Anda di halaman 1dari 57

CASE REPORT

Benigna Prostate Hyperthropy (BPH)

Pembimbing :

dr. Silman Hadori, Sp.Rad, MH.Kes

Disusun oleh:

Retno Agusti Wulandari, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT PERTAMINA BINTANG AMIN

BANDAR LAMPUNG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya sampaikan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah presentasi kasus

yang berjudul “Benigna Prostate Hyperthropy” ini.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik

bagian Radiologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati di RS.

Pertamina Bintang Amin Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para

pengajar di SMF Radiologi, khususnya dr. Silman Hadori, Sp.Rad, MH.Kes atas

bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Radiologii ini

sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan semaksimal kemampuan

penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki

makalah ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk berikutnya.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, mudah-mudahan makalah ini

dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang

menempuh pendidikan.

1
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR ……………………………………………………. 1

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 3

BAB II STATUS PASIEN

A. Identitas …………………………………………………………….. 4

B. Anamnesis ………………………………………………………….. 4

C. Pemeriksaan Fisik ………………………………………………….. 5

D. Pemeriksaan Penunjang …………………………………………….. 10

E. Resume …………………………………………………………….. 16

F. Diagnosa dan Diagnosa Banding ………………………….……….. 16

G. Terapi ………………………………………………………………. 18

H. Prognosis …………………………………………………………… 18

BAB III PEMBAHASAN KASUS ……………………………………….. 19

BAB IV TINJAUANPUSTAKA ………………………………………….. 21

BAB V KESIMPULAN …………………………………………….….….. 36

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya

dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit

yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik

secara umum dan di Indonesia secara khususnya.

Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta,

bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar

prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,

2009). Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut

usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan

seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah

meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya

meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa

sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi

penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan

meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 .

Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua

setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,

diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,

dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit

PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam

3
lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan

rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia

60 tahun dan ke atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya

dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau

PPJ ini.

Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan berkembangnya

sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang

makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut

meningkat. (Furqan, 2003)

Secara pasti, bilangan penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat,

tetapi secara prevalensi di RS, sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS

Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang

dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617

kasus dalam periode yang sama (Ponco Birowo, 2002).

Ini dapat menunjukkan bahawa kasus BPH adalah antara kasus yang

paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat, juga merupakan salah satu

penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya

melibatkan pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan

bilangan dan presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan

Indonesia secara khususnya.

Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih

kurang 220,900 kasus baru ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000

daripadanya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) . Seperti juga BPH,

4
kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di bawah

itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di Indonesia,

menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat

adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, yakni yang keempat setelah kanker

saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati .

5
BAB II

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS

Nama : Tn. W

Umur : 65 tahun

Alamat : Desa Srimulyo RT/RW. 004/003 Desa/Kelurahan

Karang Pucung Kecamatan Way Sulam Kabupaten

Lampung Selatan Provinsi Bandar Lampung

Agama : Islam

Pekerjaan : Petani

Status : Menikah

Suku Bangsa : Indonesia

Tanggal masuk : 03 Januari 2018

Dirawat yang ke : Pertama

B. ANAMNESA

Keluhan utama

Pasien mengeluhkan sulit untuk buang air kecil (BAK) sejak 1 bulan

terakhir disertai mual dan muntah sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan tambahan

Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sebelum masuk rumah

sakit dan pasien juga mengeluhkan nyeri pada saat buang air kecil.

6
Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit

Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung diantar oleh keluarganya dengan

keluhan sulit buang air kecil (BAK) sejak 1 bulan terakhir disertai nyeri pada

saat BAK. BAK disertai darah disangkal. Pasien juga mengeluhkan mual

disertai muntah dengan frekuensi 8 kali sebelum masuk rumah sakit dan

pasien juga mengalami sakit kepala. Buang air besar (BAB) dalam batas

normal.

