Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa", secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik (hilang
kesadaran), Analgetik (hilang perasaan sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible. Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior
kandung kemih, di sebelah superior diafragma urogenital, di depan rektum dan
membungkus uretra pars prostatika. Prostat merupakan kelenjar yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur
hidup. Prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra
pars prostatika. Prostat mempunyai panjang kurang lebih 3cm dan berat normal
kurang lebih 20gram. Prostat dapat teraba pada pemeriksaan rectal toucher.
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, kemungkinan karena faktor
umur dan hormone androgen.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetehui defenisi, klasifikasi, etiologi, diagnosis dan tatalaksana
pada kasus BPH.
2. Mempelajari dasar-dasar teknik anastesi yang digunakan pada kasus BPH.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Prostat

Prostat adalah organ genital yang hanya di temukan pada pria karena
merupakan penghasil cairan semen yang hanya dihasilkan oleh pria. Prostat
berbentuk piramid, tersusun atas jaringan fibromuskular yang mengandung
kelenjar. Prostat pada umumnya memiliki ukuran dengan panjang 1,25 inci atau
kira – kira 3 cm, mengelilingi uretra pria.

2
Dalam hubungannya dengan organ lain, batas atas prostat bersambung
dengan leher bladder atau kandung kemih. Di dalam prostat didapati uretra.
Sedangkan batas bawah prostat yakni ujung prostat bermuara ke eksternal spinkter
bladder yang terbentang diantara lapisan peritoneal. Pada bagian depannya
terdapat simfisis pubis yang dipisahkan oleh lapisan ekstraperitoneal. Lapisan
tersebut dinamakan cave of Retzius atau ruangan retropubik. Bagian belakangnya
dekat dengan rectum, dipisahkan oleh fascia Denonvilliers.
Prostat memiliki lapisan pembungkus yang di sebut dengan kapsul. Kapsul
ini terdiri dari 2 lapisan yaitu :
1. True capsule : lapisan fibrosa tipis pada bagian luar prostat
2. False capsule : lapisan ekstraperitoneal yang saling bersambung, menyelimuti
bladder atau kandung kemih. Sedangkan Fascia Denonvilliers berada pada bagian
belakang.

2.2 Histologi Prostat

Prostat merupakan suatu kumpulan kelanjar yang terdiri dari 30 - 50


kelenjar tubuloalveolar, dibentuk dari epitel bertingkat silindris atau kuboid yang
bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika, menembus
prostat. Secara histologi, prostat memiliki 3 zona yang berbeda yaitu:
1. Zona sentral
2. Zona perifer
3. Zona transisional

3
Benign Prostate Hyperplasia

2.3 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah
pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat
jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya
dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun.

2.4 Etiologi

BPH adalah tumor jinak pada pria yang paling sering ditemukan. Pria
berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%. Ketika
berusia 80–85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%. Beberapa teori
telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan
usia, di antaranya:
1. Teori DHT (dihidrotestosteron). Testosteron dengan bantuan enzim 5-a
reduktase dikonversi menjadi DHT yang merangsang pertumbuhan kelenjar
prostat.
2. Teori Reawakening. Teori ini berdasarkan kemampuan stroma untuk
merangsang pertumbuhan epitel.

4
3. Teori stem cell hypotesis. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying.
Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara
mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
4. Teori growth factors. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di
bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth
factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya
penurunan ekspresi transforming growth factor-b (TGF-b), akan
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan
menghasilkan pembesaran prostat.

2.5 Patologi

Perubahan paling awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar


verumontanum. Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler,
nodul asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa. Hiperplasia glandular terjadi
berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia stroma. Kelenjar-kelenjar
biasanya besar dan terdiri atas tall columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan proses keganasan.
Proses patologis lainnya adalah penimbunan jaringan kolagen dan elastin di
antara otot polos yang berakibat melemahnya kontraksi otot. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hipersensitivitas pasca fungsional, ketidakseimbangan
neurotransmiter, dan penurunan input sensorik, sehingga otot detrusor tidak stabil.

