Anda di halaman 1dari 9

BAB I

UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


UUSPN NO 2 TAHUN 1989-UU SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN 2003)

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia telah menyusun undang-undang yang


berkaitan dengan pendidikan. Seiring dengan kemajuan jaman dan teknologi, pemerintah
telah banyak mengadakan perubahan/membuat, merevisi, dan menghapus undang-undang
pendidikan. Berbagai konsistensi (konsistensi dapat diartikan dengan ketetapan,
kesepatakatan. Lihat Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, 1994: 363) pemerintah ini
banyak mengalami berbagai perubahan dari tahun ke tahun.

Setidaknya ada tiga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki
Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950, Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di
kenal dengan nama UUSPN, dan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisten
Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS.

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1950

Satu hari sesudah Indonesia merdeka, Indonesia mengungumunkan UUD Negara Indonesia
kesatuan disertai dengna pembentukan pemerintah (kabinet). Dalam suasana ini, pengurus
pemusyawaratan mengadakan kongres masalah pendidikan dengan mengumpulkan
cendikiawan sebanyak mungkin. Kongres ini berlangsung dari tanggl 4-5-6 April 1947 di
Surakarta. Kongres ini menghasilkan rencana pokok pendidikan dan pengajaran yang kelak
menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah. Rencana
undang-undang ini selesai pada tahun 1948. Pada tanggal 6 Agustus 1949 rencana undang-
undang ini kepada DKNIP. Rencana undang-undang ini diterima dan disyahkan oleh DKNIP
pada tanggal 27 Desember 1949. (B. Suryobroto, 1990:35-36)

Selanjutnya pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang
pernyataan berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu
tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia. Undang-
undang ini lahir sebagai akibat dari perubahan sistem pemerintahan Indonesia pada saat itu,
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berganti menjadi Negara Republik
Indonesia Serikat, dan kembali lagi menjadi negara kesatuan.

Sistem pendidikan nasional pada masa ini masih belum mencerminkan adanya kesatuan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 hanya
mengatur pendidikan dan pengajaran di sekolah, sementara penyelenggaraan pendidikan
tinggi belum diatur. Undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pendidikan Tinggi baru
lahir pada tahun 1961 dengan disahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1961 tentang
penyelenggaraan perguruan tinggi.

Berlakunya dua undang-undang dalam sistem pendidikan, yaitu Undang-undang Nomor 4


Tahun 1950 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan Undang-undang No. 22 Tahun
1961 sering dipandang sebagai kendala yang cukup mendasar bagi pembangunan pendidikan
yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang tersebut, di samping tidak
mencerminkan landasan kesatuan sistem pendidikan nasional, karena didasarkan pada
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana diamanatkan oleh
UUD 1945.

Posisi Pendidikan Islam

Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai undang-undang pertama yang mengatur


pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap
pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama undang-undang ini
cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran
kepada keinginan dan persetujuan orang tua.

Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan:

1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-
sama dengan Menteri Agama.

Namun demikian, undang-undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri


yang mengatur pendidikan agama ini. (lihat UU No. 4 Tahun 1950 Pasal 2 ayat 1 dan 2, dan
Pasal 20). Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak
memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.

2. UUSPN No. 2 Tahun 1989

Hadirnya UU No 4 Tahun 1950 ini belum mencerminkan harapan rakyat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Tentu saja undang-undang ini menuai protes dari berbagai
kalangan umat Islam. Pada akhirnya lahirlah undang-undang UUSPN No 2 Tahun 2003. Inti
perubahan undang-undang ini adalah karena undang pendidikan keagamaan (PAI)
dikesampingkan. Tidak dipungkiri bahwa undang-undang tahun 1950 masih diwarnai dengan
undang-undang kolonialisme.

Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat
menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional
khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini.

Posisi Pendidikan Islam

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 yang mana undang-undang


tersebut tidak memihak kepada pendidikan Islam, maka isu pendidikan agama ramai
dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
“jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam undang-undang yang muncul
39 tahun kemudian dari undang-undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan
agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya.
Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. (Lihat UU No. 2
Tahun 1989 Pasal 11 ayat 1 dan 6, dan Pasal 15 ayat) Pendidikan agama menjadi mata
pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan. (Lihat UU No. 2 Tahun
1989 Pasal 39 ayat)
Lebih dari itu, undang-undang ini menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai tujuan
pendidikan nasional. (Lihat UU No. 2 Tahun 1989 Pasal 4) Keimanan dan ketakwaan adalah
terminologi yang sangat identik dan akrab dengan pendidikan agama dan keagamaan.

3. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003

Depdiknas telah merevisi UU No. 2/1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya
ditulis UUSPN) dengan alasan bahwa UUSPN No.2 tahun 1989 sudah tidak sesuai dengan
perkembangan jaman. (Imam Samroni, Makalah Diskusi Panel: 1)

Undang-undang sisdiknas terbaru ini memberikan penekanan bahwa penyelenggaraan


pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik
dengan sistem terbuka dan multi makna. Selain itu, pendidikan diselenggarakan: sebagai
suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat; dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran; dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan.

