Anda di halaman 1dari 13

Tetanus pada Bekas Jahitan Luka

Masitah binti Omar

Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi : Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510

Email: drmasyi92@gmail.com

1. Pendahuluan

Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya ―meregang‖.Penyakit initelah dikenal
sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrateskemudian
mendeskripsikan tetanus sebagai ―penderitaan manusia yang tiada akhir‖.Pada tahun 1884
Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci denganmenginjeksi nervus
skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yangsama, Nicolaier berhasil
menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikantanah. Pada tahun 1889 Kitasato
berhasil mengisolasi C. Tetani dari manusia pada kulturmurni dan membuktikan bahwa
organisme tersebut menimbulkan penyakit apabiladiinjeksikan pada hewan. Kitasato juga
melaporkan bahwa toksin C. Tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk
oleh tubuh. Nocard kemudianmembuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara
pasif pada tahun 1897.Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus
selama PerangDunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus
toksoid padatahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II.

2. Anamnesis

Anamnesis merupakan langkah pertama yang akan diambil oleh seorang dokter apabila
bertemu dengan pasien. Anamnesis sangat penting untuk mengetahui keluhan utama pasien
datang ke dokter untuk menerima rawatan. Daripada anamanesis, dokter akan mengetahui
penyakit yang pasien hadapi sekarang dan punca keluhan tersebut. Sebelum itu dokter akan
mengambil identitas mengenai pasien. Melalui pengambilan identitasnya, dokter boleh
menghubungkan latar belakang hidup pasien dan penyakit yang dihidapinya. Contohnya, jika
pasien baru berpindah dari tempat asal yang tinggi malaria seperti di Papua atau sosial
ekonomi menggambarkan penyakit yang berkait dengan kasus kurang gizi, malnutrisi atau
busung lapar.
Antaranya:

a) Nama lengkap
b) Tempat dan tanggal lahir
c) Status perkahwinan
d) Pekerjaan
e) Jenis kelamin
f) Suku bangsa
g) Agama
h) Pendidikan
i) Alamat tempat tinggal

Kemudian, anamnesis dilanjutkan dengan menanyakan keluhan utama. Dokter akan bertanya
tempoh terjadinya keluhan tersebut. Anamnesis dilanjutkan dengan menanyakan riwayat
penyakit sekarang (RPS) yaitu riwayat perjalanan penyakit secara kronologis dari awal
terkena sehingga makin berat sehingga sampai pada keluhan utama.

Antaranya:

a) Onsetnya , kapan mulai gangguan tersebut


b) Frekuensi serangan
c) Sifat serangan , akut/kronik/intermitten
d) Durasinya, lama menderitanya
e) Sifat sakitnya
f) Lokasi sakitnya
g) Perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
h) Hubungan dengan fungsi fisiologis yang lain
i) Akibat yang timbul daripada penyakit

Selepas itu, diikuti dengan riwayat kesihatan dahulu kemungkinan adanya riwayat penyakit
sebelumnya yang terkait dengan penyakit yang dihadapi pasien sekarang. Dokter juga akan
menanyakan riwayat penyakit keluarga. Melaluinya, dokter dapat mengetahui jika terdapat
penyakit yang diwarisi dari keluarga pasien.
3. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif. Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa
oksigen (anaerob) dan membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan
panas, antiseptic dan jaringan tubuh sampai berbulan-bulan. Kuman ini dapat dijumpai pada tinja
binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja
binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi
luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh
penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. Port of entry tak selalu
dapat diketahui dengan pasti namun dapat diduga melalui:

a) Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.


b) Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.
c) OMP caries gigi.
d) Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
e) Penjahitan luka robek yang tidak steril.