2.6 Patofisiologi

BPH adalah perbesaran kronis dari prostat pada usia lanjut yang berkorelasi
dengan pertambahan umur. Perubahan yang terjadi berjalan lambat dan
perbesaran ini bersifat lunak dan tidak memberikan gangguan yang berarti. Tetapi,
dalam banyak hal dengan berbagai faktor pembesaran ini menekan uretra
sedemikian rupa sehingga dapat terjadi sumbatan partial ataupun komplit.

5
2.7 Gejala dan Tanda BPH

Gejala Klinis
Gejala pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama,
gejala iritatif, terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk
buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali
(nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Kedua, gejala
obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa
kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil
(hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil
terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang
akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow.

6
Tanda Klinis
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada
pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination (DRE). Pada BPH, prostat
teraba membesar dengan konsistensi kenyal.

7
2.8 Diagnosa BPH
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan
tanda obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk
merasakan/meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya
pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan
(menunjukkan adanya infeksi).
Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi
ginjal dan untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik
prostat atau PSA). Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%.
Jika terjadi peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostat.

2.9 Penatalaksanaan BPH


 Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan.
Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.
 Terapi Medikamentosa
 Terapi Bedah Konvensional
Open simple prostatectomy. Indikasi untuk melakukan tindakan ini
adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100g, atau bila disertai
divertikulum atau batu buli-buli.
 Terapi Invasif Minimal
1. Transurethral resection of the prostate (TUR-P). Menghilangkan bagian
adenomatosa dari prostat yang menimbulkan obstruksi dengan
menggunakan resektoskop dan elektrokauter.
2. Transurethral incision of the prostate (TUIP). Dilakukan terhadap
penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran prostat
kecil.
 Terapi laser

8
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP)
yang dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual
laser ablation of the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy.
 Terapi alat
1. Microwave hyperthermia. Memanaskan jaringan adenoma melalui alat
yang dimasukkan melalui uretra atau rektum sampai suhu 42-45C
sehingga diharapkan terjadi koagulasi.
2. Trans urethral needle ablation (TUNA). Alat yang dimasukkan melalui
uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang
dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi
koagulasi sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.
3. High intensity focused ultrasound (HIFU). Melalui probe yang
ditempatkan di rektum yang memancarkan energi ultrasound dengan
intensitas tinggi dan terfokus.
4. Intraurethral stent. Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di
fosa prostatika untuk mempertahankan lumen uretra tetap terbuka.
5. Transurethral baloon dilatation. Dilakukan dengan memasukkan kateter
yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung kemih.

2.10 Prognosa BPH


Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak
segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi
kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh
nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga
menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.

9
2.11 Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846
yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran pasien. Anestesi yang sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias
Anestesi), yaitu :
 Hipnotik, hilang kesadaran
 Analgetik, hilang perasaan sakit
 Relaksan, relaksasi otot-otot

2.12 Anestesi Umum


Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan dimana
hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di seluruh tubuh
akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat reversible.Anestesi umum
dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan intramuskular.

Indikasi anestesi umum :


a. Pada bayi dan anak-anak
b. Pembedahan pada orang dewasa di mana anestesi umum lebih disukai oleh
ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
c. Operasi besar
d. Pasien dengan gangguan mental
e. Pembedahan yang lama
f. Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
g. Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Teknik anestesi umum ada 3, yaitu :

10
a. Anestesi umum intravena
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena.
b. Anestesi umum inhalasi
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap dengan obat-obat pilihan yaitu N2O, Halotan, Enfluran,
Isofluran, Sevofluran, Desfluran dengan kategori menggunakan sungkup
muka, Endotrakeal Tube nafas spontan, Endotrakeal tube nafas terkontrol.
c. Anestesi berimbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan
baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi
secara optimal dan berimbang.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-


anestesi.Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas.

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang

11
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai.Pemeriksaan laboratorium
rutin yang sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb,
leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien
yang berusia di atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks
dan EKG.
d. Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.

