LAPORAN PENELITIAN
Disusun oleh:
1
LEMBAR PENGESAHAN
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala limpahan
nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan bentuk upaya pencarian penulis atas wacana Psikologi Islami
yang berlandaskan nilai-nilai al-Qur’an. Hal ini merupakan bentuk konsen peneliti atas
agenda Islamisasi Psikologi dan Bimbingan Konseling yang semakin menggelinding di
Indonesia.
Akhir kata, penelitian ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan, sehingga
penulis berdo’a semoga ada orang lain yang akan memperbaikinya. Semoga karya ilmiah
yang sederhana ini dapat menjadi amal ibadah bagi penulis dan bagi semua orang yang
telah ikut terlibat di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung.
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………iv
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………..5
A. Latar Belakang …………………………………………………………5
B. Rumusan Masalah………………………………………………………10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………11
D. Metode Penelitian………………………………………………………12
BAB V. PENUTUP…………………………………………………………………..89
A. Kesimpulan………………………………………………………………90
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pembangunan sebuah negara. Apabila selama ini para pakar pembangunan hanya
mengacu pada model Gross National Product (GNP) atau Produk Domestik Bruto
(PDB), maka sekarang mereka mulai melirik kepada model Gross National
rata-rata nilai pendapatan per kapita keluarga (rumah tangga) di suatu negara,
materi atau ukuran finansial seperti pendapatan, tetapi mengukur pula efek
merupakan sebuah negara kecil di Asia Selatan yang dikenal pula dengan Druk Yul
(Negeri Naga Guntur). Awalnya, pada tahun 1970-an Raja ke IV Bhutan, Jigme
1
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/04/09/230345/kebahagiaan-
warga-bisa-jadi-tolak-ukur-sukses-pembangunan
2
Joko Tri Haryanto (2015). Paradigma Baru Pembangunan Nasional, dalam
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/03/26/376830/paradigma-baru-
pembangunan-nasional
5
Dalam model ini faktor non-ekonomi diberikan bobot penting setara
dengan aspek ekonomi sebagaimana sangat ditekankan oleh model PDB. Upaya
penyusunan GHN di Bhutan dimulai sejak 2005, ketika The Centre for Bhutan
bangsa, melalui kajian literatur dan konsultasi dengan berbagai pihak. Survei
pendahuluan dilakukan pada 2006 dan survei pertama kali untu mengukur Indeks
GHN dilakukan pada 2007. Kuesioner yang mencakup 750 variabel (meliputi
daerah. Akan tetapi, sedikitnya responden memaksa CBS tidak mengangap hasil
survei tersebut cukup valid untuk ditetapkan secara resmi. Survei berikutnya
dilakukan pada 2010, dalam waktu sembilan bulan, dengan jumlah kuesioner yang
terisi lengkap sebanyak 7000 lembar lebih, dari 20 daerah perkotaan dan pedesaan.
tidak. Hal ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan ekonom maupun
psikolog. Yang cukup menarik untuk disimak adalah adanya istilah “Paradoks
diperkenalkan konsep titik jenuh. Gagasan ini meyakini bahwa pada awalnya,
3
Ibid.
6
mampu meraih kebahagiaan. Pada fase ini pendapatan berbanding lurus dengan
tingkat kebahagiaan. Namun, di suatu titik, relasi tersebut dapat mencapai titik
jenuh. Hubungan antara pendapatan dan kebahagiaan menurun dan bahkan bisa
hilang sama sekali. Sebagai bukti empiris, Easterlin menemukan bahwa lonjakan
selama tiga puluh tahun terakhir ini, ternyata tidak diiringi dengan peningkatan
kebahagiaan masyarakatnya. 4
aktor hebat peraih Oscar, Robin William, adalah sebuah tragedi kemanusiaan.
ukuran kesuksesan dan kebahagiaan. Dua komponen yang selama ini dianggap
sebagai ukuran utama kesuksesan, yaitu kekayaan dan kekuasaan, perlu dilengkapi
Fakta ini diperkuat dengan laporan sebuah majalah bernama Men’s Health
yang pernah memasang iklan pada situs webnya sebagai berikut: “kami sedang
mencari orang yang hidup sempurna, tetapi tidak bahagia. Jika anda memiliki
pekerjaan besar, rumah besar yang penuh dengan barang mewah, tetapi anda
mendengarnya dari Anda”. Setelah iklan ini muncul, majalah ini kemudian
ternyata saat ini bukan lagi sebagai sebuah anomali (pengecualian), tetapi sesuatu
4
https://yorga.wordpress.com/2015/11/15/gajimu-bahagiamu-sebuah-survey-terhadap-kalangan-
profesional-muda-di-indonesia/
5
Yuswohady, Meredefinisi Ukuran Sukses, dalam Kompas, Jum’at, 12 Desember 2014
7
yang normal atau biasa terjadi. Gejala ini disebut dengan Dysthymia, yang berarti
sebuah perasaan sedih yang kronis dan hilangnya energi kehidupan di tengah-
6
tengah kehidupan sukses dan tampak bahagia.
Gejala lain yang dapat ditangkap dari kehidupan modern adalah apa yang
disebut oleh para psikolog dengan istilah anxiety disorder. Seorang penderita
gejala ini biasanya memiliki ciri-ciri berikut ini: seringkali terganggu dengan detak
jantungnya, gampang terangsang dan tersiksa oeh gangguan yang kecil, memiliki
ketakutan tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, cemas dan putus asa secara terus-
menerus, merasa sangat lelah dan kehabisan tenaga, sulit mengambil keputusan,
takut pada segala hal, merasa nervous dan tegang terus-menerus, tidak dapat
penderita gejala ini juga mengalami gangguan fisik seperti kesulitan kosentrasi,
keluar keringat dingin, tidak bisa tidur, kelelahan, sesak nafas, kepala pusing, dan
sebagainya. 7
boleh jadi merepresentasikan sisi suram dari manusia yang hidup di abad ke-21
yang biasa disebut dengan Abad Kecemasan (The Age of Anxiety). Dikatakan
demikian, karena abad ini banyak ditandai oleh adanya krisis multi dimensi;
ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan, yang melanda dan menimbulkan
efek psikologis (kecemasan) pada seluruh masyarakat dunia. Semua krisis tersebut
sejatinya berakar dari krisis identitas yang bersumber dari tidak jelasnya jati diri
sebagai pribadi dan bangsa. Krisis identitas dan hilangnya jati diri dalam tatanan
6
Jalaluddin Rakhmat, (2008), Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hal. 25
7
Jalaluddin Rakhmat (1996). Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan, Bandung:
Rosda, hal. 261
8
psikis berkaitan erat dengan tidak jelasnya nilai-nilai yang dapat dijadikan
mengalami apa yang disebut dengan kehampaan spiritual, krisis makna, kehilangan
dan teknologisme. 9 Dengan kata lain, manusia modern di abad ke-21 ini dapat
dikatakan telah kehilangan visi spiritualnya. Ia memerlukan insight baru agar dapat
merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segala sudut pandang.
Ironisnya, pada 60 tahun terakhir ini psikologi hanya berorientasi pada penyakit
jiwa seperti phobia, stress, trauma, skizofrenia dan masih banyak lagi penyakit
penyakit yang berhasil diobati, tetapi tidak sembuh total, dan terdapat dua macam
penyakit lainnya dapat diobati secara total. Fakta ini kemudian menimbulkan
8
H.D.(Bastaman, 1995), Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hal. 56 atau Bastaman, H.D (2007), Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup
dan Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 48
9
Haidar Bagir, (2006), Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, hal. 75
9
pertanyaan: “bagaimana caranya membuat orang menjadi sehat tanpa terhindar dari
nilai Islam dalam memandang persoalan manusia, memiliki misi yang besar dan
hidup di dunia dan akhirat.Visi inilah yang akan membuat manusia dapat
menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa bahagia. Hanya saja, saat ini
kajian psikologi Islami belum banyak yang mengarah kepada masalah kebahagiaan
dengan cara menggali ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan tema kebahagiaan.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari setting masalah di atas, maka pertanyaan besar yang akan
coba dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep psikologi kebahagiaan
10
Rusdiyanti Maya Sari, Psikologi Positif Membentuk Pribadi Handal, dalam http://psikologi.uin-
malang.ac.id/publication, diakses 3 Februari 2016
10
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konsep Psikologi Kebahagiaan
menurut al-Qur’an dengan cara menggali ayat-ayat al-Qur’an secara tematik, yang
dalam al-Qur’an. Hasil kajian ini kemudian bermuara pada upaya konseptalisasi
sebuah tinjauan psikologi kebahagiaan dalam perspektif al-Qur’an. Karya ini pada
psikologi Islam dan sekaligus menyempurnakan apa yang telah diwacanakan oleh
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi para
(individu) agar dapat menjalani hidup ini dengan penuh bahagia. Materi bimbingan
konseling, pengajian, training, dan sebagainya. Hal ini sangat relevan dengan
segala problem dan tantangan modernitas (globalisasi) yang kini dihadapi oleh
setiap individu. Hasil kajian ini dapat dijadikan pijakan sebagai sebuah materi
dakwah yang bersifat terapeutik dan sufistik. Model dakwah seperti inilah yang
D. Metode Penelitian
Penelitian ini bercorak kajian literatur. Artinya, sumber datanya berasal dari
bahan-bahan tertulis seputar topik yang dibahas. Penelitian ini menjadikan al-
Qur’an sebagai objek kajian, sehingga sumber rujukan utama dan pertamanya
11
adalah mushaf al-Qur’an, dengan fokus pada ayat-ayat yang berbicara tentang
kebahagiaan. Sumber lain yang digunakan dalam kajian ini adalah kitab-kitab tafsir
yang penulis anggap representatif. Sebagai dasar-dasar teoritik dan pisau analisis
(kontekstual) dalam ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip, penulis perlu melihat buku-
buku yang ditulis para pakar dalam hal yang ada relevansinya dengan tinjauan
kebahagiaan secara psikologis. Adapun sebagai dasar rujukan untuk analisis makna
kata dan term tertentu dari ayat-ayat al-Qur’an, penulis menggunakan beberapa
kitab mu’jam dan kamus, baik yang tersedia secara fisik maupun secara digital.
Dalam ilmu tafsir terdapat beberapa corak (metode) penafsiran terhadap ayat-ayat
11
al-Qur’an, yaitu tahlili, ijmali, maudhu’i, dan muqaran. Dari keempat metode
tafsir ini, yang lebih sesuai untuk digunakan dalam kajian ini adalah metode tafsir
maudhu’i. Tafsir maudhu’i adalah sebuah metode penafsiran dengan cara mencari
jawaban langsung dari al-Qur’an tentang sebuah persoalan (tema) dengan jalan
ilmu-ilmu bantu yang memuat teori-teori yang relevan dengan tema yang dibahas,
dalam hal ini psikologi, untuk melahirkan konsep yang utuh dari al-Qur’an tentang
tema tersebut. Dengan demikian, metode tematis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah bercorak psikologis. Selanjutnya, dengan dasar analisis secara holistik
dan komprehensif tersebut, penulis akan membuat kesimpulan (pesan moral) dari
11
Lihat Al-Farmawy (1977), al-Bidayah fi al-Maudhu’I, Kairo
12
Asep Muhiddin (2002). Dakwah dalam Perspektif Al-qur’an, Bandung: Pustaka Setia, hal. 26-27
12
Secara mudahnya, cara kerja tafsir tematik (maudhu’i) dapat dilihat dari
Kesimpulan
Menyusun Kerangka
13
BAB II
MANUSIA DAN MASALAH KEBAHAGIAAN
A. Makna Kebahagiaan
sastrawan, agamawan, dan para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata bahagia dan derivasinya dijelaskan secara teperinci. Kata “bahagia”, dalam
bentuk kata benda, diartikan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram,
serta bebas dari segala yang menyusahkan. Makna ini dapat dipahami dari
ungkapan “bahagia dunia akhirat” atau “hidup penuh bahagia”. Dalam bentuk kata
(lahir batin), keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir dan batin. Hal ini
diartikan sebagai beruntung. Hal ini dapat dipahami dari kalimat “Saya betul-betul
Dalam bentuk kata kerja, kata membahagiakan berarti menjadikan atau membuat
bahagia. Makna ini dapat dilihat dari kalimat “Ia berusaha keras membahagiakan
itu, kata bahagia dapat pula dikaitkan dengan kata “selamat”, misalnya dengan
kata-kata “selamat berbahagia”. Kata bahagia dalam ungkapan ini berarti sejahtera
14
atau sehat. Jika dikaitkan dengan kata taman (“taman bahagia”), maka dapat berarti
(Eutychia, Eudaimonia), dan Arab (Falah, Sa’adah). Kata ini menunjukkan arti
kejadian yang baik. Dalam bahasa Cina (Xing Fu), kebahagiaan terdiri dari
gabungan kata “beruntung” dan “nasib baik”. Setiap orang, dengan berbagai
tingkatan usia dan latar belakang, memiliki gambaran yang berbeda-beda tentang
kebahagiaan. 14 Jika ada sepuluh anak ditanya tentang apa itu kebahagiaan?, maka
jawabannya boleh jadi akan sangat berbeda-beda. Ada yang mengidentikkan orang
bahagia dengan orang yang tinggal di rumah besar dan mewah, mobil mengkilap,
pakaian yang indah, makanan yang lezat, memiliki isteri yang cantik, memiliki
tubuh yang indah, dan sebagainya. Ada pula yang menggambarkan kebahagiaan
dengan sebuah ungkapan menarik yang cukup populer di kalangan kaum remaja
dewasa ini, yaitu : “selagi muda foya-foya, tua kaya- raya, mati masuk sorga”.
