Anda di halaman 1dari 22

CASE BASED DISCUSSION

OTITIS MEDIA AKUT

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu THT-KL
RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang

Disusun oleh:
Winno Pradana Utomo
30101206841

Pembimbing:
dr. Djoko Prasetyo A.N, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2017

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. M
Usia : 15 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sendagguwo, Tembalang, Kota Semarang
Agama : Islam
No. RM : 413459

II. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF


Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada hari Rabu, 11 Oktober
2017 pukul 10.00 di Poli THT RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang

Keluhan Utama
Nyeri Telinga Kiri

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik THT mengeluhkan nyeri telinga kiri sejak 1
minggu yang lalu, pasien 1 hari yang lalu membersihkan telinga dengan Cotton
Bud dan merasa Cotton Bud tertinggal. Pasien mengaku keluar cairan berwarna
putih kekuningan dan berbau dari telinga kiri, kurang pendengaran ,sakit kepala.
Keluhan batuk pilek disangkal oleh pasien. Riwayat pengobatan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat ISPA (+)
 Riwayat keluhan yang sama (-)
 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat ISPA disangkal
 Riwayat alergi disangkal

2
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berobat dengan menggunakan biaya sendiri
Kesan ekonomi: cukup

III. PEMERIKSAAN OBYEKTIF


Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanandarah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,30C
Berat Badan : 47kg
Tinggi Badan : 159 cm
Status gizi : Cukup

Kepala dan Leher


Kepala : Normocephal
Wajah : Simetris
Leher anterior : Tidak teraba adanya pembesaran KGB
Leher posterior : Tidak teraba adanya pembesaran KGB

Status Lokalis
1. Telinga
 Pemeriksaan rutin umum telinga

Dekstra Sinistra
Aurikula Bentuk (N), benjolan (-), Bentuk (N), benjolan (-),
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Preaurikula Tragus pain (-), fistula (-), Tragus pain (-), fistula (-),
abses (-) abses (-)
Retroaurikula Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)

3
Mastoid Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
CAE Discharge (-), serumen (-), Discharge (-),serumen (+),
hiperemis (-), edema (-), hiperemis (+), edema (-) corpus
corpus allienum (-) allienum (+)
Membran Tympani
- Perforasi (-), MT intak (+)
-Cone of Light (+) -
-Warna Putih keabu-abuan Putih keabu-abuan
-Bentuk Cekung Cekung

2. Hidung
Luar: Kanan Kiri

Bentuk Normal Normal

Sinus Nyeri tekan & nyeri Nyeri tekan & nyeri


ketuk pipi (+) ketuk pipi (-)

Inflamasi/tumor (-) (-)

Septum Deviasi (-) (-)

Rhinoskopi Kanan Kiri


Anterior
Sekret mukopurulen(-) mukopurulen(-)

Mukosa

hiperemis(-) hiperemis(-)

Konka Media hipertrofi (-) hipertrofi (-)


dan Inferior hiperemis (-) hiperemis (-)

Tumor/Massa (-) (-)

Septum Deviasi Tidak terdapat deviasi septum

4
3. Tenggorok
 Pemeriksaan rutin umum tenggorok
 Orofaring
 Mukosa buccal : warna merah muda
 Ginggiva : warna merah muda
 Gigi geligi : dalam batas normal, caries (-), gangren (-)
 Palatum durum dan mole : warna merah muda
 Lidah 2/3 anterior : merah muda

Ar
 kus faring : hiperemis (-)
 Dinding posterior orofaring : granulasi (-), hiperemis (-)

 Tonsil :

Tonsil Dekstra Sinistra


Ukuran T1 T1
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Permukaan Rata Rata
Warna Merah muda Merah muda
Detritus (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Pilar anterior Merah muda Merah muda
Fixative (+) (+)

IV. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Lab Darah Rutin
2. Pungsi : Tes Sensitifitas

5
V. RESUME
1. Pemeriksaan Subyektif
 Keluhan utama : Nyeri Telinga Kiri
- RPS : Pasien datang ke poliklinik THT mengeluhkan nyeri telinga kiri
sejak 1 minggu yang lalu, pasien 1 hari yang lalu membersihkan telinga
dengan Cotton Bud dan merasa Cotton Bud tertinggal. Pasien mengaku
keluar cairan berwarna putih kekuningan dan berbau dari telinga kiri,
kurang pendengaran ,sakit kepala. Keluhan batuk pilek disangkal oleh
pasien. Riwayat pengobatan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat ISPA (+)
 Riwayat keluhan yang sama (-)
 Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat ISPA disangkal
 Riwayat alergi (+)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Kesan ekonomi: cukup