2.13 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

12
 Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi rasa sakit
 Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
 Menurunkan basal metabolisme tubuh
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan
keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam
sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi
jika anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Yang
banyak digunakan:
Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, IM

- Petidin 1,0 mg/kgbb, IM

Sedatif : - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/IM

- Pentobarbital 3 mg/kgbb/oral atau 1,5 mg/kgbb, IM

- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral


Anak
- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb

Antikolinergik : - Atropin 0,02 mg/kgbb, IM atau IV pada saat induks

maksimal 0,5 mg

Antasida : - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan

2 jam sebelum operasi

- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi

- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

13
Sebelum induksi anastesi
Sebelum memulai, periksalah jadwal pasien dengan teliti.Tanggung jawab
untuk pemeriksaan ulang ini berada pada ahli bedah dan ahli anatesi. Periksalah
apakah pasien sudah dipersiapkan untuk operasi dan tidak makan/minum
sekurang-kurangnya 6 jam sebelumnya, meskipun bayi yang masih menyusui
hanya dipuasakan 3 jam (untuk induksi anastesi pada operasi darurat, lambung
mungkin penuh). Ukurlah nadi dan tekanan darah dan buatlah pasien relaks sebisa
mungkin. Asisten yang membantu induksi harus terlatih dan berpengalaman.
Jangan menginduksi pasien sendirian saja tanpa asisten.

Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksa dan bergantung pada alat anastesi yang sering
digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan.Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan aliran
infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.

14
2.14 Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik.
Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata STATICS:
S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-Scope,
pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang
T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed)
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut
I = Introducer
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi
S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

 Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan.Induksi intravena

15
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan lembut dan
terkendali.Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60
detik.Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan
nyeri.Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis
tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan
dosis 2-3 mg/kgBB.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB.Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedative seperti midazolam.Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah >160 mmHg).Ketamin menyebabkan
pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
 Induksi Intamuskular
Sampai sekarang hanya ketamine yang dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
 Induksi inhalasi
Teknik ini merupakan pilihan bila jalan napas pasien sulit ditangani.Jika
induksi intravena, pada pasien seperti itu dapat menimbulkan kematian akibat
hipoksia jika kita tidak dapat mengembangkan paru.Sebaliknya, induksi inhalasi
hanya dapat dilakukan apabila jalan napas bersih sehingga obat anestesi dapat
masuk. Jika jalan napas tersumbat, maka obat anestesi tidak dapat masuk dan
anestesi didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga anestesi akan dangkal. Jika hal
ini terjadi, bersihkan jalan napas.Induksi inhalasi juga digunakan untuk anak-anak
yang takut pada jarum.
 Intubasi Endotrakeal

16
Yang dimaksud dengan intubasi endotrakeal ialah memasukkan pipa
pernafasan yang terbuat dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan
penderita atau waktu memberikan anestesi secara inhalasi.

Indikasi intubasi endotrakeal :

 Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun


 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
 Operasi-operasi pada kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan
 Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan
tak ada ketegangan
 Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol
 Untuk mencegah kontaminasi trakea
 Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal dengan
pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster
 Pada pasien-pasien yang mudah timbul laringospasme
 Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord.

Keberhasilan intubasi tergantung pada 3 hal penting yaitu :

a. Anestesi yang adekuat dan relaksasi otot-otot kepala, leher dan laring yang
cukup
b. Posisi kepala dan leher yang tepat
c. Penggunaan apparatus yang tepat untuk prosedur tersebut

Alat-alat yang digunakan dalam intubasi endotrakeal :

1. Pipa endotrakea

Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea dan


biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.Ukuran diameter lubang
pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan
dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil di bawah usia

17
5 tahun hampir bulat sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan
anak kecil digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff
supaya tidak bocor. Pipa endotrakea dapat dimasukkan melalui mulut atau
melalui hidung.

Endotracheal Tube

Cara memilih pipa endotrakea untuk bayi dan anak kecil :


a. Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4 + ¼ umur (thn)
b. Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
c. Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (thn)

2. Laringoskop

18
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.Laringoskop ialah alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar.
Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop :
 Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)
 Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Laringoskop

Penilaian Mallampati
Dalam anestesi, skor Mallampati digunakan untuk memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini ditentukan dengan melihat anatomi rongga mulut,
khusus, itu didasarkan pada visibilitas dasar uvula, pilar faucial. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 grade:
1. Grade I : Pilar faring, uvula dan palatum mole terlihat jelas
2. Grade II : Uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar faring tidak
terlihat
3. Grade III : Hanya palatum mole yang terlihat
4. Grade IV : Pilar faring, uvula dan palatum mole tidak terlihat.