Ada yang menggambarkan sebagaimana anak-anak di atas dan ada pula yang
melihat kebahagiaan jauh di atas itu. Menurut Aristoteles, manusia mampu melihat
moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur sejauh mana tindakan itu membawa
orang pada kebahagiaan (lebih tepatnya kesenangan). Ada pula filosof yang
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Maktabah Al- Kubra: Media Pembelajaran dan literatur
Islam Digital, Ver. 5
14
Rakhmat (2008), Meraih…….hal .31
15
mengatakan bahwa perbuatan baik dan buruk tidak berkaitan sama sekali dengan
kebahagiaan, karena boleh jadi ada tindakan yang membuat pelakunya bahagia
Bahkan, ada pula filosof yang menyatakan bahwa bahagia adalah sesuatu
yang tidak jelas (tidak ada batasnya). Bahagia dianggap khayalan belaka yang
tidak rasiona. Bukan hal yang aneh jika banyak orang ingin bahagia, tetapi tidak
mengetahui batasan bahagia itu sendiri, tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari
dalam hidup ini, atau mereka bingung ke mana dan bagaimana mencari
kebahagiaan. Mereka terpesona dengan masa yang telah lewat. Mereka ingin
kebahagiaan masa lalu hadir kembali, sebagaimana yang pernah mereka rasakan
bersama orangtua atau keluarga mereka dulu. Sementara dunia yang mereka hadapi
saat ini tampak semakin suram, banyak masalah, penuh krisis, dan tidak menentu.
Seolah mereka ingin lari dari realitas bahwa dalam hidup ini banyak kesulitan,
filosof (sufi) yang boleh jadi masih berupa konsep yang abstrak. Untuk itu, tugas
para psikolog adalah bagaimana mengkongkritkan hal yang abstrak ini. Jika ada
seorang klien datang ke psikolog dan berkata: “Hari ini saya merasa bahagia”,
maka sang psikolog tentu akan bertanya lebih lanjut: “Mengapa anda merasa
bahagia?”. Salah satu jawaban yang mungkin akan diberikan seseorang adalah:
15
Ibid., hal. 46
16
Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj.
Oleh Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, hal. 182
16
“Karena saya merasa puas dengan apa yang terjadi dengan hidup saya”. 17
Demikian halnya dengan kehidupan seseorang, apakah bermakna atau tidak dapat
yang merujuk pada aturan agama atau pembuktian tertentu. Jalaluddin Rakhmat
Menurut ukuran agama, ia dianggap tidak bahagia, karena pada hari akhirat kelak,
jika ia tidak segera bertaubat, akan masuk neraka. Dalam bahasa Tasawuf, si Fulan
ini dikatakan sedang mengalami apa yang disebut dengan istidraj. Artinya ia
sedang diberi ujian oleh Allah dengan nikmat (kesenangan) untuk melihat apakah
hidupnya. Akan tetapi, kebahagiaan ini tidak akan terjadi begitu saja, namun
untuk hidup bermakna (will to meaning). Artinya, makna hidup adalah gerbang
17
Rakhmat, Meraih……hal. 48
18
Ibid.,hal 52
17
yang bermakna dan dirinya akan memperoleh kebahagiaan. Sebaliknya mereka
kehampaan hidup, merasakan hidup yang tidak bermakna, dan akhirnya tidak
bahagia. 19
penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, bosan, dan merasa
tidak berarti. Jika hal ini berlarut-larut akan mengakibatkan gangguan neurosis
Berkaitan dengan penghayatan hidup tanpa makna ini, seorang Logoterapis akan
nilai tradisi dan agama pada orang-orang modern merupakan faktor yang
adalah hal-hal yang dianggap sangat penting, berharga, dan memberikan nilai
khusus bagi seseorang, sehingga layak untuk dijadikan tujuan dalam kehidupan.
Jika hal ini berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang dapat merasakan
kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
19
Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 67
20
Ajit K Das (1998), Frankl and the Realm of Meaning, Journal of Humanistic Education and
Development. Falls Church: Jun 1998. Vol. 36, online:
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1372942081&sid=17&Fmt=3&clientId=83698&RQT=309&VName=P
QD
18
Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri, dalam setiap keadaan
penderitaan sekalipun, makna hidup tetap dapat ditemukan. Apabila hasrat ini
berguna, berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya, jika hasrat ini tidak
terkandung pula tujuan hidup atau hal-hal yang perlu dicapai. Mengingat antara
makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan, maka keduanya dapat
disamakan. 21
kegiatan yang secara potensial dapat menjadi sumber makna hidup. Artinya
menemukan makna hidup di dalamnya. Ketiga hal tersebut adalah Creative Values
(kejadian atau musibah) yang tidak dapat dielakkan lagi, dengan penuh ketabahan,
21
Bastaman (2007), Logoterapi…..,hal. 92
19
kesabaran, dan keberanian. Kejadian itu bisa berupa sakit yang tidak kunjung
pemikir tersebut, ada beberapa poin penting yang perlu dicatat tentang prinsip
kebahagiaan, yaitu:
1. Kebahagiaan adalah tujuan dan dambaan hidup setiap manusia di muka bumi
ini. Di tengah hiruk pikuk kegiatan manusia di dunia, ada “sesuatu” yang terus
di cari oleh manusia. Jika ia mendapatkan hal ini, maka ia akan seperti
apa. 22
eksistensial manusia.25
22
Erbe Sentanu (2008), Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati, Jakarta : Elex Media
Komputindo, hal. 23
23
Ibid
24
Priatno H. Martokoesoemo (2008), Law Spiritual Attraction, Bandung : Mizan, hal 36
25
Murtadha Muthahhari (2007). Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama, Bandung : Mizan,
hal 102
26
Rakhmat (2008), Meraih……, hal.82
20
2. Kebahagiaan ada yang bersifat hakiki, ultimate, dan berjangka panjang (di
akhirat), serta ada pula yang bersifat praktis, periferal, dan berjangka
pendek (di dunia saja). Yang dicari manusia adalah kebahagiaan yang
hakiki, sejati, dan tak tergoyahkan. Yang dicari manusia bukan sekedar
3. Kebahagiaan dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu sebagai episode dan
Episode bahagia adalah kepuasan yang berasal dari apa dimiliki dan apa
karena bisa makan enak, menonton, berwisata (tindakan fisik) atau berpikir,
episode, tidak selalu tampak bahagia. Jika manusia dapat menilai seluruh
episode tersebut dari seluruh hidupnya dengan perasaan rela, maka ia akan
bahagia. 28
lain yang lebih penting. Misalnya, orang yang memiliki uang puluhan atau
27
Sentanu, Quantum Ikhlas…….hal 51
28
Rakhmat (2008), Meraih……, hal.93
21
tidak kawin lagi, tidak membeli mobil lagi, tidak berfoya-foya, tidak
5. Kebahagiaan adalah kehidupan yang baik dan harus diraih seumur hidup.
Hidup seseorang tidak dapat dinilai bahagia atau tidak sampai ia meninggal
dunia (dalam bahasa Inggris: happy ending atau Arab: khusnul khotimah).
obyektif, pernyataan seseorang bahwa ia bahagia itu benar atau tidak dapat
diukur (dinilai) dengan sebuah standar. Standar ini dapat merujuk pada
dan mati, maka ia akan masuk neraka. Menurut ukuran rasional, ia juga
29
Ibid., hal. 97
22
langsung kepada yang bersangkutan tentang perasaan-perasaannya, sedih
atau bahagia. 30
memperkaya kehidupan. 31
yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri.
Perbedaan perspektif ini pada akhirnya akan memunculkan hasil yang berbeda pula
luas, seperti emosi positif atau pengalaman yang menyenangkan, rendahnya mood
yang negatif, dan memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Seseorang dikatakan
memiliki kebahagiaan yang tinggi jika mereka merasa puas dengan kondisi hidup
mereka, sering merasakan emosi positif, dan jarang merasakan emosi negatif.
Selain itu, kebahagiaan juga dapat timbul karena adanya keberhasilan individu
30
Ibid, hal 108
31
Ibid
23
dalam mencapai apa yang menjadi dambaannya, dapat mengolah kekuatan dan
dalam hidup secara umum, kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan, adanya
perasaan yang positif, seperti mood dan emosi yang menyenangkan, dan ketiadaan
perasaan negatif, tidak mood, dan emosi yang tidak menyenangkan. Keempat
komponen utama ini, yaitu kepuasan hidup, kepuasan ranah kehidupan, perasaan
positif, dan tidak adanya perasaan negatif, memiliki korelasi antara satu dengan
kesedihan, kecemasan dan kekhawatiran, kemarahan, stress, depresi, dan rasa iri.
Kepuasan ini pun dikategorikan melalui kepuasan hidup saat ini, kepuasan hidup
pada masa lalu, dan kepuasan akan masa depan. Kepuasan ranah kehidupan
dan kelompoknya. 32
mengenai hidup termasuk semua kriteria yang berada di dalam pemikiran individu,
seperti bagaimana rasanya hidup yang baik, sejauh mana hidup sudah mencapai
32
Rusdiyanti, Psikologi Positif……………….
24
ekspektasi, bagaimana hidup yang menyenangkan dapat dicapai, dan sebagainya.
kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala tingkah laku manusia.
(kebahagiaan). Istilah ini lebih dipilih untuk digunakan oleh ilmuwan karena istilah
secara umum, maupun pada aspek spesifik), afeksi yang menyenangkan, dan
lain: emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup
secara global, dan aspek-aspek kepuasan. Namun demikian ada pakar yang
memberikan kritik bahwa untuk menilai tingkat subjective well-being tidak cukup
keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat perasaan, kepuasan
hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa kebanyakan orang dapat menilai dirinya sebagai orang yang bahagia atau
tidak. Tidak hanya itu, kebanyakan orang juga dapat menilai orang lain sebagai
orang yang bahagia atau tidak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah istilah
25
komponen-komponen subjective well-being. Para psikolog menyebutnya sebagai
subjective happiness. 33
Menurut Seligman, ada tiga cara yang dapat membuat orang bahagia,
yaitu: have a pleasant life, have a good life, dan have a meaningfull life.