Pasien juga mengatakan bahwa 1 bulan sejak keluhan ini muncul

sudah melakukan pemasangan cateter 2 kali.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi : Disangkal

Penyakit Paru : Disangkal

Penyakit Jantung : Disangkal

Penyakit Metabolik : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah dan ibu pasien memiliki riwayat darah tinggi namun sudah

meninggal sekitar 8 tahun yang lalu.

Riwayat Pengobatan

7
Sebelumnya pasien pernah berobat ke Puskesmas dan mendapatkan

obat untuk menurunkan tekanan darahnya tetapi tidak rutin karena pasien

merasa sudah lebih baik kesehatannya.

Riwayat Sosial ekonomi

Pasien tinggal bersama istri dan anaknya dan pasien bekerja sebagai

petani. Kesan ekonomi cukup dan pasien terdaftar sebagai pasien Asuransi

Kesehatan golongan III.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

- Kesadaran : Composmentis

- GCS : E4V5M6

- Tanda vital

Tekanan darah : 150/60 mmHg

Nadi : 84 kali/menit (lemah)

Pernapasan : 24 kali/menit

Suhu : 36.8˚C

Status Generalis

a. Kulit

8
Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit cukup,

capilary refill time (CRT) kurang dari 2 detik dan teraba hangat.

b. Kepala

Normosefali, rambut berwarna hitam distribusi merata

c. Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), RCL -/-, RCTL -/-, pupil

isokor 3mm/3mm.

d. Hidung

Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi septum (-), sekret (-/-).

e. Telinga

Normotia (-/-), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret (-/-).

f. Mulut

Sudut bibir normal, kering (-), sianosis (-), lidah simetris, dalam batas

normal.

g. Leher

a) Inspeksi

Tidak terdapat tanda trauma maupun massa.

b) Palpasi

Tidak terdapat pembesaran KGB, tidak ada pembesaran kelenjar

tiroid, tidak terdapat deviasi trachea, JVP dalam batas normal.

h. Toraks

Jantung

a) Inspeksi

9
Ictus cordis tidak tampak.

b) Palpasi

Ictus cordis tidak teraba.

c) Perkusi

Batas atas kiri

ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi redup.

Batas atas kanan

ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.

Batas bawah kiri

ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra dengan bunyi redup.

Batas bawah kanan

ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.

d) Auskultasi

Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).

i. Paru

a) Palpasi

Fremitus raba

Dalam batas normal, simetris kiri dengan kanan.

Nyeri tekan

Tidak ada.

b) Perkusi

10
Paru kiri

Sonor.

Paru kanan

Sonor.

Batas Paru-Hepar

ICS VI dekstra anterior.

Batas paru belakang kanan

Setinggi columna vertebra thorakal IX.

Batas paru belakang kiri

Setinggi columna vertebra thorakal X.

c) Auskultasi

Bunyi pernapasan

Bronkhovesikuler.

Bunyi tambahan

Ronkhi +|+ pada apeks kedua lapangan paru, Wheezing -|-.

11
j. Abdomen

a) Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-).

b) Auskultasi : Bising usus dalam batas normal.

c) Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.

d) Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).

k. Ekstremitas

a) Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

(-/-) akral hangat (+/+), odem (-/-).

b) Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

(-/-) akral hangat (+/+), odem (-/-).

Pemeriksaan Neurologis

a. Rangsangan Meningeal

1) Kaku kuduk :- (tidak ditemukan tahanan pada tengkuk).

2) Brudzinski I : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai).

3) Brudzinski II : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai).

4) Kernig : -/- (tidak terdapat tahanan sblm mencapai

135º/tidak terdapat tahanan sblm mencapai

135º).

5) Laseque : -/- (timbul tahanan pada kaki kanan sebelum

mencapai 70o).

b. Nervus Kranialis

12
1) N-I (Olfaktorius) : Dalam batas normal.

2) N-II (Optikus)

a) Tajam penglihatan

b) Lapang penglihatan Dalam batas normal.

c) Tes warna

d) Fundus oculi

3) N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)

a) Kelopak mata :

Ptosis : -/- (Dalam batas normal).

Endopthalmus : -/- (Dalam batas normal).

Exophtalmus : -/- (Dalam batas normal).

b) Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm.

