Anda di halaman 1dari 7

1.

Pendahuluan
Istilah BPH atau Benign Prostatic Hyperplasia sebenarnya merupakan istilah
histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel kelenjar prostat. Meskipun jarang
mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau Benign Prostate Enlargement (BPE)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai
Bladder Outlet Obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran
kelenjar prostat disebut sebagai Benign Prostate Obstruction (BPO) Obstruksi ini lama
kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS) yang terdiri atas gejala obstruksi maupun iritasi yang meliputi: frekuensi
miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus
(intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi
urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH
mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh
BPH.
2. Faktor Resiko
Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak
kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan
masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90%
pada pria berusia di atas 80 tahun. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin),
diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi
sel- sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor- faktor tersebut mampu mempengaruhi
sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang
berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang
mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik
sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang menyebabkan
hiperplasia kelenjar prostat.
3. Patofisiologi
Ada beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya BPH yaitu meliputi,
Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel
(apoptosis), teori sel stem (Purnomo, 2014).
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat merupakan faktor terjadinya penetrasi DHT ke
dalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada
prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 alfa - reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative
meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth Factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien
dengan pembesaran prostat jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena
miksi, ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis.
Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

Pertumbuhan sel pada BPH dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-
beda. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria (VU) dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin
yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Obstruksi
urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan
sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan
adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi).
Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin
yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak
menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih
pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan
ingin berkemih yang mendesak dan nyeri saat berkemih ( Purnomo, 2014).
Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat
juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
4. Diagnosis
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan
pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap
dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat
penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.
Anamnesis
Anamnesis berupa keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu ,
riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera,
infeksi, atau pembedahan), keadaan fungsi seksual, obat-obatan yang saat ini dikonsumsi
yang dapat menimbulkan keluhan miksi, serta tingkat kebugaran pasien yang mungkin
diperlukan untuk tindakan pembedahan. Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan
dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International
Prostate Symptom Score (IPSS).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang penting dilakukan pada pasien BPH daintaranya adalah :
1. Pemeriksaan tanda – tanda vital
2. Pemeriksaan general head to toe
3. Pemeriksaan status mental dan neurologis
4. Pemeriksaan abdomen, utamanya abdomen bawah untuk mengevaluasi distensi
VU
5. Pemeriksaan genitalia
6. Pemeriksaan colok dubur, mengukur volume, permukaan, serta konsistensi
prostat.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan pada pasien BPH daintaranya adalah :
1. Urinalisis
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
3. Pemeriksaan Prostate Specific Agent (PSA)
4. Catatan harian miksi / Voiding diaries
5. Uroflometri
6. Pemeriksaan residu urin
7. Pencitraan  USG prostat, USG Abdomen, IVP
5. Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi
yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun
kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah
mulai dari:
Tanpa terapi (watchful waiting)
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkem-
bangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan
untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu
aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan
hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine,
maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
Medikamentosa
Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien memer-
lukan terapi. Sebagai patokan jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medi-
kamentosa atau terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1)
mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi
volume prostat sebagai kom-ponen statik.
Jenis obat yang digunakan adalah
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
3. Fitofarmaka
Intervensi bedah
Sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah pembedahan,
yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi. Cara ini memberikan
perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju pancaran urine. Hanya saja
pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit pada saat operasi maupun
pasca bedah. Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena
BPO, (3) hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal
yang disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum buli- buli yang cukup besar karena BPO. Di
beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang
telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjuk-kan perbaikan setelah
pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra
(TURP).
6. Komplikasi
Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat
juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

Anda mungkin juga menyukai