Bagaimana caranya untuk dapat menimbulkan tiga hal tersebut dalam hidup setiap
manusia?. Psikologi positif mencari cara agar bagaimana manusia dapat hidup
dalam level-level atas rentang kebahagiaan, supaya terhindar dari berbagai macam
penyakit mental. Mencari sisi kekuatan dalam diri manusia untuk dapat
hal-hal kecil yang diberikan Sang Pencipta. Sebagian orang lupa untuk melakukan
hal kecil seperti ini dan lebih banyak mengeluh jika menghadapi kenyataan yang
tidak sesuai dengan harapan atau rencana. Tidak jarang pula, manusia sering lupa
bersyukur jika sudah mendapat nikmat yang besar. Hal ini sesuai dengan
peringatan Allah dalam QS. Ibrahim: 7 berikut ini: “Sesungguhnya jika kamu
pikiran dan hati dari semua masa lalu yang menyakitkan atau semua perasaan
bersalah. Memaafkan tidak hanya berarti memaafkan orang telah berbuat salah,
keberanian yang sangat besar agar tidak berorientasi pada masa lalu dan menata
masa depan. Fungsi dari memaafkan ini sebagai intropeksi bahwasanya tidak ada
33
Lihat Martin Seligmen dalam www.authentichappiness.com
34
Rusdiyanti, Psikologi Positif ………
26
yang sempurna. Setiap orang pernah melakukan kesalahan, pernah disakiti dan
dijawab oleh Allah dengan adanya sikap dan perlakuan orang lain yang tidak ia
sukai. Atas kejadian ini, ia harusnya dapat memahami apa maksud Allah dan
dendam.
Ketiga,well being. Hal ini adalah kondisi dimana seorang individu memiliki
sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan
sendiri, dapat mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur
mengembangkan diri.
memberi (giving). Dalam ukuran baru ini, sukses harus berbanding lurus dengan
sesungguhnya sebuah resep untuk setiap manusia agar dapat mengubah pola pikir
yang terlalu berfokus pada hal ektrinsik, misalnya harta, jabatan, popularitas dan
lain sebagainya, menuju pola pikir yang lebih berfokus pada diri sendiri
(intrinsik), misalnya terkait dengan tujuan, makna, prinsip, dan kebahagiaan hidup.
35
Yuswohady, Ibid.
27
Intinya, manusia diajak untuk lebih memfokuskan pada kebermaknaan dan
kebahagiaan hidupnya.
terdapat beberapa studi yang mencoba mengkaji masalah kebahagiaan dilihat dari
Ia diciptakan dengan sebaik-baiknya dan demi tujuan yang mulia. Meski bukan
bagian dari Yang Kekal, manusia hidup selamanya; meski jasadnya rapuh dan
membumi, ruhnya mulia dan bersifat ilahi. Melalui tempaan zuhud, manusia dapat
menyucikan dirinya dari nafsu jasmani, mencapai tingkatan tertinggi, meraih sifat-
sifat malakut, dan tidak menjadi budak nafsu. Ia temukan surganya dalam
badani. Kimia ruhani yang mampu menghasilkan perubahan seperti ini, layaknya
kimia yang mengubah logam biasa menjadi emas, tak mudah ditemukan. Kitab ini
ditulis untuk menjelaskan kimia ruhani tersebut beserta metode operasinya. Dalam
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Kimia Kebahagiaan adalah berpaling dari
dunia untuk menghadap kepada Allah. Kimia Kebahagiaan terdiri atas empat
adanya. 36
Kebahagiaan (2010). Dalam kedua buku ini, penulis berusaha memotivasi para
36
Al-Ghazali (2001). Kimiyau as- Sa’adah, Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, terj. Oleh:
Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Bahreisy, Jakarta: Zaman, hal. 5
28
pembacanya untuk melihat kebahagiaan dalam berbagai perspektif, baik agama
(Islam), filsafat, maupun psikologis. Dalam karya yang pertama, penulis banyak
kedua buku inilah yang telah menginspirasi penulis untuk melakukan kajian lebih
Qur’an. 37
Tasauf Hamka (2011). Dalam karya ini, Anhar banyak menyajikan pikiran Hamka
mempertajam akal. Jika akal semakin sempurna, indah, dan murni, maka semakin
sempurna pula kebahagiaan yang diperoleh. Puncak tertinggi yang dialami akal
Capaian seperti ini adalah capaian paling indah dan paling berseri. Tahap puncak
Memasuki Paradigma Baru Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan
Lebih Bahagia. Buku ini mengajak pembaca bukan saja untuk tahu dan memahami
cara meraih kebahagiaan hakiki melalui jiwa yang sehat, tetapi juga membahas
37
Lihat Jalaluddin Rakhmat: Meraih Kebahagiaan (2008) dan Tafsir Kebahagiaan (2010)
38
Anhar (2011). Menemukan Kebahagiaan: Studi atas Pemikiran Tasauf Hamka, On Line
https://anharnst.wordpress.com/2011/04/30/menemukan-kebahagiaan-studi-atas-pemikiran-tasauf-
hamka/, diakses 10 januari 2016
29
hubungan ilmu kedokteran, psikologi, dan Islam sebagai sumber dari berbagai
ilmu. Selain itu, penulis buku ini berusaha menuntun pembaca untuk menapaki
kehidupan yang indah, bersyukur, dan menyadari bahwa Allah telah mengajarkan
memang jarang dipraktekkan oleh umat Islam dewasa ini. Umat Islam masih
kehidupan. Hal lain yang diprihatinan penulis dalam buku ini adalah kentalnya
orientasi ibadah pada ketentuan fiqhiyyah dan kurangnya penekanan pada rasa
cinta dan upaya mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang menjadi konsen
hidup, yaitu denga cara mendalami ajaran Islam untuk muhasabah, mensyukuri
hadirnya buku-buku ala Chicken Soup di dunia Barat yang sekuler, buku ini
39
Muhammad Thohir (2006). Langkah Menuju Jiwa Sehat: Pengantar Memasuki Paradigma Baru
Kehidupan yang Lebih Bermartabat, Lebih Sehat, dan Lebih Bahagia.Jakarta: Lentera Hati, hal. 18-19
40
M. Sambas Wiradisuria (2011). The Road to Happiness: Menggapai Kebahagiaan. Depok:
Khazanah Mimbar Plus. Hal. xxvii
30
dalam mengkaji masalah-masalah psikologis-aktual yang dihadapai manusia di
mereka menemukan kebahagiaan. Dengan bahasa yang mengalir dan lugas, penulis
membahas tema yang sama. Dengan mengutip syair- syair Arab dan kata-kata bijak
para ulama terkenal, buku ini menjadi oase baru dalam mewarnai tulisan-tulisan
dalam perspektif al-Qur’an. Melalui upaya ilmiah ini penulis berharap dapat
mengisi ruang kosong yang belum banyak dikaji oleh para pengusung psikologi
mengembangkan lebih dalam dan komprehensif terhadap apa yang telah diinisiasi
Kebahagiaan”.
41
Aidh al-Qarni (2005) La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press, hal vii.
31
BAB III
MAKNA KEBAHAGIAAN DALAM AL-QUR’AN
terkait dengan tema kebahagiaan. Di antaranya adalah kata ﻓﺮح- ﻓﺮﺣﺎ, yang berarti
bahagia, senang, gembira, riang, girang, dan suka cita; ﻣﺒﺴﻮط, yang berarti bahagia
dan senang; ﯾﺴﻌﺪ- ﺳﻌﺪ, yang berarti bahagia atau beruntung; ﺳﻌﯿﺪ, yang bahagia,
diberkati, atau beruntung; طﻮﺑﻰ ل, yang berarti berbahagialah, ﻓﻼح, yang berarti
sukses, kemakmuran, kemenangan, dan kejayaan; dan اﻓﻠﺢ, yang berarti sukses,
Baqarah: 5, 189; ali Imran: 104, 130, 200; al-Maidah: 35, 90, 100; al-An’am:
an-Nahl: 116; al Kahfi:20; Thaha: 69; al-Hajj: 77, al-Mu’minun: 102, 117; an-
Nur: 31, 51; al-Qashash: 67,82; ar-Ruum: 38; Luqman: 5; al-Mujadalah: 22;
32
4. ( ﺣﯿﺎة طﯿﺒﺔkehidupan yang baik), yaitu terdapat dalam QS. an-Nahl: 97.
5. ﺳﻌﺪوا, ( ﺳﻌﯿﺪyang berbahagia), yaitu terdapat dalam QS. Huud: 105, 108.
6. ( ﺣﺴﻨﺔkebaikan, yang baik), yaitu terdapat dalam QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du:
21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan al-Mumtahanah: 4,6.
7. ( ﻓﺮحsenang), yaitu terdapat dalam QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am:
44; at-Taubah: 50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10; ar-Ra’du: 26,36; al-
Mu’minun: 53; an-Naml: 36; al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir:
8. ( ﺑﺮﻛﺔkeberkahan), yaitu terdapat dalam QS. al-A’raf: 96; Huud: 48, 73; an-
127; al-A’raf: 46; at-Taubah: 74; Yunus:10, 25; Huud: 48,69; ar-Ra’du: 24;
Ibrahim: 23; Al-Hijr: 46, 52; an-Nahl: 32, Maryam: 33,47,62; Thaha: 47; al-
Anbiyaa: 69; al-Furqaan: 63,75; an-Naml: 59; al-Qashash: 55; al-Ahzab: 44;
Yaasiin: 58; as-Shaffat: 79, 109, 120, 130; az-Zumar: 22, 73; az-Zuhruf: 89;
al-Hujuurat: 17; Qaaf: 34; adz-Dzaariyyat: 25; al-Waaqi’ah: 91; al-Hasyr: 23;
11. ( ﻣﻄﻤﺌﻨﺔyang tenang), yaitu terdapat dalam QS. Ali Imran: 126; al-Maidah: 113;
12. ( ﺷﺮحlapang), yaitu terdapat dalam QS. Al-An’am: 125; an-Nahl: 106; Thaha:
33
13. ( ﻓﻮزkeberuntungan), yaitu terdapat dalam QS. an-Nisa: 13, 73; al-Maidah:
119; al-An’am: 16; at-Taubah: 72, 89, 100, 111; Yunus: 64; al-Ahzab: 71, ash-
Di luar kata-kata di atas, makna bahagia dapat dipahami secara harfiah dari
kata al-insan (manusia) itu sendiri yang dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali..
Menurut Quraish Shihab, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Alaq: 3, 5 dan QS.
al-‘Ashr: 2, kata al-insan berasal dari akar kata yang berarti “jinak”, “harmonis”,
menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia: ia bergerak dan
dinamis, memiliki sifat lupa dan dapat melupakan kesalahan-kesalahan orang lain,
atau merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya, bahkan idealnya
selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-
44
makhluk lainnya. Hal ini juga berarti bahwa manusia berpotensi untuk selalu
merasa senang, bahagia, dan membahagiakan orang lain. Itulah misi hidup manusia
44
M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, hal. 87 dan 475
34
“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat
mereka di daratan dan lautan, dan Kami telah memberikan rezeki yang
baik kepada mereka, dan Kami telah lebihkan mereka dari makhluk-
makhluk lain yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”
(QS. Al-Isra: 70).
“Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka
kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS. ar-Ra’du, 13: 29).
yang baik itu bukan berarti kehidupan mewah yang luput dari ujian, tetapi ia
menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, orang
yang memiliki kehidupan yang baik tidak merasakan takut yang mencekam
atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa
pilihan Allah adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran
yang menanti. Seorang yang durhaka, meskipun kaya, dia tidak akan pernah
miskin dan diliputi kegelisahan, rasa takut tentang masa depan dan
baik juga dapat dipahami sebagai kehidupan di surga kelak, alam barzakh,
atau kehidupan yg diwarnai oleh qona’ah, yaitu rasa puas atas sesuatu (rizki)
yang halal. 45
adalah anugerah Allah yang dijanjikan kepada orang yang beriman dan
45
M. Quraish Shihab (2004), Tafsir al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-
Qur’an, Jakarta: Lentera Hati ,Vol 7
35
beramal shalih di dunia ini. Ibnu Katsir mengartikan kehidupan yang baik
Ibnu Abbas, kehidupan yang baik adalah mendapatkan rizki yang halal lagi
baik dalam hidup di dunia ini. Menurut Ali bin Abi Thalib, kehidupan yang
baik adalah rasa tenang dan sabar menimpa berapapun dan apapun yang
diberikan Allah, dan tidak merasa gelisah. Sementara, Ali bin Abi Thalhah
dan Ibnu Abbas memaknai kehidupan yang baik dengan as-sa’adah atau rasa
baik ialah rizki yang halal, kelezatan dan kepuasan beribadah kepada Allah
dalam hidup, dan lapang dada. Menurut Ja’far as-Shadiq, kehidupan yang
yang berharta dan berpangkat dengan harta dan pangkatnya, dan kebahagiaan
perasaannya itu tidak ditumbangkan oleh kesulitan hidupnya. Hal itu terjadi
Sebaliknya, orang kafir, meskipun banyak harta, dia tidak pernah merasa
bahagia, malah tambah rakus dan takut bila hartanya akan habis. Sementara
itu, orang yang diberikan kehidupan yang baik di dunia ini akan juga diberi
46
Lihat Prof. Dr. HAMKA (2003). Tafsir Al Azhar Jilid 5. Singapura: Pustaka
Nasional.
