Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN ILMU ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA SEPTEMBER 2016

NEURO MUSCULAR DYSTROPHY

OLEH :
Andi Anugerah Suci (110 209 0142)

PEMBIMBING :
dr. Jufri Latief, Sp.B, Sp.OT, FINACS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2
2.1. Definisi Muscular Dystrophy ........................................................................2
2.2 Epidemiologi Muscular Dystrophy ...............................................................2
2.3 Klasifikasi Muscular Dystrophy ..................................................................2
2.4. Etiologi Muscular Dystrophy ........................................................................3
2.5. Patofisiologi Muscular Dystrophy ................................................................3
2.6. Gambaran klinis Muscular Dystrophy...........................................................5
2.7. Diagnosis Muscular Dystrophy……………………………....................6
2.8. Penatalaksanaan Muscular Dystrophy ...........................................................8
2.9. Prognosis Muscular Dystrophy...................................................................10
BAB III KESIMPULAN......................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muscular dystrophy merupakan kelompok penyakit miopati herediter


primer yang kronik progresif dan menyebabkan kelemahan otot tubuh, terbatasnya
kapasitas fungsi seseorang. Saat ini diketahui disebabkan oleh mutasi gen yang
berlokasi pada lengan pendek kromosom X yang mencegah tubuh menghasilkan
protein yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara kesehatan otot.
Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan
bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan saraf pusat atau saraf
perifer.(1,2)

Erb pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia
muscularis progressive. Pada tahun 1885, Duchenne memberikan deskripsi lebih
lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak. Becker
mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara
autosomal resesif, autosomal dominan, atau X-linked resesif.(1)

Selama 3 dekade terakhir, terdapat perkembangan yang penting dalam


kasus-kasus muscular dystrophy, setelah ditemukan penyebab molekular dan
genetik sebagai sebab yang mendasari penyakit tersebut. Tidak ada pengobatan
pada muscular dystrophy. Sejauh ini penemuan ilmiah belum sejalan dengan
penemuan peralatan terapeutik yang efektif. Pasien harus berhadapan dengan
perawatan simtomatik yaitu fisioterapi berkelanjutan.(1)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Muscular dystrophy merupakan suatu kelompok kelainan otot yang

bersifat genetik (miopati primer) yang mengakibatkan kemerosotan dan hilangnya

kekuatan otot secara progresif.(1)

2.2. Epidemiologi

Prevalensi muscular dystrophy lebih tinggi pada laki-laki. Di Amerika

Serikat, Duchenne Muscular Dystrophy dan Becker Muscular Dystrophy

mendekati angka 1/3300 anak. Duchenne Muscular Dystrophy memiliki

prevalensi tertinggi dari kejadian miopati. Insiden keseluruhan dari muscular

dystrophy adalah sekitar 63 per 1 juta.(1)

Beberapa distrofi menunjukkan keanekaragaman regional tergantung pada

founder effect atau hilangnya variasi genetik atau banyaknya pernikahan dengan

hubungan kekerabatan yang dekat, varian ringan dan distrofi yang lebih berat dan

bentuk distrofi yang lebih berat berakibat pada kematian, sebelum didiagnosis

seringkali diremehkan.(2)

2.3. Klasifikasi

Ada tiga jenis muscular dystrophy, yaitu :(2)

1. Duchenne muscular dystrophy (pseudo-hipertrofik muscular dystrophy).


Dikenal dua macam tipe pada jenis ini, yaitu :
a. Tipe klasik
Diturunkan secara resesif sex-linked yang hanya mengenai laki-laki.
Gejala timbul sebelum usia sekolah pada anak (umur 6 tahun) tetapi dapat
pula pada anak remaja.

2
b. Tipe lain

Tipe lainnya diturunkan secara autosomal resesif sehingga dapat


ditemukan baik pada pria maupun wanita. Penyakit ini berkembang tidak
begitu cepat dibandingkan tipe klasik.