2. Pemeriksaan Obyektif
a. Status present : Dalam batas normal
b. Pemeriksaan Rutin Umum Kepala dan Leher : Dalam batas normal
c. Pemeriksaan Rutin Umum Telinga :
- Bentuk normal, hiperemis dan tanda peradangan (-), tidak ada sekret
atau discharge yang keluar.
d. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal : Dalam Batas Normal
e. Pemeriksaan Rutin Tenggorok : Dalam Batas Normal
f. Pemeriksaan Telinga
- AD : Dalam Batas Normal
- AS : CAE Sekret (+)
CAE Corpus Alineum (+)
Membran Timpani Perforasi Sentral (+)

6
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis Media Akut (OMA)
2. Corpus Alineum
3. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

VII. DIAGNOSIS SEMENTARA


Otitis Media Akut Stadium Perforasi AS + Corpus Alineum AS

VIII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam

X. PENATALAKSANAAN
a. Ekstraksi
b. H2O2
c. Medikamentosa
1. Antibiotik Adekuat : Oral, Topikal
2. Anti inflamasi

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Klasifikasi


Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA)
adalah peradangan telinga tengah dengan gejala klasik berupa nyeri ,demam, malaise,
dan kadang nyeri kepala disamping nyeri telinga. Pada anak kecil dapat dijumpai
anoreksia dan muntah (Paparella, 1997). Otitis media akut ditandai dengan nyeri telinga
dan gerakan menarik atau menggosok telinga secara tidak wajar, adanya cairan di telinga
tengah, kemerahan pada membran timpani, membran timpani membengkak atau bulging
dan otore. (Kerschner, 2015).

Gambar 2.1 Skema pembagian Otitis Media (Djaafar, 2007)

8
2.2. Etiologi
1. Bakteri
Bakteri paling banyak menyebabkan kasus OMA, tiga patogen mendominasi
Streptococcus pneuomonia, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis.
Kejadian ini berubah setelah terdapat vaksin pneumococcal. Pada tempat dimana
terdapat vaksin ini H. influenzae merupakan patogen terbanyak dibanding S. pneumonia
dimana terdapat pada 40-50% kasus. Tetapi pada tempat dimana tidak terdapat vaksin
pneumococcal S. pneumoniae merupakan patogen paling sering ditemukan. M.
catarrhalis mewakili sebagian besar kasus yang tersisa. Patogen lain seperti group A
streptococcus, Staphylococcus aureus, bakteri gram negative lainnya paling sering
ditemukan pada neonatus dan bayi yang dirawat di rumah sakit.
2. Virus
Virus juga menyebabkan OMA disertai atau tanpa disertai infeksi dari bakteri
patogen. Biasanya infeksi virus pada OMA disertai dengan bakteri patogen. Rhinovirus
dan virus pada jalur respirasi ditemukan paling sering. OMA diketahui merupakan
komplikasi dari bronkiolitis, aspirasi telinga tengah pada pasien bronkiolitis biasanya
ditemukan bakteri patogen. Pada kasus OMA masih dipertanyakan apakah virus sendiri
dapat menyebabkan OMA tanpa disertai bakteri patogen. (Kerschner, 2015)

Gambar 2.2. Distribusi mikroorganisme yang diisolasi dari cairan telinga tengah pasien
OMA (Ramakrishnan, 2007)

