Anda di halaman 1dari 11

PENGERTIAN ANIMISME, DINAMISME, DAN

TOTEMISME
a. Animisme
Animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami semua benda. Manusia
purba percaya bahwa roh nenek moyang masih berpengaruh terhadap kehidupan di
dunia. Mereka juga memercayai adanya roh di luar roh manusia yang dapat berbuat
jahat dan berbuat baik. Roh-roh itu mendiami semua benda, misalnya pohon, batu,
gunung, dsb. Agar mereka tidak diganggu roh jahat, mereka memberikan sesaji
kepada
roh-roh tersebut.

b. Dinamisme
Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau
kekuatan yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia
dalam
mempertahankan hidup. Mereka percaya terhadap kekuatan gaib dan kekuatan itu
dapat menolong mereka. Kekuatan gaib itu terdapat di dalam benda-benda seperti
keris,
patung, gunung, pohon besar, dll. Untuk mendapatkan pertolongan kekuatan gaib
tersebut, mereka melakukan upacara pemberian sesaji, atau ritual lainnya.

c. Totemisme
Totemisme adalah kepercayaan bahwa hewan tertentu dianggap suci dan dipuja
karena memiliki kekuatan supranatural. Hewan yang dianggap suci antara lain sapi,
ular, dan harimau.
Qadariyah Qadariyah diambil dari bahasa Arab, dasar katanya adalah qadara yang memiliki
arti kemampuan atau kekuasaan. Adapun pengertian qadariyah berdasarkan terminology
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan, artinya tanpa campur tangan Tuhan atau dengan kata lain tidak mengakui adanya
qadar bagi Tuhan. Mereka menyatakan, bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi
segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Dalam bahasa Inggris qadariyah ini diartikan sebagai free will and free act, bahwa
manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan dengan kemauan dan tenaganya.
Jabariyah Jabariyah berasal dari kata yabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-
Syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya
(nafy al-fi'l 'an al'abd haqiqah) dan menyan-darkan perbuatan itu kepada Tuhan. Menurut
paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat
"mampu" (istitha'ah). Manusia sebagai dikatakan Jahm ibn Shafwan, terpaksa atas
perbuatan-perbuatannya, tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak, (iradah), dan pilihan bebas
(al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan
Tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu, perbuatan yang disandarkan kepada
manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada
benda-benda. Misalnya ungkapan, "Pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak.
Jadi nama Jabariah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Memang
dalam aliran ini, sebagai dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia
mengerjakan perbuatan nya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah Inggris, paham ini
disebut fatalisme atau predistination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak
semula oleh qada dan qadarTuhan.

Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah
sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara
qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga
manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan
sikap, dalam paham jabariah adalah mereka mengi’tiqadkan bahwa tiada dosa kalau
memperbuat kejahatan(dosa) karena yang memperbuat itu pada hakikatnya adalah tuhan,
ditariknya lebih panjang bahwa kalau mereka mencuri maka tuhanlah yang mencuri, kalau
berzina maka tuhanlah yang berzina, begitu juga sebaliknya kalau ia shalat maka tuhanlah
yang shalat, sebahagian mereka menarik labih jauh lagi sehingga disatukan dirinya dengan
tuhan, wujudnya dan wujud tuhannya satu, dari sinilah muncul paham wahdatul wujud, yakni
paham bahwa yang ada hanya satu, yaitu DIA.[12] Adapun yang membedakan I’tiqad
jabariah dengan ahlusunnah wal jama’ah adalah bahwa memang semua dijadikan oleh
tuhan, tetapi tuhan pula yang menjadikan adanya ikhtiar dan kasab bagi manusia.
Jabariyah menyatakan bahwa iman cukup kalau sudah mengakui dalam hati saja, walaupun
tidak diikrarkan dengan lisan, hal ini berbeda dengan allusunnah yang menyatakan iman
tidak cukup hanya dengan ikrar dihati saja tetapi iman itu ialah membenarkan dalam hati
dan mengakui dengan lidah.
Dalam masalah takdir ada dua golongan yang tersesat yaitu:[13]
1. Golongan jabariah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa atas
perbuatannya, tidak punya iradah(kemauan) dan qudrah(kuasa).
2. Golongan qadariah yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya
ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya kehendak dan takdir Allah tidak ada
pengaruhnya sama sekali.
Daya yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan perbuatannya mempunyai dua
kemungkinan, yaitu daya itu efektif atau daya itu tidak efektif peran kekhalifahan dengan
tegas dan amanat yang menyertainya berarti manusia berhadapan dengan suatu tantangan,
disisi lain peran kekhalifahan tuhan dibumi adalah suatu pendelegasian wewenang, dengan
kata lain hal itu merupakan pemberian otonomi kepada manusia.[14]
Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan manusia mempunyai dua
tahapan yang berbeda, yaitu:

