PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap tahun lebih dari 95% kasus baru Pneumonia terjadi di negara
berkembang, lebih dari 50% kasus Pneumonia berada di Asia Tenggara dan
Sub- Sahara Afrika. Dilaporkan pula bahwa ¾ kasus Pneumonia pada balita
di seluruh dunia berada di 15 negara. Berdasarkan data WHO, pada tahun
2008 terdapat 8,8 juta kematian anak di dunia, dari jumlah kematian anak
tersebut 1,6 juta kematian anak disebabkan oleh Pneumonia. Kasus
pneumonia di Indonesia mencapai 6 juta jiwa sehingga Indonesia berada di
peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia (WHO, 2008).
1
menjadi 11,2% pada tahun 2007. Namun mengalami penurunan sebesar 4,5%
pada tahun 2013 (Said, 2010).
2
Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas
cepat,penyakit ini sering menyerang anak balita, namun juga dapat ditemukan
padaorang dewasa, dan pada orang usia lanjut. Pneumonia adalah proses
infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya
Pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan proses infeksi akut pada
bronkus (biasa disebut broncho Pneumonia) (Dinkes RI, 2009).
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi pada anak yang serius
dan merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
yang paling banyak meyebabkan kematian pada balita. Pneumonia
menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia dan 30% dari
seluruh kematian yang terjadi (Machmud, 2006).
3
puskesmas ditahun 2014 sebesar 57% mengalami peningkatan ditahun
sebelumnya yaitu sebesar 26% pada tahun 2013 sedangkan di tahun 2012
hanya sebesar 25% (Dinkes Provinsi Jawa Barat, 2014).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran hubungan tingkat pengetahuan tenaga
kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana
MTBS batuk di Puskesmas Kota Cianjur?
4
2. Bagaimanakah gambaran hubungan tingkat pengetahuan tenaga
kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana
MTBS batuk di Puskesmas Kabupaten Cianjur?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Primer
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat
pengetahuan tenaga kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap
penerapan tata laksana batuk menurut MTBS di Puskesmas Kota
Cianjur.
2. Tujuan Sekunder
Tujuan sekunder dari penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan tenaga kesehatan mengenai
MTBS batuk.
b. Mengidentifikasi penerapan tata laksana batuk menurut MTBS
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
c. Mengidentifikasi hubungan antara tingkat pengetahuan tenaga
kesehatan mengenai MTBS batuk terhadap penerapan tata laksana
batuk menurut MTBS
d. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik tenaga kesehatan
terhadap penerapan tata laksana batuk menurut MTBS
e. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik tenaga kesehatan
terhadap tingkat pengetahuan mengenai MTBS batuk
f. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik responden dan
tingkat pengetahuan responden mengenai MTBS batuk terhadap
penerapan tata laksana batuk menurut MTBS.
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi tenaga kesehatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran terkait penerapan
MTBS batuk di Puskesmas Kota Cianjur.
5
b. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi
Puskesmas dalam meningkatkan pelayanan pada anak dengan
pendekatan MTBS sehingga dapat membantu mengatasi masalah
pneumonia pada balita
c. Bagi keilmuan
Penelitian ini dapat menjadi evidence based practice dalam ilmu
keperawatan sehingga menjadi landasan ilmu bagi profesi
keperawatan dalam mengembangkan praktik ilmu keperawatan anak
dalam mengatasi masalah batuk pada balita.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep dan Gangguan Keperawatan
1. Pengertian ISPA dan Pneumonia
a. Pengertian ISPA
Istilah ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut mengandung tiga
unsur yang masing – masing mempunyai arti sebagai berikut :
1) Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit.
2) Saluran pernafasan adalah organ tubuh mulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga
tengah dan pleura, sehingga secara anatomis ISPA mencakup saluran
pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (ternasuk
jaringan paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.
3) Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. 14 hari
diambil
sebagai infeksi akut.Dengan demikian yang dimaksud dengan ISPA
adalah penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pernafasan
bagian atas, yang berlangsung sampai dengan 14 hari (Sjenileida,
2002).
b. Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-
paru (alveoli), dengan gejala batuk pilek yang disertai nafas sesak atau nafas
cepat. Penyakit ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Secara klinis
pada anak yang lebih tua selalu disertai batuk dan nafas cepat dan tarikan
dinding dada ke dalam. Dan berkembang biak sehingga menimbulkan
penyakit. Namun pada bayi seringkali tidak disertai batuk (Profil Puskesmas
Bandar Khalipah, 2013).