Undang-Undang No.20/2003 Bab VI pasal 13 menetapkan bahwa pendidikan nasional


dilaksanakan melalui jalur formal, non formal, dan informal yang penyelenggaraannya dapat
saling melengkapidan saling memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Sementara saat akan diundangkannya RUU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga
kontroversi dimana RUU ini dianggap oleh kelompok tertentu sebagai RUU yang sangat
tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi:
“Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus
pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan
berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan
pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga
pendidikan.
Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan
swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara
pendidikan Islam.

Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan
guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya
terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena
mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tetap
mempertahankan dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.

Hal tersebut termaktub dalam Bab II pasal 2 yang bunyi lengkapnya adalah “Pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.

Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Bab II pasal 3 yang
berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.

Posisi Pendidikan Islam

Memasuki era reformasi, sembilan tahun setelah Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
diundangkan, pendidikan nasional mendapat banyak kritik, bahkan hujatan. Bahkan UUD
1945 pun yang memayungi lahirnya setiap Undang-Undang pendidikan, tak mampu menahan
dari desakan amandemen sehingga pada tanggal 18 Agustus 2000 MPR memutuskan
berlakunya UUD hasil empat kali amandemen tersebut. UUD hasil amandemen ini
mengamanatkan agar pemerintah menyusun sebuah sistem pendidikan nasional.

Selengkapnya amanat UUD itu berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan


satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
(UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13)
Demi memenuhi amanat tersebut, desakan masyarakat serta tuntutan reformasi pendidikan,
maka pada tanggal 8 Juli 2003 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di sini lah pendidikan agama dan keagamaan
mendapatkan angin segar dan ruang gerak yang leluasa yang setidaknya ditegaskan dan
diisyaratkan dalam 12 point dari Undang-Undang tersebut, yaitu pada:

1. Konsideran “menimbang”,
2. Bab I tentang Ketentuan Umum,
3. Pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional,
4. Pasal 12 ayat 1 a tentang hak peserta didik,
5. Pasal 17 ayat 2 tentang bentuk Pendidikan Dasar,
6. Pasal 18 ayat 3 tentang bentuk Pendidikan Menengah,
7. Pasal 26 ayat 4 tentang bentuk satuan pendidikan nonformal,
8. Pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan,
9. Pasal 36 ayat 3 tentang aspek kurikulum,
10. Pasal 37 ayat 1 tentang kurikulum pendidikan dasar,
11. Pasal 37 ayat 2 tentang kurikulum pendidikan tinggi, dan
12. Pasal 38 ayat 2 tentang koordinasi dan supervisi Departemen Agama.

Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS
Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi,
misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari
kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang
dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan akhlaq dan
budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB
Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral.

Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur
pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan,
“Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan
dan agama peserta didik yang bersangkutan”.

Dalam UU sebelumnya yaitu Dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan:

1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan
apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut;
2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-
sama dengan Menteri Agama.

Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga
pendidikan Islam di mana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-
madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam
UUSPN tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan
kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak
tujuh mata pelajaran.

Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan
dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/
1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan
bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini
ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang
penyelenggaraan MI dan MTs.

Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK
MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas
agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak
ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islam.

Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang
berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua
kontroversi yang ada pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20
Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional disyahkan oleh Presiden Republik Indonesia
Megawati Soekarno Putri.

Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh ummat Islam dengan diberlakukannya UU
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, di antaranya :

1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai


Alquran yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan
bertaqwa (pasal 3).
2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari
pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai
dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia
(Pasal 12 ayat 1a)
3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam system pendidikan nasional
secara penuh (Pasal 17 dan 18)
4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian
khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh
kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30).
5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan
pendidikan tinggi (Pasal 37).

Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No


20/2001.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UU SISDIKNAS


No 20 Tahun 2003 di antaranya adalah :
1. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik
2. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam
UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan
3. UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua
4. Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup
5. Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja.
6. Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

DAFTAR PUSTAKA

A. Partanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Hasan, Chalidjah. Kajian Perbandingan Pendidikan. Surabaya: Al Ikhlas.
Imron, Ali. 1996. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2010 Tentang
kriteria kelulusan peserta didik Pada sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah,
sekolah Menengah pertama luar biasa, sekolah menengah atas/madrasah Aliyah, sekolah
menengah atas luar biasa, dan sekolah menengah kejuruan tahun pelajaran 2010/2011
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Prenada Media Sumarso,
Makalah, Perjalanan Kurikulum Di Indonesia
Siskandar. 2003. KBK Pendidikan Dasar dan menengah (makalah). Jakarta: Pusat
Kurikulum, Depdiknas.
Shaleh, Abdurrahman. 2003. Kebijakan Kurikulum Madrasah (makalah). Jakarta: Depdiknas,
Depag RI
Soetopo, Hendyat dan Wasty Soemanto. 1993. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. Cet. Keenam
Sulistyorini, Sulis. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya dalam
KTSP. Yogyakarta: Tiara Wacana
Suryosubroto. 1982. Beberapa Aspek Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya
Kembali Undang-Undang No. 4 Tahun 1950
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN 1989)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU SISDIKNAS 2003).