19
Grade Mallampati

Kesulitan dalam teknik intubasi:1


a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap
b. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
c. Gigi incisivum atas yang menonjol (rabbit teeth)
d. Kesulitan membuka mulut
e. Uvula tidak terlihat (mallampati 3 dan 4)
f. Abnormalitas pada daerah servikal
g. Kontraktur jaringan leher

2.15 Obat-Obat Anestesi Umum


Obat-obat yang sering digunakan dalam anestesi umum adalah:
1. Gas Anestesi
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan untuk
praktek klinik ialah N2O, Halotan, Enfluran, Isofluran, Desfluran, dan Sevofluran.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi sangat rumit, sehingga masih menjadi
misteri dalam farmakologi modern.

Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh sifat
fisiknya :

20
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya.
Berikut adalah jenis gas anestetik inhalasi, diantaranya:
 N2O
N2O merupakan salah satu gas anestetim yag tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar, dan pemberian anestesi dengan N2O harus disertai oksigen
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada akhir
anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk
menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan oksigen 100% selama 5-10 menit.
 Halotan
Halotan merupakan gas yang baunya enak dan tak merangsang jalan
napas, maka sering digunakan sebagai induksi anestesi kombinasi dengan
N2O.Halotan merupakan anestetik kuat dengan efek analgesia lemah, dimana
induksi dan tahapan anestesi dilalui dengan mulus, bahkan pasien akan segera
bangun setelah anestetik dihentikan. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar
1-2 vol% dan pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang tentunya disesuaikan
dengan klinis pasien.
 Isofluran
Isofluran berbau tajam, kadar obat yang tinggi dalam udara inspirasi
menyebabkan pasien menahan napas dan batuk. Setelah premedikasi, induksi
dicapai dalam kurang dari 10 menit, di mana umumnya digunakan barbiturat
intravena untuk mempercepat induksi.Tanda untuk mengamati kedalaman anestesi
adalah penurunan tekanan darah, volume dan frekuensi napas, serta peningkatan
frekuensi denyut jantung. Menurunkan laju metabolisme pada otak terhadap
oksigen, tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.

 Desfluran

21
Merupakan cairan yang mudah terbakar tapi tidak mudah meledak, bersifat
absorben dan tidak korosif untuk logam.Karena sukar menguap, dibutuhkan
vaporiser khusus untuk desfluran.Desfluran lebih digunakan untuk prosedur bedah
singkat atau bedah rawat jalan.
Desfluran bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, spasme laring,
sesak napas, sehingga tidak digunakan untuk induksi. Desfluran bersifat ¼ kali
lebih poten dibanding agen anestetik inhalasi lain, tapi 17 kali lebih poten
dibanding N2O.
 Sevofluran
Sama halnya dengan desfluran, sevofluran terhalogenisasi dengan fluorin.
Peningkatan kadar alveolar yang cepat membuatnya menajdi pilihan yang tepat
untuk induksi inhalasi yang cepat dan mulus untuk pasien anak maupun dewasa.
Induksi inhalasi 4-8% sevofluran dalam 50% kombinasi N2O dan oksigen dapat
dicapai dalam 1-3 menit.Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan.Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dieliminasi dari tubuh.
2. Obat-obat Anestesi Intravena
Yang dimaksud dengan intravenous anestesi adalah anestesi yang
diberikan dengan cara suntikan zat (obat) anestesi melalui vena.
a. Hipnosis
1. Golongan barbiturat (pentotal)
 Suatu larutan alkali dengan kerja hipnotiknya kuat sekali dan induksinya
cepat (30-40 detik) dengan suntikan intravena tetapi dalam waktu singkat
kerjanya habis, seperti zat anestesi inhalasi, barbiturat ini menyebabkan
kehilangan kesadaran dengan jalan memblok kontrol brainstem
 Cara pemberiannya dimulai dengan test dose 25-75 mg, kemudian sebagai
induksi diteruskan dengan pemberian 150-300 mg selang waktu pemberian
15-20 detik (untuk orang dewasa)