9
2.3. Faktor Risiko
1. Umur
Perkembangan satu episode OM dilaporkan 63-85% pada 12 bulan pertama dan 66-
99% pada 24 bulan pertama. Di seluruh kelompok tingkat tertinggi pada usia 6-20 bulan.
Setelah usia 2 tahun, kejadian dan prevalensi OM menurun secara progresif, meski
penyakit ini masih relatif umum sampai awal usia sekolah. Alasan paling mungkin untuk
tingkat paling tinggi pada bayi adalah sistim imun yang belum berkembang dengan baik.
2. Jenis Kelamin
Kejadian OM lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita, walaupun beberapa
studi menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti.
3. Ras
Kejadian OM sering terjadi pada ras American, Inuit, dan Australian. Studi
membandingkan kejadian OM pada anak ras kulit putih dan kulit hitam menunjukkan
hasil yang signifikan
4. Sosialekonomi
Faktor sosial ekonomi meliputi kepadatan rumah, fasilitas higienis terbatas, status
gizi tidak optimal, akses terbatas terhadap perawatan medis.
5. ASI
Banyak studi menemukan efek protektif dari ASI untuk mencegah OM. Efek ini akan
lebih terasa pada tingkat sosialekonomi rendah daripada tingkat sosialekonomi
menengah keatas.
6. Asap Rokok
Paparan asap rokok dalam beberapa studi menunjukkan hasil yang signifikan pada
kejadian OM daripada yang tidak terpapar asap rokok.
7. Musim
Angka kejadian OM paling banyak terjadi pada musim dingin dan paling sedikit pada
musim panas. Angka ini kemungkinan berhubungan akibat infeksi dari saluran nafas
bagian atas (Kerschner, 2015)

10
2.4. Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di
samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan
anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada
stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur,
diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi
ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan
anak tidur tenang (Djaafar, 2007). Gejala klasik berupa nyeri ,demam, malaise, dan
kadang nyeri kepala disamping nyeri telinga. Pada anak kecil dapat dijumpai anoreksia
dan muntah (Paparella, 1997).

2.5. Fisiologi, Patologi dan Patogenesis


2.5.1. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah
dengan nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi dan drainase sekret, dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Tuba Eustachius
teridir atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri
atas tulang. Pada anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba orang dewasa. Tuba Eustachius selalu tertutup karenanya dapat
melindungi telinga tengah dari kontaminasi sekresi telinga tengah dan organisme
patogenik. Proteksi normal ini dapat terganggu sehingga organisme dapat masuk ke
telinga tengah. (Paparella, 1997)

2.5.2. Patogenesis OMA


Patogenesis dari OMA meliputi beberapa faktor seperti pasien dengan
kelainan kraniofasial yang mempengaruhi fungsi tuba eustachius untuk ventilasi.
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul
edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian
besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari
tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor

11
ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid. Meski OMA bisa berkembang dan
terjadi tanpa didahului infeksi saluran nafas bagian atas, banyak dari kejadian OMA
didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas atau bakteri. Pada anak-anak di tempat
penitipan anak, OMA diamati pada kira-kira 30-40% anak dengan penyakit pernafasan
yang disebabkan oleh virus sinsitial pernafasan, influenzavirus, atau adenovirus, dan
sekitar 10-15% anak-anak dengan penyakit pernafasan yang disebabkan oleh virus
parainfluenza, rhinovirus, atau enterovirus. Virus infeksi saluran napas bagian atas
mengakibatkan pelepasan sitokin dan mediator inflamasi, beberapa di antaranya dapat
menyebabkan disfungsi tuba eustachius. Virus pernafasan juga dapat meningkatkan
kolonisasi bakteri di nasofaring dan melemahkan imun dari tubuh penderita.
(Kerschner, 2015).

Gambar 2.3 Skema Patogenesis OMA (Djaafar, 2007).

2.5.3. Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA


Otitis media adalah salah satu infeksi tersering pada anak-anak. Pada
beberapa penelitian infeksi ini diperkiran terjadi pada 25% anak. Infeksi
umumnya terjadi pada dua tahun pertama kehidupan, sedangkan insidens puncak
kedua terjadi pada tahun pertama masa sekolah (Paparelli, 1997).
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan
orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan
kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran

12
pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang
dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm, ini
meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase
melalui tuba Eustachius (Djaafar, 2007). Insiden terjadinya otitis media pada
anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna
dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan
disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga
mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah (Kerschner, 2015).
Selain itu sistim imun dari anak yang belum berkembang secara
sempurna sehingga memiliki masalah dalam melawan infeksi dan juga adenoid
pada anak yang lebih besar daripada orang dewasa, adenoid yang membesar
dapat mengganggu fungsi dari tuba eustachius saat membuka dan juga adenoid
sendiri dapat terinfeksi dan menyebar ke tuba eustachius (NIDCD, 1997).