36
ganjaran yang lebih baik di akhirat. Menurut al-Qasimi, kehidupan yang baik
adalah rasa sejuk (tenteram) dalam dada karena puas dan yakin, merasakan
manisnya iman, ingin menemui apa yang telah dijanjikan Allah dan ridha
melepaskan diri dari apa yang telah memperbudaknya selama ini, merasa
tenteram dengan satu Tuhan yang disembah, serta mengambil cahaya (nur)
dari rahasia wujud yang berdiri padanya, dan lain-lain kelebihan yang telah
ganjarannya. 47
oleh manusia yang bersumber dari rasa iman tidaklah sepadan dengan pahala
dan ganjaran yang akan kita terima di akhirat kelak. Sesungguhnya, amal
47
Ibid,
48
Ibid.
37
Itulah makna kebahagiaan dalam arti kehidupan yang baik yang merupakan
naluri spiritual yang khas manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-Isra:
70. Artinya, pada dasarnya bahagia adalah fitrah bagi manusia. Bahagia sudah
tentang manusia sempurna dalam bukunya, The Knowing Heart: A Sufi Path of
Transformation. Menurut tokoh ini, sifat manusia sempurna adalah refleksi dari
hubungan yang harmonis antara kesadaran diri dan rahmat Ilahi. Itulah capaian
2. Kebaikan ( ) ﺣﺴﻨﺔ
dari QS. at-Taubah: 50; ar-Ra’du: 6,22; an-Nahl: 30,41,122; an-Naml: 46,89; al-
Qashash: 54, 84; al-Ahzab: 21; az-Zumar: 10; Fushshilat: 34; as-Syuura: 23; dan
al-Mumtahanah: 4,6. Sebagai sampel, berikut ini adalah redaksi dari ayat yang
49
Erbe Sentanu, (2008). Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. Jakarta: Elex Media
Komputindo. hal. 26
38
Menurut Quraish Shihab, kata ﺣﺴﻨﺔpada ayat di atas menyifati sesuatu yang
tidak disebut, yaitu tempat atau situasi. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami maksud dari kata ini. Ada yang berpendapat bahwa kata ini bermakna
Kota Madinah, ada pula yang memahaminya dalam arti rejeki, kemenangan, atau
nama harum lainnya. Makna-makna ini sebenarnya dapat digabung. Fakta sejarah
membuktikan bahwa tidak lama setelah Nabi Saw. dan para sahabat beliau
Selanjutnya, masih dalam surat yang sama Allah berfirman: “Dan kami
beri dia di dunia ini kebaikan, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-
orang yang shaleh” (QS an-Nahl: 122). HAMKA menjelaskan tentang kandungan
ayat ini dengan melihat anugerah (kebahagiaan) yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim
AS. Maksudnya adalah bahwa kebaikan dunia yang telah nyata diterima oleh
beliau adalah ketika beliau nyaris tidak mengharapkan lagi akan mendapatkan
keturunan (putera), karena usianya yang telah menua, maka kemudian beliau
memiliki putera (Ismail) pada usia 86 tahun. Kemudian pada usia 100 tahun beliau
memiliki anak kedua (Ishaq) dari isteri beliau yang diduga mandul, yaitu Sarah.
Kedua putera inilah yang kemudian menurunkan bangsa-bangsa besar. Selain itu,
HAMKA melihat dari rizki yang diperoleh Ibrahim yang berlipat ganda di hari
tuanya. Sudah menjadi hal yang lumrah (umum) bahwa keturunan dan harta benda
jika orang yang telah berjuang demi Allah, sebagaimana Ibrahim yang telah
50
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Surat an-Nahl……hal. 232-233
39
mendapat gelar “Khalilullah”, akan mendapatkan tempat yang layak pula di
akhirat, bersama orang-orang shalih lain, yaitu para Nabi, Rasul, dan para
Kata hasanah, yang berarti kebaikan dapat ditemukan pula dalam QS. ar-
balasan bagi orang yang beriman, yaitu berupa kemenangan dan keberuntungan di
dunia serta pahala di akhirat. Dalam konteks ayat di atas, kata hasanah ( )ﺣﺴﻨﺔ
merupakan lawan dari kata sayyiah ( )ﺳﯿﺌﺔyang berarti azab yang diancamkan
kepada orang-orang kafir. Janji ini sesungguhnya telah disampaikan oleh Nabi
Saw. kepada kaum kafir agar mereka mau beriman, tetapi yang terjadi adalah
justru mereka minta (menantang) kepada Nabi untuk disegerakan azab buat
mereka. 52 P51F
Taubah ayat 50, al-Maraghi mengartikannya sebagai sesuatu yang apabila tercapai
sebagainya. Intinya, kata al-Maraghi, kebaikan adalah segala hal yang membuat
manusia gembira, seperti kemenangan dan rampasan perang yang didapatkan oleh
umat Islam waktu Perang Badar. Hasanah dalam ayat ini dapat dipahami secara
51
HAMKA, Tafsir Al-Azhar….hal. 3984-3985
52
Ahmad Mustafa al-Maraghi (1994) Tafsir al-Maraghi , Semarang: Toha Putra, hal. 127
40
berpasangan dengan mushibah yang dapat diartikan sebagai kesusahan, kekalahan,
makna hasanah adalah segala kebaikan yang menimbulkan rasa bahagia, yang
anak, harta benda, dan sebagainya, dan di akhirat sebagai balasan yang lebih kekal
yang sifatnya lebih ruhani. Kebaikan dunia dan akhirat inilah yang akan
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara
melainkan dengan seijin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka
dan ada yang berbahagia” (QS. Huud: 105)
dalam konteks dualitas, yaitu merupakan lawan dari kata celaka (sengsara).
antara sakit dan lezat, bahagia dan derita. Ia akan selalu berhadapan dengan
53
Ibid, hal. 227
41
kesedihan atau sesuatu yang menyakitkan, sedangkan tertawa adalah bukti
orang yang sedih biasanya menunjukkan wajah yang muram atau penuh
tangisan. Orang yang sengsara adalah orang yang sesat, tidak tahu jalan
hidup yang harus ditempuh, tidak sadar apakah ia berbuat benar atau salah,
atau tidak dapat membedakan mana yang hak dan yang batil. Orang yang
bahagia adalah kebalikan dari itu. Jiwanya tenang, hati tenteram, tenang
jiwanya tertanam akidah yang kuat, dan sadar bahwa segala sesuatu telah
diatur oleh Allah Swt. Orang bahagia adalah orang yang merasa aman,
terdapat dalam: QS. as-Syams: 9, al-A’la: 14, Thaha: 64, dan al-
Mu’minun: 1,
5, Ali ‘Imran: 104; al-A’raf: 8, 157; at-Taubah: 88; al-Hajj: 77; an-Nuur:
54
Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan Alam dan Kehidupan, terj.
Oleh Abd. Rohim Mukti, Jakarta: Gema Insani, hal. 171-181
42
51; al-Qashash: 67; ar-Ruum: 38; Luqman: 5; al-Mujadalah: 22; al-
sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah: 189; Ali Imran: 130, 200;
al-Maidah: 35, 90, 100; al-A’raf: 69, al-Anfaal: 45, an-Nur: 31; al-
Jum’ah: 10.
Yunus: 17, 69, 77; an-Nahl: 116; al Kahfi: 20; Thaha: 69; al-Mu’minun:
117; al-Qashash: 82
Menurut Quraish Shihab, kata aflaha terambil dari kata falah yang
dalam al-Qur’an sebanyak empat kali, salah satunya adalah QS.Thaha: 64,
yang merupakan ucapan Fir’aun ketika akan terjadi pertandingan sihir antara
55
Nabi Musa dan ahli-ahli sihirnya:
Swt. yang ditemukan pada surat al-a’la ayat 14, as-Syams ayat 9, dan al-
55
M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim…… hal. 430
43
yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai upaya penyucian diri (tazakka),
kemaluan kecuali pada pasangan yang sah, memelihara amanat dan janji, dan
memelihara waktu shalat. Dalam QS. Al-a’raf 157 ditegaskan pula bahwa
beriman, serta mengerjakan amal saleh, maka semoga dia termasuk yang
Di sisi lain, ditemukan pula lima sifat atau perbuatan yang secara
(QS. 10: 17), sihir (QS. 10: 77), kekufuran (QS. 23: 117), dan kebohongan
untuk melakukan sifat (pekerjaan) yang tidak ringan. Maka, sangat tidak
tepat jika tazakka dalam QS. Al-A’la 14-15 ditasirkan dengan sekedar zakat
57
fitrah dan Shalat ‘Id sebagaimana dipahami oleh sebagian mufassir.
digali dari ayat berikut ini: “Sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu
adalah keberuntungan yang besar “ (QS. ad-Dukhaan: 57). Ayat ini adalah sebuah
56
Ibid, hal. 431
57
Ibid
44
rangkaian dari ayat-ayat sebelumnya yang menggambarkan keberuntungan besar
orang bertaqwa di akhirat yang selamat dari azab Allah dan banyak mendapat
mata air, mengenakan pakaian dari sutera yang halus, dan duduk saling berhadapan
surga juga memiliki istana dan dapat meminta apapun yang mereka inginkan. Di
dalam surga mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman dan
kenikmatan itu tidak akan ada habisnya, karena tidak ada kematian di akhirat,
sebab mereka telah merasakan kematian di dunia. Itu adalah merupakan kebalikan
dari keyakinan orang musyrikin yang mengatakan bahwa “tidak ada kematian
selain kematian di dunia ini dan kami sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. Mereka
dalam arti falah, sa’adah, dan fauz lebih bersifat umum, meliputi
orang yang beriman, bertaqwa, beramal saleh, serta mengikuti petunjuk Allah
Kebahagiaan dalam arti ketenteraman dan ketenangan dapat digali dari dua
terdapat dalam QS. al-Baqarah; 248; at-Taubah: 26, 40; al-Fath: 4,5,18, dan 26,
sementara lafadz طﻤﺌﻨﻨﺔterdapat dalam QS. Ali Imran: 126; al-Maidah: 113; al-
58
Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an. Terj. Oleh As’ad Yasin dkk. Jakarta: Gema Insani.
hal. 281
45
Anfaal: 10; ar-Ra’du: 28; an-Nahl: 112; dan al-Fajr: 27. Dalam ayat-ayat ini
berhadapan musuh. Artinya, ketika musuhnya sudah lari, maka hati yang
pemberian dan bukan pencarian atau usaha. Artinya, sakinah adalah ketenangan
59
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (2006). Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. Terj. Oleh Kathur
Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, hal. 345
46
dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu, dia tidak lagi
keyakinan, keimanan, dan keteguhan hatinya. Hal ini dapat dipahami saat Allah
kegelisahan, seperti saat hijrah, yaitu ketika beliau dan Abu Bakar bersembunyi di
dalam gua, sementara musuh ada di atas kepala. Apabila di antara mereka berdua
ada yang melihat ke bawah, tentu para musuh akan melihat mereka. Begitu pula
pada saat perang Hunain, karena pasukan muslim melarikan diri akibat
nasib sebagian yang lain. Begitu pula saat perjanjian Hudaibiyah, ketika hati
mereka dirasuki perasaan cemas dan gelisah atas sikap orang-orang kafir, yang
yang kuat. Akan tetapi, dalam ayat kelima ini Allah selanjutnya juga menjelaskan
60
Ibid. hal. 341
47
sentuhan ketenteraman dalam hati mereka, dan nikmat lainnya yang tersimpan
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
iman kepada kebajikan. Dengan kata lain, Allah berfirman: “Belumkah tiba
mewujudkannya hal ini orang yang beriman memerlukan kekhusu’an saat mereka
mengingat apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud memenuhi
hak dalam derajat ini adalah memenuhi hak pengabdian kepada Allah Swt., yaitu
saat seseorang memiliki rasa pengagungan dan hadirnya hati saat menyaksikan
diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah. Derajat inilah
yang biasa dimiliki oleh para sufi dan yang menjadi ciri mereka dalam
bermuamalah dengan Allah dan makhluk, yang diperoleh dengan tiga hal, yaitu
menghisab diri, lemah lembut terhadap makhluk, dan memperhatikan hak Allah.