2. Benzodiazepin

22
Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat
toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang
lebar, dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah
banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitoring anestesi.
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric
acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak
mengaktifkan reseptor GABA A melainkan meningkatkan kepekaan reseptor
GABA A terhadap neurotransmitter penghambat. Dosis : Diazepam : induksi 0,2
– 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45 mg/kg IV.
 Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak bewarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml= 10 mg). Suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya
diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0.2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.Pada
manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 thn dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan.
 Ketamin
Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestestik dan kataleptik dengan
kerja singkat.Efek anestesinya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran
dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-
aspartat.Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah
untuk sistem viseral.Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan
kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.Dosis ketamin adalah 1-2 mg/kgBB
IV atau 3-10 mg/kgBB IM.Anestesi dengan ketamin diawali dengan terjadinya
disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi.Keadaan ini
dikenal sebagai anestesi disosiatif.Disosiasi ini sering disertai keadaan
kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai

23
spontan, peningkatan tonus otot.Kesadaran segera pulih setelah 10-15 menit,
analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai
1-2 jam.

b. Analgetik
 Morfin
Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif,
yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa
getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahakan persepsi nyeripun tidak
selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.
Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin
meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaharui
emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri
pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3)
morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri
meningkat.
Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena
dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.
 Fentanil
Dosis fentanyl adalah 2-5 mcg/kgBB IV.Fentanyl merupakan opioid
sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ.
Fentanyl banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai
puncak analgesia lebih singkat, efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang
diberikan secara bolus, dan relatif kurang mempengaruhi kardiovaskular.
 Meridipin
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih
pendek daripada morfin.Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan

24
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena
menyebabkan depresi nafas pada janin.
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian
besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan
anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

c. Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)


Obat pelumpuh otot adalah obat/ zat anestesi yang diberikan kepada pasien
secara intramuskular atau intravena yang bertujuan untuk mencapai relaksasi dari
otot-otot rangka dan memudahkan dilakukannya operasi.
1. Pelumpuh otot depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah saraf
otot tidak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di celah
sipnatik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul
relaksasi otot lurik.Yang termasuk golongan ini adalah suksinilkolin, dengan
dosis 1-2 mg/kgBB IV.
2. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Pelumpuh otot non-depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi
asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Dosis Durasi
(mg/kgBB) (menit)
Long Acting
1. D-tubokurarin 0,4-0,6 30-60
2. Pankuronium 0,08-0,12 30-60
3. Metakurin 0,2-0,4 40-60
4. Pipekuronium 0,05-0,12 40-60
5. Doksakurium 0,02-0,08 45-60
6. Alkurium 0,15-0,3 40-60

25
Intermediate Acting
 Gallamin 4-6 30-60
 Atrakurium 0,5-0,6 20-45
 Vekuronium 0,1-0,2 25-45
 Rokuronium 0,6-1,2 30-60
 Cistacuronium 0,15-0,2 30-45
Short Acting
a. Mivakurium 0,2-0,25 10-15
b. Ropacuronium 1,5-2 15-30

Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian
terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke
ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).

Nilai Warna
1. Merah muda, 2
2. Pucat, 1
3. Sianosis, 0

Pernapasan
1. Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
2. Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
3. Apnoea atau obstruksi, 0

Sirkulasi
1. Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
2. Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1

26
3. Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
1. Sadar, siaga dan orientasi, 2
2. Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
3. Tidak berespons, 0

Aktivitas
1. Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
2. Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
3. Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan

2.16 Perawatan Pasien Pasca Bedah


Sebagai ahli anastesi, anda bertanggung jawab terhadap perawatan pasien
pada saat pemulihan.Lakukan observasi dengan mengukur nadi, tekanan darah
dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal
dan perdarahan yang berlanjut. Pada jam pertama setelah anestesi , merupakan
saat yang paling berbahaya bagi pasien.
Reflek perlindungan jalan napas masih tertekan, walaupun pasien tampak
sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernapasan.
Nyeri pada luka khususnya pada thoraks dan abdomen bagian atas, akan
menghambat pasien untuk mengambil napas dalam atau batuk.
Ini dapat menyebabkan berkembangnya infeksi di dada atau kolaps dasar
paru dengan hipoksia lebih lanjut. Pasien yg masih belum sadar betul, sebaiknya
dibaringkan dalam posisi miring, tetapi pasien dengan insisi abdomen, bila sudah
benar-benar sadar , biasanya pernafasannya lebih enak dalam keadaan duduk atau
bersandar. Oksigen harus selalu diberikan secara rutin pada pasien yang sakit dan
pasien yg menjalani operasi yang lama. Cara yang paling ekonomis untuk
memberikan oksigen selama masa pemulihan adalah melalui kateter nasofaring
lunak 0,5-1 L/menit, yang akan menghasilkan udara inspirasi dengan konsistensi

