Anda di halaman 1dari 4

Nama : Widia Qurota Ayunj

NIM. : 1603494

Jurusan : Pendidikan Geograf

Pemuda Sebagai Kreator

Pemuda islam di jaman sekarang semakin banyak yang terkikis akhlaknya dan pola hidupnya oleh
pengaruh globalisasi. Banyak pemuda pemudi yang lebih mengenal kisah kisah superhero asal barat yang
fksi daripada kisah kisah kepahlawanan di jamanRosul yang sudah dikisahkan didalam Al-Quran yang
pastinya sudah mutlak kebenarannya. Ini artinya pemuda muslim di jaman sekarang sudah jauh dari nila
nilai Al-Quran, bahkan banyak yang tak bisa membaca Al-Quran. Kita tak bisa manutup mata dan telinga
atas permasalahan moral pemuda muslim hari ini, ini peran kita sebagai sesama pemuda muslim untuk
membangkitkan kembali peradaban muslim.

Ada seorang pemuda muslim yaitu Zaid bin tsabit yang bisa dijadikan teladan untuk kita sebagai
pemuda muslim. Kita kembali ke tahun kedua hijriyah. Ketika itu Madinah sedang sibuk menyiapkan
suatu angkatan perang untuk menghadapi perang Badar. Rasulullah melakukan pemeriksaan terakhir
terhadap tentara muslimin yang pertama-tama dibentuk, dan segera akan diberangkatkan ke medan
jihad di bawah komando beliau, untuk melestarikan kalimat Allah di muka bumi.

Ketika Rasulullah sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba seorang laki-laki berusia kurang dari tiga belas tahun
datang menghadap beliau. Anak itu kelihatan cerdas, terampil, hemat, cermat, dan teliti. Di tangannya
tergenggam sebilah pedang, yang panjangnya melebihi badan anak itu. Dia berjalan tanpa ragu-ragu dan
tanpa takut melewati barisan demi barisan menuju Rasulullah SAW. Setelah dekat kepada beliau dia
berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda,
memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.”

Rasulullah menengok kepada anak itu dengan pandangan gembira dan takjub. Beliau menepuk-nepuk
pundak anak itu tanda kasih dan simpati. Tetapi beliau menolak permintaan anak itu, karena usianya
masih sangat muda.

Anak itu pulang kembali membawa pedangnya tergesek-gesek menyentuh tanah. Dia sedih dan kecewa
permintaannya untuk menyertai Rasulullah dalam peperangan pertama yang akan dihadapi beliau,
ternyata ditolaknya.

Ibu anak itu, Nuwar binti Malik, yang sejak tadi mengikutinya dari belakang tidak kurang pula sedihnya.
Dia ingin melihat anaknya berjuang di bawah panji-panji Rasulullah, supaya anak itu dapat kesempatan
berdekatan dengan beliau seperti diharapkannya. Dalam angan-angannya terbayang, alangkah
bahagianya ayah anak itu sekiranya dia masih hidup, melihat anaknya dapat mendekatkan diri kepada
Rasulullah SAW.

Tetapi anak Anshar yang cerdas dan pintar ini tidak lekas putus asa. Walaupun dia tidak berhasil
mendekatkan diri kepada Rasulullah sebagai prajurit karena usianya masih sangat muda, dia berpikir
mencari jalan lain yang tidak ada hubungannya dengan usia. Pikirannya yang tajam membukakan jalan
baginya untuk selalu berdekatan dengan Nabi yang dicintainya. Jalan itu ialah bidang ilmu dan hafalan.

Anak itu menyampaikan buah pikirannya kepada ibu. Sang ibu menyambut gembira buah pikiran
anaknya, dan segera merintis jalan untuk mewujudkannya.

Nuwar memberi tahu beberapa orang famili tentang keinginan dan bidang yang akan ditempuh anaknya.
Mereka setuju lalu pergi menemui Rasulullah.

Kata mereka, “Wahai Rasulullah! Ini anak kami, Zaid bin Tsabit. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-
Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai
pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan
keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki,
silakan mendengarkan bacaannya.