Gambar 2.4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

2.6. Stadium OMA


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung
pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius,
stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi,stadium supurasi, stadium perforasi dan
stadium resolusi (Djaafar, 2007).
Gambar 2.5. Membran Timpani Normal

13
1.Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius ditandai dengan
retraksi membrane timpani akibat terjadinya tekanan negative di dalam telinga
tengah, akibat absorpsi udara. Kadang membrane timpani tampak normal atau
berwarna keruh pucat. Efusi mungkin terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi.
Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh
virus.

2.Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di
membrane timpani atau seluruh membrane timpani tampak hiperemis serta
edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sukar terlihat. (Djaafar, 2007)

Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis

14
3.Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edemapada
mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan
tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran
konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium
supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa
membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler
membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa
lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium
supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita
lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan
keluar dari telinga tengah menuju liangtelinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat
perforasi lebih sulit menutup kembali.
Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

15
4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi rupture membrane timpani dan
nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang
tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat
tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis media akut stadium perforasi.
(Djaafar, 2007)
Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi

5.Stadium Resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perofrasi, maka sekret
akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi
kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walapun tanpa pengobatan. OMA
berubah menjadi OMSK bila perofrasi menetap dengan sekret yang keluar terus
menerus atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequel)
berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya
perforasi (Djaafar, 2007).

16
2.7. Diagnosis
2.7.1. Kriteria Diagnosis OMA
Menurut Kerschner (2015), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi dua hal
berikut, yaitu:
1. Membengkaknya membrane timpani sedang sampai berat atau terdapat
otore baru yang tidak disebabkan otitis externa.
2. Membran timpani membengkak ringan dan baru (<48 jam) nyeri telinga
atau kemerahan pada membrane timpani.
Diagnosis OMA tidak seharusnya ditegakkan tanpa adanya efusi telinga tengah.
2.7.2. Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi
OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat
menyerupai OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda
yang ada pada OMA dan otitis media dengan efusi.

Gambar 2.9 Skema Perbedaan OMA dan OME

Setidaknya dua dari: Terdapat Gelembung Akut Purulen Otore


ATAU atau cairan udara bukan karena Otitis
1. Warna MT Abnormal
(putih,kuning,pucat) dibelakang membrane Externa
2. Opaficifikasi bukan timpani
karena jaringan parut
3. Menurun/ tidak
adanya mobilitas YA

YA

Efusi Telinga
Tengah(Middle Ear
Effusuion)

Tanpa Inflamasi Setidaknya satu dari:


1. Nyeri telinga, disertai
menggaruk dan menarik
telinga
Otitis Media Dengan Efusi 2. Kemerahan Pada MT
3. Membengkaknya MT

Otitis Media Akut

17
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadiumnya. Pada stadium
oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung
HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau
HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun
pada orang Dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotic
(Djaafar, 2007).
Pada stadium Hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin.Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular
agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.Bila pasien alergi tehadap penisilin,
diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam empat dosis, amoksisilinatau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk melakuka n miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala
cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang
secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3%
selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu.Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam
7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membrane timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidakterjadi resolusi biasanya
sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani.
Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,
mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
Menurut American Family Physician tahun 2007, pengobatan otitis
media akut pada kebanyakan anak dapat sembuh dengan sendirinya (70-90%)

18
setelah 7-14 hari. Menunda antibiotik pada beberapa pasien mengurangi biaya
berobat dan resistensi pada bakteri. Pengobatan simptomatik sangat penting pada
hari pertama dan kedua setelah diagnosis, seperti acetaminophen (15mg/kgbb/4-
6jam) atau ibuprofen (10mg/kgbb/6jam). Antihistamin dapat membantu
mengurangi alergi, tetapi dapat memperpanjang efusi pada telinga tengah.
Decongestan oral dapat digunakan untuk mengurangi kongesti hidung.
Pemberian kortikosteroid tidak memberikan keuntungan pada pengobatan otitis
media akut. Pada penelitian meta analisis antibiotic paling penting diberikan
pada usia anak kurang dari 2 tahun dengan otitis media bilateral, dan pada anak
dengan otitis media dan otore. Antibiotik direkomendasikan pada anak usia
kurang dari 6 bulan, 6-24 bulan bila diagnosis pasti dan pada anak lebih dari 2
tahun dengan infeksi yang parah (nyeri telinga hebat dan suhu ≥39⁰C)
(Ramakrishnan, 2007).