61
Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an…..hal. 385
62
Sebagaimana disarikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibid.
48
Menghisab diri adalah senantiasa menghitung diri dan bertanya terhadap diri
memperlakukan mereka, khususnya manusia, dengan kaku dan keras, karena hal
ini akan membuat mereka lari menghindar, merusak hati dan hubungan dengan
Allah, dan membuang waktu. Sebaliknya, seorang mukmin yang memiliki sakinah
terhadap bagian dirinya, mencegah dari omong kosong dan menempatkan orang
yang memilikinya pada batasan ubudiyah. Sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam
hati para nabi, wali, dan orang yang terpilih dari hamba-hamba Allah. Orang yang
memiliki sakinah jenis ini merasa ridha kepada bagian dirinya dan tidak menoleh
ke bagian orang lain. Orang yang memiliki sakinah tidak akan berkata bohong,
karena dusta hanya muncul dari hati yang tidak memiliki sakinah. Ini adalah
anugerah yang paling agung yang dikaruniakan Allah hanya kepada para Rasul dan
dalam hati orang-orang beriman dan di dalam jiwa mereka, kemudian memberikan
kabar gembira, bahwa yang masuk sorga adalah orang-orang yang memiliki jiwa
yang tenteram (thuma’ninah). Ayat yang berbunyi: “Hai jiwa yang tenteram,
kembalilah kepada Tuhanmu”, merupakan dalil bahwa jiwa itu tidak kembali
63
Ibid, hal 343-344
49
kepada Allah kecuali jika dalam keadaan thuma’ninah. Orang yang beriman
dianjurkan untuk membaca do’a ulama salaf, sebagai berikut: “Ya Allah
jenis ini bisa dipahami dari rasa tenang yang muncul karena menyebut
nama Allah dan membaca kitab-Nya dan rasa tenteram yang dimiliki
oleh hati seorang hamba yang merasa takut akan siksa-Nya, kemudian
dengan mengikuti jalan yang lurus serta huku takdir, di mana Allah telah
tetapi kemudian menjadi tenang karena yakin akan pahala atau pengganti
menjadi tenang dan tenteram karena yakin akan mendapatkan apa yang
64
Lihat Ibnu Qayyaim, Madarijussalikin….. hal. 345-346
50
dijanjikan kepadanya. Ruh juga menjadi thuma’ninah jika ia berpisah
denga hal-hal yang menjadi kebiasaannya, seperti orang yang lapar lalu
terkait dengan kefanaan dan kekekalan yang akan dialami oleh Ruh.
kebahagiaan dalam arti sakinah (tenang) dan thuma’ninah (tenteram) adalah segala
balasan, anugerah, dan nikmat dari Allah yang lebih bernuansa psikologis
kebahagiaan yang bersifat material, jasadiyah, dan duniawi. Setiap muslim akan
digali dari QS. al-Insyirah: 1. Menurut Quraish Shihab, kata ini berarti memperluas
atau melapangkan, baik secara material maupun immaterial. Apabila kata ini
‘membedah’, sedangkan jika dikaitkan dengan sesuatu yang non material, maka ia
QS. az-Zumar: 22, al-An’am: 125, al-Hajj: 46, dan sebagainya, maka kata ﺷﺮح
51
lebih tepat dipahami kaitannya dengan sesuatu yang immaterial. Makna
kelapangan dalam dalam ayat-ayat di atas lebih tepat dipahami sebagai kelapangan
beberapa tempat, yaitu: QS. Ali Imran: 120, 170, 188; al-An’am: 44; at-Taubah:
50, 81; Yunus: 22, 58; Huud: 10; ar-Ra’du: 26,36; al-Mu’minun: 53; an-Naml: 36;
al-Qashash: 76; ar-Ruum; 4, 32, 36; al-Ghafir: 75,83; asy-Syuuraa: 48; dan al-
Hadiid: 23. Kata ini, terutama dalam konteks QS Ghafir: 75 ( ) ﺗﻔﺮﺣﻮن, menurut ar-
Raghib al-Ashfahani, digunakan dalam arti keceriaan dan kegembiraan hati akibat
adanya kelezatan duniawi yang pada umumnya berupa kelezatan yang bersifat
jasmaniah. Sedang kata ﺗﻤﺮﺣﻮن berarti kegembiraan yang luar biasa. Pada
agama, sehingga dalam ayat ini ada kata ( ﺑﻐﯿﺮ اﻟﺤﻖtanpa hak) , karena bisa saja
dalam makna kegembiraan dalam hal kemaksiatan, sehingga kata ﺑﻐﯿﺮ اﻟﺤﻖtidak
perlu digunakan. 66
P65F
yang lain yang menggunakan kata fariha, maka dapat disimpulkan bahwa makna
kebahagiaan dalam kata ini bukanlah kebahagiaan yang obyektif dan pasti, tetapi
merupakan kebahagiaan bersifat yang relatif, subyektif, dan dan belum tentu
65
M. Quraish Shihab (1997) Tafsir Al-Qur’an al-Karim……..hal.. 441-443
66 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 12……..hal.. 359
52
81, bisa saja ada orang (di jaman Nabi) yang merasa gembira tidak ikut berjuang
Gembira model ini oleh HAMKA di katakan sebagai kegembiraan orang munafik
67
yang tidak sesuai dengan agama. Dalam konteks sekarang, apabila banyak
dijumpai orang yang tidak beriman, tidak menjalankan ajara agama, atau
bahagia, gembira, senang, dan tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa perilakunya
untuk digapai oleh manusia. Sebaliknya, kebahagiaan yang seperti ini pada
Kebahagiaan dalam arti keberkahan dapat dipahami dari QS. al-A’raf: 96;
Huud: 48, 73; an-Nahl: 127; dan adz-Dzariyaat: 39. Kata barakah, sebagaimana
yang terkandung dalam QS. al-A’raf: 96, oleh Quraish Shihab diartikan sebagai
aneka kebajikan ruhani dan jasmani, sesuatu yang mantap, kebajikan yang
melimpah beraneka ragam dan bersinambung. Kolam dalam Bahasa Arab dinamai
birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap di dalamnya
dan tidak tercecer ke mana-mana. Ayat ini mengandung makna bahwa keberkahan
Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material
dan tidak pula dibatasi atau bahkan diukur. Teks ayat ini dan ayat-ayat lain yang
merupakan curahan dari berbagai sumber, dari langit dan bumi melalui segala
penjurunya. Dari sini bisa dipahami bahwa segala penambahan yang tidak terukur
67
HAMKA,Tafsir al-Azhar Jilid 4…… hal. 3058
53
oleh indera disebut dengan berkah. Secara rinci makna barakah dapat dipahami
sesuatu tersebut. Misalnya, jika ada berkah dalam waktu yang diberikan Allah
kepada seseorang, maka akan banyak kebaikan yang terlaksana dalam waktu itu,
meskipun dalam waktu tersebut umumnya tidak banyak aktivitas yang dilakukan
mengenyangkan orang banyak, meskipun pada umumnya makanan yang sedikit itu
tidak dapat dimakan oleh orang yang banyak. Dari kedua contoh ini, terlihat bahwa
kesehatan, menolak penyakit, mendorong aktivitas positif, dan sebagainya. Hal ini
dapat terjadi bukan dengan sendirinya secara otomatis, tetapi karena ada karena
karunia Allah Swt. Karunia di sini bukan menafikkan adanya hukum sebab akibat
kepada siapa yang akan diberi keberkahan kemampuan untuk menggunakan dan
keberkahan tersebut hadir. Dalam hal keberkahan makanan misalnya, Allah Swt.
makanan berupa aneka sebab yang ada sehingga kondisi badannya sesuai dengan
makanan yang tersedia, misalnya kondisi makanan itu pun sesuai, sehingga tidak
kadaluarsa, hilang, atau dicuri orang. Intinya, keberkahan di sini bukan berarti
68
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5……, hal.185
54
campur tangan Allah dalam bentuk membatalkan sebab-sebab yang dibutuhkan
penafsiran di atas, maka dapat dipahami bahwa salah satu indikator kebahagiaan
berbagai aktifitas kebaikan baik yang bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat,
maupun umat manusia secara umum. Aktivitas kebaikan di sini adalah segala sifat
dan amal perbuatan yang dapat dinikmati manfaatnya oleh banyak orang,
bermakna, dan membahagiakan dirinya. Itulah makna hidup yang berkah. Orang
lahir maupun batin. Sehingga, seseorang yang hidup dalam salam akan terbebas
dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Kata ini terulang di dalam
b. Keadaan atau sifat sesuatu, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-
69
Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 4……., hal 189
70
Ibid, hal. 727-728
55
berusaha untuk mencari kedamaian saat menghadapi orang-orang “jahil”
di sekitarnya.
d. Sebagai sifat Allah Swt., sebagaimana tersurat dalam QS. al-Hasyr: 23.
dipahami sebagai do’a, maka ayat ini menginformasikan bahwa para malaikat itu
mendo’akan setiap orang yang menemuinya pada malam lailat al-qadr supaya
terbebas dari segala kekurangan lahir batin. Jika kata salam dipahami sebagai
keadaan, sifat, atau sikap, maka malam lailat al-qadr dipahami sebagai malam
yang penuh kedamaian yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang
menjumpainya, atau dapat pula dimaknai bahwa sikap para malaikat yang turun
pada malam ini adalah sikap yang penuh damai terhadap mereka yang merasa
Dalam ayat yang lain yang berbicara tentang makna salam, terdapat
beberapa ayat yang menggambarkan ucapan salam yang ditujukan kepada para
penghuni sorga kelak, yaitu di antaranya QS. Yunus: 10 dan ar-Ra’d: 24, atau
istilah dar as-salam (negeri yang penuh kedamaian) yang menggambarkan kondisi
kehidupan sorga, yaitu antara lain dalam QS. al-An’am: 125-127 dan Yunus: 25.
Kata salam, jika disifatkan kepada sesuatu maka berubah menjadi salim.
Kata ini sesungghnya memiliki akar yang sama dengan kata Islam, yang berasal
dari kata kerja salima, yang sama-sama bermakna selamat. Dalam al-Qur’an, yaitu
surat asy-Syu’ara: 89 dan surat al-Shaffat: 84, kata salim digandengkan dengan
kata qalb (hati). Secara bahasa, qalb salim bermakna hati yang selamat dari
penyakit atau kerusakan apapun. Adapun pengertian khususnya adalah hati yang
tidak mengenal selain Islam. Untuk memiliki hati yang selamat, manusia harus
menerapkan seluruh akhlak mu’min yang terkandung dalam al-Qur’an. Pada hari
56
akhir nanti tidak ada yang bermanfaat kecuali manusia yang datang denga
membawa hati yang selamat. Artinya, hati orang yang kafir tidak mungkin sampai
ke pantai kedamaian dan keselamatan di hari itu. Oleh karena itu, hati yang selamat
harus bersih dari kekafiran, kesyirikan, keraguan, dan kebimbangan. Hati yang
penuh kekakfiran, betapapun pemiliknya berbuat baik dan humanis, tetap tidak
Jika dikatakan oleh seseotang yang kafir bahwa: “ Hatiku bersih karena aku
sangat mencintai manusia dan selalu berusaha menolong mereka”, maka ini adalah
Hatinya bukanlah hati yang selamat dan bersih, sebab ia mengingkari Pemilik dan
yang penting dan baik. Akan tetapi, nilai-nilai kemanusiaan tesebut harus terlebih
dan tidak terputus. Pemahaman semacam ini terkait dengan dengan iman. Tanpa
Ringkas kata, hati yang selamat adalah tema yang sangat penting, karena al-
Qur’an memposisikan hal ini sebagai ganti dari harta dan anak-anak, sebagaimana
71
Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin Menjawab Pertanyaan dan
Kebutuhan Manusia . Jakarta: Republika, hal 257
72
Ibid, hal 259
57
dapat melihatmu dari kejauhan dan mengenalimu? Rasulullah menegaskan bahwa
pada Hari Kiamat beliau akan mengenali umatnya dan dapat membedakan mereka
di antara seluruh umat. Ketika ditanya bagaimana hal itu terjadi, beliau menjawab,
“Kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kalian mendatangiku
dengan wajah yang bersinar terang karena bekas wudlu” (HR. Bukhori dan
Muslim). Itulah salah salah satu manifestasi dan gambaran hati yang selamat. 73
seputar kedamaian dan ketenteraman hati. Ia berkata bahwa Hati yang damai dan
tenteram akan mengantarkan pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan
kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, dari khianat menuju amanat, riya’ kepada
74
ikhlas, lemah menjadi teguh, dan dari sombong menjadi tahu diri. Inilah tanda
jiwa yang telah mencapai derajat kedamaian, sebuah puncak kebahagiaan manusia.