2. Limb girdle

Limb girdle merupakan salah satu jenis muscular dystrophy yang biasanya
terjadi pada orang dewasa dan diturunkan secara resesif autosomal. Kelainan
ini mengenai otot-otot shoulder gridel dan pelvic gilder dan berkembang
sangat lambat.

3. Fasio-skapulo-humeral

Tipe ini sangat sering ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak-
anak, diturunkan secara dominan autosomal. Fasio-skapulo-humeral
mengenai otot-otot muka, bahu, dan lengan atas. Prognosisnya lebih baik
Karena dapat terjadi pemulihan pada setiap stadium.

2.4. Etiologi

Pada muscular dystrophy terjadi mutasi pada gen distrofin pada kromosom
X berupa delesi, duplikasi, dan mutasi titik (point mutations), sehingga tidak
dihasilkannya protein distrofin atau terjadi defisiensi dan kelainan struktur
distrofin. Kira-kira 60 % pasien muscular dystrophy terjadi mutasi secara delesi
dan 40 % merupakan akibat mutasi-mutasi kecil dan penduplikasian.(3)

2.5. Patofisiologi

Gen untuk muscular dystrophy terletak pada lengan pendek (Xp)


kromosom X tepatnya pada Xp21, meliputi 86 exon yang membuat hanya 0,6 %
dari seluruh gen tersebut, sisanya terdiri dari intron. Gen ini 10 kali lebih besar
dari tiap-tiap gen lain yang dikarakterkan saat ini dan terdiri dari 2 juta pasangan
dasar, produknya dinamakan distrofin.(3)

Distrofin merupakan protein dengan jumlah sedikit yang membentuk


0,0002 % dari total protein otot. Distrofin adalah protein sitoskeletal dengan

3
globular amino seperti tangkai terpusat dan globular carboxy. Distrofin terletak
pada permukaan dalam sarcolemma, berkumpul sebagai homotetramer yang
dihubungkan dengan aktin pada amino terminus dan dengan glikoprotein pada
carboxy terminus. Distrofin berperan dalam memberikan kekuatan dan kestabilan
membran otot.(3,4)

Mutasi gen yang terjadi pada muscular dystrophy adalah delesi dan
duplikasi. Fenotip muscular dystrophy tidak selalu berhubungan dengan ukuran
delesi pada gen distrofin, tetapi sangat berpengaruh pada sintesis distrofin. Delesi
merusak codon triplet sehingga merubah konsep pembacaan, terjadi penghentian
premature codon daan sintesis distrofin terhenti dan mengalami degradasi,
menghasilkan molekul protein kecil, terpotong tanpa carboxy terminal.(3,4)

Distrofin merupakan bagian dari kompleks protein sarcolemma dan


glikoprotein. Kompleks distrofin-glikoprotein dapat menghasilkan stabilitas
sarcolemma, dimana kompleks ini dikenal sebagai dystropin-associated protein
(DAP) dan protein-associated glycoprotein (DAG). Bagian yang terpenting
lainnya pada kompleks ini adalah dystroglycan, suatu glikoprotein yang berikatan
dengan matriks ekstraselular merosin. Jika terjadi defisiensi salah satu bagian
kompleks tersebut akan mnyebabkan terjadinya abnormalitas pada komponen
lainnya. Kehilangan distrofin bersifat parallel dengan kehilangan DAP dan
penghancuran kompleks dystroglycan. Perubahan ini menyebabkan sarcolemma
menjadi lemah dan mudah hancur saat otot berkontraksi. Kehilangan distrofin
juga menyebabkan kehilangan dystroglycan dan sarcoglycan, sehingga membuat
sarcolemma semakin rapuh. Proses ini berlangsung secara terus menerus
sepanjang hidup penderita. Selain itu, akibat kerapuhan membran otot
memungkinkan kebocoran komponen sitoplasmik seperti creatinin kinase dan
peningkatan masuknya Ca2+ yang mengawali sejumlah aspek patologis dari
peristiwa yang menyebabkan nekrosis dan fibrosis otot. Kekurangan distrofin juga
mengakibatkan gangguan pada transmisi tekanan normal dan tekanan lebih besar
ditempatkan pada miofibrillar dan protein membran yang menyebabkan kerusakan
otot selama kontraksi.(3,4,5)

