisme tubuh. Penurunan ADO berhubungan dengan hipoksia dan
glikolisis anaerob. Hipoksia dapat menimbulkan gangguan SDO melalui
berbagai mekanisme yang diperantarai oleh VEGF, NO, dan respon
inflamasi. Hipoksia memicu peningkatan produksi Vascular endothelial
growth factor (VEGF) yang berakibat pada peningkatan permeabilitas
vaskular dan pembentukan edema. VEGF diketahui berikatan dengan
reseptor VEGF di pembuluh darah area iskemik dan berperan pada
gangguan dan kebocoran SDO (Zhang et al., 2000; Zhang et al., 2002).
Nitric oxide diketahui dapat memodulasi aliran ion, zat gizi, dan
molekul- molekul lain, serta meregulasi fungsi SDO (Janigro et al.,
1994). Produksi NO yang berlebih dapat meningkatkan aliran darah
dan permeabilitas SDO (Shukla et al., 1996; Thiel dan Audus,
2001). Keadaan iskemia-hipoksia meningkatkan produksi
prostaglandin dan kinin. Kedua mediator ini selanjutnya menginisiasi
respon inflamasi yang dapat berakibat pada gangguan SDO (Zach et al.,
1997; Yang et al., 1999; Saleh et al., 2004). Kemokin dan sitokin yang
diproduksi oleh sel glia dan endotel pada saat iskemia-hipoksia
meningkatkan migrasi limfosit melalui SDO dan juga permeabilitas
pembuluh darah (Zach et al., 1997; Gong et al., 1998; Weiss et al.,
1998; Prat et al., 2001). Selain itu, respon inflamasi dapat mengaktivasi
caspase, translokase, dan endonuklease yang dapat menginisiasi
perubahan membran dan nukleosom DNA secara progresif. Hipoksia
juga menyebabkan penglepasan beberapa neurotransmitter, seperti
glutamat dan aspartat. Neurotransmiter ini akan mengaktivasi reseptor
ionotropik dan metabotropik. Akibat dari ini akan terjadi influks ion
kalsium (Ca) dan ion natrium (Na), serta efluks ion kalium (K). Influks
ion Ca menimbulkan proses katabolisme intraselular, aktivasi enzim
lipid peroksidase, akumulasi asam lemak bebas, dan radikal bebas.
Untuk glikolisis anaerob, keadaan ini menyebabkan deplesi adenosin
16
trifosfat (ATP) dan terganggunya pompa ion energy dependent di otak.
Glikolisis anaerob ini juga berhubungan dengan akumulasi asam laktat
dan peningkatan permeabilitas membran yang berakibat pada edema
serebri.
Tujuan penatalaksanaan edema serebri adalah menjaga aliran
darah otak (ADO) regional dan global untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme otak dan mencegah cedera sekunder dari iskemia serebri.
Mikroglia dapat dianggap sebagai sel imun dari sistem saraf pusat,
yang berperan setara dengan sel fagosit mononuklear yang ada pada
jaringan soma (Gonzales-Scarano dan Baltuch, 1999), yakni immun
surveillance dan pertahanan tubuh terhadap invasi berbagai proses
infeksi. Namun demikian, jika mikroglia teraktivasi sebagai respon
terjadinya proses inflamasi, mikroglia aktif akan mengalami berbagai
proses diferensiasi, proliferasi, dan menghasilkan berbagai faktor
proinflamasi.
Mikroglia yang aktif akan mensekresi berbagai faktor
proinflamasi dan neuroinflamasi yang bersifat neurotoksik. Faktor-
faktor ini bila tidak dikendalikan maka akan menimbulkan kerusakan
yang luas (Liu dan Hong, 2002). Proses aktivasi mikroglia diawali
oleh inflamasi sel dan jaringan akibat adanya lesi dan/atau iskemia.
Mikroglia aktif akan melepaskan glial derived neurotrophic factor,
TNFα, IL-1β, IL-6, NO, superoxide, eikosanoid, asam kuinolat,
plasminogen, dan nuclear factor (NF)κB (Shigemoto-Mogami et al.,
2001; Suzuki et al., 2004). Nuclear factor (NF)κB adalah suatu faktor
transkripsi yang bila teraktivasi akan mengaktifkan TNFα. TNFα aktif
akan meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi lain, seperti IL-1β,
IL-6, dan IL-8. Hasilnya dapat dipahami jika aktivasi mikroglia tidak
terkendali, dapat menimbulkan kerusakan jaringan otak yang luas.