pula dari kata ( اﻟﻔﯿﺾlimpahan atau curahan karunia). Kata ini terdapat dalam
beerapa ayat al-Qur’an, misalnya QS. al-Baqarah: 199, 245, al-Maidah: 83, al-
A’raf: 50, at-Taubah: 92, Yunus: 61, Ibrahim: 4, Shad: 26, al-Ahqaf: 8, dan al-
Hadid: 11. Salah satu di antara yang dapat dibahas di sini adalah:
para penghuni surga. Menurut Fethullah Gulen, istilah “limpahan karunia” () اﻟﻔﯿﺾ
73
Ibid., hal. 262
74
Ibid, hal 728-729
58
duniawi adalah limpahan karunia Ilahi yang berkaitan dengan kehidupan hati dan
diraih manusia, seperti masuk sorga, meraih ridha Allah, dan kehormatan melihat
keindahan-Nya. Kandungan makna dari istilah ini begitu sangat luas dan mustahil
bagi manusia untuk menjangkaunya secara tepat. Bisa saja terjadi bahwa berbagai
limpahan karunia mendatangi manusia dari semua sisi, sedangkan ia sendiri tidak
Dari sisi ini, lanjut Gulen, dapat dikatakan bahwa terdapat limpahan
karunia Ilahi dan keberkatan pada semua ibadah yang dikerjakan manusia untuk
Allah Swt. Betapa tidak terbayang sama sekali bahwa ada manusia yang menuju
pintu-Nya lalu kembali dengan tangan kosong. Akan tetapi, manusia tidak boleh
didapatnya. Terkadang, shalat dilakukan saat seorang hamba sedang dalam kondisi
spiritual yang sedang lemah, yaitu saat jiwa dan hatinya sempit. Secara lahiriah,
shalat seperti ini dapat dikatakan payah, namun bisa saja shalatnya termasuk
shalatnya yang paling baik atau paling diterima, karena ia melakukan shalat dalam
kondisi lepas dari semua perasaan seraya tetap tidak lupa untuk menunjukkan
segala doanya. Dengan kata lain, kondisi di mana seorang hamba tidak menerima
75
Lihat M. Fethullah Gulen (2011). Islam Rahmatan lil’ aalamiin ……hal. 406-408
59
Dari sisi yang berbeda, Gulen menulis bahwa pencapaian kedudukan
spiritual tidak boleh menjadi tujuan ibadah seorang hamba. Junaid al-Baghdadi
mendapatkan surga. Menurutnya, ibadah yang seperti ini adalah ibadah para hamba
surga, padahal surga tidak layak menjadi tujuan ibadah. Ibadah dikerjakan, karena
hakiki ibadah adaah perintah Allah. Jadi, manusia mengerjakan berbagai kewajiban
ibadah karena Allah memerintahkannya kepada mereka. Jika ada di antara mereka
melakukan shalat kepada Allah, karena takut kepada neraka, maka orang itu adalah
hamba neraka. Bagimana mungkin ia dapat menjdi hamba Allah Swt.? Manusia
harus tetap melaksanakan shalat meskipun dalam kondisi iman (spiritual) yang
sedang menurun, yaitu ketika tidak mendapatkan limpahan karunia Ilahi. Tangisan
karunia Allah dan keberkahan, juga dapat menjadi sarana ujian dan cobaan.
Allah. 76
menjadi kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Salah satu do’a yang
sangat populer di kalangan umat Islam yang selalu diajarkan dan dibaca
adalah berbunyi: ”( رﺑﻨﺎ اﺗﻨﺎﻓﻰ اﻟﺪﻧﯿﺎ ﺣﺴﻨﺔ وﻓﻰ اﻻ ﺧﺮة ﺣﺴﻨﺔ وﻗﻨﺎ ﻋﺬاب اﻟﻨﺎ رYa Tuhan
76
Ibid
60
(kebahagiaan) di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”). Do’a ini
itu lebih baik bagi kamu daripada permulaan”. Ayat ini sering ditafsirkan
daripada akhirat. Dunia berasal dari kata danaa yang artinya sesuatu yang
dekat. Dunia adalah kehidupan yang sebentar dan sesaat. Artinya, bahwa
apapun yang terjadi di dunia ini sifatnya sebentar. Dia hanyalah permainan
dan panggung sawindara. Demikian jika melihat isyarat dalam QS. al-
77
Qurais Shihab, Tafsir al-Mishbah….., hal.
61
”Andaikata manusia memiliki dua lembah harta, tentu ia
menginginkan yang ketiga, dan tidak ada yang dapat mngenyangkan
perutnya kecuali tanah (kematian). Dan Allah akan menerima taubat
orang yang mau bertaubat”. 78
boleh menikmati dunia, tetapi tetap harus berada pada koridor kebenaran atau
muslim.
kebahagiaan yang ada di akhirat, karena belum dialami, lebih tepat dikatakan
dan papan, termasuk seksual. Kenikmatan seksual dapat dikategorikan pula sebagai
kenikmatan psikologis, jika diliputi perasaan cinta, kasih, dan sayang. Hal ini dapat
78
HR. Bukhari. Juz IV, hal. 119. Lihat Aam Amiruddin (2008). Tafsir al-Qur’an
Kontemporer, Juz Amma Jilid 1. Bandung: Khazanah Intelektual, hal. 292
62
Para psikolog (ahli kesehatan mental) yang tidak sekuler sepakat bahwa
Pertama, fisik yang sehat, bebas dari penyakit, serta berfungsinyaa seluruh
organ tubuh dengan baik, sehingga dikenal adanya ungkapan bahwa akal yang
sehat terletak pada tubuh yang sehat”. Artinya terdapat hubungan timbal balik
antara kesehatan jiwa dan kesehatan fisik. Dari sini dipahami bahwa kebahagiaan
Kedua, rasa percaya diri yang baik serta berupaya mengarahkan diri pada
aktivitas yang positif dan kontruktif, memelihara diri dari berbagai penyimpangan,
meningkatkan kualitas hidup, baik secara material maupun non material. Dalam
bukan pada kemalasan dan banyaknya waktu luang. Orang yang ingin bahagia
harus memiliki kegiatan (aktivitas) yang positif, bermakna, dan bermanfaat, serta
menjauhkan diri dari aktivitas yang negatif. Ia juga memiliki target hidup tertentu
yang benar dan bermakna, bukan sibuk dengan kesenangan yang menyimpang, dan
Ketiga, kecintaan terhadap orang lain dan motivasi yang kuat untuk
orang lain. Seseorang yang memiliki karakteristik pribadi seprti ini berpegang
79
Lihat Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani, hal. 287
63
mengembangkan kasih sayang dan penghargaan dengan sesama manusia. Seorang
psikolog bernama William Glesser mengatakan bahwa rasa cinta kepada orang lain
merupakan inti kebahagiaan. Hal ini senada dengan pendapat Abdul Aziz al-Qushi,
yang menyatakan bahwa kebahagiaan seorang individu akan selalu terkait dengan
bernilai dan memuaskan. Bagi seorang muslim, iman adalah penggerak utama
dalam kehidupan. Dengan keimanan dan kepasrahan total kepada Allah Swt.,
merasa gelisah, guncang, atau panik, karena ia yakin bahwa Allah telah mengatur
membimbing hidup seorang muslim agar selalu berada pada jalan yang benar.
Mengacu pada poin satu dan dunia, kebahagiaan dapat dibedakan menjadi
kebahagiaan yang semu, artifisial, atau instrumental dan kebahagiaan yang bersifat
ultimate (pokok), sejati, inti, atau yang sebenarnya. Hal ini merupakan bahasan
yang diarasakan di dunia ini pada dasarnya merupakan kebahagiaan yang bersifat
alam akhirat yang bersifat abadi. Demikian isyarat yang dapat dipahami dari
64
melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah
Alam dunia hanyalah salah satu terminal yang manusia lewati. Banyak ayat
dan hadits yang menerangkan hakikat tersebut. Manusia datang dari alam arwah ke
rahim ibu. Dari rahim ibu menuju kehidupan dunia. Setelah melawati masa kanak-
kanak, remaja, dewasa, dan lansia, ia pindah ke alam kubur dan alam barzakh. Dari
melewati seluruh tahapan tersebut. Ia berada dalam kehidupan dunia ini hanya
perjalannya. 81
dengan kejahatan, keindahan dengan keburukan. Di dunia ini banyak hal yang
harus dijauhi dan hindari oleh setiap manusia. Ia diminta untuk dapat memilih yang
baik dan indah di tengah tumpukan sampah tersebut. Ia harus dapat menemukan
permata di balik kotoran yang bernama dunia. Dunia ini tidak memberi kepada
seseorang sepotong kue manis kecuali disertai dengan sejumlah tamparan. Inilah
sisi permainan dan tipuan yang disambut oleh para penghamba dunia, padahal
inilah sisi buruk dunia yang harus dihindari oleh manusia. Di satu sisi, seorang
80
Fethullah Gulen, Islam….. Hal. 299
81
Mengacu pada hadits: “Apa urusanku dengan dunia? Aku di dunia ini hanya seperti seorang
musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian pergi meninggalkannya” (HR .Tirmidzi, Ibnu Majah, dan
Imam Ahmad)
65
yang fana dan akhirat yang kekal. Rasulullah tidak meninggalkan dunia dan tidak
memisahkan diri dari manusia, namun pada saat yang sama beliau memisahkan diri
”Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan buruk
mereka mendapatkan pahala lebih besar daripada mukmin yang bergaul
denga manusia dan tidak sabar atas tindakan buruk mereka”(HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah).
mendatangi beliau dan berada di bawah kaki beliau. Beliau tidak pernah berpikir
beliau datang ke dunia. Ketika datang ke dunia, beliau dibungkus sehelai kain dan
hidupnya yang mulia, beliau berusaha membangun peradaban yang seimbang dan
mendirikan dunia yang imbang di dunia dan di akhirat. Beliau telah menyerahkan
diri kepada Allah Swt, sehingga beliau hidup dengan tenang seraya berusaha
mendapatkan ridha Allah Swt. dan menyelamatkan umat manusia. Kesucian jiwa
beliau tidak ternodai oleh nafsu dan kenikmatan dunia. 82 Itulah posisi muslim ideal
di tengah kehidupan dunia dan akhirat. Kebahagiaan yang sesungguhnya atau yang
sejati adalah keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh seorang muslim.