4
2.6. Gambaran Klinis

Kelainan ini muncul pada masa bayi dengan nekrosis serat otot dan enzim
creatinin kinase tinggi, tapi secara klinis baru terlihat ketika anak berusia 3 tahun
atau lebih. Anak mulai berjalan lebih lambat dibanding anak normal lainnya dan
lebih sering jatuh. Gaya berjalan yang tidak normal sering terlihat pada usia 3-4
tahun.(3)

Gambar 1. Tanda dan gejala pada penderita muscular dystrophy

Otot-otot pelvis dipengaruhi lebih awal dibanding otot bahu. Karena


kelemahan otot gluteus medius sebagai penyerap tekanan, ketika berjalan
cenderung gemetar yang menimbulkan gaya berjalan tertatih-tatih (waddling
gait). Untuk menjaga keseimbangan tubuh timbul lordosis. Usia prasekolah, anak
mengalami kesulitan bangkit dari lantai dengan posisi kaki terkunci, posisi
bokong diikuti penekanan lantai dengan tangan, berdiri dengan menyangga lengan
pada paha anterior (maneuver Gower). Manuver ini timbul karena kelemahan otot
paha terutama gluteus maximus. Anak kesulitan naik tangga dimana
menggunakan tangan saat menapaki anak tangga. Anak cenderung berjalan
dengan jari kaki (menjinjit) yang disebabkan otot gastrocnemius yang lemah dan

5
menimbulkan rasa nyeri pada otot tersebut. Muncul pseudohipertrofi otot
gastrocnemius disebabkan oleh infiltrasi lemak dan proliferasi kolagen.(3,4)

Gambar 2. Gejala klinis yang khas pada muscular dystrophy

Refleks tendon menurun dan dapat hilang karena hilangnya serat-serat


otot, refleks patella cenderung menurun di awal penyakit sedangkan refleks
achilles biasanya masih dapat muncul dalam beberapa tahun. Kiphoskoliosis bisa
berkembang setelah anak tidak bisa berjalan. Dengan mempertahankan postur
tegak dengan penopang kaki bisa membantu mencegah skoliosis.(3)

Kelemahan intelektual terjadi pada penderita, kemampuan yang lebih


terganggu adalah kemampuan verbal dan ini tidak bersifat progresif. Rata-rata IQ
sekitar 83 dan 20-30 % mempunyai IQ < 70 %.(3)

Pernapasan dapat terganggu karena kelemahan otot interkostalis, otot


diafragma, dan skoliosis berat. Kelemahan otot mempengaruhhi semua aspek dari
fungsi paru termasuk mucociliary clearance, pertukaran gas, kontrol pernapasan.
Kardiomiopati dapat terjadi berupa pembesaran jantung, takikardi pasien dan
gagal jantung terjadi 50 % - 80 % penderita.(3)

2.7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.(4)
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat perjalanan penyakit,
riwayat keluarga untuk mengetahui adakah penyakit pada keluarga yang memiliki

6
hubungan genetik yang dapat diidentifikasi, riwayat tumbuh kembang untuk
mengetahui perkembangan pada neonatus, bayi, prasekolah, remaja.(4)
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan sistem motorik, yang
meliputi kemampuan merubah posisi, kekuatan, dan koordinasi otot, serta ukuran
masing-masing otot. Kelemahan sekelompok otot menunjukkan kondisi
distrofi.(4)
Palpasi otot dilakukan ketika ekstremitas rileks dan digerakkan secara
pasif, kemudian periksa tonus otot penderita. Kekuatan otot dapat diukur dengan
meminta pasien menggerakkan ekstremitas dengan atau tanpa tahanan.(4)
Adapun pemeriksaan penunjang untuk muscular dystrophy :(5,6)
 Pemeriksaan laboratorium :
Kadar creatinin kinase serum adalah yang paling bernilai dan umum digunakan
untuk mendiagnosis muscular dystrophy. Kadar creatinin kinase serum berkisar
10-20 kali normal atau lebih (normal : <160 IU/L).