17
Ada berbagai metode dalam mengendalikan aktivasi mikroglia
seperti mekanisme cell adhesion molecules (CAM) oleh neuron
(McMillian et al., 1994), penggunaan reseptor antagonis opioid dan
golongan steroid (Kong et al.,1997), mekanisme vasoactive intestinal
peptide (VIP), dan aktivasi sitokin antiinflamasi, seperti TGF β dan IL-
10 melalui mekanisme mikroglia-deactivating factor (Delgado dan
Ganea, 2003).
18
− produksi senyawa radikal bebas yang berlebihan sebagai
proses hulu,dan terpicunya apoptosis secara patologis sebagai
proses hilir.
a) Eksitotoksisitas
19
dan influx cairan yang menyebabkan sel bengkak dan cytotoxic edema
yang akhirnya dapat menyebabkan kematian sel neuron.Glutamat juga
toksik terhadap sel-sel glial, termasuk astrosit dan
oligodendroglia.(Yoshioka, 1995). Astrosit memunyai kapasitas buffer
dan terlibat dalam clearance glutamat dari ruang ekstrasellular.
Berkurangnya energi selama iskemia dapat menyebabkan sistem regulasi
glutamat rusak (Chen dan Swanson, 2003).
b) Kalsium
Proses homeostasis kalsium dalam sel sangat penting. Kadar
yang meninggi setelah cedera kepala merupakan awal dari proses
kematian sel, dimana Ca++ merupakan suatu second
messenger dan signaltransducerpencetus reseptor. Jumlah influks
20
ATP. Kerusakan rantai transportasi elektron cenderung menghasilkan
reactive oxygen species (ROS) secara berlebihan, sedangkan pada saat
yang bersamaan, terdapat peningkatan kebutuhan ATP untuk
mengeluarkan Ca++ melalui plasma membrane pump (Schinder,
1996; Robertson, 2004).
Kalsium dapat mengaktivasi beberapa enzim seperti lipase,
kinase, phosphatase, dan protease. Calpain adalah enzim protease
intrasellular yang dapat mengurangi kadar protein neuronal. Aktivasi
Calpain yang berlebihan sangat berperan dalam kaskade
neurodegeneratif pada cedera kepala, yaitu memicu kerusakan
cytoskeleton dan kematian sel neuronal serta merusak fungsi
neurobiologis (Kampfl, 1997).
c)
Radikal
Bebas
21
Kerusakan DNA akibat radikal bebas akan mengaktivasi Poly ADP
Ribose Polymerase (PARP) suatu enzim untuk perbaikan (repair)
kerusakan DNA. Aktivasi PARP akan memicu enzim perbaikkan DNA.
Aktivitas berlebihan dari PARP akan mengurangi cadangan energi sel
yaitu cadangan NAD+ dan ATP. Kerusakan besar pada DNA akan
menguras energi atau ATP sehingga sel yang dalam proses apoptosis
kehabisan energi dan mati melalui proses nekrosis yang dalam hal ini
disebut nekrosis sekunder (Zhang, 2005). Caspase 3 yang
menginaktivasi PARP berperan dalam proses apoptosis (Isabelle et al,
2010).
d) Inflamasi
22
merangsang produksi sitokin lain dan molekul adhesi (ICAM dan
VCAM). (Lenzlinger, 2001). TNF-α dapat memperburuk cedera
otak dan mengubah sitoskeleton sel endotel sehingga timbul
kebocoran, namun TNF-α perannya dualistik karena dapat juga
berperan neuroprotective bersamaan dengan IL-1β yang berfungsi
untuk menambah expresi Nerve Growth Factor (NGF). Peran TNF-α
penting dalam tingkat akut inflamasi dan juga bermanfaat pada
regenerasi dan/atau perbaikan. Mirip dengan TNF-α, IL-1β juga terlibat
dalam fase akut dan dapat menambah permiabilitas endotel yang
mengakibatkan edema (Holmin dan Mathiesen,2000).
23
like-protein. Kedua jenis protein ini menyebabkan degenerasi striatum
dan corpus callosum. Degenerasi ini menyebabkan atropi otak progresif
dan kalsifikasi (Pierce, 1998; Hopkins, 2005).
Pada reperfusi terjadi reaksi inflamasi akibat produksi berlebihan
dari radikal bebas yaitu ROS (Reaxtive Oxygen Species). Radikal
bebas ini akan menyebabkan kerusakan peroksidatif pada membran
sel, mitokondria, makromolekul protein, dan DNA. Semuanya ini akan
mengakibatkan kematian neuron. Kejadian ini dikenal sebagai
Reperfusion Injury yang merupakan komponen penting terhadap
terjadinya cedera sekunder yang disebut Delayed Neuronal Death
(White,2000).
2.4 Kematian Neuron
Kematian sel secara garis besar dibedakan atas dua mekanisme,
yaitu kematian yang tidak terprogram (nekrosis) dan kematian sel
terprogram, yaitu tipe I (apoptosis) dan tipe II (autofagi).