2. Penyebab Pneumonia
a. Pneumonia Karena Infeksi Bakteri
Bakteri pada umumnya muncul antara lain :
1) Pneumonia karena infeksi Streptococus pneumonia
Streptococus adalah penyebab pneumonia bakteri yang paling
sering, terutama pada anak kecil. Streptococus pneumonia sudah ada
di kerongkongan manusia yang sehat. Begitu pertahanan tubuh
7
menurun oleh sakit, usia tua, malnutrisi, bakteri akan segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan (Misnadiarly,
2008).
Penyakit ini ditandai dengan gejala akut seperti demam, nyeri
pada bagian dada dan pernapasan cepat yang sering disertai suara
mendengkur. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan konsolidasi
segmen atau lobus dan dikonfirmasi dengan rontgen (Hull dan
Johston, 2008).
Stadium dari pneumonia karena Pneumococcus adalah sebagai
berikut :
a) Kongesti (4-12 jam pertama) : eksudat serosa masuk ke
dalam alveolus dari pembuluh darah yang bocor.
b) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya): paru-paru tampak
merah dan tampak bergranula karena sel darah merah, fibrin,
dan leukosit PMN mengisi alveolus.
c) Hepatisasi kelabu (3-8 hari): paru-paru tampak abu-abu
karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi dalam
alveolus yang terserang.
d) Resolusi (7-11 hari): eksudat mengalami lisis dan
direabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
kepada struktur semula (Husni dkk, 2012).
b. Pneumonia karena infeksi Haemophilus Influenza tipe B
Di seluruh dunia dilaporkan bahwa infeksi ini merupakan
penyebab kedua tersering pada pneumonia bakteri. Rontgen toraks
biasanya memperlihatkan pola bronkopneumonia yang menyebar dan
tidak memperlihatkan bayangan pada lobus.
Umunya berespon terhadap pengobatan amoksilin oral (Hull dan
Johnston, 2008).
c. Pneumonia karena Infeksi Stafilokokus aurerus
Stafilokokus aurrus merupakan infeksi sekunder yang sering
menyerang pasien rawat inap yang lemah, dan cenderung menyebabkan
bronkopneumoni. Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam yang
tinggi dan septicemia, disertai
konsolidasi segmen atau lobus yang mungkin akan mengakibatkan
8
komplikasi empisema atau pneumutoraks yang memerlukan drainase
(Hull dan Johnston, 2008).
d. Pneumonia karena infeksi Klebsiella sp
Ciri khas dari pneumonia jenis ini adalah sputum kental yang
disebut ‘Red Currant Jelly’. Kebanyakan pasien klebsiella adalah laki-
laki usia pertengahan atau tua yang menjadi peminum alcohol kronik
atau yang menderita penyakit kronik lainnya (Price, Sylvia Anderson dan
Wilson, 2006).
e. Pneumonia karena Infeksi Pseudomonas sp
Pneumonia jenis ini paling sering ditemukan pada pasien yang
sakit berat yang dirawat dirumah sakit, atau yang mengalami supresi
sistem pertahanan tubuh (misal, pasien dengan leukimia atau
transplantasi ginjal yang mendapat obat imunosupresif dosis tinggi.
Infeksi Pseudomonas sering kali diakibatkan kontaminasi
peralatan ventilasi (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006).
f. Pneumonia karena Infeksi Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Saat ini makin banyak virus yang berhasil diidentifikasi. Sebagian besar
pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun
apabila infeksi terjadi bersamaan dengan influenza, gangguan bisa berat
dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
g. Pneumonia karena Infeksi Mikoplasma
Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan tanda-tanda fisiknya bila
dibandingkan dengan pneumonia pada umumnya. Karena diduga
disebabkan oleh virus yang belum ditemukan dan sering disebut
pneumonia yang tidak tipikal (Atypical Pneumonia). Pneumonia yang
dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas . angka tersebar
luas. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada
yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
h. Pneumonia Jenis Lain
Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carini Pneumonia (PCP)
yang diduga disebabkan oleh jamur. PCP dan biasanya menjadi tahap
awal serangan penyakit pada pengidap HIV/AIDS (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia Carini belakangan ini menjadi infeksi berat yang fatal bagi
penderita AIDS akibat kelemahan sistem kekebalan tubuh mereka. PCP
9
merupakan infeksi oportunistik dan dapat juga terjadi pada pejamu
dengan gangguan imunitas seperti pasien yang
mendapat terapi imunisupresif untuk pengobatan kanker atau
transplantasi organ (Price, Sylvia Anderson dan Wilson, 2006).
