Anda di halaman 1dari 7

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika
tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam
beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah
seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali
dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang
berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang
paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar,
maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga,
amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika
dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-
Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau
berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah
Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa
keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi
tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal,
maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa
keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor.
Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja
dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam
beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa
menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-
kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan.
Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil.
Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan
segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan
menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan,
perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya
tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran.
Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.”
Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan
kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan
mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat
atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat
itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa
itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari
kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia
dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah
melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak,
semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw.,
“Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia,
maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau
bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata,
“Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan
banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika
dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal.
Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang
akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang
munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam
cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut)
berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang
dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh
dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku
datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah
menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu,
dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka
adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia.
Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri
atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah
Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan
terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika
terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka
senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan
mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat
Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.

Bagaimana Agar Aku Ikhlas ?

Setan akan senantiasa menggoda dan merusak amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seorang
hamba. Seorang hamba akan terus berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia
bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal
perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui hal-hal apa sajakah
yang dapat membantu kita agar dapat mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah
semata, dan di antara hal-hal tersebut adalah

Banyak Berdoa

Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa
kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang
sering beliau panjatkan adalah doa:

« ‫» اَللّ ُه َّم إِنِّي أَع ُْوذ ُ بِكَ أ َ ْن أ ُ ْش ِركَ بِكَ َوأَنَا أ َ ْعلَ ُم َوأ َ ْست َ ْغ ِف ُركَ ِل َما الَ أَ ْعلَ ُم‬

“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara
aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku
ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)

Nabi kita sering memanjatkan doa agar terhindar dari kesyirikan padahal beliau adalah orang
yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang
sahabat besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering beliau
panjatkan adalah, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh
amalanku hanya karena ikhlas mengharap wajahmu, dan jangan jadikan sedikitpun dari
amalanku tersebut karena orang lain.”
Menyembunyikan Amal Kebaikan

Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan
amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih
utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan
yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, karena tidak
ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang
akan Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu
pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh di atas ketaatan kepada Allah, laki-laki yang hatinya
senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah
karena-Nya, seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang cantik dan memiliki
kedudukan, namun ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seseorang yang
bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu
sendiri hingga meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).

Apabila kita perhatikan hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang
akan Allah naungi kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa
diketahui oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik
shalat yang dilakukan oleh seseorang adalah shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat
wajib.” (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dilakukan di rumah kecuali
shalat wajib, karena hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas. Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan,
“di antara sebabnya adalah karena shalat (sunnah) yang dilakukan di rumah lebih jauh dari riya,
karena sesungguhnya seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh manusia, dan
terkadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka
hal ini lebih dekat dengan keikhlasan.” Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau beramal
agar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan
keburukanmu.”

Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan
kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku,
marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena
ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.

Memandang Rendah Amal Kebaikan

Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan
kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa
ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam
perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub
seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak
keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia. Sa’id
bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang
masuk neraka karena amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa
terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut
terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah
pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal
kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam
keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”

Takut Akan Tidak Diterimanya Amal

Allah berfirman:

ِ ‫َوالَّذِينَ يُؤْ تُونَ َما آت َْوا َوقُلُوبُ ُه ْم َو ِجلَةٌ أَنَّ ُه ْم إِلَى َربِّ ِه ْم َر‬
َ‫اجعُون‬

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut,
(karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS.
Al Mu’minun: 60)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang
memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan
mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).

Hal semakna juga telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang
diriwayatkan dari Aisyah ketika beliau bertanya kepada Rasulullah tentang makna ayat di atas.
Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat,
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut,
(karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka” adalah
orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr kemudian ia takut terhadap Allah?. Maka
Rasulullah pun menjawab: Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan
ayat itu adalah mereka yang shalat, puasa, bersedekah namun mereka takut tidak diterima oleh
Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih )

Ya saudaraku, di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan
tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak
hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik
sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas
ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan
amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia?
Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah
kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak
diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita.
Sungguh amat sangat merugikan hal yang demikian itu.

Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia


Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya
disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang
yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu
adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)

Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain merupakan suatu hal yang pada umumnya tidak
disukai manusia. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan pujian atau celaan orang lain
sebagai sebab engkau beramal saleh, karena hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan ikhlas.
Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan
manusia ketika ia beramal saleh. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya dipuji karena beramal
sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali hanya akan membuat ia semakin tawadhu (rendah
diri) kepada Allah. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya,
sehingga ia pun berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah
wahai saudaraku, tidak ada pujian yang dapat bermanfaat bagimu maupun celaan yang dapat
membahayakanmu kecuali apabila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita
pilih wahai saudaraku, dipuji manusia namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia namun
Allah memuji kita ?

Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka

Sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang dia jadikan sebagai
tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka),
akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan berdiri di padang mahsyar dalam keadaan
takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam surga
atau neraka, maka ia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak
satu pun dari mereka yang dapat menolong dia untuk masuk surga ataupun menyelamatkan dia
dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam sampai
manusia terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu
masuk ke dalam surga meskipun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-
payah dan bercapek-capek melakukan amalan hanya untuk mereka?

Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata: “Barang siapa yang berpuasa,
shalat, berzikir kepada Allah, dan dia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk
mendapatkan dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali,
amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa”.
Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.

Ingin Dicintai, Namun Dibenci

Saudaraku, sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia
tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan
mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-
amalannya “ (HR. Muslim)
Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para
makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:

َّ ‫سيَجْ عَ ُل لَ ُه ُم‬
‫الرحْ َمنُ ُودًّا‬ َ ‫ت‬ َّ ‫إِ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah
akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-
Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-
amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu
Katsir).

Dalam sebuah hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka
Dia menyeru Jibril dan berkata: wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka
cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit:
sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun
mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan sesungguhnya apabila
Allah membenci seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril,
sesungguhnya Aku membenci fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian
Jibril menyeru kepada penduduk langit: sesungguhnya Allah membenci fulan, maka benciilah ia.
Maka penduduk langit pun membencnya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di
bumi.” (HR. Bukhari Muslim)

Hasan Al Bashri berkata: “Ada seorang laki-laki yang berkata : ‘Demi Allah aku akan beribadah
agar aku disebut-sebut karenanya’. Maka tidaklah ia dilihat kecuali ia sedang shalat, dia adalah
orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun
melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok
orang kecuali mereka berkata: ‘lihatlah orang yang riya ini’. Dia pun menyadari hal ini dan
berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, ‘sungguh aku akan
melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang
dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: ‘semoga
Allah merahmatinya sekarang’. Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan
menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Demikianlah pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada
umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.

Dari artikel Inginkah Anda Menjadi Orang yang Ikhlas? — Muslim.Or.Id – Memurnikan Aqidah
Menebarkan Sunnah by null

Anda mungkin juga menyukai