Pertama, disebut dengan tahapan primordial. Manusia pertama, Adam


a.s. diciptakan dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah
liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang
dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan
ruh dari-Nya ke dalamA diri (manusia) tersebut (Q.S, Al An’aam (6):2, Al
Hijr (15):26,28,29, Al Mu’minuun (23):12, Al Ruum (30):20, Ar Rahman
(55):4).
Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Penciptaan manusia
selanjutnya adalah melalui proses biologi yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari
tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfahitu dijadikan darah beku (‘alaqah)
yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian
dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut
dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh (Q.S, Al
Mu’minuun (23):12-14). Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah swt. ke dalam janin setelah
ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari ‘alaqah dan 40
harimudghah.
Penciptaan manusia dan aspek-aspeknya itu ditegaskan dalam banyak ayat. Beberapa di
antaranya sebagai berikut:
1. Manusia tidak diciptakan dari mani yang lengkap, tetapi dari sebagian kecilnya (spermazoa).
2. Sel kelamin laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin bayi.
3. Janin manusia melekat pada rahim sang ibu bagaikan lintah.
4. Manusia berkembang di tiga kawasan yang gelap di dalam rahim.

A. Setetes Mani
Sebelum proses pembuahan terjadi, 250 juta sperma terpancar dari si laki-laki pada satu
waktu dan menuju sel telur yang jumlahnya hanya satu setiap siklusnya. Sperma-sperma
melakukan perjalanan yang sulit di tubuh si ibu sampai menuju sel telur karena saluran
reproduksi wanita yang berbelok2, kadar keasaman yang tidak sesuai dengan sperma,
gerakan ‘menyapu’ dari dalam saluran reproduksi wanita, dan juga gaya gravitasi yang
berlawanan. Sel telur hanya akan membolehkan masuk satu sperma saja.
Artinya, bahan manusia bukan mani seluruhnya, melainkan hanya sebagian kecil
darinya. Ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Apakah manusia mengira akan dibiarkan tak terurus? Bukankah ia hanya setitik mani
yang dipancarkan?” (QS Al Qiyamah:36-37).
B. Segumpal Darah Yang Melekat di Rahim

Setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut,


Allah menjadikannya segumpal darah yang disebut ‘alaqah.
"Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah". (al ‘Alaq/96:2).
Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, terbentuk sebuah sel
tunggal yang dikenal sebagai “zigot” , zigot ini akan segera berkembang biak dengan
membelah diri hingga akhirnya menjadi “segumpal daging”. Tentu saja hal ini hanya dapat
dilihat oleh manusia dengan bantuan mikroskop.
Tapi, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat
pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan carangnya. Melalui
hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi
pertumbuhannya. Pada bagian ini, satu keajaiban penting dari Al Qur’an terungkap. Saat
merujuk pada zigot yang sedang tumbuh dalam rahim ibu, Allah menggunakan kata “alaq”
dalam Al Qur’an. Arti kata “alaq” dalam bahasa Arab adalah “sesuatu yang menempel pada
suatu tempat”. Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah yang
menempel pada tubuh untuk menghisap darah.
C. Pembungkusan Tulang oleh Otot
Disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an bahwa dalam rahim ibu, mulanya tulang-tulang
terbentuk, dan selanjutnya terbentuklah otot yang membungkus tulang-tulang ini.