Pneumonia lain yang lebih jarang adalah disebabkan oleh
masuknya makanan, cairan, gas, debu, maupun jamur. Ricketsia juga
masuk golongan antara virus dan bakteri yang menyebabkan demam
Rocky Mountai, demam Q, Tipus dan Psittacocis (Misnadiarly, 2008).
3. Klasifikasi Pneumonia
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) berdasarkan agen penyebab
dikategorikan sebagai berikut :
a. Pneumonia Bakterialis
Pneumonia yang disebabkan oleh, Pneumonia Streptokokus;
Pneumonia Stafilokokus; Pneumonia Klebsiella; Pneumonia
Pseudomonas; Haemophilus Influenza.
b. Pneumonia Atipikal
Pneumonia atipikal beragam gejalanya, tergantung kepada agen
penyebab,Penyakit Legionnaires ; Pneumonia Mikoplasma;
Pneumonia Virus; Pneumonia Pneumosistis Carinii (PPC);
Pneumonia Fungi; Pneumonia Klamidia; Tuberkulosis.
10
Kekauan dan nyeri otot; Sesak napas; Menggigil; Berkeringat; Lelah;
Terkadang kulit menjadi lembab ; Mual dan muntah.
5. Faktor Resiko Pneumonia Balita
Beberapa faktor resiko yang meningkatkan insidens pneumonia antara
lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat
ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak
memadai, membedong anak ( menyelimuti berlebihan) dan defisiensi vitamin
A. Sedangkan faktor resiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia
antara lain umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosio ekonomi rendah, gizi
kurang, BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat jangkauan
pelayanan kesehatan yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang
tidak memadai dan menderita penyakit kronis.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi
menjadi 4 (empat) faktor, yaitu : faktor anak, faktor ibu, faktor sosio
ekonomis, faktor lingkungan.
a. Faktor Anak
1) Umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan
anak balita. Anak berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk
pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur antara 2
sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan
resiko pneumonia, disebabkan imunitas yang belum sempurna
dan lubang saluran pernapasan yang relatif masih sempit.
Menurut hasil penelitian oleh Sulaeman dan Endang Sutisna
(2011),menyatakan bahwa usia anak berhubungan dengan
kejadian pneumonia balita. Anak yang berusia lebih muda,
beresiko untuk menderita pneumonia 2,48 kali lebih besar
dengan anak yang berusia lebih tua.
2) Status Gizi
Status gizi balita secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan 3 hal, yaitu antara berat badan terhadap umur,
tinggi/panjang badan terhadap umur, dan berat badan terhadap
tinggi/panjang badan dengan rujukan standar yang telah
ditetapkan. WHO merekomendasikan baku WHO –NCHS
11
(National Center of Health Statistic, USA) sebagai referensi
penentuan status gizi balita.
Status gizi merupakan salah satu indikator kesehatan dan
kesejahteraan anak. Problem status gizi berupa malnutrisi. Balita
dengan keadaan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang
ISPA dibandingkan dengan gizi normal karena faktor daya tahan
tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan
balita tidak nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.
Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA
berat”, bahkan serangannya lebih lama.
Beberapa penelitian prospektif yang pernah dilakukan yang
membahas insidens dan keganasan ISPA pada anak-anak bergizi
buruk dinegara berkembang secara konsisten menunjukan bahwa
anak-anak bergizi buruk di negara berkembang secara konsisten
bahwa anak-anak kelompok gizi buruk mengalami peningkatan
resiko untuk terjadinya penyakit ISPA.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulaeman dan Endang
Sutisna (2011), menyatakan bahwa balita yang status gizinya
kurang mempunyai resiko untuk menderita pneumonia 3,19 kali
lebih besar dibandingkan dengan balita yang status gizinya baik.
3) Jenis Kelamin
Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5
tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak
menyerang balita berjenis kelamin lakilaki (52,9%) dibandingkan
perempuan.