Refleks Pupil

 langsung : +/ + (Dalam batas normal).

 tidak langsung : +/ + (Dalam batas normal).

c) Gerakan bola mata : Dalam batas normal.

4) N-V (Trigeminus)

a) Sensorik

 N-V1 (ophtalmicus) : Dalam batas normal.

 N-V2 (maksilaris) : Dalam batas normal.

 N-V3 (mandibularis) : Dalam batas normal.

13
b) Motorik

Dalam batas normal.

c) Refleks :

Reflek kornea : +/+ (Dalam batas normal).

Reflek bersin : Tidak dilakukan pemeriksaan.

5) N-VII (Facialis)

a) Sensorik (indra pengecap) : Tidak dilakukan.

b) Motorik

Inspeksi wajah sewaktu

 Diam : Dalam batas normal.

 senyum

 Meringis Dalam batas normal.

 menutup mata

Pasien disuruh untuk

 Mengerutkan dahi

 Menutup mata kuat kuat Dalam batas normal

 Menggembungkan pipi

c) Sensoris

Pengecapan 2/3 depan lidah : Dalam batas normal.

6) N. VIII (Vestibulocochlearis)

14
a) Keseimbangan

 Nistagmus : Tidak ditemukan.

 Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan.

b) Pendengaran

 Tes Rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan.

 Tes Schwabach : Tidak dilakukan pemeriksaan.

 Tes Weber : Tidak dilakukan pemeriksaan.

7) N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)

a) Refleks menelan : + (Dalam batas normal).

b) Refleks batuk : Tidak dilakukan pemeriksaan.

c) Refleks muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan.

d) Posisi uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan.

e) Posisi arkus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan.

8) N-XI (Akesorius)

a) Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : Dalam batas normal.

b) Kekuatan M. Trapezius : Dalam batas normal.

9) N-XII (Hipoglosus)

a) Tremor lidah

b) Atrofi lidah

c) Ujung lidah saat istirahat Dalam batas normal.

15
d) Ujung lidah saat dijulurkan

e) Fasikulasi

c. Pemeriksaan Motorik

1) Refleks

i. Refleks Fisiologis

 Biceps : N/N

 Triceps : N/N

 Achiles : N/N

 Patella : N/N

ii. Refleks Patologis

 Babinski : -/-

 Oppenheim : -/-

 Chaddock : -/-

 Gordon : -/-

 Scaeffer : -/-

 Hoffman-Trommer : -/-

1. Kekuatan Otot

5 5

Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra

5 5

Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

16
3) Tonus Otot

a. Hipotoni : - /-

b. Hipertoni : -/-

d. Sistem Koordinasi

1) Romberg Test

2) Tandem Walking Dalam batas normal.

3) Finger to Finger Test

4) Finger to Nose Test

e. Fungsi Luhur

1) Fungsi bahasa

2) Fungsi orientasi Dalam batas normal.

3) Fungsi memori

4) Fungsi emosi

g. Susunan Saraf Otonom

Miksi : Tidak ada kelainan.

Defekasi : Tidak ada kelainan.

h. Sensibilitas

Eksterospektif / rasa permukaan (superior dan inferior)

Rasa raba : (+)/(+) simetris.

17
Rasa nyeri : (+)/(+) simetris.

Rasa suhu panas : tidak dilakukan.

Rasa suhu dingin : tidak dilakukan.

Prospioseptif / rasa dalam

Rasa sikap : tidak dilakukan pemeriksaan.

Rasa getar : tidak dilakukan pemeriksaan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium darah tanggal 03 Januari 2018 pukul 22:00:26 WIB.

