Anda di halaman 1dari 12

0

PROGRAM KREATIFITAS MAHASISWA

JUDUL :

ARAHAN LOKASI FASILITAS PENDUKUNG


KEGIATAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA
BATU

Diusulkan Oleh :

Eman Syahroni (13.24.020)

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL


MALANG
2015

1) Judul Penelitian
Arahan Lokasi Fasilitas Pendukung Kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Di Kota Batu.
1

2) Latar Belakang
Koridor Jalan Sudiro merupakan salah satu tempat di Kota Batu yang
sering dikunjungi oleh para wisatawan dari luar Kota
Batu maupun dari masyarakat Kota Batu itu sendiri.
Karena di koridor Jalan Sudiro Kota Batu ini terdapat
kurang lebih 50 (lima puluh) tenda-tenda yang mana di
dalamnya menjajakan berbagai macam makanan dan
Gambar 1.1
jajanan, misalnya ayam goreng, angsle dan lain-lain.
Koridor Jalan Sudiro
Oleh karena itu dengan melihat hal-hal tersebut maka
koridor Jalan Sudiro ini mempunyai nilai positif yang mana di dalamnya sangat
mendukung wisata kuliner.
Sehingga kalau ada yang datang ke Kota Batu khususnya masyarakat yang
dari luar Kota Batu tidak lengkap rasanya kalau tidak mengunjungi ”Pasar
Senggol” orang Batu menyebut pedagang kaki lima (PKL) yang ada di koridor
Jalan Sudiro tersebut. Sehingga dengan keadaan yang seperti itu maka secara
otomatis ”Pasar Senggol” tersebut bisa menjadi landmark dari Kota Batu
meskipun Kota Batu juga mempunyai alun-alun sebagai landmarknya.
Selain itu hal tersebut akan menyebabkan pendapatan pedagang kaki lima
(PKL) yang terus meningkat dengan adanya kegiatan pedagang kaki lima (PKL)
di koridor Jalan Sudiro tersebut, kegiatan yang ada di dalamnya juga bisa
menampung lapangan kerja yang sangat luas dan tidak terbatas karena secara
otomatis dengan adanya kegiatan pedagang kaki lima di koridor Jalan Sudiro
tersebut sudah menyedot, menampung, mempekerjakan orang-orang yang mau
bekerja sebagai penjual dan penjaja makanan di dalamnya, baik sebagai pelayan
atau juru parkir dan lain sebagainya. Sehingga dengan hal tersebut pemerintah
Kota tidak perlu repot lagi didalam mengatasi masalah pengangguran, karena
dengan adanya hal ini bisa mengurangi pengangguran tenaga kerja yang ada di
Kota Batu.

Tetapi selain itu dengan kemunculan pedagang kaki lima (PKL) yang
berdagang di koridor Jalan Sudiro, lokasi penempatan gerobak-gerobak atau
tenda-tenda setelah para pedagang berdagang yang sembarangan bahkan
cenderung memakan bibir jalan sangat mengganggu keindahan atau estetika
bahkan citra Kota Batu yang bersih, belum lagi masalah limbah atau sampah.
2