27
oksigen 30-40%. Jika dibutuhkan analgetik kuat, misalnya opium, berikan dosis
pertama secara intravena, sehingga anda dapat menghitung dosis yg diperlukan
untuk melawan rasa sakit dan juga bisa mengobservasi bila terjadi depresi
pernapasan.Bila dibutuhkan, dosis intravena tersebut kemudian dapat diberikan
secara intramuskular.
Tempat pemulihan
Tempat yang terbaik untuk masa pemulihan adalah kamar operasi itu
sendiri, di mana semua peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk resusitasi
tersedia.Akan tetapi biasanya pasien dipindahkan ke ruang pemulihan, sehingga
kamar operasi dapat dibersihkan dan digunakan untuk operasi berikutnya.Ruang
pemulihan harus bersih, dekat dengan kamar operasi sehingga anda bisa cepat
melihat pasien bila terjadi sesuatu.Alat penghisap harus selalu tersedia, juga
oksigen dan peralatan resusitasi.Pasien yang tidak sadar jangan dikirim ke
bangsal.
Sebelum pasien meninggalkan ruang pemulihan, kita harus melakukan
penilaian sebagai berikut :
 Apakan warna (membrane mukosa, kulit dan lain-lain)pasien baik jika
bernapas?
 Apakah pasien bisa batuk dan mempertahankan jalan napas yang lapang ?
 Apakah ada obstruksi atau spasme laring ?
 Apakah pasien bisa mengangkat kepala minimal 3 detik ?
 Apakah frekuensi nadi dan tekanan darah pasien stabil ?
 Apakah tangan dan kaki pasien hangat dan perfusinya baik ?
 Apakah produksi urin baik ?
 Apakah rasa sakit masih terkontrol, apakah sudah diberikan analgetik dan
cairan?
2.17 Kunjungan pasca bedah dan pencatatan

Kita harus selalu mengunjungi pasien paska bedah di ruangan selama


pemulihan, untuk melihat apakah perlu terapi selanjutnya selama pemulihan

28
terhadap efek obat-obat anestesi. Buatlah pencatatan teknik yang digunakan dan
setiap komplikasi yang terjadi.

29
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
 Nama : Wahad
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Umur : 85 tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Jl. Siringo-ringo Gg Sepakat No.6
 Pekerjaan : Pensiun PNS
 Status Perkawinan : Menikah
 No RM : 30 90 73

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Tidak bisa buang air kecil
Telaah : Seorang pasien datang ke Rumah Sakit Haji
Medan dengan keluhan sulit BAK sejak ± 4 bulan SMRS . Kadang-kadang
harus mengejan saat BAK, tidak dapat menahan keinginan untuk BAK dan
merasakan pancaran urin lemah. Pasien juga tidak lampias dan pancaran
air kencing terputus-putus serta perlu waktu lama saat BAK. Riwayat
BAK batu (-), pasir (-), merah (-), pancaran BAK bercabang (-).
 RPT : (-)
 RPO : (-)
 RPK : (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis

30
 Tekanan Darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 82x/menit
 RR : 24 x/menit
 Suhu : 36,5oC
 Tinggi Badan : 160 cm
 Berat Badan : 50 kg

Pemeriksaan Umum
 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (kembali cepat)
 Kepala : Normocepali
 Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Edema palpebra (-/-)
 Hidung : Hidung luar: Bentuk (Normal), hiperemis (-),
Nyeri tekan (-), Deformitas (-).
 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
 Leher : Massa (-), pembesaran KGB (-)

Thorax
Jantung
 Inspeksi : tidak ditemukan kelainan
 Palpasi : iktus (tidak teraba)
 Perkusi : - Batas Jantung
 Atas: ICS II parasternalis sinistra
 Kanan: ICS II linea parasternalis dextra
 Kiri: ICS V linea midklavikula sinistra
 Auskultasi : Dalam batas normal
Paru
 Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
abdominotorakal, retraksi costae (-/-)
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

31
 Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru

Abdomen
 Inspeksi : Datar, Simetris
 Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : Nyeri Ketok (-)
 Auskultasi : Peristaltik (5x/ menit)
 Ekstremitas : Edema (-/-)