 Elektromiogram (EMG)
Elektromiogram menunjukkan gambaran miopati dan tidak spesifik untuk
muscular dystrophy . EMG menunjukkan fibrilasi, gelombang positif,
amplitude rendah, potensial motor unit polipasik kadang-kadang frekuensi
tinggi.
 Biopsi
Secara histologis menunjukkan adanya variasi ukuran serat, degenerasi, dan
regenerasi serat otot, kelompok fibrosis endomysial, ukuran serat lebih kecil
dan adanya limfosit. Degenerasi melebihi regenerasi dan terjadi penurunan
jumlah serat otot, digantikan dengan lemak dan jaringan konektif (fibrosis).
 Pemeriksaan genetik
Pemeriksaan genetik untuk mengetahui adanya delesi pada kedua titik penting
gen dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) multipleks dapat
mengidentifikasi adanya delesi sekitar 60 % pasien, tetapi teknik ini tidak bisa
digunakan mengidentifikasi adanya penduplikasian atau untuk menentukan
genotip pada wanita carrier dengan multiplex amplifiable probe hybridization.

7
Pemeriksaan DNA pada sel darah putih atau sel otot akan dapat
memperlihatkan adanya mutasi gen distrofin.

2.8. Penatalaksanaan

Dalam penatalaksanaan penderita muscular dystrophy membutuhkan


multidisiplin keahlian diantaranya neurologi, psikiatri, bedah ortopedi, kardiologi,
pulmonologi, gizi, dan fisioterapi. Saat ini belum ada terapi yang efektif untuk
muscular dystrophy. Untuk memperlambat progresifitas penyakit dapat digunakan
prednisone, prednisolone, deflazacort, yang dapat menurunkan apoptosis dan
menurunkan kecepatan timbulnya nekrosis. Pemberian steroid lebih awal dapat
meningkatkan kekuatan otot sehingga kemampuan berjalan pasien diperpanjang
sampai usia belasan dan menurunkan kejadian skoliosis, kontraktur, menjaga
fungsi pernapasan dan fungsi jantung.(7,8)

Dosis prednison/prednisolon 0,75 mg/kgbb/hari bisa diberikan secara


harian atau diberikan secara intermitten, misalnya 10 hari diberikan atau 10 hari
tidak, untuk menghindari komplikasi kronis. Pemberian steroid sebelum hilangnya
kemampuan berjalan adalah lazim di sejumlah pusat perawatan, tapi belum
terdapat bukti atas efek yang menguntungkan memulai terapi steroid setelah
hilangnya kemampuan berjalan pada pasien. Adapun efek samping pemberian
prednisone jangka lama antara lain bertambahnya berat badan, osteoporosis,
cushingoid, iritabilitas, hirsutisme. Analog prednison, deflacort dengan dosis 0,9
mg/kgbb/hari yang sama efektif dengan prednisone tap efek samping yang lebih
sedikit tapi beresiko timbulnya katarak asimtomatik. Penggunaan deksametason
dan triamsinolon harus dihindari karena akan menginduksi miopati.(7,8)

Anak dengan muscular dystrophy yang seharusnya juga diberikan


suplemen kalsium dan vitamin D karena efek kortikosteroid mengganggu
metabolisme pada tulang sehingga menyebabkan osteoporosis, kalsium diberikan
1000 mg/hari dan 400 unit vitamin D.(9)

