Anda di halaman 1dari 4

Hukum Jual-Beli Kredit dengan Harga

yang Lebih Tinggi dari Harga Kontannya


Posted by Farid Ma'ruf pada 24 Oktober 2012

Pertanyaan :

Apa hukum menawarkan dua cara pembayaran, kontan dan kredit, dengan dua harga yang berbeda telah

menjadi kelaziman. Misalnya, penjual mengatakan, “notebook ini kalau cash Rp.5 juta, kalau dicicil selama

lima bulan Rp. 5,5 juta”. Apakah penawaran seperti ini dibolehkan?

Jawaban :

Hukum Jual-beli Kredit

Para ulama menyebut praktek di atas dengan istilah bai’ut taqsith (jual-beli kredit) dengan tambahan harga.

Menurut pendapat yang kuat –wallahu a’lam- hukumnya adalah boleh, syaratnya: harga, jumlah angsuran

serta besaran tiap angsuran harus ditentukan sebelum berpisah; dan barang harus ada saat akad[1]. Dalilnya

adalah keumuman hukum jual-beli. Allah berfirman:

َّ ‫َوأَ َح َّل‬
‫َّللاُ ا ْلبَ ْي َع‬

“Dan Allah menghalalkan jual beli” (TQS Al Baqarah 275)

Allah berfirman:

‫اض مِ ْن ُك ْم‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَأْكُلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَاطِ ِل ِإ ََّل أَنْ تَكُونَ تِج‬
ٍ ‫َارةً عَنْ ت ََر‬

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah memakan harta sesama kalian secara batil kecuali dengan

perniagaan atas dasar kerelaan di antara kalian” (TQS An Nisa’ 29).

Atas dasar itu, jika semua pihak rela dengan salah satu tawaran, maka itu merupakan jual-beli yang

dibolehkan syara’ karena hukum asal jual-beli adalah boleh. Asy Syafi’i mengatakan, “Pada prinsipnya semua

jenis jual-beli itu boleh asalkan dengan kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi … kecuali jual-beli yang

dilarang oleh rasululllah saw.”[2]

Perbedaan pendapat tentang jual-beli kredit

Memang terdapat perselisihan dalam hal ini. Kami akan sedikit menguraikannya demi menghilangkan

keraguan. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah membolehkan praktek tersebut, sedangkan

sebagian Zaidiyah dan Dhohiriyah mengharamkannya[3]. Ulama kontemporer yang membolehkannya antara
lain An-Nabhani[4], al-Qardhawi[5], Ali Salus[6], Wahbah Az-Zuhaili[7] dan Ibnu ‘Utsaimin[8]. Sementara Abu

Zahroh[9], Al Albani[10] dan Muqbil[11] mengharamkannya.

Argumen Yang Mengharamkan jua-beli kredit dengan


harga lebih tinggi

Mereka yang mengharamkannya berpegang pada hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:

ِّ ِ ‫س ُه َما أَ ِو‬
‫الربَا‬ ُ ‫ع بَ ْي َعتَي ِْن فِى بَ ْيعَ ٍة فَلَهُ أَ ْو َك‬
َ ‫َمنْ بَا‬

“Barang siapa melakukan dua jual-beli dalam satu jual-beli maka harus memilih (harga) yang

terendah jika tidak maka riba” (HR Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Mereka menafsirkan “dua jual-beli dalam satu jual-beli” sesuai perkataan salah satu perawi, Simak:

“seseorang berkata: jika tunai harganya sekian namun jika dengan tempo maka harganya sekian” [12]. Jadi,

yang dimaksud dua jual-beli menurut kelompok ini adalah menawarkan dua harga untuk satu barang karena

sistem pembayaran yang berbeda, kontan dan kredit.

Sanggahan

Benar, hampir semua ulama sepakat apabila penjual berkata, “jika kau bayar tunai maka 10 dirham

tapi jika dicicil maka 15 dirham” kemudian kedua pihak sepakat dan berpisah tanpa menjatuhkan pilihan pada

salah satu opsi, maka tidak sah. Alasannya menurut Asy-Syaukani karena, “tidak adanya kejelasan

harga”[13], yakni apakah 10 atau 15 dirham. Maka, mayoritas ulama membolehkan dua bentuk penawaran

dengan dua harga yang berbeda asalkan penjual dan pembeli menjatuhkan akad pada salah satu tawaran

sebelum berpisah.

Terkait penafsiran Simak sebelumnya, Ibnul Qoyim berkomentar: “itu sangat tidak sesuai dengan makna

hadits, ditinjau dari dua segi: pertama, sesungguhnya akad ini bukan riba; kedua, penawaran tersebut

bukanlah dua jual-beli, akan tetapi hanya satu jual-beli dengan satu harga. (Padahal dalam hadits) Pilihannya

hanya berkisar pada dua hal: mengambil harga termurah atau riba. Sementara, dalam akad tersebut,

sekalipun diambil harga yang lebih mahal, tidaklah terjadi riba, sehingga praktek ini tidak relevan dengan

makna hadits”[14].