Apoptosis, autofagi, dan nekrosis merupakan mekanisme yang berbeda,
tetapi timbul oleh rangsangan yang sama, yaitu influks Ca++ ke dalam
sitoplasma sel melalui saluran-saluran ion dengan reseptor
ryanodine (RYRs) dan reseptor inositol-1,4,5 triphosphate
(Ins(1,4,5)P3) (Lee et al, 1998).
Iskemia otak akan berlanjut menjadi nekrosis dan apoptosis
Dengan ditentukan oleh beberapa faktor berikut:
− beratnya iskemia
− tingkat maturitas neuronal (sangat penting dalam
menentukan mekanisme kematian sel)
− mudah dicapainya support trophic
− kalsium intrasel
− level sitokin
24
Gambar 2. Perbedaan Nekrosis dan Apoptosis (Kumar et al,
2008)
25
− bila kadar kalsium intrasellular meninggi, neuron
memunyai risiko apoptosis dan sangat bergantung pada
trophic support;
− apabila kadar kalsium intrasellular intermediate maka kondisi
sel untuk bertahan hidup menjadi optimal dan kebutuhan sel
untuk trophic support menjadi minimal;
− apabila kadar kalsium intrasellular rendah maka
neuron mempunyai resiko terjadi sitotoksisitas dan nekrosis.
Efek neuroproteksi dapat terjadi apabila voltage dependent anion
channels dihambat, sehingga tidak terjadi penumpukan kalsium
intrasellular (Gibbsons, 1993).
26
menyebabkan apoptosis dimana intensitas transformasi ini bergantung
dari pada kadar kalium (Lee, 1998).
Ekspresi yang berlebihan dari Bcl-2 mencegah apoptosis dan
nekrosis yang berhubungan dengan proses perbaikan akibat kerusakan
tanpa memperhatikan mekanisme kerusakannya (Gibbsons, 1993).
Jaras antiapoptosis diaktivasi oleh:
- faktor neurotropik,
- beberapa sitokines, dan
- beberapa faktor stress.
Jaras proteksi ini antara lain adalah:
− aktivasi faktor transkripsi (seperti NF-κβ) yang
menyebabkan ekspresi stress protein, enzim antioksidan ,
inhibitor of apoptosis proteins (IAPs)
− aktivasi ekstrasellular signal-regulated kinase (ERK)
− modulasi phosphorylation dari kanal-kanal ion dan
transporter membran
− perubahan sitoskeletal melalui modulasi kalsium
− modulasi protein yang menstabilasi fungsi
mitochondria(seperti.Bcl-2).
Telah diketahui bahwa sel dapat berkomunikasi satu dengan
yang lain secara transmisi sinyal melalui molekul sinyal (signaling
molecule), yaitu kelompok neurotransmitter dan neuropeptida yang
mentransduksi sinyal ke dalam sel melalui reseptor-reseptor pada
membran sel. Jalur melalui sinyal yang berakhir dengan apoptosis
dikenal sebagai Death Pathways (Sugawara, 2004).
Manusia juga memiliki mekanisme untuk menjaga kelangsungan
hidup sel yang disebut mekanisme pertahanan endogen (endogenous
defense mechanisms). Mekanisme ini merupakan survival pathways
untuk mempertahankan kelangsungan hidup neuron ataupun sel-sel pada
organ lain (Sugawara, 2004).
Rangkaian proses biokimiawi patologis terdiri atas:
− yang terpicu serentak (simultaneously),
27
− yang berurutan (sequential),
− yang saling berkaitan atau memengaruhi (cross-talk
antar sel/jalur),
− yang saling memperkuat dan membentuk positive feed
back loop.
Semua proses ini walaupun berjalan secara individual,
tetapmasing-masing dapat berakibat fatal pada neuron (Blaine et
al.2000).
Meningkatnya growth factor diperkirakan dapat mengaktifkan
mekanisme pertahanan endogen yang disertai dengan meningkatnya
jumlah makrofag untuk menfagositosis sel debris atau apoptotic bodies
yang dihasilkan dari proses apoptosis. Kematian sel akibat apoptosis
tidak disertai dengan lisisnya sel membran dan keluarnya isi sel
sehingga tidak terjadi proses inflamasi. Jadi, hal ini berbeda dengan
kematian sel karena proses nekrosis (Gibbsons, 1993).
Dengan menggunakan metode terminal deoxynucleotidyl
transferase - mediated biotinylated deoxyuridine triphosphate nick end
labeling (TUNEL), berbagai sel dengan fragmentasi DNA yang luas
terdeteksi pada daerah yang berbeda di dalam otak (Katja et al, 2001).