8
Fisioterapi penting untuk pemeliharaan fungsi otot dan dapat mencegah
terjadinya kontraktur pada penderita muscular dystrophy, tetapi jika telah muncul
kontraktur, fisioterapi tidak banyak bermanfaat. Sembilan puluh persen penderita
cenderung timbul skoliosis. Pengawasan terhadap perkembangan adanya skoliosis
harus dimulai sebelum hilangnya kemampuan berjalan termasuk profilaksis
dengan fisioterapi dan tempat duduk yang sesuai untuk mencegah
ketidaksimetrisan pelvis dan memberikan dukungan postural. Skoliosis yang
terjadi secara klinis, diindikasikan dikoreksi dengan pembedahan.(7)

Untuk mencegah kontraktur plantar flexi yang berpengaruh pada


keseimbangan dan cara berjalan, dapat diberikan latihan stretching heel-cord dan
pemakaian ankle foot orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi pemakaian alat
ortrosis atau stretching tidak dapat mencegah terjadinya kontraktur.(8)

Pemakaian knee ankle foot orthrosis (KAFO) digunakan saat otot


quadriceps mulai lemah yang disertai berkembangnya fleksi kontraktur lutut
sehingga membantu pasien dapat berdiri dan berjalan. Alat tersebut dapat
digunakan pada pasien dengan knee flexion contracture < 30 derajat. Pada fleksi
kontraktur lutut yang melebihi 30 derajat sampia 40 derajat, tindakan
pembedahan tidak bermanfaat karena tidak akan tercapai koreksi fungsional yang
berarti. Masalah paling penting di bidang ortopedi pada pasien dengan muscular
dystrophy adalah terjadinya deformitas tulang belakang, yang biasanya mulai
timbul pada usia 11-13 tahun. Deformitas tersebut akan menyebabkan restriksi
fungsi paru yang makin lama makin menurun, dan diperburuk dengan kelemahan
otot yang progresif. Pada 90%-95% pasien dengan muscular dystrophy yang
mengalami scoliosis, terapi terbaik adalah melakukan fusi spinal dengan fiksasi
internal secara dini. Bila kurvatur telah mencapai sudut Cobb sebesar 20 derajat
sampai 30 derajat maka tindakan fusi spinal harus segera dilakukan tanpa
ditunda.(7,8)

Gangguan respirasi pada penderita muscular dystrophy bisa diramalkan


dan berhubungan dengan kekuatan otot secara keseluruhan, sehingga anak yang

9
kehilangan kemampuan berjalan cenderung lebih dini memerlukan bantuan
ventilasi dibandingkan anak yang masih dapat berjalan. Pada dasarnya fungsi
respiratori pada anak yang masih dapat berjalan. Pada dasarnya fungsi respiratori
pada anak yang masih bisa berjalan adalah normal dan permasalahan yang
berhubungan dengan gangguan respirasi tidak terlihat hingga hilangnya
kemampuan berjalan.(8)

Kardiomiopati merupakan komplikasi umum yang terjadi pada 10 %


penderita muscular dystrophy. Pemeriksaan jantung harus dilakukan setiap 2
tahun sesudah usia 10 tahun dan setiap tahun atau lebih sering jika terdeteksi
ketidak normalan. Diperkirakan 20-30 % terjadi kerusakan ventrikel kiri pada
pemeriksaan echokardiografi pada usia 10 tahun. Jika ditemukan kelainan dapat
diberikan ACE inhibitor dan beta bloker, ditambahkan diuretik bila terjadi gagal
jantung.(6.7)

2.9. Prognosis

Pada tahap awal, anak laki-laki dengan muscular dystrophy


memperlihatkan tanda-tanda kelemahan otot, seperti susah berlari, melompat, naik
tangga, dan bangun dari lantai dari posisi duduk. Mereka akan memperlihatkan
Gower’s manoeuvre (membutuhkan bantuan diri sendiri dengan tangan menumpu
pada paha agar dapat bangun dari posisi duduk di lantai), dan waddling gait, yaitu
cara berjalan dengan menggunakan jari kaki (menjinjit). (3,4,6)