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al
Mu’minun:14)
Para ahli embriologi beranggapan bahwa tulang dan otot dalam embrio terbentuk secara
bersamaan. Karenanya, sejak lama banyak orang yang menyatakan bahwa ayat ini
bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Namun, penelitian canggih dengan mikroskop yang
dilakukan dengan menggunakan perkembangan teknologi baru telah mengungkap bahwa
pernyataan Al-Qur’an adalah benar kata demi katanya.
Penelitian di tingkat mikroskopis ini menunjukkan bahwa perkembangan dalam rahim
ibu terjadi dengan cara persis seperti yang digambarkan dalam ayat tersebut. Pertama,
jaringan tulang rawan embrio mulai mengeras. Kemudian sel-sel otot yang terpilih dari
jaringan di sekitar tulang-tulang bergabung dan membungkus tulang-tulang ini.
D. Saripati Tanah dalam Campuran Air Mani
Cairan yang disebut mani tidak mengandung sperma saja. Ketika mani disinggung di Al-
Qur’an, fakta yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern, juga menunjukkan bahwa
mani itu ditetapkan sebagai cairan campuran: “Dialah Yang menciptakan segalanya dengan
sebaik-baiknya, Dia mulai menciptakan manusia dari tanah liat. Kemudian Ia menjadikan
keturunannya dari sari air yang hina.” (Al-Qur’an, 32:7-8).

Tingkatan-tingakatan/Maqam-maqam dalam Tasawuf

1.Syari'at
Syara'a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode.
Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan
aturan-aturan yang ada.
Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu.
2.Thariqat
Thoraqo artinya jalan, perbedaannya dengan syara'a: kalau syara'a jalan di dalam kota, maka
thoraqo jalan ke luar kota yang lebih panjang.
Oleh sebab itu, maka tarekat disebut juga jalan untuk memahami hakekat.
Orang yang menggunakan jalan ini disebut penganut tarekat, yang dipimpin oleh seorang guru
tarekat.
Mereka yang memasuki tarekat berkehendak untuk mendapatkan ridha Allah, dan disebut al-
muridin atau salik atau orang yang menuntut ilmu suluk.
Banyak sekali perkumpulan tarekat seperti Naqsabandiah, Qadiriah, Tijaniah, Sanusiah, dsb.
Pengikut tarekat melakukan wirid-wirid tertentu yang dibimbing oleh guru tarekat.
Tingkat kesadaran: milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.
3.Haqiqat
Haqqo artinya kebenaran.
Wujud dari kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih.
Pada tingkatan ini orang telah memahami makna ibadah yang dilakukan, misalnya sholat mencegah
kemunkaran, makna berzakat, makna berpuasa, makna berhaji.
Tingkat kesadaran: tidak ada milikku, tidak ada milikmu - Semuanya milik Allah.
4.Ma'rifat
Asal katanya arofa artinya tahu ; kenal pada Sang Pencipta.
Batinnya sudah dekat dengan Allah.
Semua gerakannya lillahitaala,
Terucap kata kata : Tuhan sedekat nadi di leher atau Ana al Haq. tidak ada aku, tidak ada kamu; yang
ada hanyalah Allah
Keadaan kehidupan seseorang selalu beragam dan begitu pula keinginannya. Segala sesuatu
yang berkaitan dengan materi akan selalu terbatas adanya. Sedangkan keinginan manusia tidak
terbatas. Sebagian orang mengambil sesuatu yang bersifat materi hanya demi memenuhi
kebutuhan pokok saja. Sedangkan yang lainnya ingin memiliki materi lebih dari yang seharusnya
mereka butuhkan.

Islam melarang umatnya bergaya hidup berlebihan. Sebaliknya, Islam mengajarkan perilaku
zuhud. Zuhud adalah bentuk perilaku tidak mengutamakan dunia, tetapi lebih mementingkan
akhirat. Zuhud adalah maqam atau posisi pengembaraan spiritual yang tinggi. Dan posisi itu
tersusun dalam rangkaian ilmu, hal dan amal sebagaimana posisi-posisi lain.
Syekh Ahmad Kamsakhanawi membagi maqam atau posisi sebagai berikut:

1. Yaqodhoh
Yaqodhoh berarti sadar dari kelalaian dan segera berupaya untuk kembali kepada Allah.

2. Taubah
Taubah berarti berusaha meninggalkan maksiat dan meninggalkan tindakan dan ucapan yang
berlebihan.

3. Muhasabah
Muhasabah artinya berusaha untuk menimbang antara kebaikan dan keburukan.

4. Inabah
Inabah artinya kembali kepada kebajikan setelah taubah.

5. Tafakur
Tafakur artinya menajamkan indera batin (basirah) dan intuisi demi mencapai kemampuan
dalam memahami sesuatu yang bersifat gaib.

