Anda di halaman 1dari 10

I.

ISRA’ MI’RAJ

Salah satu prinsip aqidah dalam Islam adalah mengimani


peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Isra’ adalah perjalanan yang dilakukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Malaikat Jibril pada malam hari
dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di
Palestina. Perjalanan sejauh ini ditempuh oleh beliau dengan
mengendarai Buraq, sejenis hewan yang berwarna putih, panjang,
ukurannya lebih besar daripada keledai dan lebih kecil daripada baghl
(peranakan kuda dengan keledai). Dengan kekuasaan Allah ta’ala,
hewan ini mampu melangkahkan kakinya sejauh mata memandang.
Adapun mi’raj adalah peristiwa naiknya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dari bumi menuju Sidratul Muntaha, untuk
kemudian berjumpa dengan Allah Yang Maha Tinggi dan menerima
kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.
Isra’ Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah
sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah.
Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada
tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut
al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab
tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. Namun demikian,
Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menolak pendapat tersebut
dengan alasan karena Khadijah radhiyallahu anha meninggal pada
bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan
Rajab. Dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-
Mubarakfuri menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra
Mi’raj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak
diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra Mi’raj.
Sebagian kalangan yang lebih mengedepankan akal dan
logikanya dalam memahami agama ini -daripada nash-nash Al-Qur’an

1
dan As-Sunnah- berupaya untuk mengingkari terjadinya peristiwa
Isra’Mi’raj. Kalaupun benar peristiwa tersebut terjadi, maka itu hanya
mimpi atau hanya ruh beliau saja, tidak mungkin dengan jasad fisik
beliau. Menurut mereka, tidak masuk akal perjalanan sejauh itu hanya
ditempuh selama satu malam. Sangat jauhnya jarak antara Masjidil
Haram dengan Masjidil Aqsha, kemudian ditambah jarak antara bumi
dan langit, tentunya membutuhkan perjalanan dengan kecepatan yang
sangat tinggi. Sehingga tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bisa menempuhnya dengan jasad beliau. Sebuah benda yang
paling keras sekalipun, kalau bergerak dengan kecepatan yang sangat
tinggi, maka benda tersebut bisa meleleh, apalagi jasad seorang
manusia. Ini tidak masuk akal, kata mereka.
Sungguh akal yang sehat itu justru menerima dengan penuh
ketundukan dan keyakinan setiap berita dalam Al-Qur’an maupun
hadits. Akal yang sehat menyatakan bahwa Allah ta’ala Maha Mampu
atas segalanya. Kalau Allah berkehendak, Allah pun mampu untuk
menciptakan kejadian luar biasa yang lebih menakjubkan daripada
peristiwa Isra’ Mi’raj pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tersebut.
Ayat Al-Qur’an yang mengabadikan peristiwa besar ini, yaitu
firman Allah ta’ala:

ُ ‫ََالح ْال َمس ِْج ِد ِمنَ لَي ًْل ِب َع ْب ِد ِه أَس َْرى الَّذِي‬
َ‫س ْب َحان‬ ْ ‫صى ْال َمس ِْج ِد ِإلَى َر ِام‬ َ ‫الَّ ِذي ْاْل َ ْق‬
َ َ‫ير الس َِّمي ُع ه َُو إِنَّهُ آَيَاتِنَا ِم ْن ِلنُ ِريَهُ َح ْولَهُ ب‬
‫ار ْكنَا‬ ُ ‫ص‬ ِ َ‫ْالب‬
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Isra’: 1)

2
Ayat diatas menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah
benar adanya dan dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan ruh dan jasad beliau, bukan ruh saja atau mimpi saja.
Adapun peristiwa Mi’raj, Allah subhanahu wata’ala telah
abadikan dalam Al-Qur’an:

َ َ‫طغَى َو َما ْالب‬


َ ‫ص ُر زَ ا‬
‫غ َما‬ َ

“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu

dan tidak (pula) melampauinya.” (An-Najm: 17)