4) Status Imunisasi
Imunisasi bertujuan memberikan kekebalan kepada anak
terhadap penyakit dan menurunkan angka kematian dan
kesakitan yang disebabkan penyakit-penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Seperti diketahui 43,1% - 76,6% kematian
ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Bila anak sudah
dilengkapi dengan imunisasi DPT dan Campak, dapat diharapkan
perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat.
12
Berdasarkan penelitian di Dian Rahayu pada tahun 2007,
menunjukan hubungan antara status imunisasi campak dan
timbulnya kematian akibat pneumonia, antara lain anak-anak
yang belum pernah menderita campak dan belum mendapatkan
imunisasi campak mempunyai resiko meninggal yang lebih
besar.Selain itu, dari hasil pengamatan selama 58 tahun periode
penelitian di Amerika Serikat terhadap kematian karena
pneumonia balita yang diamati sejak tahun 1939 sampai 1996
menunjukan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan
kematian akibat pneumonia.
5) Berat Badan Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai
resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat
lahir normal. Hal ini terutama terjadi pada bulan-bulan pertama
kelahiran, sebagai akibat dari pembentukan zat anti kekebalan
yang kurang sempurna sehingga leih mudah terkena penyakit
infeksi terutama pneumonia dan penyakit saluran pernapasan
lainnya (WHO, 2011
6) Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti
infeksi. ASI juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita
untuk menghadapi pathogen yang masuk ke dalam tubuh. Jenis
proteksi pasif berupa anti bacterial dan anti viral yang dapat
menghambat kolonisasi oleh spesies gram negative. Pemberian
ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan bayi dapat
mengurangi insiden dan keparahan penyakit infeksi.Penelitian
Dian Rahayu (2007) menunjukan bahwa ASI melindungi bayi
terhadap berbagai penyakit infeksi dan infeksi usus.
7) Riwayat terserang campak
Bayi dan anak balita yang pernah terserang campak dan
sembuh akan mendapat kekebalan alami terhadap terjadinya
pneumonia sebagai komplikasi campak.
8) Pemberian vitamin A
Menurut Dian Rahayu (2007) dikatakan bahwa ada
hubungan antara pemberian vitamin A dengan resiko terjadinya
13
ISPA. Penelitian ini mengungkapkan bahwa anak dengan
Xerophtalamin ringan memiliki resiko dua kali menderita ISPA,
terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun. Penelitian
yang dilakukan oleh Herman (2002), dinyatakan bahwa balita
yang tidak pernah mendapatkan vitamin A dosis tinggi lengkap
mempunyai faktor resiko untuk menderita pneumonia 4 kali
dibandingkan dengan balita yang mendapatkan vitamin A dosis
tinggi lengkap.
b. Faktor Ibu
1) Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang unsure - unsurnya
terdiri dari masukan yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu
suatu bentuk perilaku atau kemauan baru. Pendidikan baik
formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam
membuat keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan
formal seorang ibu, semakin mudah pula ia menerima pesan-
pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat pemahamannya
terhadap pencegahan dan implementasi penyakit pada bayi dan
anak balitanya.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Husni dkk (2012), balita
yang lahir dari ibu yang berpendidikan rendah mempunyai resiko
2,037 kali lebih besar untuk menderita pneumonia bila
dibandingkan dengan balita yang lahir dari ibu berpendidikan
tinggi.
2) Pengetahuan Ibu
Pengetahuan ibu tentang pneumonia dapat diperoleh baik
dari pengalaman sendiri maupun dari pengalaman orang lain.
Pengetahuan yang mencakup cara mengenal pneumonia dan
pengelolaan pneumonia akan berpengaruh menurunkan angka
kematian dan angka kesakitan akibat penyakit pneumonia.
c. Faktor Lingkungan
1) Pencemaran Udara di Dalam Rumah
Udara yang bersih merupakan komponen yang utama
didalam rumah yang sangat diperlukan manusia untuk hidup
sehat. Sirkulasi udara yang bersih berkaitan dengan ventilasi.