Ditemukan 2 tipe TUNEL-positif sel yang tampak pada mikroskop
electron, yaitu
− tipe I yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi dari
necrotic cell death
− tipe II yang memperlihatkan ciri-ciri morfologi
apoptotic cell death yang klasik.
TUNEL-positif sel terdeteksi dalam 72 jam setelah cedera awal.
Gel electrophoresis dari ekstrak DNA pada daerah yang mengalami
cedera berisi tipe I dan tipe II. Gel tersebut dapat memperlihatkan
fragmen internucleosomal dengan interval 180-200 base pair,yaitu suatu
ciri khas dari apoptotic cell death yang sering disebut DNA laddering.
Hal ini memberi kesan bahwa apoptosis dengan necrotic cell death
terjadi setelah cedera kepala, dan fragmentasi internucleosomal DNA
28
juga dapat berhubungan dengan beberapa tipe necrotic cell death
(Blaine, 2000).
Rendahnya pH saat induksi apoptosis cenderung menyebabkan
berkurangnya kematian sel akibat apoptosis.Neuron-neuron diproteksi
pada pH 6.0-6.8.Terrlalu rendahnya pH (pH < 6,0) berhubungan dengan
kejadian hipoksia sehingga kematian sel yang seharusnya
diakibatkan oleh apoptosis berubah menjadi nekrosis.Sebaliknya, pH
intermediate sekitar 6.8 cenderung mengakibatkan berkurangnya
apoptosis tanpa disertai nekrosis. Proapoptotik protein seperti Bax
meningkat pada gangguan transpor elektron, mitochondrial permeability
transitions (MPT), dan lepasnya sitokrom c dari mitokondria. Anti
apoptotik protein Bcl-2 berperan mencegah kematian sel dengan cara
melindungi fungsi dan struktur mitokondria. Sementara itu,
pemberian inhibitor kaspase tidak memberikan efek perlindungan
jangka panjang pada sel parenkim parenkim otak akibat cedera
kepala (Blaine, 2000).
2.5 Apoptosis
29
yang membentuk pecahan- pecahan sel atau apoptotic bodies yang
berada di sekitar sel tersebut. Fragmen-fragmen sel tersebut akan cepat
difagositosis oleh makrofag sebelum sel pecah dan menyebabkan
kerusakan pada jaringan (Alberts,2002).
30
− Sel-sel tipe 1 memperlihatkan susunan klasik nekrosis (
ini terjadi pada cedera otak primer) ,dan
− Sel-sel tipe 2 memperlihatkan apoptosis klasik. (Rink A et
al.1995; Clark RS et al. 2000).
31
mitokondria mengalami depolarisasi dan sitokrom c suatu enzim
yang terletak di antara membran dalam dan luar mitokondria akan keluar
ke sitoplasma melalui suatu pori yang disebut Mitochondrial
Permeability Transition Pore (MPTP) (Dumas, 2001).
Selain cell stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan,
infeksi virus, dan hypoxia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang
sehat dijumpai ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar
mitochondria. Bcl-2 mengelilingi/berbatasan dengan protein Apoptotic
Protease Activating Factor-1 (APAF-1). Kerusakan dalam sel
menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan selanjutnya membuka
MPTP yang melepaskan sitokrom c ke dalam cytosol. Sitokrom c
dan Apaf-1 akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks
sitokrom c, Apaf-1, caspase-9, dan ATP disebut apoptosome (Liu et al.
1996).
Gambar 4. Aktivasi Apoptosis dari Dalam Sel (Intrinsic Pathway) (Hillet al.2003)
b) Extrinsic Pathway
32
Jalur ini dipicu oleh ikatan dengan Death Receptor, yaitu
reseptor yang tergolong TNF-receptor family, seperti Fas receptor.
Ligand yang dapat memicu adalah FasL atau Apo-1/CD 95 dan
TRAIL. Reseptor tersebut memunyai bagian yang disebut:
− Fas Associated Death Domain (FADD),
− TNF-receptor Associated Death Domain (TRADD) atau
− Caspase and RIP-adaptor with Death Domain (CRADD)
− Receptor Interacting Protein (RIP).
Saat diaktivasi, reseptor akan merekrut protein adaptor yang
kemudian merekrut pro-caspase 8 (precursor caspase 8) dan
menjadikannya caspase 8 yang aktif. Caspase 8 akan mengaktifkan
caspase 3 untuk mengeksekusi proses selanjutnya. Caspase 8 dan 9
disebut initiator caspases atau upstream caspases dan caspase 3, 6, dan
7 disebut executioner caspases atau down stream caspases (Katja,
2001).