Darah Lengkap

Leukosit : 16.500/uL Hitung jenis

Eritrosit : 4.8 juta/uL Eosinofil :0%

Hemoglobin : 11.6 g/dL (L) Basofil :0%

Hematokrit : 35 % Batang :1%

MCV : 83 fL Segmen : 72 %

MCH : 34 pg Monosit : 21 %

MCHC : 30 g/dL Limfosit :6%

Trombosit : 281.000/uL

2. USG lower abdomen pada tanggal 04 Januari 2018.

Telah dilakukan pemeriksaan USG lower abdomen, dengan hasil

sebagai berikut :

18
Ginjal Kanan :

Besar dan bentuk normal, kontur normal, parenkim normal,

intensitas gema normal, batas tekstur parenkim dengan central echo-

complex normal, tampak lesi hyperechoic dengan posterior acustic

shadow, soliter, diameter + 0.62 cm, tampak lesi anechoic dengan

posterior enhancement, lobulated, batas tegas, regular, soliter, ukuran +

2.65 x 2.03 cm, sistem pelvokalises tidak melebar.

Ginjal Kiri :

Besar dan bentuk normal, parenskim normal, intensitas gema

normal, batas tekstur parenkim dengan cntral echo-complex normal,

tidak tampak lesi hyperechoic dengan posterior acustic shadow, tidak

tampak masa, sistem pelvokalises tidak melebar.

Vesika Urinaria :

19
Besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal, tampak lesi

hyperechoic dengan posterior shadow multiple (3 buah), diameter + 1.08

cm.

Prostat :

Tampak membesar, ukuran + 4.10 x 4.74 x 4.20 cm, vol + 42.42

ml, tekstur homogen halus, tidak tampak massa atau kalsifikasi.

Kesan :

 Simple cyst dan nephrolithiasis ginjal kanan.

 Multiple vesikolithiasis.

 Pembesaran prostat ec. BPH

 USG ginjal kiri saat ini masih dalam batas normal.

D. RESUME

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit

Pertamina Bintang Amin Bandar Lampung diantar oleh keluarganya dengan

keluhan sulit buang air kecil (BAK) sejak 1 bulan terakhir disertai nyeri pada

saat BAK. BAK disertai darah disangkal. Pasien juga mengeluhkan mual

disertai muntah dengan frekuensi 8 kali sebelum masuk rumah sakit dan

pasien juga mengalami sakit kepala. Buang air besar (BAB) dalam batas

normal.

Pasien juga mengatakan bahwa 1 bulan sejak keluhan ini muncul

sudah melakukan pemasangan cateter 2 kali. Dari pemeriksaan fisik

20
didapatkan ukuran tanda vital yakni tekanan darah : 150/60 mmHg, Nadi : 84

kali/menit (lemah), Pernapasan : 24 kali/menit, Suhu: 36.8˚C.

E. DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis klinis : Benigna Hyperthropy Prostat

Diagnosis banding :

Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:

1. Struktur uretra

2. Batu buli-buli kecil

3. Kanker prostat

4. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang

menggunakan obat-obat parasimpatolitik.

Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :

1. Instabilitas detrusor

2. Infeksi saluran kemih

3. Prostatitis

4. Batu ureter distal

5. Batu vesika kecil

F. TERAPI

Terapi didapat dari IGD (dr. Trio)

- IVFD RL XX gtt/menit (Bloodset)

- Inj. Omeprazole 2x1

21
- Inj. Ondancentron 3x1

- Analsik tablet 3x1

- Sucralfat syr 3x1 c

- Neurodex tablet 1x1

G. PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia Ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

22
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan data-data yang didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan pasien menderita benigna

hyperthropy prostate.

ANAMNESIS

Dari data anamnesis yang didapat melalui auto-anamnesis dan allo-

anamnesis didapatkan keluhan berupa nyeri pada saat buang air kecil (BAK).

Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan ini.

Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang

tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah (Kumar dkk., 2007).

Gejala klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih

mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang,

kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi keragu-raguan dalam memulai

berkemih dan menetes diakhir berkemih. Disuria dan urgensi merupakan tanda

klinis iritasi kandung kemih (mungkin sebagai akibat peradangan atau tumor) dan

biasanya tidak terlihat pada hiperplasia prostat. Ketika residual pasca-miksi

bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow incontinence (Saputra, 2009).