Padahal Menurut pendapat Bromley (1991), dalam Mulyanto (2007),


didalam Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban) terdapat pelarangan
pedagang kaki lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau, jalan, dan badan jalan,
serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun pemerintah harus
mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak ekonomi pedagang kaki
lima .
Selama ini para pedagang kaki lima (PKL) belum sadar akan pentingnya
kebersihan sehingga keindahan di koridor Jalan Sudiro
pun sulit diwujudkan. Biasanya hal negatif ini bisa kita
lihat pada pagi hari, dengan bekas para pedagang kaki
lima (PKL) ini memasak makanan yang mana tumpahan
minyak penggorengan sampai-sampai membuat jalan
Gambar 1.2
yang ada menjadi hitam dan yang jelas memunculkan
Koridor Jalan Sudiro
bau yang tidak sedap serta estetika yang tidak enak
untuk dilihat.
Selain itu juga masalah sampah setelah para pedagang kaki lima (PKL) ini
berjualan, selain mengeluarkan bau yang tidak sedap juga menganggu estetika
sepanjang koridor Jalan Sudiro ini, ditambah lagi gerobak-gerobak atau tenda–
tenda yang di letakkan dilahan kosong dekat koridor Jalan Sudiro ini, yang bisa
kita lihat pada gambar 1.2 sangat menganggu estetika di koridor Jalan Sudiro ini.
Hal ini dikarenakan belum adanya perwadahan atau kebijakan tentang
perwadahan fasilitas bagi para pedagang kaki lima di sepanjang koridor Jalan
Sudiro ini.
3) Perumusan Masalah
Masalah yang muncul berkenaan dengan pedagang kaki lima (PKL) ini
adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan
pedagang kaki lima (PKL) di koridor Jalan Sudiro ini sehingga setelah aktifitas
dilakukan muncul kesemrawutan di dalam perwadahan fasilitas pedagang kaki
lima (PKL) ini dan mengakibatkan kebersihan yang kurang sangat mengganggu
keindahan atau estetika bahkan citra Kota Batu yang bersih.
Rumusan masalah yang perlu dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Pedagang kaki lima (PKL) dianggap sebagai penimbul sampah-sampah yang
mana membuat kebersihan dan keindahan atau estetika koridor Jalan Sudiro
menjadi terganggu sehingga citra Kota Batu yang bersih tercoreng.
3

2. Belum adanya kebijakan di dalam perwadahan oleh Pemerintah Kota Batu di


dalam menentukan lokasi fasilitas untuk pedagang kaki lima (PKL), terutama
pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di koridor Jalan Sudiro Kota Batu.
4) Tujuan Penelitian
Ada tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini di mana Tujuan
utamanya adalah
1. Untuk mengangkat citra pedagang kaki lima (PKL) dan estetika kota sebagai
tujuan wisata terutama wisata kuliner bagi para pengunjung, baik pengunjung
dari dalam Kota Batu sendiri maupun pengunjung dari luar Kota Batu.
2. Sebagai masukan di dalam perencanaan pedagang kaki lima (PKL) di
perkotaan.
5) Luaran yang Diharapkan
Hasil luaran dari penelitian ini adalah sebuah artikel, yang mana sebuah
artikel ini bisa berguna untuk kemajuan Kota Batu di dalam menata kotanya dan
untuk meningkatkan citra pedagang kaki lima (PKL), sehingga citra pedagang
kaki lima (PKL) menjadi lebih positif.
6) Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang bisa di dapat dari penelitian ini adalah
1. Dengan adanya penelitian ini, merencanakan kegiatan pedagang kaki lima
(PKL) yang tertata rapi yang mana membuat wisata kuliner dari wisatawan
baik dari dalam Kota Batu sendiri maupun wisatawan dari luar Kota Batu
menjadi semakin ramai, sehingga devisa Kota Batu meningkat yang berguna
untuk kemajuan dari Kota Batu tersebut.
2. Dengan adanya kegiatan pedagang kaki lima (PKL) di koridor Jalan Sudiro
Kota Batu bisa menambahkan dan menampung lapangan kerja yang sangat
luas dan tidak terbatas, sehingga tingkat kemiskinan di Kota Batu bisa di
turunkan prosentasenya dan kemakmuran masyarakat di Kota Batu bisa di
tingkatkan.
7) Tinjauan Pustaka
Merupakan suatu kajian sangat luas untuk penulisan studi ini yang
kemudian dituangkan dalam landasan teori atau landasan penelitian dimana ini
semua merupakan isi dari tinjauan pustaka adalah teori-teori dan definisi beserta
sumbernya yang dipakai dalam dasar penulisan ini.
a) Sejarah Kata Kaki Lima
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta,
istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan
rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan.
Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian
4

puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan
kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dahulu
sebutannya adalah pedagang emperan jalan, lama -lama berubah menjadi
pedagang kaki lima.
b) Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kaki lima (PKL) sendiri memiliki banyak makna, ada yang
mengatakan term “PKL” berasal dari orang yang berjualan dengan menggelar
barang dagangannya dengan bangku/meja yang berkaki empat kemudian jika
ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya maka menjadi berkaki lima
sehingga timbullah julukan pedagang kaki lima.
Tak hanya itu saja, ada juga yang memaknai pedagang kaki lima (PKL)
sebagai pedagang yang menggelar dagangannya di tepi jalan yang lebarnya lima
kaki (5 feet ) dari trotoar atau tepi jalan.
Ada pula yang memaknai pedagang kaki lima (PKL) dengan orang yang
melakukan kegiatan usaha berdagang dengan maksud memperoleh penghasilan
yang sah, dan dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan yang terbatas,
berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian.