33
Gambar 5. Aktivasi Apoptosis dari Luar Sel (Extrinsic
Pathway) (Demedtset al, 2006).
Gambar 5 menunjukkan bahwa sinyal faktor ekstrasellular
seperti hormon, growth factor, nitric oxide, atau sitokin mengaktivasi
apoptosis melalui jaras ekstrinsik. Sinyal ini bisa menambah atau
menghambat proses apoptosis. (Mohamadet al, 2005). TNF adalah suatu
sitokin utama yang diproduksi oleh makrofag aktif dan merupakan
mediator ekstrinsik
34
utama dari apoptosis.Kebanyakan sel-sel dalam tubuh manusia
memunyai dua reseptor untuk TNF, yaitu TNF-R1 dan TNF-R2.Ikatan
terhadap reseptor TNF-R1 secara tidak langsung dapat mengaktivasi
faktor transkripsi yang terlibat dengan cell survival.
c) Cross-talk
35
Antara jalur intrinsik dan ekstrinsik bisa timbul kerjasama,
misalnya caspase 8 dapat membelah anggota famili Bcl-2 protein yang
pro- apoptotik, yaitu Bid. Bid yang terbelah ini (truncated Bid)
bertranslokasi ke mitokondria dan menyebabkan pelepasan sitokrom
c dari mitokondria serta menimbulkan perobahan konformasi pada Bax
dan Bak (menyebabkan homo atau heterodimerisasi) yang hasilnya juga
dapat membocorkan sitokrom c. (Desagher et al, 1999).
Demikian juga caspase 3 yang aktif dapat mengaktifkan caspase
lain seperti caspase 2,6,8, dan 10 dan dapat membelah procaspase 9
menjadi caspase 9 yang aktif serta menciptakan amplifikasi dari jalur
apoptotik melalui suatu positive feed-back loop.
36
mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini menunjukkan bahwa
mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel.
37
Bcl-2 menghambat permiabilitas membran mitokondria.
Apabila Bcl-2 diinhibisi maka, pori membran mitokoondria akan
terbuka dan AIF bisa keluar ke cytosol. (Van Cruchten, 2002).
38
Gambar 8. Famili Bcl-2 yang Anti-apoptotik dan Pro-apoptotik
39
Gambar 9. The Intrinsic Mitochondrial Apoptosis Pathway (Serotech)
40
Gambar 10. Struktur Bcl-2 (Riley,
2009)
41
dirubah menjadi estradiol pada otak. Estrogen memunyai efek
neuroproteksi dengan cara mempertahankan CBF, memiliki sifat
antioxidant, menghalangi cedera excitotoxic, dan mempromosikan
produksi growth factor (Soustiel et al, 2005; Wise et al, 2000).
42
Gambar 11. Gen Bcl-2dengan tSNP pada Kromosom 18q21(Hoh et
al,
2
0
1
0
)
.
43
(GOS dan DRS), tingkat kematian yang lebih tinggi, dan NRS-R yang
jelek. Sebaliknya, homozigot alell wild-type untuk rs7236090 dan
varian homozigot dari rs949037 berhubungan dengan hasil yang
lebih baik (GOS dan DRS). Hasil data ini mendukung kemungkinan
bahwa polimorfisme genetik pada gen Bcl-2memengaruhi hasil akhir
setelah cedera kepala berat (Hoh et al, 2010).
2.8 Polimorfisme
Genetik
44
ada dua atau lebih alelle yang membentuk populasi yang sama dan
alelle yang paling umum memiliki frekuensi kesamaan sekitar 99% atau
kurang (Harris, 1980).
Individu dengan alelle yang sama pada suatu lokus akan disebut
genotipe homozigot, yang berbeda disebut genotipe heterozigot.
Fenotipe yang diekspresikan menimbulkan perbedaan klinis antar-
individu dalam suatu populasi. Alelle dengan frekuensi yang kurang dari
1% disebut sebagai varian langka dan alelle yang memiliki frekuensi
varian yang lebih tinggi disebut polimorfik. Hal ini menunjukkan bahwa
sekitar 2% dari populasi akan menjadi heterozigot pada lokus polimorfik
(Harris, 1980; Fisher, 1930).
Selain itu, telah diketahui bahwa kurang dari 5% dari genom
manusia merupakan coding DNA dan sebagian besar polimorfisme
genetik terjadi pada area non-coding DNA yang merupakan area yang
relatif tidak memiliki kemaknaan klinis (Fisher, 1930).
2.9
Autofagositosi
s
45
(Atg6), Atg7, microtubule-associated protein light chain-3 (MAP-
LC3/Atg 8), Atg12, dan Atg5 (Klionky, 2008).