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun

keluhan di luar saluran kemih, yaitu:

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

23
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala

voiding, storage, dan pasca-miksi. Untuk menilai tingkat keparahan dari

keluhan pada saluran kemih bagian bawah, beberapa ahli dan organisasi

urologi membuat sistem penilaian yang secara subjektif dapat diisi dan

dihitung sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor Internasional Gejala

Prostat atau International Prostatic Symptom Score (IPSS) (Purnomo,

2012).

Sistem penilaian IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan

dengan keluhan miksi dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan

kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan

miksi diberi nilai 0−5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup

diberi nilai 1−7. Dari skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS

dalam 3 derajat, yaitu ringan (skor 0−7), sedang (skor 8−19), dan berat (skor

20−35) (Purnomo, 2012).

24
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh beberapa

faktor pencetus, seperti volume kandung kemih tiba-tiba terisi penuh, yaitu

pada saat cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-

obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan

minum air dalam jumlah yang berlebihan, massa prostat tiba-tiba membesar,

yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat

akut, setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi

otot detrusor atau dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain: golongan

antikolinergik atau adrenergik alfa (Purnomo, 2012).

b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian

atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di

pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), dan demam yang

merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2012).

c. Gejala di luar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia

inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering

mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan

intra-abdominal (Purnomo, 2012).

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan

teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang-kadang

25
didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan

tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur yang diperhatikan adalah

tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan

buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan prostat, antara lain:

kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas antara

lobus dan batas prostat (Purnomo, 2012).

Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi

prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan

tidak didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat

keras atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri (Purnomo,

2012).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari pemeriksaan penunjang berupa USG lower abdomen yang

memberikan gambaran :

Ginjal Kanan :

Besar dan bentuk normal, kontur normal, parenkim normal, intensitas

gema normal, batas tekstur parenkim dengan central echo-complex normal,

tampak lesi hyperechoic dengan posterior acustic shadow, soliter, diameter + 0.62

cm, tampak lesi anechoic dengan posterior enhancement, lobulated, batas tegas,

regular, soliter, ukuran + 2.65 x 2.03 cm, sistem pelvokalises tidak melebar.

Ginjal Kiri :

26
Besar dan bentuk normal, parenskim normal, intensitas gema normal,

batas tekstur parenkim dengan cntral echo-complex normal, tidak tampak lesi

hyperechoic dengan posterior acustic shadow, tidak tampak masa, sistem

pelvokalises tidak melebar.

Vesika Urinaria :

Besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal, tampak lesi hyperechoic

dengan posterior shadow multiple (3 buah), diameter + 1.08 cm.

Prostat :

Tampak membesar, ukuran + 4.10 x 4.74 x 4.20 cm, vol + 42.42 ml,

tekstur homogen halus, tidak tampak massa atau kalsifikasi.

Kesan pada pemeriksaan USG tersebut adalah :

 Simple cyst dan nephrolithiasis ginjal kanan.

 Multiple vesikolithiasis.

 Pembesaran prostat ec. BPH

 USG ginjal kiri saat ini masih dalam batas normal.

Dari hasil gambaran radiologi thorax dapat disimpulkan pasien ini juga

menderita Benigna Hyperthrophy Prostate.

27
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)

menurut beberapa ahli adalah :

1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar

prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat

aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi

ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap

(Smeltzer dan Bare, 2002).

2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa

majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian

periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan

menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi

uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi

leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan

aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).

3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50

tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada

prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular,

pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan

obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).

28
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang

disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50

tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat

menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan

perkemihan.

B. Tahapan Perkembangan Penyakit BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan

De jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok

dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa

urin kurang dari 50 ml.

2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok

dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-100

ml.

3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas

prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.

4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

C. Anatomi dan Fisiologi Prostat

1. Anatomi Prostat

29
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak

dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah

proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian

distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital

yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat

terlihat di gambar 2.1.

Gambar 2.1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot

polos Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan

fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian

lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia prostatica

dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang

disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic

yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan

melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum

puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk

lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini

30
sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi

tindakan operasi prostat (Purnomo, 2011).

Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50

kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus

lateral, lobus anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak

di belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang

terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di

depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra,

bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos,

selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus

ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian

yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol

kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai

akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih

(Wibowo dan Paryana, 2009).

Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah

walnut atau buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm,

lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar

20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 -70 % jaringan

kelenjar, 30-50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan

kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2.2.

31
Gambar 2.2 : Bagian prostat (Hidayat, 2009)

Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan

parasimpatik dari pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang

menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan

simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik

meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan

rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam

uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik

memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher

buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.

Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut.

Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar

prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra

posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih

(Purnomo, 2011).

2. Fisiologi

32
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh

yang tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai

sifat endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap

estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap

androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang

mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang

sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat

dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada

pH 5.

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih

susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam

fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran

cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan

dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur

dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume

cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan

menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita,

dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan

melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk

kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat

ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume

ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat

melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan

33
pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan

sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan

prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi

dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma (Wibowo

dan Paryana, 2009).

D. Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti

etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi

menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar

dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan

mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila

perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik

anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar

50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun

sekiatr 100% (Purnomo, 2011).

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa

yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab

BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT),

teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor

interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel

(apoptosis), teori sel stem.

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

34
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang

sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis

hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron

(DHT) dalam sel prostat merupakan factor terjadinya penetrasi DHT

kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,

sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang

menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian

dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim

5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada

BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive

terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi

dibandingkan dengan prostat normal.

2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar

testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga

terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone

relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki

peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan

cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan

jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun

rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone

35
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang

lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.

3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak

langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang

disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi

dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor

yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin

dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu

menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma

dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien

dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh

adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah

mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar

prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang

selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh

sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada

jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel

dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai

pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan

36
yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel

prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan

jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat,

sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5. Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel

baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel

stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi

sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan

hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya

menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH

dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga

terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

37
E. Patofisiologi

Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa

majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian

periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan

menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri

dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-

beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga

perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada

tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-

buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan

merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan

destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor

menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi

untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin.

Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka

akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media

yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat

mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin

yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi

maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).

Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya

mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga

38
pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah

berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek

(nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami

perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih

/disuria ( Purnomo, 2011).

Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan

obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik

menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal

ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu

miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan

hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat

menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini

dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut

dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan

pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

F. Manifestasi Klinis

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih

maupun keluhan diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda

dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih bagian bawah,

gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

39
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan

dikandung

kemih sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai

miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus),

dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi).

b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin

miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas

berupa adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan

dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang

merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

3. Gejala diluar saluran kemih

Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis

atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan

pada saan miksi sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal.

Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada pasien BPH, pada

pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri

tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada

epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan

volume residual yang besar.

G. Penatalaksanaan

1. Observasi

40
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien

dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang

ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat

dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak

diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien

dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar

perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan

kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk

menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.

Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,

pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur

(Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut

Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin

dan pancaran urin:

a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin

dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi

atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.

b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara

menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi

berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang

menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

2. Terapi medikamentosa

41
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang

diberikan pada penderita BPH adalah :

a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot

berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra.

b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan

golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik).

c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone

testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,

menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa,

penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.

1) Penghambat adrenergenik alfa

Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,

doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a

(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin

adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik

karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa

merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-

reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher

vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah

prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi

dan laju pancaran urin.

42
Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars

prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala

berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan

dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang

mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada

obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu

dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,

dekongestan, obat- obat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih

dan sfingter uretra.

2) Pengahambat enzim 5 alfa reductase

Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5

mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT

sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini

bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya

hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih

diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28

% dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan

terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran

miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten

dan gangguan ejakulasi.

3) Fitofarmaka/fitoterapi

Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain

eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto,

43
serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian

selama 1-2 bulan dapat memperkecil volum prostat.

3. Terapi Bedah

Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk

dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi,

adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi

ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat.

Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada

beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)

intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka

dan pembedahan endourologi.

a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi

terbuka yang biasa digunakan adalah :

1) Prostatektomi suprapubic

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar

melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung

kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik

demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala

ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien

akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding

dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi

adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua

prosedur bedah abdomen mayor.

44
2) Prostatektomi perineal

Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar

melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih

praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada

periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi

karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.

Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah

inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.

3) Prostatektomi retropubik

Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan

cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat,

yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa

memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk

kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.

Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol

dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi

infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

Gambar. 2.3 Terapi Bedah (Smeltzer dan Bare, 2002)

45
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi

transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik

diantaranya :

1) Transurethral Prostatic Resection (TURP)

Merupakan tindakan operasi yang paling banyak

dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan

transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar

daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi

TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume

prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan

apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial

yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang

memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara

terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan

darah.

Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak

meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan

waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi

TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih,

spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya

perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).

2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

46
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH.

Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak

terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan

TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume

prostat normal/kecil (30 gram atau kurang).

Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan

instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi

dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi

tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi

uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa

mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan

Bare, 2002).

3) Terapi invasive minimal

Menurut Purnomo (2011) terapai invasive

minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi

terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal

diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy

(TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD),

Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra

(TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.

a. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),

jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di

beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara

47
pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro

yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui

transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika,

yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.

Alat yang dipakai antara lain prostat.

b. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada

tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran

kemih yang berada di prostat dengan menggunakan

balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini

efektif pada pasien dengan prostat kecil kurang dari

40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan

gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar,

sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.

48
c. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik

ini memakai energy dari frekuensi radio yang

menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius,

sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.

Pasien yang menjalani TUNA sering kali

mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang

terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).

d. Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang

dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi

obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu

supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga

urin leluasa melewati lumen uretra prostatika.

Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang

tidak mungkin menjalani operasi karena resiko

pembedahan yang cukup tinggi.

H. Komplikasi

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih

49
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus

berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi

menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika

meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat

terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah

keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila

terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada

waktu miksi pasien harus mengedan.

50
BAB V

KESIMPULAN

BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran

memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan

cara menutupi orifisium uretra.

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab

terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat

kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua.

Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40

tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan

patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya

sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90

tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011).

51
DAFTAR PUSTAKA

Anonim .2008. http://sciencephotolibrary.com/enlargement-prostate.jpg/ (26

agustus2011).

Argie D. 2008. Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostate

Hyperplasia).http://argie-health.blogspot.com/ (28 Febuari 2011).

Arif M. dkk. (eds). 2000. Bedah urologi. Dalam :Kapita Selekta Kedokteran.

Edisi3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. pp: 344-29.

As’ari M., Alif S., Santoso A., Wididi J. P. 2008. Hubungan antara

derajatintravesical prostatic protrusion dengan Q max, volume prostat,

dan internationalprostate symptom score pada pasien BPH dengan LUTS

tanpa komplikasi. Disertasi.

Bapat S. S., Punapatre S. S., Pai K.V., Yandav P., Padhye A., BodheY. G..2006.

doesestimation of prostate volume by abdominal ultrasonography vary

with bladdervolume: A prospective study with transrectal ultrasonography

as a reference. Indian JUrol.22:322-5.

Boer A. 2009. Ultrasonografi . Dalam: Ekayuda I. (ed). Radiologi Diagnostic.

Edisikedua. Jakarta: Balai penerbit FKUI, pp:453-7.

Carrol P. et al. 2009 .Prostate Spesific Antigen; 2009

Update.http://auanet.org/content/guidelines-and-quality-care/clinical-

guidelines/mainreports/psa09.pdf. (12 Maret 2011).

52
Citra B. D. 2009. Benigna Prostate Hyperplasia (BPH). http://www.files-of-

DrsMed.tk(10 Maret 2011).