II. HIKMAH MEMPERINGATI ISRA’ MI’RAJ

1. Peringatan Isra’ Mi’raj Sebagai Motivasi


Apabila kita membaca sejarah kehidupan Rasulullah SAW
(Sirah Nabawiyah), sebelum peristiwa itu terjadi, Rasulullah
mengalami keadaan duka cita yang sangat mendalam. Beliau
ditinggal oleh istrinya tercinta, Khadijah, yang setia menemani dan
menghiburnya di kala orang lain masih mencemoohnya. Lalu
beliau juga ditinggal oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, yang
(walaupun kafir) tetapi dia sangat melindungi aktivitas Nabi.
Sehingga orang-orang kafir Quraisy semakin leluasa untuk
melancarkan penyiksaannya kepada Nabi, sampai-sampai orang
awam Quraisy pun berani melemparkan kotoran ke atas kepala
Rasulullah SAW.
Dalam keadaan yang duka cita dan penuh dengan rintangan
yang sangat berat itu, menambah perasaan Rasulullah semakin
berat dalam mengemban risalah Ilahi. Lalu Allah “menghibur”
Nabi dengan memperjalankan beliau, sampai kepada langit dan
menemui Allah. Hingga kini, peristiwa ini seringkali diperingati

3
oleh sebagian besar kaum muslimin dalam peringatan Isra’ Mi’raj.
Pada dasarnya peringatan tersebut hanyalah untuk memotivasi dan
penyemangat, bukan dalam rangka beribadah (ibadah dalam artian
ibadah ritual khusus). Namun peringatan tersebut juga terdapat
beberapa catatan. Apa saja itu? Mari kita ikuti beberapa hal di
bawah ini.
Dalam Al Qur’an, dari sekian ribu ayat di dalamnya, hanya
ada 4 ayat yang menjelaskan tentang Isra’ Mi’raj, yaitu QS. Bani
Israil ayat 1, dan QS. An Najm ayat 13 sampai 15. Maksudnya,
kebesaran Islam itu bukan terletak pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini,
tapi pada konsepnya, sistemnya, dan muatannya. Pada surat An
Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah menemui
Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi’raj.
Sebelumnya Rasulullah juga pernah menjumpai malaikat Jibril
dalam bentuk asli ketika menerima ayat pertama (QS. Al Alaq: 1-
5) dari Allah SWT, yaitu ketika di gua Hira.
Dan di antara 25 nabi, hanya 2 Nabi yang pernah berbicara
langsung kepada Allah, yaitu Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad
SAW. Bagaimana dengan Nabi Adam AS, bukankah beliau juga
pernah berdialog dengan Allah? Ya, tapi Nabi Adam ketika itu
masih di Surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog
secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah secara
langsung yaitu ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Nabi
Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi (sekali lagi),
kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsepnya, di
muatannya. Oleh karena itulah, peristiwa Isra’ Mi’raj sendiri tidak
perlu secara berlebihan diangkat-angkat. Peristiwa itu sendiri
merupakan mukjizat imani, maksudnya adalah mukjizat yang
hanya bisa diterima apabila kita beriman.
Meskipun hanya Nabi Muhammad yang telah diperjalankan
pada malam harinya (Isra’ Mi’raj), tapi dia tetaplah manusia biasa,

4
hamba Allah. Hal ini perlu ditegaskan, karena dua umat sebelum
Islam (Yahudi dan Kristen), telah terjebak men-Tuhankan nabinya.

2. Spirit Meraih Puluhan Kebaikan


Bagai dua sisi mata uang, kehidupan manusia juga diliputi
dua hal. Adakalanya suka, juga duka. Terkadang tertawa, dalam
kesempatan lain menangis. Termasuk juga dalam hal perbuatan.
Berpusat dari hati dan keimanan, manusia berpotensi untuk berbuat
baik dan tidak baik. Manusia dapat konsisten dengan perbuatan
baikya, jika kondisi iman sedang bertambah.
Namun dalam kesempatan lain, manusia juga dapat berbuat
yang tidak baik dan cenderung menguruti hawa nafsunya. Dua sisi
kepribadian manusia inilah yang sejatinya menjadi ‘ibrah dalam
momen isra mi’raj disini. Perihal isra mi’raj, Allah Swt telah
mengungkapkannya dalam surah Al-Isra.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs Al-Israa’: 1)

Sesuai dengan nama surah di atas, Al-Israa, yang berasal


dari kata ‘saroo’ yakni berjalan, Allah Swt memberikan definisi
secara tersurat perihal Israa yang berarti perjalanan Rasulullah Saw
dari masjidil haraam ke masjidil aqsha. Sedangkan mi’raj ialah
proses naiknya Rasulullah dari langit pertama hingga sidratul
muntaha. Perihal mi’raj sendiri, Anas bin Malik. dalam hadits
shahih Bukhari dan Muslim, mengungkapkan secara detail tentang
peristiwa isra dan mi’raj.
Dalam hadits tersebut, Anas bin Malik mengungkapkan
pertemuan Rasulullah saw dengan beberapa para Nabi dari langit