6. Tadzakur
Tadzakur artinya mengambil hikmah dan mawa’id dari setiap kejadian.

7. I’tisham
I’tisham artinya berteguh untuk memegang perintah-perintah Allah dengan cara melakukan
ketaatan berdasarkan kitab Al-Quran dan Sunnah Rasul.

8. Firar
Firar artinya menghindari segala sesuatu yang menyebabkan terbengkalainya ketaatan dan
berupaya menghindari kemaksiatan dengan berupaya untuk mengendalikan hawa nafsu.
9. Riyadhah
Riyadhah artinya meninggalkan keinginan-keinginan dan meminimalisir atas tuntutan hak-hak
dan disertai dengan melatih anggota tubuh untuk selalu sejalan berdasarkan syara’ dan tidak
mengikuti tuntutan karakter.

10. Sima’
Sima’ artinya memperhatikan janji dan ancaman Allah SWT.

Prinsip – Prinsip Implikasi Proses Terbentuknya Iman


a. Prinsip pembinaan berkesinambungan
b. Prinsip internalisasi dan individuasi
c. Prinsip sosialisasi
d. Prinsip konsistensi dan koherensi
e. Prinsip integrasi

Pada dasarnya, proses pembentukan iman. Diawali dengan proses perkenalan, mengenal
ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak
mengenal ajaran Allah maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.

Disamping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa
pembiasaan, seseorang bisa saja seorang yang benci menjadi senang. Seorang anak harus
dibiasakan terhadap apa yang diperintahkan Allah dan menjahui larangan Allah agar kelak
nanti terampil melaksanakan ajaran Allah.

Pengertian ittihad dan landasan filosofis ittihad!

Setiap orang akan berbeda dalam mengartikan suatu bahasa atau suatu istilah, begitu pula
dengan kata ittihad pasti setiap orang akan menerjemahkan dan mengartikan secara berbeda
menurut perspektif masing-masing. Adapun ittihad disini menurut bahasa adalah integrasi, menyatu
atau persatuan.[1] Dalam arti bahwa ittihad adalah adanya suatu penyatuan dari seorang atau sesuatu
kapada sesuatu yang lain, dalam bahasa yang sederhananya bisa dikatakan bahwa ada dua benda
yang bergabung menjadi satu.

Pengertian ittihad secara bahasa diatas, cukup memberikan gambaran kepada kita tentang
kata ittihad, akan tetapi berbeda dengan pengertian ittihad dalam istilah Tasawuf Filosofis, yaitu
“ittihad merupakan pengalaman puncak spiritual seorang sufi, ketika terasa dekat dengan Allah,
bersahabat, cinta, dan mengenal-Nya sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan
Allah”.[2] Jadi bisa kita artikan bahwa ittihadmenurut Abu Yazid al-Busthami adalah sebagai
pengalaman puncak dari seorang sufi, dimana indicator dari puncaknya itu adalah sampai ketingkat
bahwa seorang sufi tersebut merasa melebur atau menyatu bersama Allah.

Proses untuk mencapai ittihad!


Ketika kita menginginkan sesuatu, maka hal itu tidak serta merta kita dapatkan. Harus ada
sebuah usaha dan kerja keras yang dilakukan demi mendapatkan apa yang kita harapkan dan
inginkan. Ittihad adalah sebuah puncak dan harapan seorang hamba kepada Tuhannya,
maka ittihadjuga pasti harus didapatkan melalui suatu proses ataupun cara tertentu untuk
mendapatkannya.

Menurut Abu Yazid al-Busthami, “Ittihad diperoleh melalui perjuangan


menggapai maqamat (tangga-tangga rohani) hingga melewatimahabbah dan ma’rifah kemudian
mengalami fana` dan baqa`, yang menjadi gerbang ittihad”.[3] Jadi bisa kita katakan
bahwasanya ittihad itu baru bisa kita dapatkan ketika kita menapaki dengan serius satu-persatu
tangga-tangga rohani yang akan menyampaikan diri kita kepada puncaknya, yaituittihad.

Fana dan Baqa sebagai pintu gerbang ittihad!