Infeksi nosokomial atau hospital acquired infection adalah infeksi yang dialami oleh pasien
setelah perawatan selama dua kali 24 jam atau lebih dengan kondisi pasien tidak sedang
dalam masa inkubasi atau infeksi yang terjadi pada petugas kesehatan akibat kerja di rumah
sakit.Terdapat istilah baru untuk infeksi nosokomial, yaitu healthcare-associated infections
(HAIs). Sumber infeksi pada bakteri di alam, sifat tubuh manusia yang tidak steril, flora
normal yaitu bakteri yang tumbuh pada manusia tanpa menimbulkan penyakit dan berbeda
bagi tiap manusia, dan benda di lingkungan rumah sakit terkontaminasi dengan kuman dari
pasien atau tangan petugas kesehatan. Terdapat beberapa tipe HAIs yaitu: Infeksi traktus
urinarius (33%),pneumonia (15%) ,infeksi luka operasi (15%) dan infeksi aliran darah (13%)

4. Epidemologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia. Kasus tetanus yang dilaporkan di Amerika Serikat tetanus
tersebar luas. Spora secara luas tersebar pada tanah dan feses hewan. Tetanus spora atau toxin
dapat mengkontaminasi berbagai produk biologis dan peralatan operasi, seperti vaksin, serum
dan catgut. Seseorang yang tidak diimunisasi, berapapun umur atau apapun jenis kelaminnya,
memiliki probabilitas yang sama untuk terinfeksi. Walaupun C.tetani tersebar dimana-mana,
tetanus termasuk penyakit yang jarang terjadi, namun NT masih merupakan masalah serius
pada negara-negara berkembang, dimana tetanus menjadi penyabab dari 8% hingga 69% dari
mortalitas neonatus. Asia selatan dan Afrika sub-Sahara yang paling dominant. Di India, NT,
merupakan penyebab kedua terbanyak mortalitas neonatus dibawah septisemia. Lebih dari
300.000 bayi meninggal tiap tahunnya akibat NT. Survey berbasis komunitas telah
mengidentifikasi faktor resiko terjadinya NT, termasuk tidak diberikannya imunisasi tetanus
toxoid pada kehamilan, persalinan dirumah, pemotongan tali pusar yang tidak higienis,
perban yang tidak steril yang diberikan pada tali pusar, dan riwayat NT pada persalinan
sebelumnya.7 Penyakit ini dapat dicegah terjadi pada neonatus dengan memberikan imunisasi
kepada wanita baik sebelum atau selama kehamilan dan meningkatkan frekuensi pertolongan
persalinan oleh ahli medis berkompeten. Faktanya, dengan peralatan modern, teknik asepsis,
dan imunisasi aktif, tetanus tetap merupakan penyakit yang tidak dapat dieliminasi.9 WHO
pada tahun 1992, memperkirakan imunisasi dan persalinan steril akan mencegah 686.000
kematian neonatus akibat tetanus. Banyak usaha telah dilakukan melalui Program Imunisasi
Berkelanjutan.

5. Pemeriksaan

Selepas anamnesis, pemeriksaan akan dilakukan kepada pasien bagi mengetahui punca
keluhan utama. Pemeriksaan berupa beberapa bentuk seperti pemeriksaan fisik dan
penunjang

Pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi pada pasien tetanus, terdapat luka pada tungkai bawah
belah kanan. Selain itu,mulutnya terasa kaku (trimus) dan rasa nyeri pada tungkai bawah
sebelah kanan. Selain itu, pengambilan suhu tubuh disebabkan keluhan utama pasien adalah
demam.

Untuk melakukan pemeriksaan penunjang, akan dilakukan uji laboratorium untuk


mengesahkan bahawa kasus ini adalah tetanus. Beberapa ujian laboratorium yang dilakukan
antaranya:

a) Kultur pewarnaan gram- menguji kehadiran C. tetani


b) Pemeriksaan darah lengkap
c) Pemeriksaan cairan serebrospinal
d) Elektromyogram dan elektrokardiogram
e) Kadar antitoksin
6. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik, pasien terdapat luka pada tungkai bawah sebelah kana. Pasien ini
turut mengalami trimus yang merupakan gejala yang ada 50% pada tetanus.1 Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairanserebrospinal normal
tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasilelektromiografi dan
elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis.Pada kasus tertentu
apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapatmenunjukkan inversi gelombang
T. Sinus takikardia juga sering ditemukan.2 Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa
kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,15 IU/mL dianggap protektif.