5
pertama hingga ke tujuh. Dari Nabi Adam, hingga Nabi Ibrahim as.
Semua mengucap salam penghormatan kepada Rasulullah Saw.
terlebih Nabi Musa as. Pertemuan dengan Nabi Musa ini sempat
menghadirkan sebuah dialog yang unik.
Proses ‘penerimaan’ perintah shalat (yang awalnya) 50 waktu,
disarankan Nabi Musa untuk mengajukan pengurangan. Maka Nabi
Muhammad kembali kepada Allah dan shalat berkurang lima
waktu. setelahnya, Nabi Musa masih menganggap 45 waktu itu
masih terlalu banyak, lantaran beliau pernah menyuruh Bani Israil
dan mereka pun lalai menjalankannya.
Rasulullah Saw pun akhirnya memohon keringanan lagi pada
Allah. Hingga Rasulullah Saw mengungkap dalam akhir hadits ini
‘Qad roja’tu ilaa Rabby, hatta-s tahyaitu minhu- Sungguh aku telah
bolak balik pada Tuhanku, hingga aku malu,”.
Makna ‘malu’ yang Rasulullah maksud ini adalah bahwa—
di akhir hadits ini, Allah mengklarifikasi tujuan dari
disyariatkannya 50 waktu shalat yang berarti, ‘setiap shalat fardhu
diganjarkan dengan sepuluh ganjaran. Oleh karenanya berarti lima
waktu shalat fardhu sama dengan 50 pahala.
Begitu juga siapa yang berniat baik maka dicatatlah satu kebaikan
untuknya. Jika dia melakukannya, maka sepuluh pahala baginya.
Dan siapa yang berniat berbuat jahat, tapi tidak melakukannya,
niscaya tidak satu kejahatan dicatat baginya. Seandainya dia
mengerjakannya, maka dicatat satu kejahatan saja baginya.
Hadits ini diperkuat oleh firman Allah dalam surah Al-
An’aam ayat 160 di atas, bahwa betapa baiknya Allah yang selalu
menimbang pahala dengan ganjaran yang besar atas setiap niat
berbuat baik. Saat manusia baru saja berniat, Allah perintahkan
malaikat untuk segera mencatat satu pahala atas niatnya.
Tapi tidak dengan perbuatan jahat yang dengan kemurahan-
Nya, Allah tunda catatan itu, hingga ia benar-benar melakukannya.

6
Setidaknya, isra mi’raj mengajarkan kita, hamba Allah, umat
Rasulullah untuk menanam niat baik dan menunai ganjaran pahala
dari-Nya.

3. Mengingat Diri dan Mengingat Allah


Isra Mi’raj adalah tonggak sejarah bagi proses
penyempurnaan risalah yang diterima Rasulullah SAW. Di balik
hiruk pikuk perbedaan pendapat terkait kapan peristiwa ini terjadi,
terdapat hikmah dan pelajaran berharga yang sayang untuk
dilewatkan.
Rangkaian nilai dan pesan tersebut, sebut Syekh Dr Raghib
as-Sirjani dalam makalahnya berjudul “al-Isra wa al-Mi’raj Durus
wa Ibar”, dapat diposisikan sebagai motivasi untuk kembali
memperteguh komitmen keagamaan seseorang.
Agar tak muncul keraguan maka poin mendasar yang mesti
ditekankan ialah para ulama, sebagaimana dinukilkan Ibn Katsir
dalam Tafsir al-Quran al-Azhim, sepakat atas kebenaran Isra
Mi’raj. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha dan
dari bumi ke Sidratul Muntaha, itu terjadi riil melibatkan ruh
sekaligus fisik Nabi Muhammad SAW. Penegasan ini tertuang di
ayat pertama surah al-Isra’.
“Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada
suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah
Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Isra Mi’raj seakan menyampaikan satu pesan utama bahwa


solusi dan jalan keluar niscaya akan datang bagi Muslim yang
senantiasa bersabar dan berusaha. Kekuatan doa kuat untuk
mendatangkan pertolongan dari Allah SWT. Saat masalah