14
Kebanyakan rumah di perkotaan tidak mempunyai jendela dan
lubang angin karena kepadatan bangunan sehingga tidak ada
sinar matahari yang masuk, sehingga udara terasa pengap. Asap
rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dan untuk pernapasan dengan konsentrasi tinggi dapat merusak
mekanisme pertahanan paru sehingga memudahkan timbulnya
penyakit ISPA. Hal seperti ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang baik dan dapur terletak di dalam
rumah atau bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan
balita bermain. Resiko pada bayi dan balita lebih tinggi karena
bayi dan anak balita lebih lama berada dalam rumah bersama-
sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih
meningkat
2) Kepadatan Hunian
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan
faktor polusi dalam rumah. Tempat tinggal yang sempit,
penghuni yang banyak, kurang ventilasi, kurang pengertian akan
perilaku hidup bersih dan sehat dapat mempermudah terjadinya
penularan ISPA/ pneumonia. Ada hubungan yang bermakna
antara kepadatan hunian dan kematian karena bronchopneumonia
pada bayi
3) Jarak ke Fasilitas Kesehatan
Bayi atau anak balita yang bertempat tinggal jauh dari
fasilitas kesehatan bisa terserang ISPA lebih cenderung
menderita pneumonia atau pneumonia berat karena terlambat
mendapat pertolongan. Hasil penelitian oleh Hatta (2001)
menyatakan jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia balita.
Dengan OR=0,436 dikatakan bahwa balita yang dekat dengan
sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang lebih jauh dari sarana
kesehatan.
4) Wilayah tempat tinggal
15
Orang yang tinggal di perkotaan lebih mudah untuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan disbanding dengan orang yang
tinggal di pedesaan.
16
Batuk atau kesulitan dalam bernapas ditambah salah satu yang ada
dalam hal berikut ini : Kepala terangguk-angguk, Pernapasan cuping
hidung, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, Foto dada
menunjukan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll).
7. Pencegahan Pneumonia
a. Hindarkan bayi/balita dari paparan asap rokok, polusi udara, serta
tempat keramaian yang berpotensi menghasilkan penularan dan polusi
tidak baik.
b. Hindarkan bayi/balita dengan pasien yang terkena ISPA.
c. Pemberian ASI secara rutin.
d. Segera berobat jika anak kita mengalami panas, batuk, pilek. Terlebih
jika disertai suara serak, sesak napas, dan adanya tarikan pada otot di
antara rusuk (retraksi)
e. Periksakan kembali jika dalam 2 hari belum menampakkan perbaikan
dan segera ke Rumah Sakit jika kondisi anak memburuk.
f. Imunisasi Hib untuk memberikan kekebalan terhadap Haemphilus
influenza, vaksin Pneumokokal Heptavalen (mencegah IPD=Invasive
pneumococcal disease) dan vaksinasi influenza pada anak dengan
resiko tinggi, terutama usia 6-23 bulan (Misnadiarly , 2008).
17
2. Penatalaksanaan Pneumonia dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit
a. Penilaian dam Klasifikasi Anak Sakit
1) Menanyakan kepada ibu mengenai masalah anaknya
Bagan MTBS tidak digunakan bagi anak sehat yang dibawa untuk
imunisasi atau bagi anak dengan keracunan, kecelakaan atau luka
bakar. Tentukan apakah kunjungan merupakan kunjungan pertama
atau kunjungan ulang.
2) Memeriksa tanda bahaya umum
Periksa tanda bahaya umum pada anak sakit. Anak dengan tanda
bahaya umum memiliki masalah kesehatan serius dan sebagian besar
perlu segera dirujuk.
Tanda bahaya umum adalah:
a) Tidak bisa minum atau menyusui
b) Memuntahkan semuanya
c) Kejang
d) Letargis atau tidak sadar
3) Penilaian dan klasifikasi batuk atau sukar bernapas
Anak dengan batuk atau sukar bernapas mungkin menderita
pneumonia atau infeksi saluran pernapasan berat lainnya. Anak yang
menderita pneumonia, paru mereka menjadi kaku, sehingga tubuh
bereaksi dengan bernapas cepat, agar tidak
terjadi hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia
bertambah parah, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan
dinding dada ke dalam.
a) Menilai batuk atau sukar bernapas
Anak yang batuk atau sukar bernapas dinilai untuk: Sudah berapa
lama anak batuk atau sukar bernapas, Napas cepat, Tarikan
dinding dada ke dalam,Stridor (Depkes, 2008).
b) Klasifikasi batuk atau sukar bernapas Pada umumnya klasifikasi
mempunyai tiga lajur :
Klasifikasi pada lajur merah muda berarti anak
memerlukan perhatian dan
harus segera dirujuk. Ini adalah klasifikasi yang berat
Klasifikasi pada lajur kuning berarti anak memerlukan
tindakan khusus, misalnya pemberian antibiotik,
18
antimalaria, cairan dengan pengawasan atau pengobatan
lainnya.