Dengan progresifitas dari kelemahan otot, anak dengan muscular


dystrophy tidak bisa berjalan secepat anak lainnya, dan gampang jatuh. Mereka
masih bisa naik tangga, tetapi dengan menggunakan kaki kedua mengikuti kaki
pertama dibandingkan dengan satu kaki pertama kemudian kaki kedua (foot over
foot).(6)

Anak dengan muscular dystrophy biasanya membutuhkan kursi roda pada


usia sekitar 8-11 tahun. Pada awalnya mereka menggunakan kursi roda hanya
untuk perjalanan jarak jauh. Kemudian semakin lama mereka membutuhkan kursi
roda terus-menerus.(7,8)

10
Kematian akibat muscular dystrophy ini dapat terjadi akibat gagal napas,
infeksi paru atau kardiomiopati. Pasien umumnya masih dapat bertahan sampai
awal 20 tahun, dan 20-25 % dapat hidup di atas usia 25 tahun.(9)

11
BAB III

KESIMPULAN

Muscular dystrophy merupakan suatu kelompok kelainan otot yang


bersifat genetik (miopati primer) yang mngakibatkan kemerosotan dan hilangnya
kekuatan otot secara progresif.

Gejala klinis baru terlihat ketika anak berusia 3 tahun atau lebih. Anak
mulai berjalan lebih lambat dibanding anak normal lainnya dan lebih sering jatuh.
Usia prasekolah, anak mengalami kesulitan bangkit dari lantai, susah naik tangga,
cenderung berjalan dengan jari kaki (menjinjit). Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, berupa
pemeriksaan laboratorium, elektromiogram, biopsi, dan pemeriksaan genetik.

Belum ada terapi yang efektif untuk muscular dystrophy. Untuk


memperlambat progresifitas penyakit dapat digunakan kortikosteroid, seperti
prednison, prednisolon, deflazacort. Fisioterapi penting untuk pemeliharaan fungsi
otot dan mencegah terjadinya kontraktur. Gangguan respirasi akibat degenerasi
otot terus-menerus pada penderita muscular dystrophy memerlukan bantuan
ventilasi. Kardiomiopati merupakan komplikasi umum yang terjadi pada 10 %
penderita muscular dystrophy, jika ditemukan kelainan dapat diberikan ACE
inhibitor dan beta bloker, ditambahkan diuretik bila gagal jantung.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Sathasivam, S. Muscular Dystrophies. The International Medical Journal Malaysia.


Liverpool,United Kingdom. 2012

2. Syarif, Iskandar. 2009. Laporan Kasus Duchenne Muscular Dystrophy. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang

3. Gianola, Silvia. Pecoraro, Valentina.2013. Efficacy of Muscle Exercise in Patients with


Muscular Dystrophy : A Systematic Review Showing a Missed Opportunity to improve
outcomes. PLOS one. Milan, Italy.

4. Rasjad Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi ketiga. Yarsif Watampore.
Jakarta. 2012; 273

5. Branwell, Brenda. Muscular Dystrophies. Neurogical. Unites States of America. 2010

6. Flanigan, Kevin. The Muscular Dystrophies. Department of Pediatrics and Neurology.


The Center for Gene Therapy.The Ohio State University. Columbus, Ohio.2012

7. Wedhanto, Sigit. 2009. Laporan Kasus Dunchenne Muscular Dystrophy. Divisi Ortopedi
& Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta

8. Rao, Chandrika, HB, Mallikarjuna. Case Report on Ullrich Congenital Muscular


Dystrophy-Type VI Collagen Defect. Department of Pediatrics, M.S Ramaiah Medical
College and Hospital. Bangalore, India. 2010

9. Waddel, Leigh B. Evesson, Francess J. North, Kathryn N. Dignosis of The Muscular


Dystrophies. Institute for Neuroscience and Muscle Research. University of Sydney.
Australia. 2013.

13

Anda mungkin juga menyukai