7
menghadang dakwah Rasulullah, suami Khadijah ini pun tetap
tabah dan konsisten. Keimanannya justru mendorongnya agar tetap
bertahan dan memohon pertolongankepada-Nya.
Kesabaran itu berbuah manis. Sejumlah petinggi Makkah
kala itu memeluk Islam setelah sebelumnya muncul penolakan
yang luar biasa dari mereka. Ada As’ad bin Zararah, Auf bin al-
Harits, Rafi’ bin Malik, Jabir bin Abdullah, Suwaid bin a-Shamit
as-Sya’ir, Iyyas bin Mu’adz, Abu Dzar al-Ghifari, dan at-Thufail
bin Amar ad-Dusi.
Isra Mi’raj juga meyakinkan umat akan urgensi lemah
lembut dan simpati dalam berdakwah. Tak satu pun kekerasan akan
berdampak baik, justru kelembutan dan kebaikanlah yang akan
mempercantik suatu urusan, seperti hadis riwayat Aisyah. Bisa
saja, Rasulullah mengiyakan tawaran Jibril untuk
meluluhlantakkan penduduk Makkah menggunakan sebuah
gunung.
Namun, tawaran tersebut mendapat penolakan keras dari
Rasul. “Justru, aku berharap akan keluar orang-orang mukmin dari
lembah tersebut,” tegas ayahanda dari Fatimah tersebut.
Pascaperistwa Isra Mi’raj, satu per satu penggawa Makkah berikrar
syahadat, di antaranya Khalid bin al-Walid, Ikrimah bin Abu Jahal,
Ummu Habibah binti Abu Sufyan, dan Abdullah bin Abbas.
“Hadiah” paling istimewa yang diterima Rasulullah dalam
peristiwa ini ialah risalah shalat lima waktu. Perintah shalat
diterima langsung oleh suami Aisyah RA saat bertemu langsung
dengan Allah SWT. Ini merupakan bukti posisi vital risalah shalat.
Shalat adalah tiang agama dan menjadi rukun kedua setelah
syahadat. Shalat, seperti ditegaskkan oleh Rasulullah, merupakan
identitas kuat seorang Muslim. “Beda antara Muslim dan karif
adalah shalat,” demikian sabda Muhammad SAW.

8
Suatu saat, Umar bin Khatab pernah menulis instruksi kepada para
pegawai dan pejabat negara. Sosok yang bergelar al-Faruq ini
menegaskan bahwa shalat dijadikan sebagai takaran
profesionalisme kinerja dan performa seseorang. Shalat adalah
tolok ukur konsistensi seseorang.
Ayahanda Hafshah ini yakin bila shalat seseorang terjaga
maka yang bersangkutan tidak akan menelentarkan urusan yang
lain. “Urusan terpenting bagiku dari kalian adalah shalat. Barang
siapa yang menjaga dan membiasakannya maka ia telah
memelihara agamanya. Jika meninggalkannya maka ia rentan
menelantarkan urusan selain shalat,” katanya. Isra Mi’raj
mengingatkan kembali dan mempertegas kedudukan vital yang ada
para risalah shalat.
Pesan tersirat dari Isra Mi’raj lainnya, yaitu menghayati
keagungan dan kebesaran kuasa Allah SWT. Terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah di sepanjang prosesi Isra Mi’raj. Terutama,
perjalanan menuju langit ketujuh. Di saat itu pula, Rasul
berkesempatan tatap muka dengan Sang Pencipta. “Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS an-
Najm [53]: 17-18)

9
SUMBER PUSTAKA

http://www.dakwatuna.com/2011/06/24/12847/hikmah-dari-isra-
miraj/#ixzz2VuPaojtT. Diakses tanggal 11 Juni 2013

http://duniabaca.com/pengertian-sejarah-dan-hikmah-isra-miraj-nabi-muhammad-
saw.html. Diakses tanggal 11 Juni 2013

http://kaahil.wordpress.com/2011/06/30/definisi-hikmah-kisah-isra-miraj-27-
rajab-yang-benar-buraq-adalah-seekor-binatang-yang-berwarna-putih-panjang-
ukurannya-lebih-besar-daripada-keledai-dan-lebih-kecil-daripada-baghl-pera/.
Diakses tanggal 11 Juni 2013

10

Anda mungkin juga menyukai