Laporan pertama kali yang disampaikan oleh Diskin et al
pada tahun 2005 menyatakan bahwa cedera otak mungkin menstimulasi
autofagi. Protein-protein yang terlibat pada cedera otak adalah
Beclin-
1(Atg6) yang melalui domain BH-3nya berinteraksi dengan Bcl-2 dan
kemudian dapat menyebabkan lebih banyak Beclin-1 bebas yang
menstimulasi terjadinya autofagi. Pada keadaan homeostasis interaksi
Beclin-1(Atg6) dan Bcl-2 berguna untuk memperbaiki sel dan
mengurangi komponen dalam sel yang mengalami kerusakan
(Diskin et al, 2005).Selain Beclin-1, protein MAP-LC3(Atg 8)
dan LC3 lipidation/LC3 shift juga terlibat pada cedera otak (Kuono et
al, 2005).
46
2
0
0
5
)
.
47
2.10 Nekrosis
48
radikal bebas yang dilepas Mitochondria dan Endoplasmic Reticulum
akibat terpicu influx Ca++ akan membentuk peroxynitrit, radikal bebas
yang daya rusaknya sangat besar, bila peroxynitrit bertemu dengan ion Fe
dari ferritin, peroksidasi akan berlipat ganda (White, 2000) Endonuclease
G akan menimbulkan kerusakan DNA pada inti sel dan memicu apoptosis.
Walaupun prosesnya sama-sama dipicu kalsium, proses nekrosis terjadi
dalam beberapa menit, sedangkan apoptosis baru terjadi setelah beberapa
jam dan bisa berlangsungberharihari hingga beberapa minggu (Haque,
2004; White,
2000;
Ulrich,
1999).
2.11
Struktur
BDNF
49
Gambar 14. Struktur Brain-derived Neurotrophic factor (Robinson
et al,
1
9
9
9
)
50
Konsentrasi BDNF paling tinggi pada hippocampus dankorteks
serebral (Mandel,
2009).
51
Gambar 15. Proses Signaling dalam Persarafan (Choi-Lundberg et
al,1997)
52
BDNF berikatan dengan dua reseptor yang terletak pada
permukaan sel. TrkB (“Tyrosine kinase B”) dan p75 yang merupakan
Low- affinity nerve growth factor receptor (LNGFR) untuk
BDNF.BDNF juga dapat memodulasi aktivitas dari berbagai reseptor
neurotransmitter, termasuk alpha-7 nicotine receptor. TrkB adalah suatu
reseptor tyrosine kinase yang dapat memfosforilasi tyrosine dalam sel
dan mengaktifkan sinyalintra-sellular. Faktor neurotropik lain yang
berhubungan dengan BDNF, adalah NGF, NT-3 (neurotrophin-3), dan
NT-4 (neurotrophin-4). TrkB memediasi efek BDNF dan NT-4, TrkA
mengikat NGF, dan TrkC mengikat NT-3. NT-3 dapat berikatan
dengan TrkA dan TrkB, walaupun afinitasnya rendah (Patapoutian,
2001).
Reseptor BDNF yang lain, yaitu p75 memiliki peranyang kini
masih kurang jelas. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
p75NTR berfungsi sebagai suatu sink untuk neurotrophin. Sel-sel yang
mengekspresi p75NTR dan reseptor Trk memunyai aktivitas yang lebih
besar karena memunyai microkonsentrasi neuroptrophin yang lebih
besar. P75NTR dapat memicu apoptosis apabila sel tersebut tidak
memiliki reseptor Trk. BDNF diproduksi di endoplasmic reticulum
dan diekspresikan melalui dense-core vesicle setelah berikatan dengan
reseptor carboxypeptidase E (CPE). Kerusakan ikatan ini dapat
menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk mengekspresikan BDNF
melalui dense-core vesicle (Fernandes, 2008).
53
Berdasarkan penelitian, rs6265 memperlambat proses perbaikkan
kognitif. Selain rs6265 terdapat juga polimorfisme lain yang
berkontribusi dalam fungsi memori setelah cedera kepala. Terdapat 2
SNP yaitu rs1519480 dan rs7124442yang secara signifikan
berhubungan dengan perbaikan fungsi kongnitif setelah cedera kepala
yaitu menginduksi plastisitas (Rostami et al, 2011).
2.13
Plastisitas
Otak
54
2.14
Neuroprote
ksi
55
seperti NMDA receptor antagonist non-competitive, NMDA receptor
antagonist selective, dan Polyamines.