Pada proses yang disebutkan oleh Abu Yazid sebagai tangga-tangga rohani (maqamat) untuk
mencapai ittihad, maka disana disebutkan bahwasanya Fana dan Baqa adalah sebagai pintu gerbang
dari ittihad. Fana dan baqa ini adalah merupakan ciri atau pintu gerbang seorang sufi ketika akan
memasuki pengalaman ittihad. Perlu kita ketahui bahwasanya fana dan baqa ini bukanlah
sebuah maqamat yang harus dilalui oleh seorang sufi dalam pencariannya. Melainkan sebagai ahwal
atau suatu keadaan dimana fana dan baqa tersebut datang dan pergi atau ada dan tidak ada semata-
mata hanya karena Allah swt.

Dalam pengertiannya, fana` secara kebahasaan berarti hancur, lenyap dan hilang;
dan baqa` berarti tetap, kekal dan abadi.[4] Dalam Tasawuf fana dan baqa ini datang secara
bersamaan, ketika kesadaran diri dan lingkungan seorang sufi hancur dan lenyap maka pada saat itu
seorang sufi merasa kekal dan menyatu dengan Allah swt. Lebih jelasnya Dalam
tasawuf fana` dan baqa` berarti: ‫ ( فناء الصوفى عن نفسه وبقائه مع هللا‬Lenyapnya kesadaran seorang sufi
tentang dirinya, karena merasa tetap bersama Allah.) atau bisa kita katakan bahwasanya arti
dari fana` mengacu kepada pengalaman spiritual seorang sufi ketika kesadaran ia tentang diri dan
lingkungannya lenyap dan hilang. Sedangkan baqa` adalah keadaan spiritual se-orang sufi, ketika
hijab antara dirinya dan Allah terasingkap (mukasyafah), menyaksikan keagungan Allah
(musyahadah), mengenal-Nya secara langsung (ma’rifah), lalu terpesona oleh keindahan wajah Allah
hingga merasa kekal bersama-Nya.[5] Itulah sebabnya kenapa fana dan baqadisebut sebagai gerbang
dari ittihad, karena keadaan itu adalah suatu tanda atau ciri dari rahmat serta karunia Allah atas
kesediaannya untukMukasyafah (penyingkapan) kepada hambanya.

Pengalaman syathahat!

Secara kebahasan perkatan atau kata syathahat berasal dari kata kerja "syathaha" yang
berarti taharraka, yakni gerak atau tergerak. Jadi menurut bahasa syatahat bisa diartikan dengan
suatu gerak atau suatu benda yang bergerak. Sedangkan dalam bahasa arab syatahat bisa diartikan
dengan :

‫إن الشطح فى لغة العرب هو الحركة ألنها حركة أسرار الواجدين إذا قوي وجدهم فعبروا عن وجدهم ذلك بعبارة بستغرب سامعها‬

"Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang bersumber dari perasaan, ketika
menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya".[6]
Jadi dalam bahasa arab bisa kita artikan dengan adanya sesuatu yang menggerakkan dari
dalam diri, dan gerakan itu semakin kuat maka kemudian tidak bisa ditahan dan meluap keluar
dengan mengeluarkan sebuah ungkapan, dan biasanya ungkapan-ungkapan itu terasa asing didengar
atau tidak seperti ungkapan biasanya.

Menurut kaum sufi syathahat adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika
pertama kali memasuki gerbang ilahi.[7] Selain itu Prof DR Abdurrahman Badawi mengatakan
bahwasanya ada beberapa kondisi emosi dan spiritual para sufi yang bisa mendorong kepada
pengalamansyathahat[8], diantaranya :

(1) Emosi dan spiritual yang sangat begejolak.

(2) Pengalaman puncak spiritual yang dorong ittihad.

(3) Sufi yang mengalami syathahat dalam keadaan sakr (mabuk).

(4) Di dalam lubuk jiwanya mendengar pesan ilahi untuk ittihad.

(5) Semuanya berjalan dengan keadaan seorang Sufi yang tidak menyadari perasaannya.

Selain pengertian diatas, menurut al-Sarraj syatahat adalah suatu keadaan ketika seorang
sufi mengeluarkan ucapan yang lahir dari perasaan yang sedang meluap. Hal ini tidak dinilai secara
lahir. Sufi demikian tidak dalam keadaan mukallaf, oleh karenanya ia berada di luar hukum taklifi
yang berlaku umum.[9] Dari beberapa uraian diatas, maka kita bisa menguraikan bahwasanya
pengalaman syatahat yang terjadi pada seorang sufi yang mengakibatkan pengungkapan suatu
ungkapan yang mungkin terdengar asing oleh kaum awam bukanlah ungkapan seorang sufi. Akan
tetapi suara dari Ilahi melalui lisan seorang sufi.