Table 2.3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Diagnosis pasti OMA pada tahun 2004 menurut petunjuk harus memiliki
tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda
serta gejala inflamasi telinga tengah. Sedangkan pada petunjuk 2013 harus
mencakup 2 gejala, membengkaknya membrane timpani sedang sampai berat
atau terdapat otore baru yang tidak disebabkan otitis externa dan membran
timpani membengkak ringan dan baru (<48 jam) nyeri telinga atau kemerahan
pada membrane timpani (Kerschner, 2015).
Menurut American Family Physician (2007), amoksisilin merupakan
first-lineterapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama sepuluh hari. Cephalosporin dapat digunakan pada pasien dengan riwayat

19
alergi penisilin, dosis tunggal ceftriaxone dapat berguna pada anak dengan
keluhan muntah atau tidak patuh minum obat (Ramakrishnan, 2007)

2.8.2.Pembedahan
1.Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supa
ya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Miringotomi
merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan dengan syarat harus
dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak harus tenang dan dapat dikuasai.
Lokasi miringotomi adalah kuadran posterior-inferior. Komplikasi yang
mungkin terjadi adalah perdarahan akibat trauma pada liang telinga luar,
dislokasi tulang pendengaran. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat
miringotomi tidak perlu dilakukan kecuali bila jelas tampak nanah di telinga
tengah (Djaafar, 2007).

2.Timpanosintesis
Tympanocentesis dengan kultur aspirasi telinga tengah mungkin juga
terjadi ditunjukkan sebagai bagian dari kerja sepsis pada bayi yang sangat muda
OMA yang menunjukkan tanda penyakit sistemik seperti demam, muntah, atau
kelesuan, dan penyakit yang menurutnya tidak dapat diduga terbatas pada infeksi
telinga tengah. Melakukan tympanocentesis bisa difasilitasi dengan
menggunakan aspirator tympanocentesis yang dirancang khusus. Namun,
banyak dokter tidak merasa nyaman melakukan prosedur ini, ada potensi
komplikasi, dan orang tua mungkin menganggap prosedur ini sebagai traumatis.
(Kerschner, 2015).

3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan
miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak
memuaskan.Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului
dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi
obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2015).

20
2.9. Komplikasi
Kejadian komplikasi otitis media secara keseluruhan sangat rendah; Komplikasi
infratemporal dan intrakranial terjadi pada satu dari 100.000 anak-anak dan satu di
300.000 orang dewasa per tahun (Ramakrishnan, 2007). Sebagian besar komplikasi
OMA terdiri dari penyebaran infeksi ke struktur terdekat, berkembang menjadi kronis,
atau keduanya. Komplikasi supuratif relatif jarang terjadi pada anak-anak Di negara
maju tapi terjadi tidak jarang di kurang beruntung anak-anak yang perawatan medisnya
terbatas Komplikasi dari OMA dapat diklasifikasikan sebagai intratemporal atau
intracranial
1. Intratemporal
Ekspansi OAM secara langsung namun terbatas menyebabkan komplikasi dalam
daerah telinga dan tulang temporal. Komplikasi ini meliputi dermatitis, perforasi MT,
OM supuratif kronis (OMSK), mastoiditis, gangguan pendengaran, kelumpuhan saraf
wajah, pembentukan kolesteatoma, dan labirinitis
2. Intracranial
Meningitis, abses epidural, abses subdural, ensefalitis fokal, abses otak,
trombosis sinus sigmoid (juga disebut trombosis sinus lateral), dan hidrosefalus otitis
masing-masing berkembang sebagai komplikasi telinga tengah akut atau kronis atau
mastoid infeksi, penyebaran hematogen, atau tromboflebitis. Perusakan tulang yang
berdekatan dengan dura sering dilibatkan, dan kolesteatoma mungkin dapat terjadi
(Kerchsner, 2015).

2.10. Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA
pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan
pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan
merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2015).

21
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi,
E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 64 – 86

Kerschner, J.E., 2015. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20ed. USA: Saunders Elsevier, 3085-3100

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD). 1997.


Otitis Media. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2017.

Paparella, M.M, Adams, G.L, Lavine, S.C. 1997. Penyakit Telinga Tengah dan
Mastoid dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta : EGC.

Ramakrishnan K., Sparks R.A., Berryhill W.E, 2007, Diagnosis and Treatment of
Otitis Media, American Family Physician, Volume 76, 1650-1658

22

Anda mungkin juga menyukai