c) Faktor-Faktor Munculnya Pedagang Kaki Lima (PKL)


Menurut pendapat Damsar (1997: 158-159), ciri-ciri dinamis dari konsep
sektor informal yang diajukan Hart menjadi hilang ketika telah dilembagakan
dalam birokrasi ILO. Sektor informal menunjukkan kepada cara perkotaan
melakukan sesuatu dengan dicirikan dengan :
 Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi;
 Perusahaan milik keluarga;
 Beroperasi pada skala kecil;
 Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi
sederhana; dan
 Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif.
Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (1997: 292-293)
dijelaskan bahwa belum ada kebulatan pendapat tentang batasan yang tepat untuk
sektor informal di Indonesia. Tetapi ada kesepakatan tidak resmi antara para
ilmuwan yang terlihat dalam penelitian masalah-masalah sosial untuk menerima
definisi kerja sektor informal di Indonesia sebagai berikut :
 Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari
pemerintah;
5

 Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak punya akses)


bantuan, meskipun pemerintah telah menyediakannya;
 Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi bantuan tersebut
belum sanggup membuat sektor itu mandiri.
Berdasarkan definisi kerja tersebut, disepakati pula serangkaian ciri sektor
informal di Indonesia, yang meliputi :
 Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul
tanpa menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedian secara
formal;
 Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha;
 Pola kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun
jam kerja;
 Pada umumnya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi
lemah tidak sampai ke sektor ini;
 Unit usaha berganti-ganti dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain;
 Teknologi yang digunakan masih tradisional;
 Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga
kecil;
 Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, sebagian
besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja;
 Pada umumnya unit usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan
kalau ada pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri;
 Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri,
atau dari lembaga keuangan tidak resmi; dan
 Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat
kota/desa berpenghasilan rendah atau menengah.
Menurut pendapat Bromley (1991), dalam Mulyanto (2007), pedagang
kaki lima (PKL) merupakan kelompok tenaga kerja yang banyak di sektor
informal. Pandangan Bromley, pekerjaan pedagang kaki lima merupakan jawaban
terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan
migrasi desa ke kota yang besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan
kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan penyerapan teknologi yang
padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan. Menurut Mulyanto
(2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit)
layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship).
d) Perlindungan Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang Kaki
Lima (PKL), namun kita dapat menggunakan beberapa produk hukum yang dapat
6

dijadikan landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima (PKL). Ketentuan


perlindungan hukum bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) ini adalah :
 Pasal 27 ayat (2) UUD 45 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
 Pasal 11 UU nomor 39/199 mengenai Hak Asasi Manusia : “ setiap orang
berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan
berkembang secara layak.”
 Pasal 38 UU nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia :
1. “ Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan
kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang di sukainya
dan ……….”
 Pasal 13 UU nomor 09/1995 tentang usaha kecil : “ Pemerintah
menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan untuk :
1. Menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi
di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian
rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi
pedagang kaki lima (PKL), serta lokasi lainnya.
2. Memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan.
e) Hak-Hak Pedagang Kaki Lima (PKL) Ketika Dilakukan Pembongkaran
Fenomena dalam pembongkaran para PKL ini sangat tidak manusiawi.
Pemerintah selalu menggunakan kata penertiban dalam melakukan
pembongkaran. Sangat disayangkan ternyata didalam melakukan penertiban
sering kali terjadi hal-hal yang ternyata tidak mencerminkan kata-kata tertib itu
sendiri. Kalau kita menafsirkan kata penertiban itu adalah suatu proses membuat
sesuatu menjadi rapih dan tertib, tanpa menimbulkan kekacauan atau masalah
baru. Pemerintah dalam melakukan penertiban sering kali tidak memperhatikan,
serta selalu saja merusak hak milik para pedagang kaki lima atas barang-barang
dagangannya. Padahal hak milik ini telah dijamin oleh UUD 45 dan Undang-
Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Diantaranya
berbunyi sebagai berikut :
 Pasal 28 G ayat (1) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi; keluarga; kehormatan; martabat; dan harta
benda yang dibawah kekuasaannya , serta berhak atas rasa aman dan
7