Rasulullah mendengarkan Zaid bin Tsabit membaca sebagian ayat-ayat Al-Qur’an yang teah dihafalnya.
Bacannya ternyata memang bagus, betul, dan fasih. Kalimat-kalimat Al-Qur’an bagaikan berkelap-kelip di
bibirnya seperti bintang-gemintang di permukaan langit. Bacaannya menimbulkan pengaruh dan
berkesan. Waqaf-waqaf dilaluinya dengan tepat, menunjukkan dia paham dan mengerti dengan baik apa
yang dibacanya.

Rasulullah gembira karena apa yang dilihat dan didengarnya mengenai Zaib bin Tsabit, ternyata melebihi
apa yang dikatakan orang yang mengantarnya. Terlebih lagi, Zait bin Tsabit pandai menuli dan membaca.
Rasulullah menoleh kepada Zaid seraya berkata, “Hai Zaid! Pelajarilah baca tulis bahasa Yahudi (Ibrani).
Saya sangat tidak percaya kepada mereka (Yahudi), bila saya diktekan sebagai sekretaris saya.”

Jawab Zaid, “Saya siap, ya Rasulullah!” Zaid belajar baca tulis bahasa Ibrani dengan tekun. Berkat otaknya
yang cemerlang, maka dalam tempo singkat dia telah menguasai bahasa tersebut dengan baik,
berbicara, membaca, dan menulis. Apabila Rasulullah hendak menulis surat kepada orang-orang Yahudi,
Zaid bin Tsabit dipanggil beliau menjadi sekretaris. Bila beliau menerima surat dari Yahudi, Zaid pula yang
disuruh membacakan surat itu kepada beliau.

Kemudian Zaid disuruh pula belajar baca tulis bahasa Suryani. Zaid berhasil menguasai bahasa itu dalam
tempo singkat, berbicara, membaca, dan menulis, seperti penguasaannya terhadap bahasa Yahudi. Dan
sejak saat itu, Zaid yang masih muda remaja itu dijadikan beliau sebagai penerjemah bagi beliau untuk
kedua bahasa tersebut.

Setelah Rasulullah sungguh-sungguh yakin dengan ketrampilan Zaid, kesetiaan, ketelitian, dan
pemahamannya, barulah beliau menugaskannya menulis risalah langit (al-Qur’an). Maka jadilah dia
penulis wahyu. Bila ayat-ayat/wahyu turun, Rasulullah memanggil Zaid, lalu dibacakannya kepada Zaid
dan disuruh tulis. Karena itu Zaid bin Tsabit menulis Al-Qur’an didiktekan langsung oleh Rasulullah secara
bertahap sesuai dengan turunnya ayat.

Zaid menuliskannya langsung dari mulut Rasulullah SAW, segera setelah ayat turun. Dengan petunjuk
beliau, Zaid menyambungkan kepada ayat-ayat sebelumnya yang berhubungan.
Tidak salah lagi kalau pribadi Zaid cemerlang oleh sinar petunjuk Al-Qur’an, dan pikirannya gemerlapan
dengan rahasia-rahasiasyariat Islam, sementara dia mengkhususkan diri dengan Al-Qur’an. Dia menjadi
orang pertama tempat umat Islam bertanya tentang Al-Qur’an sesudah Rasulullah wafat. Dia menjadi
ketua tim yang ditugaskan menghimpun Al-Qur’an pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Kemudian dia pula yang menjadi ketua tim penyusun mushaf di zaman pemerintahan Utsman bin Affan.

Kedudukan apakah lagi yang lebih tinggi dari itu? Masih adakah kemuliaan yang lebih tinggi dari
kemuliaan seperti itu yang hendak dicapai seseorang?

Diantara keutamaan yang dilimpahkan Al-Qur’an terhadap Zaid bin Tsabit, dia pernah memberikan jalan
keluar dari jalan buntu yang membingungkan orang-orang pandai pada hari Saqifah. Kaum muslimin
berbeda pendapat tentang pengganti (khalifah) Rasulullah sesudah beliau wafat. Kaum muhajirin
berkata, “Pihak kamilah yang lebih pantas.” Kata sebagian yang lain “Pihak kami dan kalian sama-sama
berhak. Kalau Rasulullah mengangkat seseorang dari kalian untuk suatu urusan, maka beliau mengangkat
pula seorang dari pihak kami untuk menyertainya.” Karena perbedaan pendapat, hampir saja terjadi
bencana di kalangan kaum muslimin ketika itu. Padahal jenazah Rasulullah masih terbaring, belum
dimakamkan.