Klasifikasi pada lajur hijau berarti anak tidak
memerlukan tindakan medis khusus, tenaga kesehatan
mengajari ibu cara merawat anak di rumah.
Ada tiga kemungkinan klasifikasi bagi anak dengan
batuk atau sekedar bernapas
GEJALA KLASIFIKASI
Ada tanda bahaya umum atau tarikan PNEUMONIA BERAT ATAU
dinding ke dada kedalam atau stridor PENYAKIT SANGAT BERAT
Nafas cepat PNEUMONIA
Tidak ada tanda-tanda pneumonia atau BATUK : BUKAN PNEUMONIA
penyakit berat
3. Fokus Penelitian
Pada prinsinya keberhasilan implementasi pneumonia dengan
manajemen terpadu balita sakit (MTBS) dapat di ukur melalui indikator
masukan (input), proses (process), dan luaran (output). Oleh karena itu fokus
penelitian dapat disusun sebagai berikut :
Input :
19
Berdasarkan gambaran diatas, dapat dirumuskan bahwa definisi focus penelitian
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode pendekatan
kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam
tentang implementasi pneumonia dengan manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
di Puskesmas Bandar Khalipah. Pendekatan kualitatif menurut Frey et al yang
dikutip oleh Herdiansyah (2012) adalah penelitian yang bertujuan untuk
menangkap dan memberi gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode
untuk mengeksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk memberikan
penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti.
C. Setting Penelitian
Menjelaskan tempat atau lokasi penelitian dilakukan.Lokasi penelitian
ini sekaligus membatasi ruang lingkup penelitian tersebut,misalnya apakah
ditingkap Provinsi,Kabupaten,kecamatan atau tingkat institusi tertentu
(Notoatmodjo,2010).Pengambilan studi ini dilakukan di Puskesmas Kota
Cianjur.
21
D. Subjek Penelitian/Partisipan
Informan dalam penelitian ini adalah :
1. Kepala Puskesmas Kota Cianjur
2. Penanggung jawab Ruang Poli Anak dimana MTBS dilaksanakan
3. Tenaga kesehatan pengelola MTBS
4. Ibu balita yang datang ke Puskesmas yang anaknya menderita salah satu dari
klasifikasi pneumonia menurut MTBS.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui :
a. Wawancara, yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara
semiterstruktur yang dilengkapi dengan pedoman wawancara yang
dijadikan patokan dalam alur, urutan dan penggunaan kata
(Herdiansyah, 2012)
b. Observasi, yaitu sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan
mencermati prilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu
(Cartwright dalam Herdiansyah(2012). Observasi disini yaitu
mengamati bagaimana implementasi pneumonia pada balita dengan
MTBS oleh tenaga kesehatan di Puskesmas.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Cianjur dan Puskesmas Kota Cianjur , dan referensi
buku-buku serta hasil penelitian yang berhubungan dengan implementasi
pneumonia dengan MTBS.
22
G. Metode Analisa Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara manual, yaitu dengan
menuliskan hasil penelitian dalam bentuk table hasil wawancara mendalam,
kemudian meringkas nya dalam bentuk matriks yang disusun sesuai bahasa baku
jawaban informan. Ringkasan ini kemudian di uraikan kembali dalam bentuk
narasi dan melakukan penyimpulan terhadap analisa yang telah didapat secara
menyeluruh.
H. Etika Penelitian
Sebelum melakukakan penelitian,peneliti mengajukan surat
permohonan untuk mendapatkan ijin melakukan peneliti di Puskesmas
Kota Cianjur.Setelah ada persetujuan barulah peneliti ini dilakukan dengan
menekankan pada masalah kesehatan yang meliputi :
1. Informed Content (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan
diteliti,peneliti menjelaskan maksud dari penelitian serta dampak dari
peneliti serta dampak yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengimpulan data.Jika responden bersedia,maka mereka harus
menandatangani surat persetujuan penelitian,jika responden mereka
harus menandatangani surat persetujuan,jika responden menolak
untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap
menghormati hak-haknya.
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden,peneliti tidak akan
dicantumkan nama dan lembar pengumpulan data dan cukup diberikan
kode tertentu.
3. Confidendielity (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diperoleh dari responden dijamin oleh
peneliti,hanya sekelompok data tertentu yang akan disajikan dan
dilaporkan sebagai hasil penelitian.
23