Ekstremitas
 Superior : Edema -/- Fraktur -/-
 Inferior : Edema -/- Fraktur -/-

Genitalia :tidak dilakukan pemeriksaan

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium:
Darah Rutin
 Hb : 14,2 g/dl
 Ht : 45,8 %
 Eritrosit : 4,8 x 106 /µL
 Leukosit : 10.700 / µL
 Trombosit : 185.000 /µL
Faal Hati
SGOT : 19 U/I
SGPT : 20 U/I
Metabolik
 KGDs : 110 mg/dl
Fungsi Ginjal
 Ureum : 23 mg/dl

32
 Kreatinin : 1,36 mg/dl

5. Resume
Wahad 85 tahun, dengan keluhan sulit BAK dirasakan sejak ± 4 bulan
SMRS . Kadang-kadang harus mengejan saat BAK, tidak dapat menahan
keinginan untuk BAK dan merasakan pancaran urin lemah. Pasien juga tidak
lampias dan pancaran air kencing terputus-putus serta perlu waktu lama saat
BAK. Riwayat BAK batu (-), pasir (-), merah (-), pancaran BAK bercabang (-).

6. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : TUR - Prostat
 Anesthesi : RA - SAB
 PS-ASA : II
 Posisi : Supinasi
 Pernapasan : Spontan, nasal kanul 4L

7. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 24x/menit
 SP : Vesikuler ka=ki
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
 Akral : Hangat/Merah/Lembab
 TD : 120/70 mmHg
 HR : 82x/menit

33
B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis, GCS= 15
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
 Urine Output : +
 Kateter : terpasang kateter
B5 (Bowel)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : Normal (+)
 Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
 Oedem : (-)

8. PERSIAPAN OBAT GA-ETT


Premedikasi
 Midazolam 3 mg
 Fentanyl 100 mcg
Medikasi
 Propofol : 150 mg
 Atracurium : 40 mg
Sebelum tindakan ekstubasi
 Prostigmin + Atropine (3:3)
15 menit setelah operasi selesai
 Ketorolac 30 mg
 Ranitidin 50 mg
Pernapasan
O2 : 4 L/menit
N2O :-
Sevoflurane : pemberian awal 1,5% dan dilanjutkan dengan dosis 1%

34
Jumlah Cairan
 PO : RL 200 cc
 DO : RL 500 cc
Perdarahan
 Kasa Basah : 10 x 10 = 100 cc
 Kasa 1/2 basah :5x5 = 25 cc
 Suction : 50 cc
 Jumlah : 175 cc
 EBV : 70 x 75 = 5250 cc
 EBL 10 % = 525 cc
20 % = 1050 cc
30 % = 1575 cc

Durasi Operatif
 Lama Anestesi = 09.35 – selesai
 Lama Operasi = 09.25 – 12.45 WIB

Teknik Anastesi : GA-ETT


 Premedikasi dengan Inj. Midazolam 3 mg dan Inj. Fentanyl 100 mcg →
Induksi: Propofol 150 mg → Sleep non apnoe → Inj. Atracurium 40 mg
→ Sleep apnoe → Oksigenasi dengan O2 5-10 menit sampai saturasi 99%
Insersi ETT no. 7,5 → cuff (+)→ SP kanan = kiri → fiksasi.
Preoksigenasi → pernafasan terkontrol dengan Ventilator dan saturasi >
95%.

9. POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 12.45 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau setiap 15 menit selama 2 jam.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9

35
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI


 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
istirahat selama 24 jam, makan dan minum sedikit demi sedikit apabila
pasien sudah sadar penuh dan peristaltik normal.

10. TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 38 gtt/menit
 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltik (+) dan kembali
dalam frekuensi yang normal
 Inj. Ketorolac 30 mg/8jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/12jam
 Inj. Ondansetron 4 mg/10 jam

36
BAB IV

KESIMPULAN

1. Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan.
Umumnya sebagian besar polip ini berasal dari celah kompleks
osteomearal (KOM) yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.
2. Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada
pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal .
3. Teknik anestesi yang paling sering digunakan untuk membantu berjalanya
proses operasi adalah dengan menggunakan General Anestesi terutama GA-
ETT.

37

Anda mungkin juga menyukai