Neuroproteksi sekunder bertujuan menghambat pro-
inflammatory cytokines, adhesi sel, pro-oxidant enzymes, menambah
trophic support, dan mencegah apoptosis, dimana ini mulai diberikan
dalam 3-6 jam pertama dan dilanjutkan selama 7 hari. Senyawa-senyawa
yang merupakan neuroproteksi sekunder adalah free radical
scavenger, NO-synthese blockers, inhibitors of local inflammation,
statin, estrogens, neurotrophic factors, neuropeptide: ACTH 4-10 Pro8-
Gly9-Pro10., regulators of receptors structure .
2.14.1.
Neuropeptida
Neuromodulator yang telah digunakan secara klinis dengan efek
neuroprotektif yang terdokumentasi adalah senyawa ACTH 4-10 Pro8-
Gly9- Pro10. Setelah pemberian intranasal, 60-70% ACTH 4-10 Pro8-
Gly9-Pro10 akan diabsorpsi secara cepat melalui membran mukosa
nasofaring dan masuk ke dalam sistem sirkulasi dalam waktu 1-5 menit.
Konsentrasi puncaknya dicapai setelah 60 menit pemberian.
Biotransformasi dilakukan oleh aminopeptidase dan angiotensin
converting enzyme. Waktu paruh obat ini dalam tubuh manusia hanya
beberapa menit, tetapi efek terapi dapat bertahan selama 20-24 jam. Hal
ini disebabkan oleh senyawa yang terbentuk setelah degradasi
MEHFPGP, yaitu EHFPGP (Glu-His-Phe-Pro- Gly-Pro) dan HFPGP
(His-Phe-Pro-Gly-Pro), juga merupakan neuropeptida yang stabil yang
dapat memodulasi neurotransmitter cholinergic dan membentuk NO
secara independen. Senyawa ini diekskresikan melalui ginjal dan
dibuang melalui urin (Gusev dan Skvortsova,2003; Husada, 2006;
Bashkatova, 2001)
ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 dapat melindungi sel-sel neuron dengan
56
menghambat apoptosis melalui mekanisme penghambatan produksi NO
yang berlebihan oleh iNOSdan pembentukan SOD yang berfungsi
mencegah efek merusak dari ROS (Reactive Oxygen Species)
yaitu radikal bebas oksigen, menghambat runtun reaksi kaspase dengan
meningkatkan protein ant-apoptotik Bcl-2 dan meningkatkan kadar NGF
dan BDNF di serum maupun CSF. ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 ini
telah terbukti mampu memicu secara cepat produksi mRNA growth
factors yang bersifat melindungi sel otak, antara lain Nerve Growth
Factor (NGF) dan BDNF (Shadrina M, 2000).ACTH 4-10 Pro8-
Gly9-Pro10juga dapat menurunkan High Mobility Group Box-1
(HMGB-1) (Fink, 2007).
57
menurunkan sitokin proinflamasi, seperti IL-8, IL1β, dan apoptosis
(Fink, 2007; Jung BK, 2006).
Uji klinis double blind, placebo-controlledterhadap 160
pasien dengan stroke iskemia carotid akut denganACTH 4-10
Pro8-Gly9- Pro10menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 76,6%
pada cedera kepala sedang dan ringan serta 77,3% pada cedera kepala
berat. Setelah pemberian ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 terjadi peningkatan
Bcl-2 sebanyak dua puluh kali lipat dalam CSF pada hari ketiga
dan serum pada hari ketujuh. Pada hari ketiga TGF-1β meningkat
sebesar 30%, NGF naik 18,2%, dan BDNF naik 50%. Kadar SOD
(Superoxide Dismutase) naik 100% dan IL-10 (antiinflamasi)
meningkat 60% yang diikuti dengan penurunan IL-8 dan IL-1β
(proinflamasi) masing-masing sebesar 62% dan 25%. Dari data-data
di atas tampak bahwa ACTH 4-10 Pro8-Gly9-Pro10 bekerja melalui
modulasi positif mekanisme Survival Pathways dan modulasi
negative Death Pathways secara serentak (Gusev dan Skvortsova, 2003;
Husada, 2006).
58
BAB III
KESIMPULAN
Pada cedera kepala akan terjadi kerusakan sel (sel debris). Adanya
kerusakan sel tersebut akan difagositosis oleh makrofag. Makrofag yang
memfagositosis sel debris tersebut akan menjadi aktif dan melepaskan beberapa
sitokin antara lain: IL-6, TNF-α, IL-8, IL-1. IL-6 dan TNF-α, dan akan
menginduksi sumsum tulang untuk pembentukan leukosit (eukositosis),
sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrophil chemotactic factor (NCF), sehingga
neutrofil migrasi ke perifer. Selain itu, TNF-α menginduksi endotel untuk
mengeskpresikan E-selektin, yaitu dalam molekul adesi terhadap eosinofil.