82
Ibid. hal 306-307
66
BAB IV
RESEP BAHAGIA MENURUT AL-QUR’AN
kebahagiaan. Hal ini dapat dipahami dari khitab (perintah/ajakan) yang terkandung
Pesan ayat di atas dipahami secara berbeda oleh para ulama. Ada yang
memahaminya secara tidak seimbang, dengan menyatakan bahwa pesan ayat ini
membatasi diri pada kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, dan pakaian.
kepentingan (kebahagiaan) dunia dan akhirat. Penganut pendapat ini tidak jarang
seakan-akan engkau tidak akan mati, dan bekerjalah untuk untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok. Atas beberapa pandangan ini Quraish Shihab
memberi beberapa catatan penting agar umat Islam tidak terjerumus dalam
ukhrowi adalah satu kesatuan. Artinya, dunia adalah tempat menananm dan akhirat
83
Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 10……., hal 407
67
adalah tempat memanen. Apa yang ditanam manusia di bumi (dunia) ini akan
memperoleh buahnya di akhirat. Islam tidak mengenal istilah amal dunia dan amal
akhirat. Apabila hal ini mau digunakan, maka perkataan yang paling tepat adalah
bahwa “semua amal dapat menjadi amal dunia, meskipun berupa shalat dan
sedekah, jika dilakukan secara tidak tulus (niatnya)”. Sebaliknya, “semua amal
dapat menjadi amal akhirat jika disertai dengan keimanan dan ketulusan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, meskipun amal itu berupa pemenuhan naluri
seksual. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Melalui kemaluan kamu (hubungan
(orientasi hidup) kepada akhirat sebagai tujuan dan menjadikan dunia sebagai
sarana mencapai tujuan. Hal ini dapat dipahami secara jelas dari ayat di atas: fii
maa aataaka Allah…, sehingga semakin banyak yang diperoleh secara halal dalam
akhirat, selama itu diperoleh da digunakan sesuai dengan petunjuk Allah Swt. Hal
ini juga berarti bahwa ayat ini menggarisbawahi petingnya dunia, tetapi bukan
karena sebagai tujuan, namun sebagai sarana (alat) untuk mencapai tujuan.
lupakan’. Ini memberi kesan adanya perbedaan di antara keduanya dan ini harus
diakui bahwa keduanya memang berbeda. Allah berulang kali menekankan hakikat
ini dalam berbagai ayat, misalnya QS. at-Taubah: 38: “ Apakah kamu puas dengan
68
Dari sini, Quraish Shihab sekali lagi ingin menekankan bahwa dalam
kepada akhirat, sebagai tujuan, bukan kepada dunia, karena ia hanyalah sarana
yang dapat mengantar kepada kehidupan akhirat. Jika ayat ini dipadukan dengan
kandungan QS Hud: 61, maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa manusia
kalian semua agar kalian berbahagia”. Di samping ayat ini, terdapat pula ayat-
ayat yang berakhir dengan kata la’allakum tuflihuun, yaitu: QS. 3:130, 3:200, 5:35,
5:90, 5:100, 7:69, 8:45, 22:77, 24:31, 62:10. Melalui ayat- ayat ini, Al Qur’an
menegaskan bahwa semua perintah Tuhan dimaksudkan agar manusia dapat hidup
bahagia. Di samping itu, Al Qur’an juga merinci perbuatan yang dapat membawa
manusia kepada kebahagiaan. Dalam lafal adzan terdapat dua kata yang selalu
beriringan: hayya ala al-shalaah (mari kita tunaikan sholat) dan hayya ala al-
menggambarkan kebahagiaan. Pada empat ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. 20:64, 23:1,
87:14, 91:9, kata aflaha selalu diawali dengan kata qad, sehingga berbunyi qad
69
diinginkan (dicari), ketenangan, keselamatan, dan kesejahteraan. Intinya manusia
tidak akan berarti apa-apa (menjadi sia-sia) jika tidak digandengkan dengan sikap
yang ada di dunia bisa saja diperoleh oleh orang-orang yang tidak bertaqwa, tetapi
hal ini ibarat angka 0 (nol) yang berjajar, yang tidak ada artinya jika tanpa ada
angka satu. Angka satu ini adalah ketaqwaan. Dengan ketakwaan, maka seorang
muslim diharapkan akan dapat memperoleh kebahagiaan yang sejati atau hakiki.
Hal ini diisyaratkan dalam QS. Yunus: 25 sebagai berikut: “Allah mengajak
jalan yang lurus”. Ayat ini tidak salah jika dipahami bahwa Allah sesungguhnya
mengajak setiap manusia untuk menuju kebahagiaan dalam arti suasana yang
penuh kedamaian. Inilah misi Islam yang dibawa oleh para Nabi di muka bumi ini.
Semua manusia diajak untuk berislam, karena di dalam Islam akan ditemukan
mashdar dari kata aslama, perkataan islam memiliki arti “mencari kedamaian”,
84
Rakhmat (2010), Tafsir…….hal.
70
“menyerah”, dan “pasrah”. Maka agama yang benar disebut “Islam” karena
pasrah, dan tunduk-patuh kepada Allah secara tulus. Sikap ini bukanlah hanya
pilihan hidup yang benar untuk manusia, sebagai makhluk yang bebas memilih
karena memiliki akal-pikiran, tetapi merupakan pola wujud seluruh alam raya
beserta isinya. Oleh karena itu, apabila manusia diajak untuk berislam, yaitu
memilih sikap hidup tunduk, menyerah, dan pasrah kepada Allah, maka hal itu
tidak lain agar manusia dapat mengikuti pola hidup yang sama dengan pola wujud
alam raya. Yang dihasilkan oleh sikap ini tidak saja kedamaian dengan Tuhan, diri
sendiri, dan sesama manusia, tetapi juga dengan sesama makhluk di alam raya ini.
85
Inilah maksud ayat yang sering dikutip yaitu QS. Ali Imran: 83-85.
Secara umum, sesuai dengan makna harfiah dan definisi Islam yang
tidak akan diliputi kekhawatiran dan kesedihan (QS. al-Baqarah: 38). Islam
dunia dan akhirat kelak. Ia memiliki satu sendi utama yang esensial, yaitu
kehidupan manusia. 86
85
Nucholish Madjid (2008). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah, Jakarta: Dian Rakyat, hal. 217-218
86
M. Quraish Shihab (1995). Membumikan al-Qur’an, Jakarta: Mizan, hal.33
71
Hubungan Islam dan kebahagiaan, dalam arti kelapangan, dapat digali dari
QS. al-An’am: 125. Islam dalam ayat ini dapat dipahami sebagai penyerahan diri
secara penuh kepada Allah Swt dan ia menghasilkan nur (cahaya) kepada
pemeluknya untuk dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang utama dan
yang tidak utama, yang baik dan yang tidak. Menurut hadits yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud, tanda-tanda masuknya cahaya tersebut ke dalam hati
seseorang tercermin dalam sikapnya menjauhkan diri dari dunia, dalam arti tidak
cenderung untuk menjadikan kehidupan akhirat yang abadi sebagai orientasi hidup,
Itulah visi spiritual Islam yang selalu ditegaskan Allah dalam berbagai ayat
al-Qur’an. Pesan utama Islam adalah mengajak manusia ke jalan Allah demi
meraih kebahagiaan yang sejati. Secara kategoris Islam meliputi aspek akidah,
ibadah, dan akhlak, atau dalam bahasa lain Islam berarti iman, islam, dan ihsan.
Barang siapa menerapkan Islam dengan segala dimensinya, maka niscaya ia akan
beberapa contoh petunjuk (resep) al-Qur’an tentang hal-hal spesifik yang akan
Ayat-ayat Qur’an yang berbicara tentang dua kata ini (iman dan amal saleh)
tidak sedikit jumlahnya, misalnya QS. al-’Ashr: 1-3, al-Qashash: 67, at-Tin: 6, dan
an-Nahl: 97, dan QS. Yunus: 9. Dengan melihat hubungan antara iman, amal
saleh, dan kehidupan yang baik dalam ayat-ayat ini, maka selanjutnya dapat
dipahami apa dan bagaimana sesungguhnya kehidupan yang baik itu menurut
al-Qur’an. Hidup yang baik adalah hidup yang didalamnya seseorang dapat
72
memelihara iman dan mengisinya dengan amal saleh. Jalaluddin Rakhmat
hidup, maka al-Qur’an menganggap bahwa itu adalah kehidupan yang baik.
Misalnya, ada orang yang taat beragama, rajin pergi ke masjid, dan rajin
sehingga ia tidak sempat lagi pergi ke masjid dan tidak sempat lagi
melakukan shalat malam. Bahkan, ia tidak tahan lagi memelihara iman yang
ada di dalam hatinya. Menurut al-Qur’an, kehidupan yang seperti itu adalah
iman mereka yang telah bersemai dalam jiwa mereka dan mendorong mereka
agar selalu mawas diri dan inga,t bahwa di tempat tinggal mereka kelak di
87
Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-‘Ashr: 1-3. Lihat juga Jalaluddin Rakhmat (2003),
Renungan Sufistik Kang Jalal, Bandung: Rosda, hal. 279
88
Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 6……., hal. 27
73
Jadi, hidup yang baik menurut Islam adalah hidup yang sanggup
yang saleh adalah bukan orang yang paling panjang sujudnya, bukan orang
yang paling sering naik haji, tetapi orang yang paling bermanfaatnya kepada
orang lain. Ilmunya bisa dinikmati oleh banyak orang, sedekah harta yang
sumber dari segala sumber kebahagiaan bagi umat manusia. Hal ini karena kata
iman memiliki keterkaitan dengan adanya rasa aman dan ketenteraman dalam hati
seorang muslim. Jadi, orang yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi hidupnya
diliputi rasa khawatir dan kegalauan, maka yang bersangkutan layak untuk
Ayat di atas sangat terkait dengan ayat- ayat berikut: ”Tidak ada
ketakutan dan kecemasan bagi mereka” (QS. al-Baqarah: 38) dan ”Janganlah
kamu cemas (sedih), sesungguhnya Allah bersama kita”. Dalam ayat-ayat ini
terdapat korelasi antara rasa takut (khawatir) dan sedih. Artinya, seseorang
dapat saja merasa takut dengan masa yang akan datang, misalnya soal rezeki,
bersedih hati. Dalam ayat di atas Allah menjelaskan tentang orang-orang yang
89
Ibid.
74
tidak bersedih karena ditimpa bencana, sehingga Allah menurunkan malaikat
beriman tidak akan merasa takut dan tidak pula bersedih dan Allah
memantapkan jiwa mereka dengan perkataan yang pasti di dunia dan akhirat,
masyarakat yang saat ini boleh dikatakan terdepan dalam memenuhi kebutuhan
semuanya berlomba mengejar harta, mobil dengan berbagai merek, rumah, dan
sehari. Pada pagi hari ribuan manusia bangun dari peraduannya, kemudian
atau pabrik, dengan mengendarai mobil, naik kereta, motor, dan sebagainya.
Mereka bekerja dengan disiplin, profesional, dan saling bekerja sama dalam
televisi, main play station, nonton film di bioskop atau di rumah mereka
sendiri, serta tempat hiburan lainnya. Setelah larut malam mereka pergi tidur
90
Ahmad Khalid Allam, dkk (2005). Al-Qur’an dalam Keseimbangan ……., hal. 204.
75
Semuanya berusaha menikmati kehidupan tanpa berpikir atau bertanya tentang
arti hidup. Semua telah diatur sedemikian rupa semenjak seseorang terlahir dari
Dalam budaya modern, setiap orang umumnya bekerja selama lima hari
perpekan dengan jam kerja delapan jam perhari. Dia bertanggungjawab dalam
memperhatika jalannya alat tersebut. Dia bergabung dalam sebuah tim untuk
untuk mengawasi saja. Sore atau malam hari dia kembali pulang dengan rasa
lelah, walaupun tidak melakukan sesuatu yang berat atau menguras tenaga.
Hasil dari semua itu adalah bahwa kemajuan industri hanya melahirkan
orang-orang yang cemas dalam segala hal dan cenderung individualis. Padahal,
kebakaran, kesehatan, dan jaminan hari tua. Setiap orang memiliki rasa cemas
yang tidak beralasan, cemas dengan masa depan, khawatir di PHK. Jaminan
manusia modern yang gersang, teralienasi, tidak bisa menyesuaikan diri, bosan,
dan hampa telah menyebabkan adanya jiwa-jiwa manusia yang kerdil. Saat
mereka ditimpa musibah, maka mereka tidak akan mampu bersabar menanggng
beban berat yang dihadapi, bahkan lebih memilih lari dari permasalahan,
keimanan kepada Allah Swt. Mereka hidup secara sekuler, materialistik, dan
91
Ibid.
76
ateistik, sehingga hidup mereka hanya diorientasikan sampai mati saja.