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat


sesuatu yang merupakan hak asasi.”
 Pasal 28 H ayat (4) UUD 45, berbunyi “ setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang.”
 Pasal 28 I ayat (4) UUD 45, berbunyi “ perlindungan; pemajuan;
penegakan; dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
Negara terutama pemerintah.”
Sedangkan didalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 mengenai
HAM, berbunyi sebagai berikut :
 Pasal 36 ayat (2) berbunyi “ tidak seorang pun boleh dirampas hak
miliknya dengan sewenang-wenang.”
 Pasal 37 ayat (1) berbunyi “ pencabutan hak milik atas sesuatu benda demi
kepentingan umum; hanya dapat diperbolehkan dengan mengganti
kerugian yang wajar dan segera diperbolehkan dengan mengganti kerugian
yang wajar dan serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang ada.
 Pasal 37 ayat (2) berbunyi “ apabila ada sesuatu benda berdasarkan
ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak
diberdayakan baik itu untuk selama-lamanya maupun untuk sementara
waktu, maka hal itu dilakuakan dengan mengganti kerugian.
 Pasal 40 berbunyi “ setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak.”
Ketika pemerintah melakukan pengrusakan terhadap hak milik para PKL
ini, maka ia sudah melakukan perbuatan melanggar hukum, yakni ketentuan yang
terdapat dalam hukum pidana dan juga ketentuan yang terdapat didalam hukum
perdata.
Adapun ketentuan yang diatur didalam hukum pidana adalah :
Pasal 406 ayat (1) KUHPidana berbunyi : “ Barang siapa dengan sengaja
dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak
dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau
sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan.”
Sedangkan ketentuan yang diatur didalam Hukum Perdatanya adalah
Pasal 1365 berbunyi : “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
8

Harus diakui juga memang benar bahwa PKL melakukan suatu perbuatan
pelanggaran terhadap ketentuan yang ada didalam perda. Akan tetapi pemerintah
juga telah melakukan suatu perbuatan kejahatan ketika ia melakukan pengrusakan
atas hak milik barang dagangan PKL, dan pemerintah juga harus mengganti
kerugian atas barang dagangan PKL yang dirusak.
Pemerintah belum pernah memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa
ketika para PKL ini di gusur, mereka harus berjualan di tempat seperti apa.
Jangan-jangan tempat yang dijadikan relokasi para PKL tersebut, ternyata
bukanlah suatu pusat perekonomian. Sekarang ini penguasaan pusat kegiatan
perekonomian justru di berikan pada pasar-pasar hipermart atau pasar modern
dengan gedung yang tinggi serta ruangan yang ber AC. Para pedagang kecil hanya
mendapatkan tempat pada pinggiran-pinggiran dari kegiatan perekonomian
tersebut.
8) Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara-cara peneliti untuk melakukan suatu
penelitian agar tercapai tujuan yang diinginkan. Didalam metode penelitian ini
terdapat tahapan penelitian seperti pendekatan studi, tahapan pengumpulan data
yang terdiri dari survey primer dan survey sekunder.
a) Metode Pendekatan studi
Metode pendekatan studi yang digunakan adalah :
 Identifikasi variabel-variabel amatan sebagai data untuk menentukan
arahan lokasi fasilitas untuk pedagang kaki lima (PKL) dikoridor jalan
Sudiro Kota Batu.
 Deskriptif analisa yaitu mengkaji data-data yang dikumpulkan berupa
variabel-variabel amatan dari hasil kuesioner serta wawancara sebagai
masukan utama yang kemudian dianalisa berdasarkan landasan teori yang
digunakan sehingga diperoleh suatu gambaran sebagai formulasi arahan
lokasi fasilitas pendukung pedagang kaki lima (PKL) untuk mengangkat
citra pedagang kaki lima (PKL) dan estetika citra kota.
b) Tahap Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data (survey) dilakukan dengan dua cara yaitu
survey primer berupa pengamatan langsung di lapangan serta wawancara
(penyebaran kuisioner), dan survey sekunder, berupa pengambilan data di
instansi-instansi terkait lainnya yang ada di lokasi studi.
 Survey primer :
1. Metode Observasi.
9