Contoh-contoh syathahat!

Sebagai seorang sufi, Abu Yazid yang mengembangkan paham ittihad ini telah mengalami
beberapa pengalaman syatahat yang ia sampaikan sendiri kepada muridnya. Ungkapan-
ungkapan syatahat yang disampaikan oleh Abu Yazid terbagi kepada beberapa bagian, hal ini terjadi
karena setiap ungkapan yang disampaikan berbeda maqam atau tingkatannya. Diantaranya sebagai
berikut :

Yang Petama, adalah ungkapan ketika beliau sedang mengalami Fana dan Baqa :

‫أعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت‬

"Aku kenal Dia (Tuhan) melalui diriku hingga aku hancur, kemudian aku kenal Dia melalui diri-Nya
maka aku pun hidup".[10]

‫جننى بى فمت ثم جننى به فعشت فقلت الجنون بي فناء والجنون بك بقاء‬

"Dia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati. Kemudian Dia menjadikan aku gila pada-Nya
dan aku pun hidup. Aku berkata: “Gila pada diriku adalah kehancuran (fana`) dan gila pada-Mu
adalah kelanjutan hidup (baqa`)"]11[ Pada ungkapan ini masih ada jiwa hamba dalam diri AbuYazid
karena beliau baru masuk ke dalam pintu gerbang menuju syatahat.

Kemudian yang kedua, yaitu ketika beliau berada pada detik-detik mengalami ittihad[12] :

‫ فإن أحببت ذلك مني فإني ال‬.‫ فقلت يا عزيزي ال أحب أن أراهم‬.‫ فقال لي يا أبا يزيد إن خلقي يريدون أن يروك‬,‫رفعت مرة حتى أقمت بين يديه‬
‫أقدر أن أخالفك فزيني بوحدانيتك حتى إذا رانى خلقك قالوا رأيناك فتكون أنت ذاك وال أكون انا هناك‬

Kemudian keempat, ketika Abu Yazid mengalami ittihad[13] :

"Abu Yazid berkata sesungguhnya mereka semuanya adalah ciptaan-Ku bukanlah bukanlah selain-Ku,
maka sesungguhnya kamu adalah aku dan aku adalah kamu dan aku adalah kamu".

"Maka telah terputus penghalang, maka menjadi satu kalimat dan segala sesuatu menjadi satu. Maka
berkata kepadaku wahai kamu, maka aku berkata dengannya wahai aku, maka dia berkata kepadaku
kamu sendiri, aku berkata aku sendiri. Dia berkata kepadaku kamu adalah kamu, dan aku berkata aku
adalah aku."

"Maha suci aku, maha suci aku, maha suci aku, tidak ada yang lebih mulia selain aku".

"Datang seorang pemuda ke rumah Abu Yazid, maka dia mengetuk pintu dan berkata "siapa yang ada
dirumah?" maka Abu Yazid menjawab 'tidak ada seorangpun dirumah kecuali Allah 'ajja wajalla".

"Tidak ada dalam jubahku ini kecuali Allah".

Itulah beberapa contoh syatahat yang dialami oleh Abu Yazid ketika ia mengalami atau
terbuai dalam ittihad bersama Allah swt.

Kritik tentang konsep ittihad Abu Yazid al-Bustami!

Konsep ittihad yang disampaikan oleh Abu Yazid yang adanya keharusan untuk berusaha
membersihkan hati dan menyucikan jiwa, untuk mencapai integrasi atau kesatuan dengan Allah.
Konsep ini mengindikasikan adanya penapian akan tanajul atau rahmat dari Allah swt, konsep ini
mengatakan bahwasanya kita bisa berjumpa dengan Allah semata-semata karena usaha kita sendiri
tanpa adanya rahmat dan kasih sayang dari Allah swt. Kemudian tentang adanya fana dan baqa yang
digambarkan sebagai pintu gerbang untuk menuju ittihad itu seakan-akan kta bisa memperkirakan
kondisi kita dan menguasai maqam yang kita jalani pada saat itu dan kita seakan-akan mengetahui
kondisi kegaiban yang terjadi pada kita. Padahal tidak semua kondisi maqam yang kita jalani bisa kita
tentukan dan kita rasakan secara sadar.

Anda mungkin juga menyukai