Dwindra M., Israr Y. A. 2008. Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH)/

PembesaranProstat Jinak (PPJ).

http://yayanakhyar.wordpress.com/200b/04/25/benign-

prostatichyperplasia-bph-pembesaran-prostat-jinak-ppj (10 Maret 2011).

Foley, Stephen J et al. 2000. A prospective study of natural history of

hematuriaassociated with benigna prostatic hyperplasia and the effect of

finastride.http://www.bcm.edu/medpeds/articles_handout/bph.pdf. (28

Febuari 2011).

Goyal R., Dubey D., Mandhani A., Srivastava A., Kapoor R., Kumar

A.2006.uroflowmetry transrectal ultrasonography and power Doppler to

develop a lessinvasive bladder outlet obstruction score in benigna

prostatichyperplasia:Aprospective analysis.Indian J Urol.22:125-9.

Grace P. A. and Borley N. R. 2007. At A Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.

Jakarta:Erlangga, p:63.

Hardjowijoto S., Taher A. 2003. Pedoman Penatalaksanaan BPH di

Indonesia.http://iaui.or.id/ast/file/bph.pdf (18 Maret 2011).

Ilyas G., Budyatmoko B. 2005. Perkembangan Mutakhir Pencitraan

DiagnostikM(Diagnostic Imaging). Edisi Kedua. Jakarta:FKUI-RSCM, p:

12.

53
Irga. 2009. Benign Prostatic

Hyperplasia.http://www.irwanashari.com/2009/12/benign-prostatis-

hyperplasia.html (12 Maret2011).

Kumar V, Abbas A. K., Fausto N. 2005. Robbin’s and Cotran Pathologic Basic

andDisease. Philadelphia: Elsevier Saunders, p: 1048-51.

Lestariningsih. 2006. Hematuria. Dalam: A. W. Sudoyo, dkk (eds). Buku Ajar

IlmuPenyakit dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia, pp: 518-517.

LeveilleeR. J. 2009. Benign Prostate

Hyperplasia.http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. (12

Maret 2011).

Malueka, R. G (ed). 2008. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka

CendikiaPress, p:89.

Mettler F. A. 2000.Primary Care Radiology. Philadelphia: WB Saunders

Company,pp: 155-56.

Moore K. L,and Agur A. M. R. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:

Hipokrates,p:165.

Muruganandham K., Dubey D., Kapoor R. 2007. Acute urinary retention in

benignprostatic hyperplasia; risk factors and current management. Indian J

Urol. 23: 347-53.

54
Nickel J.C. 2008. Inflammation and benign prostatic hyperplasia. Urol Clin

NorthAm. 35(1): 109-15.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta :

RinekaCipta pp. 92, 79.

Patel P.R. 2007. Lecture Notes: Radiologi. edisi kedua. Jakarta: Erlangga, p:

7;189.

Purnomo B. B. 2008. Dasar-dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto,

pp:78.

Sastroasmoro S., Ismael S. 2008. Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis.

Edisiketiga. Jakarta: Sagung Seto

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC, p:705.

Sjamsuhidajat R. (ed). 2005. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC, pp: 782-5.

Soebhali B. dkk. 2009. Hubungan TGF-β1 dan estrogen dengan volume prostat

padapasien BPH, pasien tua non BPH dan pasien muda.

http://urologi.or.id/pdf/4.pdf. (28Febuari 2011).

Soetapa H., Djatisoesanto W., Soebadi D. M. 2006. Pengukuran volume

prostatpasien BPH menggunakan colok dubur dan USG transrektal dengan

operator yangsama dibandingkan dengan pengukuran volume prostat

menggunakan TAUS denganoperator yang berbeda. JURI. 14. 34-9.

Sugiyono, 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbit CV Alfabeta, p 62

55
Weinberg K. and Yee J. 2004. Hematuria . In: Henningsen C. Clinical Guide

toUltrasonography. Unites State of America: Mosby ,pp: 59-60.

Wilson L. M., Hillegas K. B. 2005. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-laki.

Dalam:

S.A. Price dan L. M. Wilson (eds). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

prosesPenyakit. Alih bahasa :Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta: EGC,p:1320.

56

Anda mungkin juga menyukai