Survey lapangan (pengamatan langsung/observasi secara sistematis


terhadap lokasi studi dengan disertai dokumentasi ) untuk mengetahui
kondisi wilayah studi berupa kondisi fisik dasar, fisik binaan, sosial,
ekonomi maupun prasarana.
Observasi dilakukan dilakukan dengan cara :
a. Mendatangi dan mengamati secara langsung yang terbentuk pada
lokasi penelitian berdasarkan pembagian waktu observasi.
b. Mengambil foto dan menggambar sketsa yang tercipta pada alat
survey (desain survey), mengukur luasan masing-masing.
c. Mencatat dan mengambil gambar pemanfaatan ruang utama
(fungsi utama ruang) lokasi penelitian yang digunakan.
2. Metode Wawancara
Didalam wawancara ini maksudnya ialah untuk menjaring
sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan
bangunannya (Construction). Tujuannya adalah untuk merinci
kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik. Maksud
kedua dari sampling ini ialah menggali informasi yang akan menjadi
dasar dari rancangan teori yang muncul.
Penyebaran kuisioner dan wawancara yang dimaksudkan
adalah dengan cara pendekatan kuantitatif atau terukur yang dilakukan
dengan membuat suatu daftar pertanyaan tertulis maupun tidak tertulis
dan kemudian diisi atau dijawab oleh responden. Metode kuisioner dan
wawancara ini merupakan metode yang berdasarkan pada laporan
tentang diri sendiri atau self report dengan pertimbangan sebagai
berikut :

a. Bahwa responden adalah orang mengerti tentang kondisi di


lapangan dan berhubungan dengan masalah yang ada.
b. Apa yang dinyatakan oleh responden kepada peneliti adalah benar
dan dapat di percaya.
c. Interpretasi responden terhadap pertanyaan- pertanyaan yang
diajukan kepadanya adalah sama dengan yang di maksud oleh
peneliti.
 Survey sekunder :
10

Langkah metodologi selanjutnya adalah survey sekunder adalah


dengan cara memperoleh data-data dengan melalui studi literatur dan survey
instansi atau dinas terkait. Berbagai data dan literatur yang dapat diperoleh
adalah dari :

1. Instansi pemerintah yang terkait langsung dengan pariwisata, instansi


tersebut antara lain :
a. BAPPEKOT untuk memperoleh data tentang batas wilayah studi
dalam bentuk peta dan uraian dan untuk memperoleh data tentang
penggunaan lahan kawasan perdagangan di Kota Batu.
b. Badan Pusat Statistik merupakan instansi yang melakukan
pencatatan, dokumentasi dan pengukuran terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi pada suatu wilayah administrasi baik
demografi, sosial, ekonomi, maupun politik dan kelembagaan.
c. Kantor Desa atau kelurahan yang menjadi loksi studi untuk
memperoleh data sosial dan ekonomi.
2. Studi literatur untuk menelaah, menguatkan dan menunjang isi
tulisan/laporan terutama dalam penyempurnaan kajian teori dan istilah-
istilah yang digunakan. Data-data yang diperoleh dan dihasilkan
bersumber dari buku-buku laporan hasil penelitian dan makalah-
makalah mengenai pedagang kaki lima (PKL).
3. Koran atau media cetak lainnya yang dapat memberikan informasi
mengenai pedagang kaki lima (PKL) serta situs-situs internet yang
berkaitan dengan masalah pedagang kaki lima (PKL).

9) Daftar Pustaka

Black A. James & Champion Dean J. Metode dan Masalah Penelitian Sosial.
Refika Aditama. Bandung 1999.
Haryadi & Setiawan B, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. P3SL Dirjen
Pendidikan Tinggi Depdikbud. Yogyakarta. 1995.
Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Untuk Pelajar. Penerbit Kartika
Surabaya. 1997.
11

Lexy J. Moleong, MA. Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya.


Bandung. 2002.
Zahnd, Markus. Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. 1999.

Anda mungkin juga menyukai