Working Diagnosis
Pasien tersebut menderita penyakit tetanus karena terdapat gejala seperti kejang, kaku wajah,
dan terdapat luka tusuk yang dalam dan bernanah. Melalui luka tersebut bakteri Clostridium
tetani dapat masuk ke tubuh pasien Clostridium tetani yaitu obligat anaerob pembentukan
spora, gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu
di tanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Penyakit tetanus yang disebabkan
oleh luka merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman anaerob Clostridium tetani
bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui toksin
tunggal, tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus.
Lukanya cukup dalam dan berdarah harus dicuci dan dibersihkan. Operasi menjahit luka
tidak steril menyebabkan infeksi terjadi pada tempat luka lalu mengeluarkan toksin yang
bersifat neurotoksik (yang efeknya mengurangi aktifitas kendali SSP) yang dikeluarkan oleh
clostridium tetani. Luka yang terkena infeksi nosokomial disebabkan Toksin ini labil pada
pemanasan, pada suhu 650C akan hancur dalam lima menit.

Toksin yang dikeluarkan oleh bakteria tersebut (tetanospasmin) bisa diabsorbsi pada hujung
syaraf motorik melalui sumbu silindrik dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat.
Toksin tersebut bisa juga diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk ke dalam susunan syaraf pusat. Timbulnya kegagalan mekanisme
inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang
mempersarafi otot mesetter sehingga terjadi trismus, oleh karena otot masetter adalah otot
yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tesebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat tetapi juga dihilangkan kontraksi agonis dan antagonis
sehingga timbul spasme otot yang khas. Karena itulah timbulnya gejala spasme dan kekakuan
otot pada pasien.

Differential Diagnosis (Diagnosis Banding)

a) Meningitis bakterial
Meningitis neonatorum dapat disebabkan oleh Streptococcus grup B, Escherichia coli,
Lysteria monocytogenes, atau Klebsiella-Enterobacter-Serratia. Bayidengan meningitis
datang dengan letargi, kejang, episode apneu, sulit minum, hipotermiatau hipertermi, dan,
kadang, respiratory distress pada minggu pertama. Gejala yang seringditemukan adalah
ubun-ubun besar yang tegang.Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita
biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya
kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan
glukosa menurun.

b) Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

c) Rabies
Rabies penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies,
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang
bersifat klonik. Pada rabies, terdapat anamnesis gigitan anjing atau kucing dengan saliva yang
mengandung virus, disertai gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan
pleiositosis tetapi tanpa trismus.
d) Keracunan strichnine
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter
penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps, dimana glisin juga bertindak
sebagai transmiter penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat yang lebih tinggi di
SSP.Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
e) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti
laringospasme, jarang dijumpai trismus. Tetani dibedakan dengan tetanus dengan
pemeriksaan kadar Ca dan P dalam darah.
f) Retropharingeal abses
Ruang retrofaring merupakan salah satu daerah potensial di leher dalam. Abses retrofaring
adalah terkumpulnya nanah di ruang retrofaring. Pada bayi dan anak usia kurang dari lima
tahun lebih sering terjadi akibat penjalaran infeksi. Sedangkan pada anak di atas umur 6
tahun, lebih sering disebabkan trauma tindakan medis seperti adenoidektomi, intubasi
endotrakea dan endoskopi maupun oleh trauma benda asing.10 Trismus selalu ada pada
penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
g) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
h) Efek samping fenotiazin
Fenotiazin pertama yang diperkenalkan untuk mengobati perilaku psikotik pada klien rumah
sakit jiwa adalah klorpromazin hidroklorida. Fenotiazin dibagi dalam tiga kelompok alifatik.
Fenotiazin alifatik menghasilkan efek sedatif yang kuat, menurunkan tekanan darah, dan
mungkin menimbulkan gejala-gejala ekstrapiramidal (EPS = extrapiramidal symptoms
pseudoparkinsonisme). Fenotiazin piperazin menghasilkan efek yang sedang, efek antiemetik
yang kuat, dan beberapa menurunkan tekanan darah. Fenotiazin piperadin mempunyai efek
sedatif yang kuat, menimbulkan sedikit gejala-gejala ekstrapiramidal, dapat menurunkan
tekanan darah, dan tidak mempunyai efek antiemetik. Adanya riwayat minum obat fenotiasin.
Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan
kekakuan otot,
i) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis
leher dan spondilitis leher