Terpenuhinya kebutuhan materi seperti makan, minun, tidur, dan seks tidaklah
seperti ini, al-Qur’an selalu relevan untuk dijadikan pijakan dan resep untuk
satu yang perlu dicatat adalah bahwa keimanan yang kokoh kepada Allah
merupakan fondasi (dasar) untuk meraih ketenangan jiwa, sementara jauh dari
menghadapi bencana dan kesusahan, maka ia akan mendapat pahala dari Allah
pekerjaannya. Oleh sebab itu, keimanan kepada Allah Swt. Selalu ditekankan
dalam segala hal, termasuk dalam upaya memperoleh rizki. Beberapa ayat al-
dapat dilihat dari QS. Huud: 6 berikut ini: ”Tidak ada satu binatang melatapun
di dunia ini kecuali Allah yang menjamin rezeki-Nya”. Hal ini bukan berarti
bahwa manusia diajak untuk menanti kedatangan rezeki tanpa berusaha, tetapi
77
bertujuan agar manusia yang beriman untuk selalu percaya diri,
Keimanan kepada Allah, kata Sayyid Quthub dalam memahami QS. al-
A’raf: 96, adalah bukti kegiatan fitrah manusia dan berfungsinya dengan baik
hakikat wujud, dan semua itu adalah faktor-faktor utama untuk meraih sukses
dalam kehidupan nyata. Keimanan kepada Allah Swt. Adalah pendorong yang
kepada Allah membebaskan manusia dari ketundukan terhadap hawa nafsu dan
penghambaan diri kepada manusia. Hal ini dilandasi keyakinan bahwa hanya
manusia yang bebas dan hanya tunduk kepada Allah sematalah yang mampu
dan terus meningkat, jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi hamba-
2. Bertaqwa
92
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5……, hal.182-183
93
Ibid
78
Selain pentingnya keterkaitan antara iman dan amal saleh dan kehidupan
dalam arti keberkahan sangat terkait pula dengan ketakwaan. Hal ini dapat
secara bersama-sama. Semakin kuat kerja sama dan semakin tenang jiwa di
antara mereka, makan semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini.
sekian sumber yang berbeda-beda dan hal ini mengakibatkan jiwa tidak tenang
permusuhan, sehingga tenaga dan pikiran tidak lagi tertuju kepada upaya meraih
94
Ibid.
79
Shihab, berkomentar tentang ayat ini dan ayat sebelumnya, bahwa di hadapan
teks ini kita berhenti menghadapi salah satu hakikat keagamaan, sekaligus
merupakan hakikat kehidupan umat manusia dan hakikat alam raya. Kita
berhenti di hadapan satu faktor dari sekian faktor yang mempengaruhi sejarah
umat manusia, kendati hal ini diabaikan oleh filsafat manusia secara total. 95
atas mengatakan bahwa alam raya dengan segala bagiannya yang rinci, saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya bagaikan satu badan yang saling
terkait, dalam rasa sakit atau sehatnya. Demikian pula dalam pelaksanaan
bermuara kembali kepada Allah Swt. Apabila salah satu bagian tidak berfungsi
dengan baik, maka akan nampak dampak negatifnya pada bagian yang lainnya.
Itulah sunnatullah yang berlaku di alam raya ini. Demikian halnya dengan
kehidupan manusia.
Manusia yang menyimpang dari jalan lurus yang telah ditetapkan Allah
manusia yang tinggal di dalamnya. Apabila hal ini terjadi, maka akan lahir krisis
seprti krisis moral, ketiadaan kasih sayang, kekejaman, bahkan lebih dari itu
bisa pula berakibat pada terjadinya musibah dan bencana alam, seperti
tetumbuhan”, banjir dan airbah, gempa bumi dan benana alam lainnya.
95
Ibid
80
Semua itu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah untuk memperingatkan
manusia agar mereka kembali ke jalan yang lurus. Apabila manusia enggan
kembali ke jalan yang lurus, maka di sanalah hati mereka dikunci dan ketika itu
yang penuh dengan krisis, dan bahwa misi kehidupan mereka di dunia ini
hanyalah untuk menguasai dan menundukkan alam ini. Manusia yang ini
memiliki prinsip (pandangan) hidup seperti ini hanya sibuk untuk selalu
berusaha kuat dengan tenaga dan pikirannya untuk menciptakan ilmu dan
teknologi yang dapat menghindarkan diri mereka dari bencana alam. Mereka
Paradigma seperti inilah yang sampai hari ini dimiliki oleh manusia
manusia.
menjadi tenteram” .
arti asalnya adalah tidakkah, merupakan huruf tanbih (kata tanya yang
96
Ibid, hal. 185
81
(hati menjadi tenteram) yang disebut pertama. Dengan demikian,
tetapi, setelah meneiliti secara cermat dengan fitrahnya, ia baru tahu bahwa
apa yang dierolehnya itu bukanlah tujuan hakiki. Akibatnya, ia pun mengalami
akan mengalami kejenuhan adalah Allah, yaitu ketika ia sampai pada hakikat
di bawah ini:
takut dan sifat bakhil, serta utang yang berat dan penindasan orang lain
(HR. Bukhari).
97
Murtadha Muthahhari (2008). Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi, dan Jati Diri Manusia,
Jakarta: Lentera, 266-267.
82
b. ” رﺑﻨﺎ اﺗﻨﺎ ﻓﻰ اﻟﺪﻧﯿﺎ ﺣﺴﻨﺔ وﻓﻰ اﻻ ﺧﺮة ﺣﺴﻨﺔ وﻗﻨﺎ ﻋﺬاب اﻟﻨﺎ رYa Tuhan
Terkait dengan do’a dan dzikir, ada sebuah bacaan populer di kalangan
sebagian besar umat Islam yang diyakini sangat bermanfaat untuk kebahagiaan
seseorang, sehingga ia tidak terkuasai mood. Dalam mood yang lebih mampu
pula pengenalan dan peralihan dari ”membenahi yang salah atau kelemahan”
emosi, memiliki kapasitas lebih besar untuk menikmati hidup dan fokus pada
98
Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan meningkatkan
kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka.Hal. 24-25
83
4. Tazkiyyah (penyucian diri)
kandungan makna qad aflaha dan tazakkaa atau zakkaa QS. asy-Syams: 9-10,
dan al-A’la: 14, dan terkait pula dengan al-Mu’minun: 1-11. Qurais Shihab
menyucikan diri (tazkiyah), atau yang lebih tepat lagi adalah penyucian diri
dan peningkatan diri, bukan zakat fitrah sebagaimana dipahami oleh sebagian
kalbunya tidak mengalami gerhana, dan bulannya pun tidak demikian. Ia harus
berusaha agar siangnya tidak keruh dan tidak pula malamnya. Cara untuk
meraih hal ini adalah dengan memperhatikan hal-hal spiritual yang serupa
dengan hal-hal yang secara material digunakan Allah untuk bersumpah dalam
cahaya benderang serta kesucian yang mantap. Dhuha, yaitu cahaya matahari
kenabian dan kewalian Allah Swt. Kewalian yang dimaksud adalah tuntunan
84
hakikatnya wali-wali Allah., karena kalau bukan mereka, siapa lagi?. Inilah
Dalam tinjauan psikologis, ayat ini dan ayat sebelumnya daam QS. as-
memiliki potensi (fitrah) kebaikan dan keburukan masih dituntut untuk dapat
menumbuhkan potensi yang buruk, maka ia termasuk golongan yang rugi atau
celaka.
5. Lain-lain.
Di luar beberapa hal di atas, terdapat bebeerapa hal lain dalam al-
bahwa tema ini sesuai dengan sifat dasar manusia yang senantiasa mencari dan
manusia. Setiap orang ingin selalu bahagia atau dapat meraih kebahagiaan.
Apapun aktivitas dan kesibukan manusia pada dasarnya akan bermuara pada
sekedar kesenangan atau kepuasan lahiriah yang bersifat jangka pendek dan
sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersifat batiniah, ruhaniah, hakiki, lestari, dan
dirasakan oleh setiap orang, tanpa pandang bulu. Siapa pun kita, baik yang
99
Quraish Shihab, Tafsir al_Mishbah…Vol 15., hal. 301
100
Rif’at Syauqi Nawawi (2014), Kepribadian Qur’ani, Jakarta: Amzah, Hal 29
85
kaya maupun yang miskin, hendaknya dapat merasakan kebahagiaan yang
sejati. Termasuk halnya dalam hal beragama, beriman dan menjalankan ajaran
diseluruh dunia selalu diajak oleh muadzin di seluruh dunia dengan ucapan
suara muazzin ini sudah cukup menjadi bukti bahwa agama Islam memanggil
umatnya setiap saat untuk meraih kebahagiaan. 101 Demikian pula, jika
berbahagia. Begitu pula halnya dengan firman Allah dalam Q.S Al-Hajj ayat
tujuan akhir dari semua perintah Allah pada dasarnya adalah agar kita manusia
101
Rakhmat (2008). Tafsir Kebahagiaan……hal 7
86
semua ibadah yang kita lakukan pada hakikatnya bukan untuk Allah, tetapi
korupsi, dan sebagainya, maka itu semua sebenarnya bertujuan agar mereka
Ibnu Sa’di merangkum berbagai aspek dalam ajaran Islam yang dapat
dijadikan “petunjuk operasional” bagi setiap muslim agar hidupnya sukss dan
dan kesuksesan manusia adalah iman kepada Allah SWT dan amal
diri.
102
Lihat Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2008), Al-‘Aadat al-‘Asyru li asy-Syakhsiyah an-Najihah,
terj. oleh : Fathurozi, Jakarta : Maghfirah Pustaka, hal. 65
87
bermanfaat, dan berusaha mewujudkan kebahagiaan dan kesuksesan
yang diinginkan.
mendatangkan kebahagiaan.
kotor.
C. Sebuah Perbandingan
perspektif Psikologi Barat dan Psikologi Islam (Qur’ani) tentang kabahagiaan. Para
psikolog dan filosof tampaknya masih terus berbeda pendapat seputar esensi
88
dikemukakan oleh para psikolog kontemporer sangat bersifat subyektif, relatif, dan
mengarungi kehidupan.
untuk memilih bahagia, sifat-sifat orang yang bahagia, dan bagaimana caranya
tidaklah memberikan sebuah panduan hidup yang relatif mantap kepada manusia
tidak hanya mengkaji aspek-aspek psikolgis manusia secara ”apa adanya”, tetapi
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
tingkatan, ajakan, dan petunjuk menuju kebahagiaan yang telah diuraikan secara
panjang lebar, maka dapat disimpulkan beberapa prinsip penting yang harus digaris
yang senantiasa mencari dan mendambakan hidup yang bahagia. Hal ini karena
setiap manusia pada dasarnya ingin selalu bahagia atau dapat meraih
jangka pendek dan sesaat, tetapi kebahagiaan yang bersifat batiniah, ruhaniah,
sesungguhnya dapat dirasakan oleh setiap orang, tanpa pandang bulu. Siapa pun
manusia, baik yang kaya maupun yang miskin, hendaknya dapat merasakan
2. Kebahagiaan sesungguhnya bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri dan
90
3. Islam adalah sumber kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Hal ini karena Islam merupakan jalan hidup terbaik dan agama yang
mengajak kepada pengembangan fisik, jiwa, dan ruh sekaligus dan mengatur
4. Kebahagiaan tidak dapat ditunggu atau terjadi secara kebetulan, tetapi hal itu
mengembangkan seluruh aspek manusia, yaitu fisik, psikis, dan ruh, serta
menempati relevansinya.
B. Rekomendasi
Apa yang dihasilkan kajian ini tampaknya masih perlu disempurnakan, dengan
bahwa itu sudah taken for granted bagi manusia awam, sebagaimana buku-buku
bergenre self help. Artinya, masih diperlukan pemahaman dan kajian yang
kemudian disusun dalam bentuk buku motivasi atau apapun namanya, yang
91
kajian ini menjadi salah satu inspirasi buat para peminat kajian psikologi Islami
92
DAFTAR PUSTAKA
Al-Wasi’ Ensiklopedi al-Qur’an ver. 1.0.0 dalam Maktabah Al- Kubra: Media
Pembelajaran dan literatur Islam Digital, Ver. 5
Bastaman, H.D. & Fuat N.S. : 1995, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
93
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/04/09/230345/kebahagiaan-
warga-bisa-jadi-tolak-ukur-sukses-pembangunan
https://yorga.wordpress.com/2015/11/15/gajimu-bahagiamu-sebuah-survey-
terhadap-kalangan-profesional-muda-di-indonesia/
Rima Olivia (2016). Shalawat untuk Jiwa: Mengoptimalkan potensi diri dan
meningkatkan kualitas hidup. Jakarta: Trans Media Pustaka
Saad Riyadh (2004). Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Gema Insani
94
Sayyid Quthb (2004). Tafsir Fi Zhilali Qur’an. Terj. Oleh As’ad Yasin dkk.
Jakarta: Gema Insani.
95