Sedangkan IL-1 berperan untuk menginduksi endotel dan mengekspresikan
VCAM yang merupakan molekul adesi terhadap monosit. Adanya kedua molekul
tersebut mengakibatkan neutrofil dan monosit menempel pada permukaan endotel.
Selanjutnya, sel tersebut melepaskan suatu enzim yaitu myeloperoksidase, yang
menginduksi pelepasan ROS/MDA. Adanya trombosis dan ROS/MDA tersebut
mengakibatkan terjadi gangguan vaskuler pada otak dan akhirnya mengakibatkan
terjadinya iskemia. Iskemia tersebut akan mengakibatkan gangguan pompa
sodium pada astrosit, sehingga astrosit mengalami swelling (pembengkakan).
Selanjutnya, peran IL-1 pada inflamasi (cedera kepala), selain menginduksi
endotel pada vaskuler untuk mengekspresikan E-selektin juga menginduksi
endotel untuk mengekresikan VEGF, yang menginduksi astrosit untuk mensekresi
AQP-4. Aquaporin ini berperan untuk menginduksi dinding vaskuler dan untuk
59
memfasilitasi air masuk ke area interstitial pada jaringan otak sehingga terjadi
peningkatan kadar air padaarea interstitial.
Adanya swelling (pembengkakan) sel-sel pada otak akibat iskemia dan
peningkatan kadar air pada area interstitial maka terjadilah perluasan volume otak
yang kemudian dikenal sebagai edema otak. Adanya edema otak akan
mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang sangat berbahaya
bagi penderita. Untuk mengatasi hal te rsebut dilakukan dengan pemberian
Melatonin. Melatonin ini bekerja menghambat myeloperoksidase. Bila enzim ini
dihambat, maka tidak akan terjadi pembentukan ROS/MDA sehingga kerusakan
jaringan pun tidak terjadi. Oleh karena itu, iskemik dapat dikurangi. Bila iskemik
tidak terjadi,pompa sodium dapat berjalan dengan baik sehingga astrosit tidak
mengalami pembengkakan. Selain menghambat myeloperoksidase, Melatonin
juga bekerja menghambat VEGF. Adanya hambatan VEGF tersebut maka astrosit
tidak terinduksi untuk melepaskan AQP-4 sehingga H2O tidak masuk ke cairan
interstitial dan akhirnya edema otak dapat diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
60
Pathophysiology and biomechanics. J. Neurosurg. 1994, 80, 291–300.
[CrossRef] [PubMed]
6. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Neurotrauma;
neurophatology of head injury, emergency room management of the
head injured patient. USA: Mc Graw Hill;1996.
7. Ganong WF. Fisiologi kedokteran. Jakarta : EGC; 2002
8. Arent AM. Perspectives on Molecular Biomarkers of Oxidative Stress
and Antioxidant Strategies in Traumatic Brain Injury. Volume x; 1-18
pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/723060 Hindawi Publishing
Corporation BioMed Research International. 2014
9. Veenith T, Goon S, Burnstein R, et al. Molecular mechanisms of
traumatic brain injury. 4:7 doi:10.1186/1749-7922-4-7. World Journal
of Emergency Surgery. 2009
10. Nizamutdinov Damir, Shapiro Lee A. Overview of Traumatic Brain
Injury:An Immunological Context. Brain Sci. 7, 11; doi:10.3390.
11. Setti RS, Richard EG. Principle of neurosur gery: increase
intracranial ressure, cerebral edema, and brain herniation. Edisi ke-2.
Philadelphia USA:Elsevier Mosby; 2005.
12. Julian YR. Neurol ogical sur gery: intracranial pressure. Edisi ke-4.
Volume 1. California USA: W.B. Sounders company;1996.
13. Benjamini E. Elements of innate and acquired immunity. In
Immunology a short course. Second Edition, New York.
WileyLiss,1991:17-36.
14. Young B, Ott L, Dempsey R. Relationship between admission
hyperglycemia and neurologic Outcome of severely braininjured
patient. Division of Neurosurgery,University of Kent ucky Medical
Center.1989: 466-72.
15. Tisdall MM, Smith M. Multimodal monitoring in traumatic brain
injury: current status and future directions. British Journal of
Anaesthesia 2007; 99 (1): 61-7.
16. Royo NC, Shimi zu S, Schout en JW.Pharmacology of traumatic brain
Injury.Current Opinion in Pharmacology 2003; 2732.
61
17. Schmidt OI, Infanger M, Heyde, CE. The role of neuroinflammation
in traumatic brain injury, Eur J Trauma 2004; 30:135-49.
18. Harrison MJG. Head injury in contemporary neurology. Butterwoths,
London, 1984: 453462.
62