At-Tirmidzi menyatakan, “Sebagian ulama berpendapat dua jual-beli dalam satu jual-beli terjadi pada

perkataan: “aku jual baju ini 10 dirham secara kontan dan 20 secara kredit” lalu berpisah tanpa memilih satu

dari keduanya. Adapun jika berpisah dengan memilih satu dari dua pilihan tersebut maka tidak mengapa,

yang penting akadnya jatuh pada salah satunya”[15]

Al-Khothobi berkomentar: “praktek ini tidak boleh karena tidak diketahui mana harga yang dijatuhi akad,

padahal apabila harganya tidak diketahui batal-lah jual-belinya”. Beliau melanjutkan: “adapun jika dipilih salah

satu dari kedua pilihan tersebut saat transaksi, maka sah”[16]. Thowus berkata: “tidak
mengapa jika dikatakan: “baju ini harganya 10 tunai, jika ditunda selama satu bulan maka 15””. Al-Auza’i

berkata: “itu tidak apa–apa namun dilarang berpisah sebelum menyepakati salah satu dari dua opsi

tersebut”[17].

Penafsiran hadits yang tepat

Para ulama menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas dengan berbagai bentuk. Yang paling cocok dengan

hadits ini adalah penafsiran Thowus,: “barang itu seharga sekian dan sekian jika temponya sampai sekian dan

sekian; dan harganya menjadi sekian dan sekian jika dibayar tempo sampai waktu sekian dan sekian,

kemudian transaksi jadi dengan ketentuan itu, maka yang berlaku adalah harga termurah dengan tempo

paling lama”[18]. Artinya, tidak boleh mengakadkan jual-beli kredit dengan lebih dari satu opsi tempo dan

harga tanpa kejelasan opsi harga dan tempo mana yang disepakati saat akad. Inilah yang dimaksud dua jual

beli dalam satu jual-beli dalam konteks hadits ini. Jika praktek itu terlanjur terjadi maka yang berlaku adalah

tawaran harga terendah, jika tidak maka riba. Dan Thowus menambahkan bahwa yang berlaku adalah tempo

terlama.

Demikianlah, hadits dari Abu Hurairah tersebut tidak menyinggung jual-beli kredit dengan panambahan harga,

sebab tawaran kontan dan kredit itu belumlah merupakan jual-beli, sehingga apabila disepakati salah satu opsi

pada saat akad maka ia tidak terkena larangan dalam hadits tersebut.Wallahu a’lam (titok priastomo)

[1] Ziyad Ghozal, Masyru’ Qonunil buyu’ fid Daultil Islamiyah (‘Aman: Darul Wadhoh, 2010), hal. 135

[2] Asy-Syafi’i, Al-Um (Aman: Baitul Afkar ad-Dauliyah, tt) Hal. 438

[3] Ali Salus, Mausu’atul Qodhoya al Mu’ashiroh wal Iqtishodil Islamiy (Bilbis: Maktabah Daril Qur’an, 2002),

hal. 438; Asy-Syaukani, Nailul Author (Kairo: Darul Hadits, 2005 ), Juz 5, hal. 160; Ibnu Hazm, Al

Muhalla (Mesir: Idarotuth Thiba’ah al Muniriyah, 1351 H), juz 9, hal. 15; Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqhul Islamiy

wa Adillatuh (ebook: http://shamela.ws/index.php/book/384), Juz 5, hal. 147

[4] Taqiyuddin An Nabhani, asy Syakhshiyyatul Islamiyah (Beirut: Darul Ummah, 2003), Juz 2, hal. 305

[5] Yusuf Qorodhowi, Al Halal wal Haram fil Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), Hal. 234

[6] Ali Salus, op. cit.

[7] Az Zuhaili, op. cit.

[8] ‘Utsaimin, Masailul Mudayanah (tp,tt), hal. 2

[9] Muhammad Abu Zahroh, Buhuts fir Riba ( Kairo: Darul Fikr al Arobi, 1986), hal. 37

[10] Nashirud Din Al Albani, Silsilatul Ahaditsish Shohihah (Riyadh: Maktabah al Ma’arif,) Juz V, hal. 419
[11] Muqbil, Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il (Kairo: Darul Haromain, 1999), hal. 632

[12] Nashirud Din Al Albani, op. cit.

[13] Asy Syaukani, op. cit.

[14] Ibnul Qoyim, Tahdzib Sunan Abi Dawud, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 2008), Hal. 1706

[15] At Tirmidzi, As Sunan, dicetak bersama Tuhfatul Ahwadzi (‘Amman: Baitul Afkar ad Dauliyah, tt), Juz 1,

hal. 1228

[16] Al Khothobi, Ma’alimus Sunan, dicetak bersama Sunan Abi Dawud(Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), juz 3

,hal. 477

[17] Ibid

[18] Abdur Razaq, Al-Mushonnaf (Johanesburg dan Karachi: al Majlisul Ilmiy, 1972), Juz 8, hal. 137

Sumber : Blog Ust. Titok P

Anda mungkin juga menyukai