Kritik Terhadap Pendidikan Indonesia


Kritik Terhadap Pendidikan Indonesia – Banyak artikel, journal ataupun makalah yang telah
membahas bagaimana pendidikan dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Tapi tidak banyak
dari tulisan tersebut yang secara tegas mengatakan akan bagaimanakah nasib pendidikan itu sendiri.
Klaim kebenaran atas perspektif pendidikan Indonesia selama ini masih mengacu kepada teori-teori
dan pengalaman yang mereka dapatkan ketika bersekolah di luar negeri (maklum para pemegang
kebijakan pendidikan kita sangat banyak yang sudah bersekolah ke luar negeri dan menempati posisi
strategis). Akibatnya, pendidikan kita jarang yang mengadopsi budaya-budaya lokal. Kita buta sejarah
dan buta terhadap nilai-nilai budaya bangsa.

Sesuatu yang tidak laku lagi di dunia barat (luar negeri) seperti MBS yang pernah diterapkan oleh
Amerika dan ternyata Amerika sendiri mengalami kekacauan yang luar biasa dengan paradigma
pendidikan yang mereka kembangkan, begitu juga Jepang. Tapi, apa yang bisa kita katakan untuk
hal ini? Masyarakat kita (terutama para ahli pendidikan) sudah terlanjur membanggakan produk yang
aneh-aneh, sebagai pengganti ketidakmampuan mereka dalam menggali nilai-nilai budaya
bangsanya sendiri. Padahal, semua kita memahami bahwa tidak ada kebenaran mutlak dalam
sebuah teori atau konsep, karena proses selalu ada dan terus mengalir seperti air.

Maka, untuk lima, sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, pendidikan kita belum bisa
menjadikan kita mandiri dan dihargai/dihormati oleh negara lain. So, pasti karena pendidikan kita
lebih banyak menganut sistem proyek (baik kurikulum, sarana parasarana, pengadaan tenaga
kependidikan, metode pembelajaran dan sistem evaluasi yang dijalankan). Pendidikan kita lebih
banyak menghasilkan manusia-manusia yang mengabdi kepada uang, kedudukan (kemapanan),
pendidikan kita juga menjadikan anak-anak kita menjadi manusia yang lemah dan suka meniru
daripada berusaha menghasilkan sendiri karya-karyanya.

Apa yang bisa kita harapkan dari kondisi semacam ini dan bagaimana kita bisa keluar dan merubah
prospek pendidikan kita?
Jawabannya ada di benak kita masing-masing, terlepas dalam tugas dan posisi apa kita sekarang ini.
Hentikan cara-cara saling menyalahkan, pusatkan pendidikan untuk benar-benar membangun
manusia Indonesia yang utuh, biaya operasional pendidikan yang telalu banyak terbuang untuk
membayar pegawai dan perjalanan dinas sebaiknya dialihkan kepada pemenuhan kebutuhan peserta
didik dalam menunjang keberhasilan belajarnya, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus benar-
benar dapat dijalankan sesuai dengan tujuan dan dasar pengambilan kebijakan itu.

Kurikulum yang selalu berubah-ubah setiap kali pergantian pemimpin, jelas tidak menjamin
tercapainya tujuan dasar pendidikan, kecuali hanya sekadar mengejar popularitas dan kemapanan
dalam kedudukan yang sekarang. Hentikan proyek penilaian yang terpusat seperti EBTANAS/UAN,
karena bentuk evaluasi semacam ini hanya memberikan manfaat yang sedikit bagi peserta didik,
peserta didik kita tidak hanya dituntut cerdas secara kognitif namun mereka juga harus cerdas dari
segi praktis dengan skill yang mereka miliki. Bukankah banyak peserta didik yang mendapatkan nilai
istimewa, sedangkan ia sendiri tidak mampu menerapkan apa yang ia ketahui bagi lingkungannya,
ribuan sarjana di cetak dalam setahun dengan nilai di atas rata-rata toh juga jutaan dari mereka
menjadi pengangguran. Para praktisi pendidikan kita terlalu disibukkan oleh hingar bingarnya tuntutan
kesejahteraan, namun tidak ada satupun dari mereka yang berani berteriak ketika begitu banyak
peserta didik yang tidak lulus ujian atau terlalu banyak lulusan mereka yang menjadi pengangguran..!
Mulailah dari rasa saling percaya dan saling menghargai terhadap bidang keilmuan kita masing-
masing, kita harus memiliki rasa tanggung jawab yang sama terhadap pendidikan ini, orientasi kita
terhadap kemapanan diri hendaknya dirubah kepada kemajuan pendidikan (GURU ADALAH
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA YANG DAPAT DIGUGU DAN DITIRU.

Insya Alloh, prospek pendidikan kita akan mengalami perubahan yang cukup luar biasa ditahun-tahun
mendatang.

sumber :
http://ujian-mid-semester.id.ggkarir.com/_g.php?_g=_lhti_forum&Bid=1054#b

Anda mungkin juga menyukai