Hanya kalimat-kalimat mutiara yang gemerlapan dengan sinar Al-Qur’an yang sanggup mengubur
bencana itu, dan menyinari jalan keluar dari jalan buntu. Kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut Zaid
bin Tsabit Al-Anshari. Dia berucap di hadapan kaumnya orang-orang Anshar.

Katanya, “Wahai kaum Anshar! Sesungguhnya Rasulullah SAW adalah orang Muhajirin. Karena itu
sepantasnyalah penggantinya or Muhajirin pula. Kita adalah pembantu-pembantu (Anshar) Rasulullah.
Maka sepantasnya pulalah kita menjadi pembantu bagi pengganti (khalifah)nya, sesudah beliau wafat
dan memperkuat kedudukan khalifah dalam menegakkan agama.”

Sesudah berucap begitu, Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar Ash-Shidiq seraya
berkata, “Inilah Khalifah kalian! Baiatlah kalian kepadanya!”

Keunggulan dan kedalaman pengertian Zaid bin Tsabit mengenai Al-Qur’an telah mengangkatnya
menjadi penasihat kaum muslimin. Para Khalifah senantiasa bermusyawarah dengan Zaid dalam perkara-
perkara sulit, dan masyarakat umum selalu minta fatwa beliau tentang hal-hal yang musykil. Terutama
tentang hukum warisan; karena belum ada diantara kaum muslimin ketika itu yang lebih mahir membagi
warisan selain dari pada Zaid.

Umar bin Khatab pernah berpidato pada hari Jabriyah, katanya: “Hai, manusia! Siapa yang ingin bertanya
tentang Al-Qur’an, datanglah kepada Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak bertanya tentang fqih tanyalah
kepada Muadz bin Jabal. Dan siapa yang hendak bertanya tentang harta kekayaan, datanglah kepada
saya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saya penguasa, Allah jualah yang memberinya.”

Para pencari ilmu (mahasiswa) yang terdiri dari para sahabat dan tabiin, mengerti benar ketinggian ilmu
Zaid bin Tsabit. Karena itu mereka sangat hormat dan memuliakannya, mengingat ilmu yang bersarang di
dadanya ialah ilmu Al-Qur’an.
Seorang sahabat lautan ilmu pula, yaitu Abdullah bin Abbas, pernah melihat Zaid bin Tsabit direpotkan
hewan yang sedang dekendarainya. Lalu Abdullah berdiri di hadapan kendaraan itu dan memegang
talinya supaya tenang. Kata Zaid bin Tsabit kepada Abdullah bin Abbas, “Biarkan saja hewan itu, wahai
anak paman Rasulullah!”

Jawab Ibnu Abbas, “Beginilah kami diperintahkan Rasulullah menghormati ulama kami.”

Kata Zaid, “Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!”

Ibnu Abbas mengulurkan tangannya kepada Zaid. Zaid bin Tsabit memegang tangan Ibnu Abbas lalu
menciumnya. Kata Zaid, “Begitulah caranya kami diperintahkan Rasulullah SAW menghormati keluarga
Nabi kami.”

Tatkala Zaid bin Tsabit berpulang ke rahmatullah, kaum muslimin menangis karena pelita ilmu yang
menyala telah padam.

Berkata Abu Hurairah, “Telah meninggal samudra ilmu umat ini. Semoga Allah menggantinya dengan
Ibnu Abbas.”

Penyair Rasulullah, Hasan bin Tsabit, menangisi Zaid bin Tsabit dan dirinya sendiri dengan seuntai sajak
yang indah:

Siapakah lagi merangkai sajak sesudah Hasan dan anaknya

Manakah lagi menara ilmu sesudah Zaid bin Tsabit?

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada almarhum. Amin.

Itulah sepenggal kisah tauladan yang bisa kita jadikan contoh agar membuat peradaban islam kembali
bangkit. Pemuda hari ini adalah gambaran masa depan.

Anda mungkin juga menyukai