7. Gejala Klinis
Periode inkubasi yaitu rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7 hingga
10 hari.2 Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi
antara 1 hingga 7 hari. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang
semakin parah. Spasme berkurang selepas 2 hingga 3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan
lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran
toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu.2 Setelah diagnosis tetanus
dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.Beberapa sistem skoring tetanus dapat
digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring
tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis. Jika skor kurang dari 9, derajatya
ringan, antara 9 hingga 16, derajatnya sedang dan lebih dari 16 derajatnya

1.Masa inkubasi : < 2 hari nilai 5


2-5 hari nilai 4
6-8 hari nilai 3
11-14 hari nilai 2
> 15 hari nilai 1

2. Tempat infeksi : umbilikus nilai 5


kepala/leher nilai 4
badan nilai 3
extremitas atas proximal nilai 3
extremitas bawah proximal nilai 3
extremitas atas distal nilai 2
extremitas bawah distal nilai 2
tidak diketahui nilai 1

3. immunisasi : belum pernah nilai 10


mungkin pernah nilai 8
pernah > 10 tahun yg lalu nilai 4
pernah < 10 tahun yg lalu nilai 2
imunisasi lengkap nilai 0

4. Faktor penyerta : trauma yang mengancam jiwa nilai 10


trauma berat nilai 8
trauma sedang nilai 4
trauma ringan nilai 2
A.S.A derajat 1 nilai 1

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang dilaporkan.

- Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernapasan, tanpa
spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

- Derajat II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas tampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan
pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan lebih dari 30x, disfagia ringan.
- Derajat III (berat)

Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernapasan


lebih dari 40x, serangan apnea, disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.

Klasifikasi Tetanus

a) Tetanus Generalisata

Gambaran klinikal terhadap tetanus generalisata ialah adanya trimus, meningkatnya tonus
otot dan spasmegeneralisata.2,3 Gejala awal tetanus kaku kaduk, nyeri tenggorokan dan
kesulitan untuk membuka mulut. Spasme otot masseter menyebabkan trismus yang meluas ke
otot-otot wajar yang menyebabkan ekspresi wajah yang khusus yaitu Sardonic Grine.2
Spasme menyebar ke otot-otot menelan yang lain menyebabkan rigiditas otot leher. Ini
seterusnya mengakibatkan opistotonus dan gangguan respirasi oleh kerana turunnya
kelenturan dinding dada.3 Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi fraktur dan
pendarahan didalam otot disebabkan spasme yang terjadi terus menerus, sangat berat.
Stimulasi secara internal maupun eksternal mampu menyebabkan spasme. Differensial
diagnosis mencakupi infeksi orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan
striknin, dan histeria.2

b) Tetanus Lokal

Tetanus tipe ini bentuk jarang karena rigiditas dan spasme hanya pada otot-otot di sekitar
luka.2-4 Otot sekitar area luka akan nyeri dan lemah untuk 2 hingga 3 hari kemudian rigid.
Refleks tendon dalam menjadi hiperaktif.4 Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin
pada tempat hubungan neuromuskuler. Ia mampu untuk berkembang menjadi tetanus
generalisata tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Ia dapat
dicegah dengan pengambilan antitoksin.4

c) Tetanus Sefalik

Tetanus sefalik jarang ditemukan,terjadinya setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Otot
wajah yang sering terlibat diikuti otot okular dan seterusnya lingual dan faringual.4 Trimus
dijumpai dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial yang tersering adalah saraf ke tujuh. 2
Masa inkubasinya sekitar 1 atau 2 hari selepas luka. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular
dapat terjadi.
d) Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi
secara adekuat terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril.2
Tetanus ini terjadi dalam bentuk generalisata dan jika tidak diobati boleh mengakibatkan
fatal.1,2 Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas
tetanus neonatorum.2,4 Spasme otot-otot laring dan pernapasan dapat menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan. Mortaliti terjadi setinggi 90% disebabkan oleh apnea pada minggu
pertama dan septicemia pada minggu kedua yang disebabkan oleh infeksi pada tali pusat. 4
Komplikasi lain adalah pneumonia, pendaraham pada systim saraf pusat atau pulmonari.
Demam dengan suhu 400C adalah lazim karena banyak energi metabolik yang dihabiskan
oleh otot-otot spastik.

8. Patogenesis4

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada
dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat
membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin.
Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi
dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toksin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang
makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang.
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum
yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang
dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf
otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.

9. Penatalaksanaan

Pengobatan

Antibiotika :

Diberikan parenteral Peniciline 12 juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada
anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan
selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain
seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan
diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan
dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini
hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang
dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat
dilakukan (1,8.10). Studi terbaru menemukan bahwa penicillin merupakan suatu antagonis
GABA sehingga dapat meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh karenanya saat
iniantibiotik pilihan adalah Metronidazole IV 500 mg per hari 6 jam atau 1gram tiap 12 jam.

Antitoksin

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000
U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG
mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.(1.8.9)

Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
Pencegahan

1. Proses persalinan yang steril yang didukung tenaga medis dan peralatan medis yang
mendukung
2. Pendidikan dan pengarahan tentang pentingnya persalinan yang steril dansosialisasi
vaksinasi tetanus pada ibu hamil khususnya yang belum mendapat vaksinasi atau
dengan riwayat vaksinasi yang belum jelas.
3. Imunisasi pada ibu hamil merupakan fokus primer dalam pencegahan tetanus
neonatorum. Dosis tunggal toksiod yang berisi 250Lf unit mungkin aman diberikan
pada trimester ketiga kehamilan dan memberi cukup antibodi transplasenta untuk
melindungi anak untuk sekurang-kurangnya 4 bulan.1
4. Pemberian imunisasi aktif seawal masa bayi dengan vaksin gabungan toksiod difteri-
toksiod tetanus-pertusis (DTP) pada usia 2,4,6 bulan dengan booster pada usia 4
hingga 6 tahun dan pada interval 10 tahun sesudahnya sehingga dewasa dengan
toksoid tetanus-difteri (Td).

10. Kesimpulan

Tetanus merupakan penyakit infeksi yang ditandai gejala-gejala neurologik yaitu adanya
spasme dan kenaikan tonus otot yang disebabkan tetani spasmin. Spora dari Clostridium
tetani ini hidup bertahun-tahun dalam tanah dan kotoran hewan. Bakteri ini jika masuk dalam
tubuh manusia dapat menyebabkan infeksi baik pada luka yang dalam maupun yang dangkal.
Tetanus boleh dikawal dengan pengambilan obatan antibakteri,antitoksin, antikonvulsan.
Pencegahan tetanus dengan vaksninasi dan pengambilan imunitas sedininya mampu
mengawal tetanus dari terus menular.
Daftar Pustaka

1. Behrman Klirgman Arvin . Ilmu kesehatan anak, ed 15 th, Jakarta, Penerbitan Buku
Kedokteran ECG, 2000, 1004-7
2. Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus S. K., Siti Setiati. Ilmu
Penyakit Dalam, ed 5 th, Jakarta Pusat, Internal Publishing, 2009, 2911-23
3. Wadia N.H. Neurological practice: An indian perspective, ed 1st, New Delhi,
Elsevier, 2005, 639-45

4. Sarah S. Long, Larry K.P., Prober G. C., Principles and practice of pediatric
infectious diseases, ed 4 th, Churchill Livingstone, Elssevier, 2012, 966-70
5. Feigen. R.D : Tetanus .In : Bchrmlan R.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds. Nelson
Textbook of pediatrics, ed. 13 th, Philadelphia, W.B Saunders Company, 1987, 617 -
20.
6. Ismoedijanto, Parwati SB. Tetanus. Dalam: Soegeng S ed. Kumpulan makalah
penyakit tropis dan infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press,
2004;111-9.
7. Arnon, SS. Tetanus (Clostridium tetani). Dalam: Behrman R, Kliegman R, Jenson H,
Ed. Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed. Philadelphia: Elsevier, 2004; chapter 194.
8. Rambulangi J. Penanganan pendahuluan tetanus. Jakarta:Cermin Dunia Kedokteran
No. 139 ; 2003. p. 16-84.
9. Wiknjosastro H. Tetanus. Edisi keempat.Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo ; 2008. p.530-53.

Anda mungkin juga menyukai